25 Maret 2021

Insecure Melanda, Aku Ingin Berhenti Menulis

12:52 AM 1 Comments
Insecure Melanda, Aku Ingin Berhenti Menulis
Hari ini aku mau curhat aja deh. Berhubung aku sedang berusaha melewati kesulitan-kesulitan yang harus aku hadapi sendirian. 

Boleh dibilang, saat ini aku hampir menyerah dari dunia kepenulisan.

Kenapa ya?

Alasannya, sebenarnya sepele. UANG. 

Nggak sepele juga sih, soalnya kita selalu butuh uang untuk bertahan hidup. Akan tetapi, kalau sampai berhenti menulis karena uang, menurutmu itu terlalu berlebihan nggak sih? Hahahaha.

Aku yang baru lulus dari pendidikan akademik jenjang perkuliahan merasa insecure banget saat melihat teman-temanku gencar mencari lowongan pekerjaan. Beberapa bulan belakangan, aku juga sama, ikut cari lowongan pekerjaan seperti yang lainnya. Sempat juga dipanggil interview oleh salah satu perusahaan tapi alur hidupku berkata aku cuma bisa sampai tahap itu. Aku nggak lolos tahap wawancara.

Setelah menerima notifikasi penolakan, overthinking melanda. Kebiasaan buruk yang selalu muncul setiap aku sedang terpuruk ini membuat aku berpikir: "Aku hidup di dunia ini kayaknya cuma jadi beban keluarga ya?" Padahal baru satu perusahaan yang menolak, gimana kalau ditolak terus-terusan oleh banyak perusahaan ya? Jadi kopong kali ini otak.

Hampir semua orang pernah berpikir begitu nggak sih? Atau cuma aku dan beberapa orang yang punya pola pikir serupa aja yang pernah mikir begitu? Kamu pernah berpikir begitu nggak?

Selama menghabiskan waktu untuk memikirkan masa depan dan makna kehidupan, aku seringkali berpikir hal-hal yang membuat aku merenung berulang kali. Aku bisa apa sih sebenarnya? Aku terus mempertanyakan skill yang aku miliki.

Setelah mengetahui bagaimana dunia kerja bekerja, aku mulai membuka mata. Ternyata, sainganku bukan orang yang seumuran denganku aja tapi dari semua kalangan mulai dari yang lulusan SMA/SMK sampai yang ada di usia mau pensiun juga ada. Mereka yang melamar pekerjaan di perusahaan yang sama denganku, punya pengalaman yang jauh lebih banyak dari aku. Mereka yang sama-sama mengantri untuk wawancara kerja, jauh lebih jago skill-nya daripada aku. Kalau dibandingkan dari segi kemampuan dan pengalaman, kayaknya mereka ada di langit sedangkan aku ada di dasar laut.

"Masuklah di sekolah kedinasan, nanti lulus jadi PNS, pekerjaannya juga sudah terjamin."

Kamu sering dengar ucapan itu dari orang yang ada di sekitarmu nggak? Aku pernah mendengarnya, sering malah, soalnya orang tuaku penganut paham begituan. Kuliah di PTN, kerja PNS, hidup nyaman dan bahagia.

Akan tetapi, aku yang keras kepala dan sering disebut "idealis" ini memilih untuk tutup telinga. Jiwa bebasku meronta-ronta, aku nggak mau hidupku diatur orang lain termasuk orang tuaku sendiri. 

Salahku sendiri juga sih karena terlalu mementingkan egoku sehingga saat aku ada di dalam kesulitan, aku bingung harus membagi kisah kesulitan itu dengan siapa—ini salah satu alasan aku menulis ini. Aku memilih jalanku sendiri, dari mulai jurusan perkuliahan sampai pekerjaan. Semuanya nekat.

Dulu, aku ingin menjadi seorang dokter, orang tuaku juga mendukung. Apalagi, dalam pandangan mereka, kehidupan seorang dokter itu terjamin, bisa buka praktik di rumah dan jadi kaya. Iya, bisa jadi kaya soalnya modal ilmunya juga mahal. 

Aku sendiri punya alasan karena ingin membantu orang-orang yang sakit mengembalikan kesehatannya, apalagi melihat nenekku yang sering masuk rumah sakit membuat keinginanku semakin kuat untuk menjadi seorang dokter demi menyembuhkan nenekku. Aku bahkan nggak merasa keberatan jika harus "dimutasi" ke pedalaman. Sebab, yang aku cari adalah pengalaman untuk membuka mata dan tahu lebih jauh tentang dunia.

Namun, takdir berkata lain, langit menolak alasan dangkalku itu untuk melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran. Mempertaruhkan hasil SBMPTN untuk program studi kedokteran di tiga universitas yang berbeda, naif banget nggak sih? Ternyata, kemampuan dan persiapanku belum cukup. Tahun berikutnya, aku mencoba lagi belajar mandiri bersamaan dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah dan mengulang SBMPTN, ternyata belum cukup juga.

Kenapa nggak coba daftar kedokteran di universitas swasta? Boro-boro swasta, jalur mandiri PTN aja aku nggak mau, kecuali UGM dan UI (karena nggak ada tagihan uang gedung walaupun dapat UKT golongan tertinggi). Alasannya, aku punya adik yang masih sekolah. Kalau aku mengambil jalur itu, bisa jadi adikku putus pendidikan, nggak bisa lanjut kuliah karena uang pendidikan dipakai olehku buat biaya kuliah kedokteran dan uang gedung. Apalagi, selisih umur kami cuma 4 tahun, sudah pasti aku juga belum bisa mengembalikan modal belajar dalam durasi waktu sesingkat itu.

Sempat juga, aku terpikir untuk banting setir ke keperawatan tapi saat itu aku bimbang dan agak malas juga untuk belajar lagi. Apalagi saat aku mengetahui fakta bahwa sudah diterima di universitas swasta jalur PMDK, rasanya selalu ingin leha-leha. Padahal, jurusan di universitas swasta itu jauh banget dengan rencana karirku. Aku mendaftarkan diri di sastra Jepang, jauh banget kan? Salah satu dosenku aja heran saat mengetahui fakta bahwa aku beloknya kejauhan.

Setelah dipikir-pikir, kenapa aku masuk sastra Jepang ya? Aku sendiri pun nggak tahu alasannya, mungkin takdir aja. Aku jalani aja keseharianku saat menjadi mahasiswi kunang-kunang, kuliah-nangis kuliah-nangis. Iya, pulang-pulang dari perkuliahan aku langsung nangis, alasannya ada dua: tugas yang bejibun dan insecure tentang masa depan yang nggak tahu mau dibawa ke mana arahnya.

Sempat beberapa kali terlintas untuk berhenti menjalaninya tapi lagi-lagi ini adalah pilihanku sendiri. Aku yang memilih jalan ini, maka aku juga yang harus bertanggungjawab atas semua yang terjadi. Berani memulai, maka harus berani pula untuk mengakhiri. Toh dari awal juga aku nggak mau denger nasihat orang tuaku. 

Saat menjalani kesulitan di dunia perkuliahan itu lah, aku mencari cara lain untuk menenangkan diri. Menulis. Blog ini adalah saksinya, betapa seringnya aku berkeluh kesah dan membagikan drama perkuliahan.

Akhirnya, setelah menjalani perkuliahan dengan suka rela walaupun banyak air mata berjatuhan, aku berhasil menyelesaikan pendidikan jenjang strata satu dengan hasil yang memuaskan. Akan tetapi, lagi-lagi aku tetap insecure dengan masa depanku. 

Aku bingung harus bekerja di mana. Kalau hidupku didokumentasikan, mungkin isinya insecure melulu. Namanya juga manusia, selalu ingin memiliki apa yang dia nggak punya.

Beberapa lamaran aku masukkan ke berbagai perusahaan yang bergerak di bidang ketenagakerjaan sumber daya manusia. Aku berniat memulai karirku sebagai seorang guru bahasa Jepang. Ternyata, sulit banget untuk memiliki panggilan ibu guru atau sensei.

Bekerja sebagai seorang interpreter juga sempat terlintas dalam benakku tapi belum juga aku memasukkan lamaran ke perusahaan yang membuka lowongan, nyaliku langsung ciut melihat persyaratannya. Kemampuanku belum sehebat itu untuk menjadi seorang interpreter alias penerjemah lisan. Saat itu pula, aku menyadari skill bahasaku yang kukira sudah cukup untuk dunia kerja ternyata masih jauh dari kata cukup apalagi kata lebih.

Prospek kerja apalagi yang cocok untuk jurusan sastra Jepang? Aku pun banting setir ke dalam dunia kepenulisan, sedikitnya aku terbantu oleh mata kuliah linguistik dan sastra. Saat ini, aku sedang mengerjakan beberapa proyek mandiri ala ala biar kedengaran keren dan nggak dianggap pengangguran. Aku sedang menulis sebuah novel genre fantasi yang niatnya akan aku kirim ke penerbit, juga menulis cerita atau artikel untuk dipublikasikan di blog ini. 

Pilihan ini nggak aku ambil secara gegabah, aku mempertimbangkan minatku dan tujuan hidupku juga: meninggalkan jejak untuk memberikan ilmu yang bermanfaat (walaupun kadang aku masih suka menulis kisah picisan tak bermakna).

Imam Ghozali juga pernah memberi petuah, "Jika kamu bukan anak raja dan anak ulama besar, maka menulislah."

Maka, aku pun menulis. Namun, lagi-lagi, semua itu nggak semulus kelihatannya. Bayanganku tentang pekerjaan impianku, nggak seindah yang dibayangkan. Dengan melihat respon orang-orang di sosial media, orang-orang yang ada di lingkunganku bahkan keluargaku sendiri, aku tidak bisa mendapatkan dukungan penuh untuk menulis. 

Banyak masyarakat yang masih krisis literasi, paling artikel ini juga tidak dibaca sampai habis. Belum lagi, pecinta buku di Indonesia nggak banyak, pangsa pasarku kecil jika berkarir sebagai seorang penulis. Hal ini kembali membuatku ciut, terlebih traffic blog-ku juga masih segini aja. 

Iya, aku sepenuhnya menyadari tulisanku tidak terlalu menarik dan kadang membosankan—bahkan memang membosankan—karena aku juga belum sejago itu dalam menulis dan masih dalam tahap pengembangan kemampuan.

Adsense dari Google pun cuma bisa dipakai jajan bakso dua porsi, padahal aku sudah memasangnya sejak satu tahun yang lalu. Aku semakin insecure melihat pendapatan yang minim dan terus-menerus menumpang hidup dengan orang tua. Belum lagi saingan di luar sana yang lebih paham tentang SEO dan dunia kepenulisan profesional. Insecure-nya makin menggila deh.

Nggak tega sebenarnya membuat orang tua susah karena aku terus-terusan menumpang hidup, tapi aku juga butuh makan. Aku mencoba mencari portal yang bisa menghasilkan uang, ikut bekerja dengan dosen sebagai freelancer jasa transkripsi, tapi semua itu juga datangnya nggak diduga-duga. Kadang rame, kadang sepi, belum lagi penolakan dan revisi. Belajar sana-sini, ikut webinar ini itu, terutama kelas gratis, selalu aku ikuti untuk meningkatkan kualitas tulisanku. Ikut lomba sana sini dan mencoba mengirim tulisan ke berbagai portal berita demi membangun portofolio itu juga sangat melelahkan.

Aku ingin berhenti menulis. 

Namun, hati kecilku seringkali berbisik, tetap terlintas lagi di kepalaku bahwa rejeki sudah diatur dan ada porsinya masing-masing. Hanya saja rejeki itu nggak datang dengan sendirinya, aku tetap harus mengusahakannya. 

Kalau aku berhenti menulis, dari mana rejeki itu akan datang? Apalagi lamaran kerja yang kukirim juga belum ada yang lirik, daripada menganggur menanti kabar yang belum pasti datangnya, bukankah lebih baik kuhabiskan waktu sambil menulis, kan?

Apa salahnya terus-terusan menulis walaupun hanya sedikit saja orang yang membaca—atau bahkan hampir tak ada. 

Tujuanku hanya satu, menjadi orang yang bermanfaat. Setidaknya, dengan menulis aku merasa menjadi manusia yang lebih berguna, walaupun masih sedikit tidak ada gunanya karena penghasilan yang minim nyaris tak ada.

Walaupun ada beberapa faktor yang membuat aku selalu ingin mundur, apalagi setelah membaca keluh kesah para penulis novel yang hanya dapat royalti sedikit belum lagi dipotong pajak penghasilan, rasanya ingin menyudahi rencana karir ini dan bekerja sebagai karyawan biasa. Akan tetapi, aku sadar bahwa setiap pekerjaan atau jurusan atau jalan kehidupan, selalu ada kesulitannya masing-masing yang mungkin tak pernah bisa kita rasakan jika hanya melihatnya dari jauh.

Terkadang, apa yang kau lihat bukanlah apa yang kau rasakan. Di balik kesuksesan pengusaha, ada kesulitan dalam membangun bisnisnya. Di balik gaji karyawan yang tetap, ada kesulitan dalam mengerjakan tugasnya. Begitu pula di balik bebasnya jam kerja freelancer seperti penulis, ada kesulitan menyusun strategi dan menyesuaikan pangsa pasarnya. Semua ada kesulitannya masing-masing, hanya cara kita menghadapi kesulitan-kesulitan yang datang itu lah yang menunjukkan apakah kita pantas untuk menjalani jalan hidup yang kita pilih.

Walaupun keinginan untuk berhenti menulis terus datang di saat-saat terpuruk, aku berharap tulisan ini akan menjadi pemantik semangatku agar tak pernah berhenti menulis. 

Ingatkan aku, tegurlah aku, jika suatu saat aku ingin menyerah atas hidup ini. Aku harus membuktikan kepada kedua orang tuaku atas pembangkangan di masa lalu bahwa aku bisa dan aku bertanggung jawab atas pilihan hidupku walaupun sebagian tulangku sudah remuk karena terbentur goncangan sistem dunia. 

Sepertinya, sudah cukup keluh kesah untuk hari ini. Aku yakin beberapa di antara kamu juga pernah dilanda kekhawatiran terkait masa depan walaupun dengan kategori yang berbeda. 

Semangat lah, jika kau lelah maka istirahatlah sejenak. Jangan pernah berhenti walaupun kau harus merangkak. Semoga kita selalu mendapatkan hal yang terbaik dalam hidup kita.

Sekian tulisan untuk hari ini, selamat berjuang. Semangat perjuangan!

Have a nice day,


Michiko ♡

12 Maret 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 7: Rekam Memori yang Terkenang]

6:31 PM 0 Comments
“Kau harus berhati-hati dengan gadis itu. Aku tidak menggiring opinimu, Jo. Aku hanya ingin membeberkan fakta bahwa… kemarilah.” Nona kim melambaikan tangannya agar Jo mendekat. Kemudian, ia berbisik sepelan mungkin hingga suaranya tak terdengar siapa pun kecuali telinga kiri Jo dan dirinya sendiri. “Aku yakin kau punya kenangan kelam dengan perusahaan itu.”

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 6 - Aroma Bangkai

Bagian 7: Rekam Memori yang Terkenang

Jo berdiri di depan posnya sambil menggenggam ponsel milik Grace yang beberapa kali bergetar. Sejenak ia berpikir jika ia tidak segera mengembalikannya, mungkin Grace akan bertanya mengapa ponsel itu tidak segera kembali ke tuannya. Maka, Jo pun berniat menghampiri Grace untuk mengembalikannya.

Namun, gadis itu rupanya mendengar panggilan hatinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, gadis itu bak sebuah berlian yang bersinar keluar dari dalam etalase kaca, berjalan keluar dari gedung kantor sambil menjinjing tas hitam di tangannya. Wajah gadis itu masih tetap berseri seperti tadi pagi, sama sekali tak menyiratkan wajah kelelahan apalagi setelah tugas lemburnya perlahan mulai dipangkas karena obrolannya dengan Ray di ruang pertemuan.

Jo terpasak di tanah bagai rambu stop yang bersiap menghalangi langkah gadis itu. Lantas ia mengangkat tangannya untuk menyetop Grace. “Grace, kau mau ke mana?”

Grace berhenti melangkah. Ia memandang telapak tangan Jo sejenak kemudian mengerutkan dahi. “Pulang. Pertanyaanmu aneh sekali, Jo.”

“Langsung pulang?” Jo memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. Ia menggenggam ponsel milik Grace di dalam saku celananya.

Grace mengangguk. “Iya, kenapa?”

“Kau merasa melupakan sesuatu tidak?”

“Melupakan sesuatu?” Ucapan Jo bagai panah yang seketika menancap pada lapisan dinding otaknya, saat itu pula lah Grace langsung merogoh tasnya. Tangannya menyingkirkan barang-barang yang mengisi penuh tasnya sambil memeriksa barang yang dibawanya satu per satu. Sebuah barang tak ia temukan dari radar indera perabanya. Wajahnya yang semula berseri berubah serius, matanya membulat hingga menyamarkan sisa-sisa senyuman yang menyembul. “Mana ponselku?”

Grace seketika dilanda kepanikan. Satu barang itu cukup berharga baginya dan ia harus menemukannya hari itu juga. Ia pun segera menepi sambil meraba kantong celana dan blazer abu-abu yang ia kenakan, sedikitnya berharap benda itu ada di sana. Semua kantong yang diraba rata. Tidak ada tanda-tanda kehadiran benda itu. Tanpa ragu, Grace membuang isi tasnya di teras pos satpam.

Barang-barang berserakan seperti obralan barang loak. Kabel USB, bedak padat, beberapa tabung berwarna yang berisi lipstik dan semacamnya, dompet serta perangkat pengisi daya berjatuhan dari dalam tas. Dengan teliti, ia mencari benda yang hilang dari celah benda yang saling bertumpuk. “Ponselku… Jo, bisakah kau menelepon ponselku?”

Jo yang berdiri di dekatnya tidak berbicara sedikit pun sejak gadis itu sibuk mencari ponselnya. Dengan tenang ia berkata, “Berapa nomor ponselmu?”

Grace menyebutkan nomor ponselnya sambil meraba-raba barangnya walaupun sudah jelas ponselnya tak ada di sana. Ponsel hitam berukuran 5,5 inci bergetar di tangan Jo. Jo mengarahkan layar ponsel hitam yang menampilkan tulisan “Jo” di depan wajah Grace. “Ponselmu di sini, Bodoh.”

Grace menyambar ponsel yang ada di genggaman Jo. Ia menggerutu sambil memasukkan kembali benda-benda yang berserakan ke dalam tasnya. “Kenapa kau tidak memberitahuku dari tadi? Aku sudah panik setengah mati.”

Jo tertawa. “Kau tidak bertanya kepadaku sih.”

Grace melirik Jo dengan sinis setelah barang-barang yang semula berjajar tak beraturan di teras pos satpam sudah terbungkus rapi kembali di tasnya. “Kalau kau tidak memberitahuku, mana bisa aku tahu kalau aku kehilangan sesuatu?”

“Tapi akhirnya kau menemukannya, kan?”

Grace menghela napasnya. “Iya, sih. Tapi… kenapa ponselku ada padamu?”

Jo mengerutkan dahi. “Kau lupa? Tadi siang, kau menitipkannya padaku.”

“Oh iya!” Grace menepuk jidatnya. “Tadi aku berniat mengambilnya sepulang kerja, eh, sekarang malah lupa.”

“Dasar pelupa.”

“Tadi aku mau mengambilnya setelah kembali dari ruangan Tuan Ray tapi kau tampak terburu-buru meninggalkan pantri. Ada sesuatu yang mendesak, ya?”

Pertanyaan Grace seperti sebuah petir yang menyambar tubuh Jo. Jo menelan ludah, sebisa mungkin mengukir senyum di wajahnya. “Um… ti, tidak ada. Semuanya aman. Aku hanya… kebelet, iya, kebelet.”

Grace manggut-manggut sambil ber-oh pelan. “Apa ada yang meneleponku?”

Jo mengangguk. “Ada.”

“Dari siapa?”

“Aku, baru saja aku menelepon ponselmu.” Jo menunjuk wajahnya sendiri.

“Kau bercanda?” Grace melipat tangannya di depan dada. Ia menghela napas. “Bukan yang itu, sebelum kau.”

Jo menggaruk pelipisnya, mengerling ke sembarang arah berpura-pura sedang mengingat sesuatu. “Oh, ada, beberapa kali ponselmu bergetar.”

“Oh iya?” Grace menyalakan layar ponselnya, memeriksa daftar riwayat panggilan masuk. Dua belas panggilan tidak terjawab muncul. Wajah Grace berubah serius.

Jo melirik air muka Grace yang berubah hanya dalam hitungan detik. “Ada apa? Itu telepon penting, ya? Panggilan itu masuk saat aku sedang bekerja, jadi tidak sempat aku angkat. Seharusnya tadi aku mengembalikannya segera—”

“Tidak!” Grace menyergah. Ia mengatupkan bibirnya sesaat setelah menyadari ucapannya membuat Jo terkejut. Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Bukan telepon yang amat penting. Tadi ibuku yang menelepon, aku lupa menyimpan nomor teleponnya.”

“Oh iya?” Jo melirik ponsel Grace yang terburu-buru dijejalkan ke dalam saku. “Padahal, tadi ponselmu bergetar berulang kali. Mungkin kebutuhan mendesak, sebaiknya kau telepon balik.”

“Iya, aku akan meneleponnya kembali. Terima kasih, Jo. Uhm… tapi sepertinya aku harus pergi sekarang. Dah!” Grace menyandang tas di bahunya kemudian melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa.

Baru beberapa langkah, Jo meraih tangan Grace sehingga membuat langkah gadis itu terhambat. “Eh, Grace!”

Grace berhenti melangkah. Ia menoleh. “Ada apa, Jo?”

Jo melonggarkan genggaman tangannya pada pergelangan tangan gadis itu. “Kau mau patroli malam bersama lagi?”

“Kapan?” tanya Grace.

“Kalau bisa mulai malam ini.”

Grace melirik ke arah saku blazer-nya. Ia menggigit bibirnya. “Um… Jo, aku akan mengabarimu nanti. Sekarang...,” Grace melirik ke sekitar seolah alasan yang di carinya berada di sekitarnya, “aku baru ingat, aku ada janji.”

“Oh, baiklah.” Jo melepaskan tangan Grace dan membiarkannya untuk melangkah pergi.

Desah kecewa terdengar dari bibirnya. Ia tidak berhasil menghentikan gadis itu. Jo memandang kepergian Grace yang menghilang setelah gadis itu memasuki taksi yang berhenti. Beberapa saat setelah taksi itu pergi, Jo segera berlari ke dalam pos dan menyambar jaket yang tergantung di posnya. Jadwal kerjanya sudah berakhir beberapa jam yang lalu. Akan tetapi, ia rela menanti berjam-jam menunggu Grace keluar dari gedung untuk menghentikan gadis itu. Ia tidak akan membiarkan gadis itu lolos begitu saja. Lantas, Jo melesat bersama motornya menyusul taksi yang membawa Grace pergi.

***

Tidak lebih dari setengah jam Grace menginjakkan kaki di rumahnya, ia melangkah keluar dengan terburu-buru. Ia berjalan beberapa meter dari pintu depan rumah hingga ke gerbang sembari melambaikan tangannya pada setiap taksi yang lewat, tidak peduli apakah taksi itu berisi penumpang atau tidak.

Begitu Grace menumpangi taksi yang berhenti, Jo yang sedari tadi mengawasi beberapa meter dari kediaman Grace langsung memasangkan helm di kepalanya. Ia menancap gas guna mengikuti taksi yang sudah melesat jauh di depannya. Sebisa mungkin, Jo menyusul taksi itu walaupun motornya sudah batuk-batuk saat berusaha mengejar kecepatan laju taksi di depannya.

“Kenapa dia mengebut?” gumam Jo.

Asap knalpot motornya menghitam begitu Jo menambah kecepatan. Dengan gesit ia menyalip mobil-mobil yang mengapit di kanan dan kiri. Klakson berulang kali berbunyi sebagai bentuk protes dari mobil-mobil yang disalipnya. Namun, Jo tidak menggubrisnya, ia tetap melanjutkan aksinya yang ugal-ugalan di jalan.

Motor Jo asma, terlalu keras dipaksa berlari. Mesinnya mati dan rodanya tak berputar lagi. Berulang kali Jo menyalakannya kembali, motor itu menyisakan suara batuk motor tua yang ringkih. Alamat, motornya akan berakhir di bengkel lagi.

“Sial!” Jo memukul motornya saat mesinnya mati total di perempatan jalan. Taksi yang ia incar pun sudah jauh dan hilang dari pengawasan Jo. Ia kehilangan jejak Grace.

Pintu gerbang terbuka begitu Grace tiba dengan taksinya. Bergegas, gadis itu memasuki area gedung yang tampak sudah tutup jam operasinya. Sudah beberapa bulan ia tidak mengunjungi gedung itu, dengan mengenakan blazer hitam yang sering ia gunakan untuk bertemu dengan bosnya, Grace berjalan menuju ruangan yang dijaga oleh dua orang berbadan besar. Otot-otot lencir mereka tampak terbingkai sempurna oleh kemeja ketat yang membalutnya. Sudah lama pula, ia tak mencium bau keringat dan bau pengharum ruangan yang saling berebut tahta.

Ruangan luas menyambut Grace ketika ia membuka pintu. Seorang pria duduk sambil menautkan jari-jarinya di atas meja. Sudah lama Grace tidak melihat wajah itu. Wajahnya tetap sama, hanya saja rambut pria itu tampak lebih panjang dari terakhir kali ia melihatnya. Sisanya tak ada yang berubah, masih tetap Jun yang tak terlihat menyenangkan.

Dua orang pria yang berdiri di sampingnya, entah apa gunanya, kedua pria itu bagai dua patung yang menghias kedua sudut ruangan. Grace masih terbiasa dengan pemandangan itu, dengan percaya diri ia memasuki ruangan, mendekati meja kerja seorang pria yang telah menanti kehadirannya.

Pria itu mengacungkan dua jari ke arah pintu tanpa kata. Namun, kedua pria berbadan besar itu paham apa yang dimaksud oleh Jun, mereka mengangguk paham kemudian pergi meninggalkan Jun dan Grace berdua di dalam ruangan. Deritan pintu terdengar dalam keheningan saat pintu tertutup.

Enggan terbalut kecanggungan dalam hening, Grace mulai berbicara. “Aku belum membawa berita yang kau inginkan.”

“Aku ingin mendengar laporan. Bagaimana progresnya?”

“Kau tidak pernah peduli soal itu, mengapa sekarang bertanya—“

“Katakan saja, bagaimana progresnya?” sela Jun. Ia tak ingin mendengar ucapan Grace yang bertele-tele.

Grace menghela napas. “Aku sudah melakukan survei lokasi.”

“Pendekatan dengan target?” Jun bertanya lagi. Tatapannya pada Grace begitu runcing menusuk bola mata Grace.

Grace menelan ludah. Ragu, ia menjawab, “Empat puluh persen.”

Jawaban itu bukanlah jawaban yang ingin ia dengar. Lantas, Jun menggebrak meja saat mendengar jawaban Grace yang tidak memuaskan telinganya. Murka. “Selama ini apa saja yang kau lakukan? Aku membayarmu bukan untuk bermain-main, Grace!”

Grace terkesiap dengan suara gebrakan meja yang mengejutkannya. “A-aku masih membidik targetnya.”

Jun menekuri meja yang seolah menertawakannya. Rahangnya mengeras, tangannya meremas sembarang kertas yang tergeletak di atas meja, ia benar-benar kesal. “Kapan kau akan menarik pelatuknya?”

“Apakah kau tidak mempercayaiku, Jun?” Grace menatap wajah Jun yang tergurat urat-urat kemarahan yang menyembul dari kening hingga lehernya.

“Waktumu tinggal seminggu. Apa saja yang kau lakukan selama ini? Kau membuang waktumu hanya untuk bersenang-senang dengan satpam itu. Apa aku bisa tenang melihat kenyataan itu?” Jun melangkah mendekati Grace.

Grace mengepalkan tinju. Ia menatap Jun dengan tatapan menyelidik. “Kau mengawasiku?”

Jun kini sudah berada di hadapan Grace. Kedua tangannya terulur menepuk bahu Grace. Kemudian, ia melangkahkan kakinya dengan santai mengitari tubuh Grace yang terpaku. “Aku tidak ingin umpanku yang paling berharga terbuang sia-sia. Kau mengerti, Grace?”

“Apa maksudmu?” Grace mengawasi pergerakan Jun yang mengusap pundaknya dengan meremas belikat hingga membuatnya meringis pelan. “Aku tidak ada kaitannya dengan pria itu.”

Jun menyeringai begitu mendengar ucapan Grace. “Grace, Grace, apa yang kau tahu, huh?” Jun kembali berada di hadapan Grace. Kedua tangannya menepuk bahu Grace seolah membersihkan debu halus tak terlihat di pundaknya. Urat-urat yang tergurat di wajah Jun menjadi samar, air muka Jun begitu tenang. “Kau pikir aku menyelamatkanmu tanpa suatu alasan, Grace?”

Sementara itu, Grace menatap pria yang gelagatnya mencurigakan itu. Perubahan ekspresi yang singkat membuat Grace bergidik ngeri. Ia tahu ada sesuatu yang Jun rencanakan setelah ini, entah menyakitinya atau bahkan lebih dari itu. Perasaan waswas menguasainya, ditepisnya tangan Jun dari pundaknya. “Kau memanfaatkanku, huh?”

“Kita sedang bermitra, Grace!” desis Jun seraya menyambar kedua pipi Grace dengan satu cengkeraman tangan. Ia menyeringai saat menatap wajah Grace dari dekat. Grace berusaha melepaskan tangan Jun dengan menarik pergelangan tangan pria itu tetapi cengkeraman tangan Jun justru bertambah lebih kuat. “Kita seharusnya saling menguntungkan. Kau bebas dari hidupmu yang kelam dan aku bisa menyelamatkan harta keluargaku dari keparat itu. Impas, bukan?”

Grace mengerang saat cengkeraman Jun menjepit rahangnya lebih kuat. Ia menggeretakkan giginya. Ia menatap Jun dengan tatapan yang tajam dengan api yang membara di bola matanya. “Aku tidak ada kaitannya dengan pria itu! Aku juga tak ada kaitannya dengan keluargamu!”

Jun tertawa dengan keras seperti seseorang yang kesetanan, entah apa yang ia tertawakan. Ia mendelik dan mencengkeram rahang Grace semakin kuat sehingga membuat Grace terkesiap dan menepuk tangan kekar pria itu. Jun mendesis, “Apa kau tidak mengingat pelanggan terakhirmu?”

Grace berhenti memberontak. Dalam ruang memorinya, ia mencari berkas-berkas ingatan yang bertumpuk di dalam otaknya. Sebuah pesan singkat yang dikirim oleh Madam, wajah pria yang ada di foto, seorang pria yang muncul di hotel, semuanya terbesit secara singkat dalam rekam memorinya. Lengang sejenak saat Grace berusaha menelusuri jejak masa lalunya kembali.

“Sepertinya kau sudah ingat sekarang, Nona Manis.” Jun menyeringai. Jun mempererat cengkeramannya pada rahang Grace sehingga membuat gadis itu mengerang dan tersadar dari layang pikirnya. “Dengar! Aku mengirimmu ke sana bukan tanpa alasan. Kau adalah umpan yang pasti dilahapnya. Namun, mengapa kau malah menghindar setiap kali ia akan melahap umpannya? Apakah kau sedang bermain-main denganku, Grace? Atau… haruskah aku mematahkan rahangmu saat ini juga?”

Grace mencengkeram pergelangan tangan Jun saat rahangnya terasa seperti diremukkan. Kuku-kukunya menancap pada pergelangan tangan pria itu. Namun, urat-urat yang timbul pada pergelangan tangan pria itu bagai karet elastis yang sama sekali tidak terpengaruh oleh cakaran kukunya. Grace meringis, “Sakit, Jun. Tolong, beri aku waktu.”

Jun mengempaskan wajah Grace dengan kasar. “Waktu? Tidak ada waktu lagi, Grace! Pria tua itu sudah sekarat! Tiga bulan seharusnya cukup untukmu, Grace, tapi kau lebih memilih jalan lambat dengan memanfaatkan satpam yang sama sekali tidak berguna.“

Grace mengusap rahangnya yang terasa ngilu. “Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Baru kali ini kau memberikan pertanyaan bodoh kepadaku, Grace!” Jun benar-benar naik darah, wajahnya merah.

“Haruskah aku membuka masa laluku lagi?” Grace bertanya ragu. Kepalanya benar-benar diselimuti kabut hitam yang membuatnya tak bisa berpikir jernih.

“Jika kau tak ingin mati di tanganku, lakukan tugasmu dengan tepat waktu.” Jun mengusap telapak tangan pada kemeja yang ia kenakan seolah ia baru saja memegang benda kotor yang menjijikan.

***

Malam itu, Grace benar-benar tidak bisa tidur. Rekam memori terus berputar-putar bagai layar yang memutar film kehidupannya berulang-ulang. Getaran ponsel menyadarkan ia dari lamunannya. Sebuah pesan singkat masuk ke kotak pesan.

Kau sudah tidur?

Pesan itu singkat tetapi membuat hatinya justru semakin tidak tenang. Kekacauan ini bersumber dari kesalahannya mengambil strategi yang melibatkan orang ini. Grace tak ingin membalas pesan itu. Ia kembali meletakkan ponselnya. Dengan berbantal lengan, ia kembali menyusuri jejak-jejak masa lalunya yang terbingkai dalam benaknya.

Sepulang berkeliling kota menjajakan sebungkus rokok dengan rok pendek yang membuatnya tidak nyaman, Grace melihat keadaan rumah yang membuatnya tambah tidak nyaman. Seorang pria dengan kaos lusuh dan rambut berantakan tertidur telungkup di atas meja dengan keadaan rumah yang kacau seperti kapal pecah. Bau alkohol merebak di seluruh penjuru ruangan begitu gadis itu memasukinya. Biasanya, gadis itu tak peduli dengan keadaan ini. Namun, kekesalan yang sudah dibawanya sejak siang tadi karena mendapatkan perlakuan kurang ajar dari sopir bus di terminal, membuatnya ingin meledakkan amarah yang menggumpal dalam dadanya.

“Mabuk lagi?” Grace melirik pria itu.

Pria itu mengangkat wajahnya. Ia menatap Grace dengan tatapan sayu dan mata yang merah. “Bukan urusanmu.”

Grace menghela napasnya dalam. Rutinitas itu benar-benar melelahkannya secara fisik dan mental. Ia mengulurkan tangannya dan membopong tubuh pria gempal berusia empat puluh tahunan itu ke kamarnya. “Aku harap kau berhenti mabuk dan berjudi. Aku sudah kehabisan uang.”

Sayup-sayup protes Grace yang terbilang lembut itu bagai ucapan yang memekak telinga dan menyinggung perasaannya. Pria itu mendorong tubuh Grace hingga tubuh kurus yang ringan itu terpental hingga punggung gadis itu terbentur tepi meja. Berdebam tubuh dan meja yang saling bertembung. Grace meringis kesakitan, sudah dipastikan punggungnya akan tersisa luka memar.

“Siapa kau beraninya mengaturku?” bentak pria itu sambil mendelik. “Sejak kau lahir, hidupku selalu sengsara!”

Ucapan itu benar-benar melemparkan Grace pada lubang hitam tak berujung yang membuatnya terbalut dalam kehampaan. Dada Grace terasa sesak, sesal dan amarah mengepul membentuk uap bola raksasa yang menghitam di dalam rongga dadanya. Pandangan Grace kabur, matanya mengembun, tenggorokannya tersekat seperti dicekik realita, sebisa mungkin ia menahan tangisnya. Dengan suara yang bergetar, gadis itu bergumam pelan, “Aku sudah kehabisan uang, Ayah.”

Muak dengan ucapan Grace yang sama sekali tidak mengubah nasibnya, pria itu menarik kerah baju kerja Grace, dicengkeramnya wajah gadis itu dengan tangannya hingga wajah gadis itu melengak. “Makanya, cari uang yang banyak! Kau tidak berguna. Hidup tapi tak bisa menghasilkan banyak uang!”

Kegentaran menyelimuti tubuh kurus gadis itu. Matanya menyorotkan tatapan takut, berharap ada orang yang menyelamatkannya dari situasi itu. “Gajiku belum turun.”

Pria itu mengempaskan wajah Grace dengan kasar membuat kepala Grace sekali lagi terbentur pada tepi kursi. “Persetan dengan gaji belum turun atau apalah itu! Aku hanya peduli jika kau membawa uang yang banyak!”

“Kumohon, Ayah, hentikan kegilaan ini.” Grace tidak kuasa membendung air matanya yang sudah mendesak untuk terjun dari pelupuk matanya. Butiran air meluncur membentuk parit kecil pada pipi gadis itu.

Belum puas memakinya, pria itu lantas menarik kerah Grace lagi dan menampar wajahnya hingga kulit wajah Grace terasa memanas akibat tamparannya. “Kau bilang ayahmu ini gila, hah?”

Grace terisak setelah menyadari kehadirannya tak berarti di mata ayahnya.

Tidak puas menampar gadis itu, pria itu menarik rambut Grace yang dicepol. Gadis itu melengak dan meringis kesakitan. Wajahnya banjir dengan air mata, tangannya meremas pergelangan tangan ayahnya, berharap pria itu akan melepaskan jambakan di rambutnya.

Pria itu mendekat. Wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Grace. “Aku menyesal telah membesarkanmu. Kau yang membuat ibumu meninggal. Kau yang membuat aku sengsara. Semua sumber masalah adalah kau! Kau harus membayar semua penderitaanku!” Pria itu menarik rambut Grace hingga membuat gadis itu berteriak kesakitan. Kemudian, ia melepaskannya dan beranjak pergi entah ke mana.

Berdebam. Pintu terbanting dengan kuat. Grace meratap sendirian, menjatuhkan bulir air mata yang berjatuhan membentuk tempias pada rok yang ia kenakan. Sepanjang malam, hanya sepi yang menemaninya dalam kesendirian.

Menangis semalaman membuat Grace kelelahan. Ia bangun tidak sepagi sebelumnya. Dengan baju kerja yang masih melekat di badannya sejak semalam, ia bangun dari tidurnya. Suara orang bercakap di depan pintu kamarnya terdengar. Suara seorang laki-laki dan perempuan. Rasa penasaran membawa Grace melangkah ke belakang pintu kamarnya, ia mendekatkan telinga di daun pintu.

“Kalau bisa semua penghasilannya kau kirimkan kepadaku saja,” ucap seorang pria yang sangat Grace kenal suaranya. Semalam, suara pria itu meninggi. Namun, sekarang pria itu berbicara dengan tenang.

“Lalu dengan anakmu?” sahut seorang wanita dengan suara yang rendah, suaranya mirip seperti seorang laki-laki. Di lingkungan rumah Grace, wanita itu terkenal dengan sebutan Madam. Namanya sudah mentereng di semua kalangan, mulai dari sopir bus hingga pejabat. Semua gadis muda seumuran Grace, bernaung di bawah agensinya.

“Kau hanya perlu mengurusnya, tunjang saja kebutuhan hidupnya. Dikasih makan seadanya juga tidak apa-apa.”

“Kalau begitu, honornya aku potong sepuluh persen untuk biaya hidupnya.”

Pria itu mengambil sebatang rokok dan menjepit rokok itu di bibirnya. Ia menyulutnya sambil bergumam, “Iya, kau atur saja masalah itu.”

“Sekarang, mana anaknya?”

Pria itu melirik ke arah pintu yang masih tertutup. Ia memanggil Grace dengan nada tinggi, “Grace! Grace!”

Grace terperanjat mendengar suara panggilan itu. Dengan ragu ia membuka pintu dan mengintip. Penampilannya benar-benar berantakan, seragam kerja yang ia kenakan semalam masih melekat di tubuhnya, rambutnya berantakan dan sebagian anak rambutnya yang berdiri belum disisir rapi.

“Kau baru bangun, hah?” bentak pria itu saat melihat penampilan Grace yang lusuh. “Kau tahu, kita sedang kedatangan tamu!”

Madam mengecak pelan. “Sudah, sudah. Kau memarahi anakmu terus.”

“Kau lihat sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa tahan membesarkan anak dengan kelakuan seperti ini.”

Madam menyeringai. Sesekali, ia melirik ke arah Grace yang berdiri di dekat dinding. Wanita gemuk itu menyelidiki postur tubuh Grace, ia memandang penampilan Grace dari ujung kaki ke ujung kepala. “Wah, biarpun begitu, dengan melihat penampilan yang seperti ini, para pejabat pasti mau.”

Mendengar kata pejabat, mata pria itu membelalak seolah kata pejabat adalah kotak harta karun berisi tumpukan uang. “Berapa yang bisa dia hasilkan?”

Madam berdecak kagum. Ia tersenyum. “Yang pasti, dia akan mendapat tawaran mahal.”

“Ayah, apa maksudnya?” Grace mendelik saat mendengar ucapan Madam.

Pria itu tersenyum lebar. Ia tak mengindahkan pertanyaan Grace. Kehadiran gadis itu antara ada dan tiada baginya. Rokok yang terjepit di bibirnya ia letakkan. Kemudian, pria itu mengulurkan tangannya. “Wah, kalau begitu, bawa saja dia sekarang. Kau bisa mengabariku kapan pun.”

Madam menyambut tangan pria itu. Sambil tersenyum, ia menjabatnya. “Iya, itu bisa diatur.”

Grace terkejut dengan ucapan ayahnya. “Ayah, kau menjualku? Aku tidak mau!”

Madam tidak berurusan dengan keretakan hubungan keluarga antara ayah dan anak itu. Ia keluar dari rumah kecil itu dan kembali dengan dua orang pria berbadan besar. Kedua pria itu menyeret tubuh Grace dengan paksa. Grace memberontak, tidak ingin pergi apalagi dijual ke orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Namun, apalah daya wanita bertubuh kurus itu jika dibandingkan dengan dua pria berbadan besar yang tengah menyeretnya dan memaksa gadis itu masuk ke dalam mobil.

Ingatan awal penderitaan itu berakhir di sana. Grace memejamkan matanya sambil menghela napas dalam. Ia membalik badan dan tidur terlentang. Ia ingin mengakhiri ingatan pahit ketika hidup selama enam tahun bersama Madam. Setelah mengakhiri kenangan itu, sekelebat ingatan lain memburunya. Rekam memori itu terulang dalam benaknya.

Di sebuah hotel berbintang, Grace berdiri di balkon lantai tiga puluh. Silir angin berbisik dan menyelisik anak rambut Grace yang terurai. Dengan berbalut rompi handuk, Grace memandang bangunan-bangunan kecil sejauh mata memandang sambil meneguk segelas anggur merah. Ia berulang kali menjulurkan kepalanya guna melirik ke bawah gedung. Adrenalin terpacu dan jantungnya berdebar kencang. Sebuah bayangan terlintas, jika ia melompat dari sana, kemungkinan semua penderitaan itu akan lenyap bersamanya.

Namun, suara bel kamar yang berbunyi menghentikan pikirannya yang sedang jauh mengembara. Ia meletakkan segelas anggur merah di atas meja, berjalan ke arah pintu dan membukanya.

“Tuan Ray?” Grace ragu menyapa.

Seorang pria dengan mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata hitam menutupi wajahnya berdiri di depan pintu. Ia menerobos masuk tanpa mengindahkan sapaan Grace. Ia melewati Grace lalu mematikan televisi. Pria itu duduk di tepi kasur.

“Apa yang kau butuhkan, Tuan?” Dengan cekatan, Grace menghampiri pria itu. Ia duduk di belakang pria itu dan kedua tangannya dengan lembut memegang pundak pria itu. “Apakah kau butuh kupijat?”

Pria itu menoleh sambil melepaskan kacamata hitamnya. Ia melirik Grace yang sebisa mungkin menahan senyum ramahnya. “Aku bukan Ray.”

Grace melepaskan kedua tangannya dari pundak pria itu. Ia beringsut mundur dan menatap pria itu waswas. Kedua tangan Grace terlipat menutup dadanya. Tatapan Grace tajam menyelidik.

Pria di depannya itu memiliki karakter wajah yang sama dengan foto pria bernama Ray yang dikirimkan oleh Madam. Rahangnya tajam membingkai wajahnya yang kotak, cambang halus di dekat telinganya sama persis bentuknya, bibir atas yang tipis dan bibir bawah yang setengah penuh. Di foto, Ray memiliki lesung pipit tetapi pria ini tak tersenyum sama sekali sejak ia datang sehingga Grace kesulitan mengidentifikasi wajah pelanggannya. Nyaris tak ada perbedaan antara keduanya jika pria itu tidak membuka kacamatanya. Hanya satu hal yang berbeda, pria itu memiliki mata yang lebih kecil dan cekung ke dalam serta alis yang menukik. 

“Siapa kau?” tanya Grace.

“Aku pelanggan yang menyela. Apakah Madam tidak memberitahumu?”

“Oh?” Grace kikuk. Ia meraih ponsel yang terletak di nakas. Ia baca sebuah pesan masuk dari Madam. Pria itu bernama Jun, seorang pria yang menyela antrian demi mendapatkan Grace. Grace gelagapan, “Oh, maafkan aku, Tuan… Jun. Aku salah menyapamu. Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan itu?”

Pria itu membalik badan. Kini, ia duduk di samping Grace. “Kau mau bekerja denganku?”

Grace heran. Belum pernah dia mendapatkan tawaran kerja saat sedang melayani seorang pelanggan. “Maksudnya?”

Pria itu melirik Grace dengan rompi handuk yang membalut tubuhnya sembari melindungi tubuhnya dengan kedua tangan. “Kelihatannya kau tidak nyaman melakukan pekerjaan ini.”

Grace tersenyum kikuk. “Ah, tidak… maksudku, ini memang pekerjaanku. Aku harus melakukannya.”

“Mau pekerjaan yang lebih baik? Aku bisa membayarmu sepuluh kali lipat dari ini.”

Grace tidak tertarik dengan penawaran itu. Sebab, uang bukanlah tujuannya. Lagipula, ia juga sudah tidak peduli dengan nasib ayahnya setelah mereka terpisah. Grace yakin tawaran pria itu tidak akan jauh dari pelayanan sebagai budak pemuas nafsunya. Ia menunduk, menyembunyikan air muka yang menyiratkan kesedihannya selama ini. “Maaf, tuan, tapi aku…”

“Aku tidak akan menyuruhmu melakukan hal yang seperti ini.”

Grace mengangkat wajahnya. Dalam waktu sekejap, tawaran pria itu terdengar menarik untuknya.

“Kau hanya perlu melakukan pekerjaanmu sesuai kontrak. Kau tertarik?”

Sejak saat itu, Grace menemukan sebuah titik terang dalam kegelapan yang selama ini mengungkung hidupnya. Badai yang kian menghitam mulai menunjukkan bias pelangi yang membelah awan hitam. Sejak saat itu pula, Grace tidak lagi bekerja sebagai seorang wanita penghibur.

Ingatan masa lalunya itu membawanya pada ekor perjalanan hidupnya. Lambat laun seiring berjalannya waktu, Grace semakin didera penderitaan yang semakin mendalam. Ia mungkin bisa bebas dari kehidupan yang dipenuhi oleh hasrat yang sebenarnya tak ia inginkan, tapi ia tidak bisa terlepas dari jeratan kehidupan hitam yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Grace memejamkan mata saat itu pula ia tak sadar di ujung pelupuk matanya mengalir embun yang membentuk sungai kecil di wajahnya. Mungkin ini adalah tugas terakhirnya.

— B E R S A M B U N G —

Baca keseluruhan kisah Reverse (Klik di sini)

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 7: Rekam Memori yang Terkenang]

Ditulis oleh: Michiko

26 Februari 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 6: Aroma Bangkai]

6:30 PM 0 Comments
Setelah menanti hampir satu jam lamanya, Jo melihat mobil hitam yang tak asing untuknya sedang melintasi gerbang kantor. Jo sudah biasa melihat mobil itu pulang selarut ini, biasanya pemiliknya selalu pergi bersama seorang wanita di sisinya.

Mobil hitam itu melesat pergi dari kantor melewati Jo yang sedang menanti seseorang. Jo mungkin tak ada urusan apa pun dengan pemilik mobil itu tetapi mata Jo tak bisa teralihkan dari mobil yang kian jauh darinya. Sebab, seseorang yang dia tunggu justru pergi bersama si pemilik mobil hitam.

Dada Jo terasa sesak saat melihat seseorang yang ia tunggu justru duduk bersebelahan dengan sang pemimpin perusahaan pada hari kencan pertamanya. Sungguh, ia berharap agar gadis itu tidak melakukan hal yang bahkan tidak sanggup ia bayangkan.

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 5 - Janji

Bagian 6: Aroma Bangkai

“Jo, aku mint—“

“Kau mencari Jo, Grace?”

“Di mana dia?” Grace melirik ke sekeliling ruangan pos satpam.

“Aku juga belum melihatnya.”

Sejak pagi, Grace menanti kehadiran Jo. Ia tak menemukan pria itu di mana pun. Ia telah mencarinya di pos satpam tetapi hanya Ed yang dilihatnya. Sedikitnya, dia berharap Jo sudah berada di pantri sambil menelan seduhan biji kopi. Namun, tak ada juga pria itu di sana, yang ada hanyalah kerumunan beberapa karyawan yang mengantre untuk bergantian menyeduh kopi.

Grace melangkah gontai meninggalkan ruangan pantri dengan rasa bersalah yang terbendung dalam dada. Kata maaf yang belum sempat ia katakan, menjadi beban pikiran untuknya. Bodohnya, ia tak pernah meminta nomor telepon Jo. Tak pernah terpikirkan olehnya untuk mengabari Jo tentang hal yang pentiing seperti itu. Sebab, tak pernah ada niatan dalam benaknya untuk mengecewakan pria itu dan membuatnya berlama-lama menunggu.

Dengan pikirannya yang kelut-melut, Grace masih harus menanggung pekerjaan yang menggunung. Kali ini, dia benar-benar merasa terbebani dengan pekerjaannya yang baru saja berjalan kurang lebih sepuluh minggu. Sebelumnya, misi dari Jun tak pernah terasa seberat ini. Bahkan, ia tak pernah memikirkan pekerjaannya sampai selarut ini. Misi kali ini benar-benar membuatnya tertekan. Waktu memburu. Pekerjaan kantor menunggu. Perasaan pribadi membelenggu. Sulit untuk memadu satu semua itu dalam satu waktu.

Waktu bergerak lambat. Berulang kali, Grace melirik jam tangan silver kecil di pergelangan tangannya. Pekerjaannya tetap harus digarap tapi ia kini jauh lebih hati-hati, tak mau kehilangan momen itu lagi. Jo pasti akan pergi ke pantri pada siang hari dan ia harus menemuinya segera di pantri.

Tergesa-gesa gadis itu melangkah meninggalkan meja kerjanya. Nona Kim yang hendak mengomel pun bahkan tak dihiraukannya. Hanya satu tujuannya, menemui pria yang semalam ditinggalkannya. Ia harus meminta maaf dan memperbaiki segalanya.

Grace mendorong pintu pantri. Matanya menelusuri seisi ruangan tetapi pria yang dicarinya tak ada di sana. Hanya ada seorang OB yang sedang sibuk mengepel lantai dan pergi beberapa menit setelah Grace duduk termenung di meja makan.

Resah. Beberapa menit menunggu, ia tak kunjung datang. Apakah pria itu benar-benar marah kepadanya sampai tak mau menemuinya?

Akhirnya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Pria itu muncul begitu pintu pantri terbuka. Kali ini ia berbeda, tanpa sapaan hangat, ia berjalan lurus melewati Grace seolah kehadiran gadis itu bagai angin yang tak dilihatnya. Ia meraih teko dan menuangkan air ke dalam gelas.

Air muka Grace terlihat senang melihat pria itu. Namun, ia urung menyapa pria yang sejak tadi dinantinya. Wajah Jo terlihat kusut dan tak menyenangkan. Senyap beberapa saat. Keduanya saling diam, tak ada yang berbicara.

“Kukira kau sungguh-sungguh mengajakku berpatroli tadi malam.” Akhirnya, Jo berbicara walaupun nada bicaranya begitu dingin. Ia juga tidak memandang Grace sama sekali yang terpekur di tempat duduknya.

Grace mengangkat wajahnya. Ia memandang punggung Jo yang seolah sedang berbicara kepadanya. “Jo, maaf….”

“Padahal kau sudah mengambil jatah istirahatku,” tambah Jo sambil berbalik badan.

“Jo, aku minta maaf soal itu. Aku ada pekerjaan tambahan dan—“

“Dan pergi bersama tuan Ray?” Celetukan Jo yang bernada tinggi membuat Grace berhenti berbicara. Jemari Jo menggenggam mug dengan cengkeraman yang kuat. Ucapannya mencekik leher Grace hingga gadis itu kehabisan kata. Jo menghela napas saat mendapati Grace yang menatapnya dengan kedua binar matanya. Lalu Jo berucap pelan dengan sedikit menurunkan nada bicaranya, “Apa kau membuatku menunggu tadi malam hanya untuk mempertontonkan kebersamaanmu dengan dia?”

“Jo, kau melihatnya?” Grace memandang wajah Jo.

“Apa itu hal yang penting untuk saat ini?”

“Jo, semua itu tak seperti yang kau lihat. Aku tidak bermaksud begitu. Aku tidak tahu kalau kau akan menungguku selama itu dan tuan Ray menyuruhku untuk berkemas lalu mengantarku pulang….” Grace berusaha menjelaskannya tapi ia sadar bahwa penjelasan itu hanya memperkeruh suasana. “Maksudku, semua itu tak seperti yang kau bayangkan.”

“Memangnya, menurutmu apa yang sedang aku bayangkan, Grace?”

Grace menggigit bibirnya. Ia berhenti berbicara saat menyadari bahwa ucapan itu tak seharusnya dilontarkannya. Grace berdiam diri dan tertunduk dalam karena dua alasan, malu dan menyesal. Pipinya merona dan terasa lebih hangat, malu karena telah mengucapkan hal itu kepada Jo. Juga menyesali perbuatannya karena ia tidak menunda pekerjaan dan menolak tawaran Ray yang banyak menyita waktunya.

“Kau tak akan melanjutkan ucapanmu, Grace?” Jo menekan Grace dengan tatapan dan nada bicara yang mencekik tenggorokan Grace. Grace tetap diam dan tertunduk menyembunyikan rona wajahnya. Jo meneguk segelas air di genggamannya dalam satu kali tegukan. “Kalau begitu, tak ada hal yang perlu aku dengar lagi.”

Jo meletakkan mug yang ada di genggamannya. Ia menatap mug itu sejenak. Pikirannya melayang beberapa saat, bukan ini yang ia mau. Rasa ingin menghancurkan mug dengan satu genggaman tangannya seketika menggebu. Namun, ia tak mungkin melakukannya. Bergegas, ia meninggalkan Grace di ruang pantri sendirian.

***

Sudah beberapa hari berlalu sejak pertemuan Jo dan Grace di pantri. Jo jarang muncul di hadapan Grace. Begitu pula Grace, enggan bertemu dengan Jo karena masih merasa malu dengan ucapannya beberapa hari silam.

Siang itu, Grace duduk di pantri sendirian kala karyawan lain sedang mencari asupan makan di kafetaria. Semenjak langkahnya dihambat oleh Ray, Grace tak pernah ingin lagi menginjakkan kaki di sana dan menjadi incaran pria itu. Apalagi di saat-saat seperti ini Jo sama sekali tak ada di sisinya untuk mendengarkan kisah harinya yang terasa berat.

Pikirannya semakin rumit belakangan ini. Belum lagi waktu telah memburunya, sedangkan pekerjaan kian menggunung tak sabaran untuk digarap. Sejak Grace diantar pulang malam itu, pekerjaan tambahan terus membanjirinya. Ray benar-benar tak mengizinkan Grace untuk memiliki waktu luang. Bahkan Grace tak punya waktu untuk berpikir bagaimana bisa menerobos ruangan itu dan menghabisi sang pemilik ruangan.

Pertanyaan tanpa jawaban terus berputar-putar di kepalanya. Pikiran Grace menjelajahi celah-celah sempit untuk menemukan jawabannya. Belum lagi benak dan kalbu yang tak bisa diajak bekerja sama. Ia harus melakukan hal yang sulit, memisahkan urusan pekerjaan dengan perasaan pribadi. Namun, perhatiannya teralihkan sejenak saat seorang pria datang.

Rindu. Hari-hari berlalu terasa semakin kelabu. Ketidakhadiran pria itu di sisinya membuat rasanya benar-benar terbelenggu. Hatinya terasa lebih pilu begitu melihat pria itu secara langsung.

Jo adalah kunci. Tanpa kehadirannya, ia tak bisa menjalankan misi. Kehilangan satpam itu sama saja dengan membuang kunci ruangan itu. Haruskah ia memperbaiki hubungan dengan Jo atau nekat menyelinap ke ruang kerja direktur secara diam-diam sendirian saja? Atau justru terang-terangan menerima tawaran sebagai sekretaris pribadi bosnya? Kini, Grace dikepung dilema.

Setelah beberapa saat berpikir, Grace pun angkat bicara. “Jo, apa kau sudah memaafkanku?”

Suara dentingan sendok dan gelas yang beradu berhenti. Senyap sejenak. Jo mulai bersuara, “Memaafkanmu untuk apa?”

“Menyita waktu istirahatmu hingga terbuang sia-sia.”

“Aku tak pernah marah kepadamu soal itu,” singkat Jo. Suara dentingan sendok dan gelas kembali terdengar.

“Lalu kenapa kau diam saja? Bicaralah kepadaku.” Grace menatap punggung Jo yang lebar. Jo tetap diam, tangannya tak lagi bergerak dan tubuhnya juga tak berpaling. Dia terpekur sejenak. Grace melanjutkan, “Apa kau tak pernah tahu, bagaimana tersiksanya aku kalau kau mengabaikanku seperti itu?”

“Aku tak mengabaikanmu.” Jo terdiam sejenak. Ia meletakkan sendok yang dipegangnya. “Kau yang selalu menghindar dariku. Jadi, aku pikir kau memang tak ingin lagi bertemu denganku.”

Penjelasan Jo membuat Grace mencurengkan alisnya. Alasan yang benar-benar tidak masuk di nalarnya. Sedangkan, selama ini dia ragu untuk berbicara dengan Jo karena mengira pria itu kecewa, walaupun tidak tahu pasti kecewa tentang hal yang mana.

“BODOH!” Grace mendorong kepala Jo dari belakang, membuat kepala Jo terangguk kasar. Kening Jo hampir membentur kabinet pantri yang menggantung di dinding. Grace mengepalkan tinju dan menggeretakkan giginya. Geram. Urat leher Grace terlihat jelas saat ia berteriak, “Aku kira kau marah padaku! Ternyata, kau menjauhiku karena pikiran sialan dari otak kosongmu saja, hah!”

Jo berbalik badan. Tinggi badannya beberapa puluh sentimeter melebihi tinggi badan Grace sehingga membuat Grace harus mendongak untuk memandang wajah satpam muda itu.

“Sudah aku bilang, aku tidak menjauhimu, Grace.”

Grace semakin geram. Ia merogoh saku dan menodong Jo dengan ponselnya seperti menodongkan pisau ke leher lawannya. “Berikan nomor ponselmu! Agar tak ada lagi kesalahpahaman seperti kemarin.”

Dengan ragu, Jo menerima ponsel yang ditodongkan Grace. Ia memandang Grace yang cemberut. Jari-jarinya mulai menekan angka-angka pada layar ponsel.

Grace melirik jari-jari Jo yang bergerak menekan angka. Nomor-nomor muncul berurutan pada layar ponsel Grace.

“Berpacaran di jam kerja lagi, huh?” Suara yang familiar di telinga mereka berdua terdengar. Bulu-bulu halus di lengan Jo berdiri. Nenek Sihir telah kembali memergoki mereka berduaan di pantri lagi.

“B-bukan begitu, Nona Kim. Aku… aku hanya teman…“

“I-iya, teman…,” tandas Jo.

“Apa aku terlihat peduli?” Nona Kim memandang Grace dengan tatapan yang tajam seperti elang. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.

Grace tersenyum kaku. Ekspresinya terlihat aneh, bibirnya tersenyum tapi matanya melotot seperti seorang yang menunjukkan keramahan sekaligus kekejian. Grace melangkahkan kakinya menuju pintu. “Kau pasti menyuruhku kembali bekerja, aku akan kembali segera.”

Nona kim mengangkat tangannya membuat Grace berhenti melangkah. Telapak tangannya bagai rambu stop yang terpasak di pinggir jalan.

“Sok tahu. Tuan Ray memintamu datang ke ruang pertemuan.” Nona Kim melipat jari-jarinya. Ia memandangi kilauan kuku berwarna kuning yang terpoles cat. “Jangan tanya kenapa, aku hanya burung pembawa pesan. Kau akan segera mengetahuinya jika kau datang ke sana.”

Grace melirik ke belakang. Wajah Jo sedikit terlihat muram, berbeda dengan air mukanya saat pertama kali melihat Nona Kim. Grace melambaikan tangannya sebagai tanda ia akan segera kembali. Lantas, Grace pergi meninggalkan ruang pantri.

Nona Kim tak ikut pergi bersama Grace, ia justru menutup pintu dan menghampiri Jo yang mematung sambil menatap kepergian Grace. Wanita itu menghampiri Jo, turut berdiri di sampingnya menduduki ujung permukaan pantri.

“Kau menyukai Grace?” tanya Nona Kim.

Perhatian Jo teralihkan ketika mendengar pertanyaan yang cukup mengejutkannya. “Apa maksudmu? Mana mungkin, maksudku, aku tidak menyukainya. Kau tukang gosip juga?”

Nona Kim menyeringai. Ia menoleh dan memandang wajah Jo. “Sedikitnya, bisa dibilang begitu. Sisanya, sorot matamu yang berbicara.”

Jo mengerutkan dahi. “Sorot mata atau apalah itu maksudmu, itu pasti hanya perasaanmu saja yang menduga-duga.”

“Kau yakin ini hanya perasaanku saja? Lalu mengapa kau datang ke sini hampir setiap hari?” Mata Nona Kim semakin menyipit. Tatapannya menyelidiki bola mata hitam pria itu. “Aku yakin kau punya maksud tersendiri untuk menemuinya, kan?”

“Apa saat ini kau sedang membicarakan urusan pribadi, Nona?” Jo mulai merasa tak nyaman dengan pertanyaan Nona Kim. Apalagi hubungannya dengan wanita itu tidak begitu dekat untuk membicarakan masalah personal.

“Sebenarnya, aku tak peduli dengan perasaanmu. Hanya saja, berhati-hati lah dengan gadis itu.”

Jo yang hendak melangkah pergi seketika terhenti. “Apa maksudmu?”

“Sepertinya dia punya orang dalam.”

“Beberapa karyawan yang bekerja di sini juga punya orang dalam. Apa masalahmu?”

“Data dirinya, semua palsu. Aneh sekali, jika departemen tenaga kerja meloloskannya.” Nona Kim mengerutkan dahi sambil mengusap dagunya.

“Nona Kim, aku hanya mau mendengar fakta.”

“Ini semua fakta, Jo.” Nona Kim meninggikan nada bicaranya sebelum Jo sempat melanjutkan ucapannya. “Aku mengatakan ini kepadamu karena aku sudah melakukan penelusuran. Merogoh tasnya, mencuri berkas, observasi. Kau masih mengira itu hanya gosip karena aku tak suka dengan dia?”

“Kau nekat melakukannya?”

“Iya. Sebab, aku merasa ia akan merebut posisiku sebagai sekretaris direktur.”

“Jangan menggiring opini orang lain untuk membenarkan perilakumu itu, Nona Kim.”

“Aku tidak menggiring opinimu, Jo. Aku hanya ingin membeberkan fakta bahwa… kemarilah.” Nona kim melambaikan tangannya agar Jo mendekat. Kemudian, ia berbisik sepelan mungkin hingga suaranya tak terdengar siapa pun kecuali telinga kiri Jo dan dirinya sendiri.

Wajah Jo seketika pucat begitu mendengar bisikan Nona Kim. Jari-jarinya membeku dari ujung kuku ke seluruh tubuh. Jantungnya berdebar kencang. “Tidak mungkin.”

“Aku yakin kau punya kenangan kelam dengan perusahaan itu.”

Jo menggigit bibirnya. Tangannya mencengkeram ponsel Grace yang tertinggal di genggamannya. Jo yakin, apa yang diucapkan wanita itu hanya hasutan untuk membenci Grace.

“Kau boleh membenci Grace. Akan tetapi, mengatakan fitnah ini… kau sudah kelewatan.”

Nona Kim memutar bola matanya. Sudah ia duga, mengatakan fakta kepada orang yang jatuh cinta sama saja seperti menceramahi bongkahan batu raksasa. “Cinta itu memang membutakan, ya. Setidaknya, aku sudah memperingatkanmu, Jo.”

Kepala Jo seketika terasa berat. Es merambat dari ujung kaki ke ujung kepala. Ucapan Nona Kim membuatnya pusing. Ia bahkan tak mendengar ucapan terakhir Nona Kim. Dengan segera, ia mengangkat kaki dari ruangan itu. “Aku permisi.”

Pintu berdebam. Jo melangkah secepat kilat meninggalkan ruang pantri.

***

“Kau memanggilku?”

Grace membuka pintu yang menyekat sebuah ruangan luas. Lebih mirip seperti ruang rapat dengan berpuluh-puluh kursi yang disusun melingkar di sekitar sebuah meja lingkaran besar. Ini adalah pertama kalinya Grace masuk ke ruang pertemuan. Ruangan ini biasanya digunakan untuk rapat eksternal dengan departemen lain, hanya saja perbedaannya ada akses khusus untuk memasukinya.

Seorang pria duduk di kursi direktur sambil memainkan pajangan-pajangan kecil yang disusun sedemikian rupa demi estetika. Ruangan itu terlalu luas untuk mereka berdua, ruangan kedap suara juga benar-benar membuat ruangan luas itu terasa lengang. Grace mendekat ke arah pria yang sudah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu. Posisi Grace dan Ray hanya dibatasi oleh satu buah kursi.

“Duduk!” perintah pria itu. Matanya tidak menyambut kehadiran Grace. Pria itu justru memperhatikan miniatur pajangan kecil berbentuk wanita dengan kimono merah yang membalutnya.

Grace menarik kursi dan duduk di atasnya. Baru kali ini, dia merasa takut menatap Ray. Sebab, beberapa waktu yang lalu, wajah pria itu sama sekali tak mengguratkan ekspresi pria dingin seperti yang ia lihat sekarang ini. Mungkinkah jika suasana hatinya sedang buruk?

“Bagaimana keputusanmu atas tawaranku malam itu?” Akhirnya, perhatian pria itu teralihkan. Ia memandang Grace yang duduk di atas kursinya dengan tegang. “Apakah kau sudah memutuskannya?”

Grace menghela napas. Ia berusaha menekankan dalam pikirannya bahwa pria itu adalah pria kurang ajar yang pernah menginjak harga dirinya. Grace mengangkat wajahnya, berharap harga dirinya tak terlihat lebih rendah di mata pria itu. “Aku belum memutuskannya.”

Pria itu merebahkan punggung pada sandaran kursi yang empuk. Wajahnya menyiratkan kekecewaan. Ia memijat keningnya. “Sudah tiga hari berlalu dan kau belum memikirkannya sama sekali?”

“Aku punya banyak pekerjaan menumpuk, bagaimana mungkin aku bisa mempertimbangkannya dengan cepat?”

“Bisakah setidaknya kau mempertimbangkan kenaikan jabatanmu dulu?”

“Posisi ini tidak sebanding dengan diriku. Mengapa kau harus menawarkan ini semua kepadaku? Bagaimana dengan karyawan-karyawan lain? Mereka jauh lebih kompeten daripa—”

“Aku menginginkanmu.” Ray menekankan nada bicaranya yang membuat Grace berhenti berbicara.

“Kau ingin aku menggantikan posisi Nona Kim?”

Tanpa ucapan sepatah kata pun, Ray mengangguk mantap. Ia mengiyakan dugaan Grace.

“Kenapa harus aku? Bagaimana dengan Nona Kim?”

“Aku ingin kau selalu berada di sisiku. Urusan tentang Nona Kim, aku yang akan mengurusnya. Kau tertarik?”

“Biarkan aku memikirkannya dan memberikan jawaban setelah pekerjaanku selesai.” Grace mengusap wajahnya. Pria itu benar-benar menambah beban pikirannya yang sudah dipenuh dengan kelut-melut pikiran yang amat rumit.

“Aku bisa memangkas tugas lemburmu asalkan kau memberikan jawabanmu secepatnya.”

Grace mengerutkan keningnya. Ia benar-benar heran dengan pola pikir Ray yang sama sekali tak bisa ia ikuti. “Aku hanya merasa ini semua tidak adil bagi mereka. Apakah kau tak memikirkan perasaan mereka sama sekali?”

“Ini dunia profesional, untuk apa memikirkan perasaan mereka jika tak memenuhi kualifikasi untuk menjadi sekretarisku?” Ray menatap Grace dengan seringai yang tersungging di bibirnya.

***

Perbincangan di ruang pertemuan telah usai. Grace keluar dari ruangan itu, berniat kembali ke pantri sesuai janjinya kepada Jo. Namun, ia mendapati Jo terburu-buru berjalan meninggalkan pantri. Grace pikir, ada hal yang mendesak sehingga membuat pria itu tergesa-gesa. Akhirnya, gadis itu memutuskan untuk kembali ke ruangannya.

Jo menuruni tangga dengan cepat tanpa keraguan. Tak ada rasa takut akan tersandung atau menggelinding ke bawah. Pikirannya kini sedang berkabut mengalahkan rasa takut yang sama sekali tidak penting baginya. Tenggorokannya tercekik jutaan tali rumit yang membelit pikirannya.

Jo berusaha menenangkan diri. Ia berdiri di belakang gedung perkantoran seorang diri. Rerumputan terlihat meninggi di depan pagar tembok yang mengelilingi perkantoran. Gerbang belakang kian terlahap lumut-lumut tebal karena tak pernah terjamah.

Ponsel Grace di genggamannya kembali bergetar. Sebuah panggilan telepon masuk. Jo menatap layar ponsel yang menyala. Nomor yang muncul pada layar itu tak asing baginya. Ia hafal betul siapa orang yang ada di ujung telepon sana.

— B E R S A M B U N G —

Baca kelanjutan kisah Reverse (Klik di sini)

Cerita bersambung: Reverse [Bagian 6] - Aroma Bangkai

Ditulis oleh: Michiko

19 Februari 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 5: Janji]

6:38 PM 0 Comments
Klakson berbunyi, sebuah mobil hitam merapat di gerbang depan. Jo yang semula duduk di kursinya, dengan sigap berlari kecil menembus rintik hujan yang lebih kalem menghujam tubuhnya. Ia membukakan pintu gerbang yang tertutup. Sementara itu, Grace yang baru saja terbangun dari tidurnya mengintip dari balik jendela pos satpam. Mobil hitam itu asing baginya, ia tak pernah mengingat siapa pemiliknya. Namun, ada hal menarik yang ia temukan di dalamnya. Pria yang selama ini menggodanya, ada di dalam mobil itu bersama seorang wanita.

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 4 - Patroli Malam

Bagian 5: Janji

Setelah patroli perdana pada malam itu, Jo dan Grace lebih sering bertemu. Mereka bertemu pada malam hari untuk berpatroli bersama. Terkadang, sepulang kerja, Grace langsung menunggu jadwal patroli bersama Jo di pos satpam. Terkadang pula, Grace datang setelah tidur sejenak di rumahnya. Saat jadwal Jo bekerja pada siang hari, Grace juga seringkali bertemu dengan Jo di pantri. Mereka bagaikan sepasang merpati yang tak terpisahkan.

Akibat kebersamaan Jo dan Grace yang seringkali terlihat oleh beberapa karyawan, sebuah rumor pun menyebar. Kisah asmara satpam muda dan Nona Hulk pun menjadi berita utama yang disebarkan dari mulut ke mulut. Mulanya, rumor itu merebak di departemen keamanan. Lama-kelamaan, rumor itu semakin menjalar dengan cepat ke departemen lain bagai api yang melahap kayu bakar. Namun, tak ada yang berani membicarakan rumor itu kepada Jo ataupun Grace secara langsung. Keduanya juga tak begitu peduli dengan rumor yang melibatkan nama mereka.

Saat istirahat makan siang, Grace sengaja pergi ke pantri untuk menghampiri Jo. Sebab, ia tahu pria itu selalu beristirahat di pantri setiap ada kesempatan. Benar saja, saat membuka pintu, pria itu sedang menyeduh kopi. Tampaknya, pria itu menelan biji kopi setiap hari untuk mengganjal perutnya.

“Jo, nanti malam patroli, ya?” Grace menyambar secangkir kopi yang baru saja diseduh Jo. Ia menyeruput kopi yang sama sekali belum dicicipi oleh Jo sambil bersandar pada pantri.

“Malam ini bukan jadwalku untuk patroli malam.”

“Apa aku terlihat peduli?” Grace mendekatkan wajahnya dengan wajah Jo lalu menyeringai.

Jo mendesah pelan. Ia merebut kembali cangkir kopi yang dipegang Grace, membuat bibir Grace tersulut kopi yang masih mengepul. Gadis itu meringis sambil mengusap bibirnya yang kepanasan.

“Kau patroli saja sendirian,” ucap Jo sambil menyeruput kopinya.

“Aku tak tahu tempat ini, bisa-bisa aku menyasar.”

“Apa aku terlihat peduli?” Jo melirik Grace sambil menyeringai. Puas hati ia membalas ucapan Grace seperti apa yang diucapkan gadis itu kepada dirinya sebelumnya.

Grace mendecakkan lidahnya. Ia memutar bola matanya sambil bergumam, “Menyebalkan.”

“Kau bisa menelusuri lantai atas sekarang, alih-alih bersantai di sini.”

“Kau gila, haruskah aku menghabiskan waktu makan siangku yang sempit untuk menelusurinya sendirian?”

“Mengapa tidak? Kau punya kesempatan untuk itu,” tandas Jo. Ia meletakkan kopinya di atas meja lalu duduk di kursi.

Grace melipat kedua tangannya. “Nona Kim akan menyemburku dengan omelannya kalau melihatku berkeliaran seperti itu.”

“Apa aku terlihat peduli?” tanya Jo lagi dengan kalimat yang sama persis seperti sebelumnya. Kalimat itu seketika menjadi kalimat favoritnya.

“Jo, aku serius.” Grace mendekati Jo lalu menumpu kedua tangannya di atas meja. Permukaan kopi meriak karena getaran yang ditimbulkan dari sentuhan telapak tangan Grace pada meja. Kini, posisi wajah Grace lebih tinggi daripada Jo sehingga pria itu harus mendongak untuk memandang wajah Grace. “Aku harus segera mengetahui seluruh isi gedung secepatnya.”

Jo mengerutkan dahi. “Kenapa harus secepatnya?”

Grace mengatupkan bibirnya. Ia menghela napas. “Lebih cepat lebih baik.”

“Kenapa lebih baik?” Jo bertanya lagi.

“Kau ini banyak tanya!” Grace menggebrak meja sehingga riak permukaan kopi di gelas Jo bergetar lebih cepat.

“Itu tak menjawab pertanyaanku, Grace.”

Grace mengusap wajahnya. “Waktuku singkat, Jo.”

“Berapa lama lagi?” Jo memandang wajah Grace yang kian memerah karena naik darah.

“Tiga minggu.”

“Bukankah kontrakmu masih empat bulan lagi?”

Grace memutar bola matanya. “Setelah itu, aku gila-gilaan dengan proyek lain.”

Jo mengangguk. “Masuk akal.”

“Jadi?” Grace menatap Jo dalam-dalam walaupun pria itu tak tertarik menatapnya.

Pintu pantri yang terbuka mengejutkan keduanya. Grace melangkah mundur menjauhi Jo. Pandangannya terpaku pada seorang wanita tinggi dengan riasan wajah nyentrik yang sedang berdiri di bibir pintu.

“Berpacaran saat jam kerja, huh?” tanya wanita itu sambil melipat kedua tangan di dadanya.

“B-bukan begitu, Nona Kim. Aku… aku hanya—“

“Jika kau tak makan siang, kembali bekerja. Kau tahu, pekerjaan kita masih banyak, Grace!”

Grace melirik Jo yang melongo saat memandang Nona Kim. Pria itu sama sekali tak membantu saat Grace disudutkan oleh wanita cerewet itu. Sudah bisa dipastikan, Jo seperti melihat hantu merah yang gentayangan sebab bulu-bulu di lengannya tiba-tiba berdiri begitu wanita itu datang.

“Tunggu apalagi? Cepat, kembali bekerja!” suara Nona Kim yang melengking membuyarkan pikiran Grace.

“Ah, iya,” sahut Grace. Ia melangkahkan kakinya untuk meninggalkan pantri. Grace melirik Jo saat melewatinya lalu berbisik, “Sudah kukatakan barusan, langsung kejadian, kan?”

Jo mengangguk pelan, sebisa mungkin gerakannya tak begitu mencolok di mata Nona Kim. Kemudian, ia berbisik saat Grace mendekati pintu pantri. “Malam ini jam sebelas, di depan gerbang.”

Grace membentuk bulatan dengan dua jarinya, tanda bahwa ia setuju dengan usul Jo. Kemudian, ia pun keluar dari pantri dan menghilang di balik dinding yang menyekat ruangan.

Malam ini adalah janji pertama untuk bertemu dengan Grace di luar jam kantor. Jo menyunggingkan senyumnya sambil menyesap kopinya saat matanya terpaku pada pintu yang tertutup perlahan. Seketika bibirnya terbakar dengan cairan kopi yang masih mengepul. “Sial, panas!”

***

Matahari undur diri dan berganti posisi dengan bulan. Malam itu, bulan bersinar terang dan terbingkai sempurna pada jendela raksasa yang menempel di dinding. Lampu-lampu lorong sudah mati sebagian, hanya satu ruangan yang masih terang sebab di dalam ruangan itu terdapat seorang pegawai yang masih sibuk dengan mesin dan papan ketiknya.

Sore itu, Grace sudah bersiap-siap untuk pulang. Janji dengan Jo tak mungkin ia lupakan. Rencananya, ia akan tidur sejenak lalu kembali ke kantor untuk berpatroli malam bersama Jo. Namun, rencananya yang sudah disusun sedemikian rupa tiba-tiba berantakan setelah Nona Kim menghampirinya dengan setumpuk kertas berjilid-jilid.

Buku-buku yang disusun dari ratusan bahkan ribuan kertas itu berdebuk saat menghantam permukaan meja kerja Grace. Jari-jari Grace seketika lemas saat melihat tumpukan kertas berjilid itu. Ia menengadah untuk memandang wajah orang yang baru saja meletakkannya di atas meja.

“Kalau bisa, kau lembur malam ini. Tenggat waktu tinggal seminggu untuk menyelesaikan semua ini.” Nona Kim meletakkan satu per satu jilid kertas yang sampulnya berbeda-beda sambil menjelaskan rincian pekerjaan yang harus dikerjakannya satu per satu setiap kali ia membuka sampul pada satu jilid dokumen.

“Apakah aku harus mengerjakan ini semua sendirian?”

Nona Kim mengangguk sambil memainkan kukunya yang dipoles dengan cat berwarna merah darah. “Iya.”

“Mengapa tidak berbagi tugas dengan yang lainnya? Aku mengerjakan ini dalam seminggu, mustahil, aku masih punya pekerjaan yang la—“

Nona Kim mendesis sehingga membuat Grace berhenti berbicara. “Kerjakan saja, rekanmu yang lain sudah mendapatkan porsinya masing-masing. Oh iya, lagipula, itu tugas dari Tuan Ray. Kuharap kau melakukannya dengan baik.”

“Tapi, sebanyak ini?” Grace melirik tumpukan kertas berjilid yang hampir setinggi kepalanya.

“Selamat mengerjakan tugasmu!” Nona Kim menepuk bahu Grace lalu segera meninggalkan ruangan kerja itu.

Grace mendengus kesal. Ia meremas rambutnya hingga rambutnya yang dikucir rapi jadi acak-acakan. “Sial, pria kurang ajar itu sekarang ingin bermain-main denganku.”

Grace menatap layar monitornya yang menampilkan aplikasi untuk mengetik dengan kertas putih kosong yang terpampang. Lantas, ia mengusap wajahnya. Mau tidak mau, ia harus segera menyelesaikannya. Sekitar sembilan jilid dokumen tebal harus dikerjakan gadis itu dalam waktu satu minggu, belum lagi pekerjaan yang datang saat jam kerja normal, itu baru beban yang diterima saat ia bekerja di anak perusahaan milik Ray. Ditambah lagi beban yang harus ia pikul karena mengabdi kepada Jun. Bahunya kini benar-benar terasa berat memikul tanggung jawab yang semakin sarat.

Grace melirik jam yang menggantung di dinding. Empat jam, seharusnya dia bisa menyelesaikan setidaknya satu dari sembilan jilid pekerjaan tambahan yang harus dikerjakan. Ia meregangkan jari-jari hingga berbunyi lalu mulai bertempur dengan pekerjaannya sembari berharap ada waktu untuk menemui Jo walaupun hanya untuk membatalkan janji.

Jari-jari Grace menari di atas papan ketik. Suara jari dan papan ketik yang berdetik bersenandung bersama dengan jarum detik yang terpampang di dinding. Keheningan semakin lama semakin pekat. Kegelapan juga perlahan merambat. Lampu-lampu lorong mulai dimatikan, hanya lampu ruang kerjanya saja yang menyala.

Berulang kali, mata Grace melirik jam dinding. Waktunya semakin sempit sedangkan pekerjaannya belum selesai sesuai target. Grace meningkatkan kecepatan jari-jarinya, suara papan ketik semakin nyaring dan iramanya semakin membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia yakin, Jo sekarang sudah berada di perjalanan untuk bertemu dengannya.

Saat matanya fokus pada layar, suara deritan pintu terdengar. Grace tak melirik ke arah pintu, ia tak begitu peduli dengan orang yang datang.

“Aku belum selesai, jangan dikunci dulu,” ucap Grace.

“Kau suka dengan pekerjaanmu yang baru?”

Suara itu sangat familiar di telinga Grace. Jari Grace berhenti bergerak. Ia melirik ke arah seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya. “Kau suka melihatku menderita?”

Lantas, pria itu duduk di sofa yang terletak dekat jendela raksasa. Ia mendongak menatap rembulan yang bersinar terang. “Rembulan di luar sana bercahaya begitu indah. Padahal tadinya aku datang ke sini untuk memandang rembulanku, ternyata sekarang sedang mendung, ya?”

“Kalau kau datang untuk menggangguku, lebih baik kau keluar saja.” Grace kembali menggerakkan jari-jarinya. Ia tak ingin waktunya terbuang sia-sia hanya untuk menanggapi ucapan pria yang sama sekali tak berguna.

“Tutup saja pekerjaanmu, lalu pulang bersamaku.”

“Itu sama sekali tak akan menyelamatkanku dari amukan Nona Kim,” gumam Grace.

Pria itu tertawa. Ia bangkit dan berjalan mendekati Grace kemudian kedua kakinya terpasak di lantai. Ia berdiri di samping meja kerja gadis itu sambil kedua tangannya bertumpu pada permukaan meja. Matanya menilik wajah gadis itu. “Kau tak kenal aku? Aku, Raymond Arnoldi, yang bisa membuat Nona Kim berhenti mengomelimu bahkan berhenti muncul di hadapanmu. Selain itu, aku juga bisa mengurangi beban pekerjaanmu.”

“Caranya?” Grace berhenti mengetik.

Pria itu menyeringai sambil melirik jari-jari Grace yang tiba-tiba berhenti. “Tutup saja pekerjaanmu, lalu pulanglah bersamaku.”

Grace berpikir sejenak. Tinggal setengah jam lagi menuju janji temu dengan Jo. Jika dipikirkan kembali, pekerjaan Grace baru selesai dua per tiganya sedangkan ia harus menyelesaikannya malam ini juga. Namun, kendalanya adalah ia dikejar waktu untuk janji temu bersama Jo. Waktu yang tersisa tak akan cukup untuk menyelesaikan pekerjaannya itu, jika bersamaan dengan janji untuk bertemu Jo.

Maka, Grace pun mengambil keputusan. Jika pekerjaannya tak selesai, setidaknya pekerjaannya berkurang dan malam ini ia bisa pergi untuk menemui Jo. Urusan Ray yang ingin mengantarnya pulang, dia bisa saja beralasan untuk turun di tengah jalan.

“Hanya untuk malam ini saja.” Grace mematikan komputernya. Cahaya meredup dari layar. Grace segera menyambar tas tangannya lalu bangkit.

Ray menyeringai. Ia berjalan keluar diikuti Grace di belakangnya. Grace pun mematikan lampu ruang kerjanya. Kemudian, bersama dengan bosnya, ia menaiki mobil hitam yang pernah dilihatnya sebelumnya saat patroli malam pertama kali bersama Jo. Mobil melesat meninggalkan area gedung perkantoran.

Sementara itu, Jo sudah siap menanti Grace sejak pukul setengah sepuluh di bawah pohon rindang yang tertanam di samping gerbang kantor. Jalanan terlihat gelap tidak sepenuhnya dicakup oleh cahaya lampu jalanan. Bahkan, keberadaan Jo tak bisa dilihat dari jarak seratus meter. Ini adalah janji pertemuan yang pertama, Jo tidak ingin membuat Grace menunggu untuk kencan pertamanya.

Setelah menanti hampir satu jam lamanya, Jo melihat mobil hitam yang tak asing untuknya sedang melintasi gerbang kantor. Jo sudah biasa melihat mobil itu pulang selarut ini, biasanya pemiliknya selalu pergi bersama seorang wanita di sisinya.

Mobil hitam itu melesat pergi dari kantor melewati Jo yang sedang menanti seseorang. Jo mungkin tak ada urusan apa pun dengan pemilik mobil itu tetapi mata Jo tak bisa teralihkan dari mobil yang kian jauh darinya. Sebab, seseorang yang dia tunggu justru pergi bersama si pemilik mobil hitam.

Dada Jo terasa sesak saat melihat seseorang yang ia tunggu justru duduk bersebelahan dengan sang pemimpin perusahaan pada hari kencan pertamanya. Sungguh, ia berharap agar gadis itu tidak melakukan hal yang bahkan tidak sanggup ia bayangkan.

***

Jo duduk di trotoar sambil menanti Grace. Barangkali, gadis itu lupa bahwa ia punya janji dengannya. Jo akan tetap setia menunggu walaupun setengah hatinya saat ini sudah hangus terbakar api kecemburuan. Ia memandang rembulan yang berseri. “Kenapa kau berseri saat aku sedang mengalami hal seperti ini, sedangkan saat itu kau malah bersembunyi? Kau senang melihatku seperti ini, huh?”

Jo menyomot kerikil kecil dan melemparnya ke tiang listrik dengan kekuatan penuh hingga batu dan tiang besi itu berdenting dengan keras. Jo kembali duduk di trotoar, mungkin ia akan menanti di sana sampai Grace kembali.

“Kudengar, kau dekat dengan Jo.” Ray membuka pembicaraan setelah beberapa menit disapu keheningan.

“Iya, kami memang dekat.”

Grace memandang ke luar jendela. Sudah sejak awal, ia ingin sekali melompat keluar dari mobil itu. Perasaan resah itu berkecamuk dalam dadanya. Namun, Grace mengulurnya hingga setengah perjalanan agar tak terlalu mencurigakan.

“Apakah benar kau berpacaran dengan Jo?” tanya Ray.

Grace melirik Ray. Wajahnya benar-benar datar, air mukanya begitu keruh menyiratkan macam-macam pemikiran yang menggumpal di dalam benaknya.

“Kau tukang gosip juga seperti karyawan-karyawanmu, ya?”

“Bukan begitu. Maksudku, setidaknya, aku mengonfirmasinya langsung kepadamu. Sejujurnya, aku tak begitu suka dengan rumor yang merebak tetapi untuk rumor yang satu ini… aku merasa kalah saing dengan seorang satpam.”

“Status sosialmu tak berpengaruh apa-apa untuk urusan asmaraku.”

Lengang sejenak.

“Kau mau naik pangkat?” tanya Ray sesekali melirik Grace yang sedari tadi membuang muka.

“Mengapa kau menanyakan hal itu tiba-tiba? Aku bahkan tak tertarik sama sekali.”

“Baiklah.” Ray kembali menatap lurus ke depan. “Hubungi aku jika kau tertarik. Maka, kita akan membicarakannya lagi di ruang kerjaku.”

Grace menoleh setelah mendengar ucapan Ray. Itu adalah ruangan yang ia tuju. Hanya dengan memegang kartu AS, Grace bisa mendapatkan akses eksklusif untuk masuk ke sana. Namun, seketika Grace teringat pada Jo sesaat setelah membicarakan ruang kerja Ray. Waktu Jo dan perjuangan patroli itu akan sia-sia dalam hitungan detik saja.

Grace melirik jam tangannya, jarum jam menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh menit. Jo pasti sedang menunggunya. Sebenarnya, perjalanan dari kantor menuju rumahnya tidak memakan begitu banyak waktu. Akan tetapi, setengah jam telah berlalu sia-sia sebab pria itu mengambil akses jalan yang panjang untuk mengulur waktu bersamanya.

“Turunkan aku di depan!” Grace menunjuk sebuah halte yang sepi. “Rumahku tak jauh dari sini. Aku akan naik taksi.”

“Tidak, aku akan mengantarmu ke rumah.”

Alih-alih menginjak rem, Ray justru menginjak pedal gas saat melewati halte itu. Grace mengusap wajahnya. Pikirannya terus berjalan, ia memperhatikan trotoar di sisi jalan sambil mencari tempat untuk bersembunyi.

Grace memberhentikan Ray saat melewati sebuah toko kecil. “Berhenti!”

Ray menginjak rem sekaligus membuat tubuh keduanya tersungkur karena rem mendadak.

“Sudah sampai, rumahku ada di gang kecil ini. Mobilmu tak akan bisa masuk. Jadi, aku turun di depan sini saja. Terima kasih atas tumpangannya.”

Grace terburu-buru menyandang tas di bahunya lalu keluar dari mobil Ray. Ia pun melangkah sesantai mungkin memasuki gang kecil yang diterangi oleh remang cahaya lampu. Gang itu agak gelap, membuat tubuh Grace yang semula terbingkai bias cahaya lampu, seketika dilahap kegelapan begitu memasuki gang kecil itu.

Mobil hitam melaju dengan cepat meninggalkan tempat pemberhentian Grace setelah sepuluh menit berlalu. Pria itu benar-benar gigih untuk mendekati Grace, bahkan ia sampai rela menunggu untuk memastikan bahwa Grace tak membohonginya. Grace mengintip dari balik dinding, mobil itu sudah menghilang dari pandangannya. Ia pun berjalan cepat ke tepi jalan untuk memberhentikan kendaraan apa pun yang lewat.

Setelah menunggu, sebuah taksi melintas di depannya. Ia memberhentikannya lalu naik dengan tergesa-gesa. Mobil taksi langsung menancap gas setelah gadis itu menutup pintunya. Jarum jam kini sudah menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh menit. Jarak pemberhentiannya dengan kantornya sangat jauh, ini akibat Ray yang sengaja membawanya berkeliling kota untuk mengulur waktu.

“Tuan, bisa lebih cepat?” pinta Grace.

Jantung Grace berdebar kencang seolah diburu waktu. Sudah terlambat hampir satu jam, Grace berharap Jo ada di sana. Beberapa puluh meter dari sana, Grace melihat Jo sedang duduk di atas motornya. Taksi semakin merapat ke area perkantoran, Grace merogoh tasnya dan mengambil uang sedapatnya dari dalam tas.

“Bawa saja uang kembaliannya, Tuan.”

Berdebam. Grace membanting pintu taksi saat tatapan bingung dari sopir taksi itu menyudutkannya. Namun, Grace tidak peduli. Satu-satunya hal yang ia pedulikan adalah Jo. Pria itu menaiki motornya saat Grace sedang mencari uang di dalam tasnya untuk membayar ongkos taksi. Grace berlari mengejar pria itu tetapi laju motor pria itu jauh lebih cepat daripada dia.

Grace terengah-engah sambil memegang kedua lututnya. Seseorang menepuk bahunya, Grace menoleh ke arahnya.

“Uangnya kurang, Nona,” ucap sopir taksi yang baru saja ditumpangi taksinya oleh Grace.

Grace mengangguk paham. Ia melangkah gontai menghampiri taksi yang terparkir di bahu jalan. “Iya, antar saya pulang, Tuan. Nanti uangnya saya bayarkan sekalian dengan ongkos pulang.”

Sepanjang perjalanan, Grace terdiam memandang ke luar jendela. Kekecewaan meredam perasaannya hingga membuatnya tenggelam. Waktu tak mengizinkan mereka untuk bertemu walaupun hanya sepersekian detik saja.

— B E R S A M B U N G —

Baca kelanjutan kisah: Reverse

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 5: Janji]

Ditulis oleh: Michiko