1 Juli 2016

Aku dan Senja

Hello!
Aku baru balik nih. Berapa lama nggak nulis? Gara-gara kebanyakan malasnya. Jadi, aku pos di blog semaunya aja hehehe. 

Sekarang ada pembahasan baru nih, gosip terhangat sehangat tahu bulat lima ratusan yang digoreng dadakan gurih nyoy. Ah, jadi pengen tahu bulat. 
Hari ini, aku mau cerita tentang si doi. Kode-kode sedikit lah ya. Hari ini dia ulang tahun. Sebenarnya tulisan ini jadi ajang kode keras gitu deh hahaha. Semoga dia gak baca, mau ditaruh di mana muka aku kalau dia tahu aku bercerita tentang dia? Haduh, malu.

Aku sudah pernah cerita tentang dia sedikit, dia dikisahkan dalam postingan Secret Admirer. Disebutkan bahwa, aku menjadi penggemar rahasianya selama lima tahun. Jadi panggil saja dia Senja karena dia ini sangat tampan di kala senja. Nggak deng, bercanda. Pokoknya, kalau urusan asal-usul nama samaran cuma aku doang yang tahu kisahnya deh, soalnya ini rahasia.

Baca rahasia seorang penggemar rahasia: Secret Admirer


Jadi begini awal mula ceritanya...

HEY AKU DEG-DEGAN.
Ini adalah kisah cintaku di zaman SMP, cinta monyet yang masih bertahan sampai saat ini. 

Aku adalah seorang murid baru di sebuah sekolah Islam terpadu yang cukup dikenal untuk kalangan sekolah yang baru berdiri. Yap, aku merupakan siswa pindahan. Aku masuk ke sekolah ini setelah tiga bulan dimulainya pembelajaran. Di sekolah ini, kelas perempuan dan laki-laki dipisah. Namanya juga sekolah Islam terpadu, harus ada sekat jarak antara perempuan dan laki-laki. 

Nah, dari sini lah dimulainya kisah itu. Kelas perempuan saat semester pertama ada di lantai dua, sedangkan kelas laki-laki ada di lantai satu. Awalnya, kami nggak saling kenal sama sekali. Benar-benar nggak kenal. Jangankan berkenalan, tatap mata atau melihat wajahnya sekali saja sudah malu banget. Semester pertama, aku sama sekali nggak mengenal laki-laki dan banyak sekali desas-desus yang berkata kalau aku ini jutek bin judes. Emang iya sih, soalnya aku memang agak kasar kalau berhadapan dengan laki-laki. Entah kenapa, tapi itu reaksi yang selalu aku berikan kalau berurusan dengan laki-laki.

Semester kedua, kelas perempuan dan kelas laki-laki ditukar. Kelas laki-laki di lantai dua, sedangkan kelas perempuan ada di lantai satu. Dikarenakan kelas perempuan bersebelahan dengan tangga, jadi nggak jarang para siswi duduk di anak tangga, sekadar untuk nongkrong saat istirahat. Tahu sendiri lah ya, jalan untuk lewat kalau dipakai sebagai tempat untuk duduk dan bersantai, nggak bisa dipakai sebagai jalur untuk lewat. Tangga itu menjadi salah satu akses yang bisa dilewati oleh kaum Adam yang mau pergi ke kantin. Biasanya kalau risih, mereka lebih memilih untuk menggunakan tangga di ujung gedung. Tetapi kadang ada juga yang nekat sih melangkahi para siswi yang sedang duduk di tangga. Biasanya, yang berani lewat itu cowok yang agak "bandel" dan kepedean dan sok ganteng walaupun beberapa emang ada yang ganteng. 

Ternyata, kebiasaan duduk di tangga, nggak cuma jadi kebiasaan para siswi tapi para siswa juga sama. Bedanya, mereka nongkrong di anak tangga yang bagian atas yang ada di sebelah kelasnya. Dari sini nih, aku mulai mengenal Senja. Nggak. Bukan berkenalan secara langsung. Lebih tepatnya, digodain oleh guru yang masih muda, yang bisa dibilang gaul lah sama para siswa. Guru ini biasanya ikut nongkrong di tangga atas bareng sama para siswa, sekadar bercanda atau curhat. 

Awal mulanya, saat sedang istirahat jam pertama. Aku baru selesai jajan dan mau kembali ke kelas. Aku sedang melepas sepatu karena di kelas memang nggak boleh pakai sepatu. Saat sedang sibuk lepas sepatu, aku dipanggil sama guru gaul yang lagi duduk di anak tangga atas. Lalu aku menoleh ke atas dengan jajanan yang penuh di kedua tangan. Aku menggubris panggilan guru itu, ya iyalah, masa dipanggil guru nggak menoleh.

Saat itu, aku melihat seorang laki-laki berambut ikal dengan baju biru motif kotak-kotak dan celana putih. Dia duduk tepat di sebelah guru yang memanggilku. Aku cuma sekadar tahu, nama dia Senja.  

Seperti biasa, laki-laki kalau iseng bagaimana sih? Guru itu tiba-tiba berceletuk, "Nad, ada salam dari Senja."

Nah, saat itu aku yang notabene adalah wanita kasar dan jutek, jelas nggak suka kalau digoda seperti itu. Aku mendengus, bibirku ditekuk, dan mendelik judes. Setelah itu, aku pun lewat aja tanpa peduli dengan perkataan guru yang hobinya memasang-masangkan siswa siswi. Aku sadar sih, emang reaksi aku itu agak kurang ajar. Hahaha. Tetapi sebenarnya, aku deg-degan, malu atau senang, entahlah. Bahkan sampai kepikiran juga. Namanya juga bocah, diciein sedikit bisa langsung baper [read: bawa perasaan]. Ternyata, setelah kejadian itu, perasaan aku jadi terasa ada yang beda. Nggak berhenti dalam waktu sehari dua hari saja. Perasaan itu malah berlanjut sampai aku naik kelas. 

Saat itu, sebenarnya aku sudah punya orang yang aku suka. Memang hanya sekadar suka aja, bukan pacar. Tetapi setelah kejadian itu, aku malah nggak bisa melupakannya. Jadi, hatiku terbagi dua. Aku menjadi fans berat seseorang dan--baru sadar--suka dengan Senja juga. Aku mencoba untuk memilih salah satu, Senja bukan pilihanku walaupun perasaan itu sebenarnya masih tersimpan di dalam. Aku nggak mengembangkan perasaanku pada Senja karena lebih fokus dengan orang satunya. Selama satu semester, aku nggak terlalu fokus terhadap perasaanku pada Senja. Jadi, aku nggak terlalu penasaran siapa orang yang dia suka, seperti apa latar belakangnya, atau apa saja hal-hal yang dia suka. 

Semester selanjutnya, aku merasakan hal yang berbeda. Perasaan yang aku simpan dalam-dalam, justru muncul lebih besar. Perasaan suka pada Senja tiba-tiba muncul, mungkin karena saat itu aku juga sedang berpikir realistis karena merasa nggak memungkinkan untuk suka dengan orang yang jauh lebih tua daripada aku apalagi jarak umur yang begitu jauh. Saat itu lah, aku mulai terfokus dengan Senja. Aku mulai penasaran tentang dia, latar belakangnya, siapa orang yang pernah dia suka dan siapa orang yang dia suka saat ini.

Setelah mengulik banyak fakta tentang Senja, ada suatu hal yang mengejutkan. Jelas, aku juga menyesal baru mengetahuinya. Aku mengetahuinya lewat Senja secara langsung melalui SMS. Iya, kami diam-diam kontakan, walaupun memang ada aturan bahwa siswa dan siswi nggak boleh berhubungan lewat mana pun. Tahu sendiri lah, label Islam terpadu dilarang berbicara hal tidak penting kepada yang bukan mahram. Tapi lupakan saja soal itu, kembali ke hal yang mengejutkan saja. Aku terkejut ketika mengetahui orang yang disukai Senja. Senja suka dengan sahabatku sendiri. Benar-benar sahabat dekatku, orang yang selalu pergi ke mana-mana dan mengobrol banyak hal denganku. Walaupun itu masa lalu, tetapi jelas itu cukup membuat aku terkejut. 

Fakta menarik lainnya, yang nggak kalah mengejutkan, ternyata sahabatku juga masih menyukai Senja. Kami baru dekat sejak semester tiga dan dia nggak pernah cerita apa pun tentang orang yang dia suka. Saat masih semester satu, dia pernah suka juga dengan Senja, lalu rasa itu ia kubur dan dia nggak pernah membicarakan tentang perasaannya pada Senja kepada siapa pun, termasuk aku. Ah, kisah cinta macam apa ini. Aku sepertinya memang ditakdirkan hanya menjadi seorang figuran dalam kisah romantis seseorang. Dengan keadaan yang seperti itu, mana mungkin aku bercerita tentang Senja, kan? Bisa-bisa aku dicap sebagai seorang pengkhianat, bahkan persahabatan kami bisa terancam hanya karena menyukai laki-laki yang sama. Sering banget sahabat aku ini menanyakan tentang orang yang aku suka, tetapi aku nggak berani mengungkapkan yang sebenarnya. Jadi, aku jawab orang yang suka adalah orang yang umurnya jauh lebih tua daripada aku, orang yang pernah aku suka sebelum aku menyukai Senja. Nama Senja jangan sampai disebut dalam keadaan ini. Orang-orang di kelasku pun, jadi tahu kalau aku suka dengan orang yang jauh lebih tua daripada aku, padahal saat itu sebenarnya aku sudah move on dan hatiku tertambat pada Senja. Walaupun sahabatku pernah bilang, nggak masalah kalau misalnya aku suka dengan Senja, tetapi untukku rasanya kurang etis saja sih apalagi dia belum melupakan Senja. 

Berbicara tentang SMS dengan lawan jenis, sebenarnya aku mendapatkan nomor Senja nggak mudah dan mencari topik untuk mempertahankan obrolan juga sulit. Apalagi di bawah ancaman peraturan kalau berhubungan dengan lawan jenis akan dipanggil ke ruang kepala sekolah. Ngeri juga. Tetapi dengan kedok kepentingan, aku menghubungi Senja lewat salah satu media sosial dan mendapatkan nomornya. Setelah mendapatkan nomornya, aku bimbang harus aku hubungi atau nggak, antara mau dan malu. Akhirnya, aku menghubungi dia. Awalnya, mengangkat topik tentang OSIS, saat itu kami tergabung dalam divisi OSIS yang sama. Semakin lama, semakin sering kami berkomunikasi. Awalnya penting, lama-lama jadi basa-basi nggak penting, bahkan sampai aku tahu siapa saja orang yang pernah disukai Senja karena kami sering berbalas SMS. Kadang, aku curi-curi pandang ke arah Senja ketika sedang rapat OSIS. 

Selama satu semester aku bertahan, berusaha menutupi semua. Aku pura-pura nggak tertarik kalau ada yang membicarakan Senja. Lama kelamaan, salah tingkah juga. Aku nggak bisa mengontrol reaksiku saat ada suatu hal yang berkaitan dengan Senja. Ternyata, rasa itu makin membuncah dan nggak mau disembunyikan lagi sehingga menimbulkan kecurigaan. Bukan Senja yang curiga, tetapi teman-teman satu kelasku. Senja sih mana peka soal begituan. Lagi pula, mustahil juga Senja akan membalas perasaanku kalau dia tahu tentang perasaanku. Toh saat itu aku juga jelek, sedangkan Senja... sulit membayangkannya kalau kami bersanding. Bisa jadi kisah Beauty and The Beast, tapi aku yang jadi beast.

Satu tahun jabatan berakhir, jabatan dalam organisasi pun harus berakhir. Saat-saat terakhir untuk menghubungi Senja dengan kedok mengoordinasikan laporan pertanggungjawaban. Kami makin asyik SMS-an, dia juga nggak seformal dulu dan lebih banyak curhat. Aduh jadi nyaman, bau-baunya aku berada di friendzone. Aku nggak masalah sih, lebih baik Senja nggak tahu perasaanku daripada dia menjaga jarak setelah mengetahuinya. Setelah pengumpulan laporan pertanggungjawaban, aku nggak pernah berhubungan dengan Senja lagi selama tiga bulan. Aku juga nggak galau atau sedih sih karena saat itu aku sibuk persiapan Ujian Nasional dan membuat novel. Aku jadi nggak terlalu sering memikirkan Senja, lagi pula aku masih bisa kok melirik Senja di ruangan sebelah kalau akan pergi ke kantin karena ruang kelas kami bersebelahan. Dasar mata nakal. Di semester itu pula, desas-desus menyebar ke penjuru kelas bahwa aku menyukai Senja. Saat itu pula, hubunganku dengan sahabatku menjadi renggang, mungkin karena dia tahu juga aku suka dengan Senja. Barangkali dia merasa terkhianati. Maafkan aku ya, perasaan aku nggak bisa berhenti untuk menyukai Senja. 

Menjelang Ujian Nasional, kelas sembilan diajak rekreasi dan doa bersama. Hitung-hitung sebagai ajang untuk refreshing setelah diserang try out bertubi-tubi. Saat itu aku sedang dekat dengan Big Mama dan si Tomboy. Mereka menemaniku yang sedang makan di bus pariwisata, sedangkan yang lain sedang menikmati makan siangnya di taman. Saat itu, rupanya Senja duduk di belakangku. Si Tomboy yang usil dan suka ceplas-ceplos, dengan entengnya berbicara dengan Senja.

"Senja, mau makan nggak?" 

"Mau. Mana makanannya?" Senja sih mau-mau saja kalau dikasih makanan.

Si Tomboy menunjukku dengan dagu. "Tuh, minta ke Nad."

Aku yang sedang menggigit ayam, melirik ke arah si Tomboy, melotot dengan galak. Sialan, bisa-bisanya si Tomboy usil begitu.

Si Tomboy tertawa. Dia malah memprovokasi. "Nggak apa-apa, Nad. Terakhir, sebelum kelulusan biar dia tahu."

"Mana?" Senja mencari makanan. Entah dia mendengar ucapan si Tomboy barusan atau nggak. Sepertinya sih kedengaran, tapi dia pura-pura nggak peka.

"Senja, mau makan bareng Nad, nggak?" Si Tomboy tersenyum usil sambil menunjukku. "Tuh, diajak makan bareng sama Nad."

Aku melotot, memandang si Tomboy dengan tatapan galak. Emang, ini orang minta digetok kayaknya.

Senja melirik ke arahku, lalu dia tersenyum. "Nggak ada makanannya hehehe."

Si Tomboy tiba-tiba merebut wadah makanan yang aku pegang, menyodorkannya kepada Senja. Senja mengintip ke dalam isi wadah. Aku hanya bisa mengerutkan alis, mulai kesal dijahili si Tomboy terus-terusan.

"Ayam, bukan?" Senja melirik si Tomboy. "Nggak mau ah, tadi sudah kenyang makan ayam. Kirain makanan yang lain." Senja berlenggang melintas dan pergi.

Dasar si Tomboy menyebalkan! Kejadian ini bikin aku merasa malu banget, tetapi ada sedikit rasa berbunga-bunga juga sih karena sudah lama aku nggak berkomunikasi dengan Senja. Kejadian itu, membuat aku menghindar setiap kali akan berpapasan dengan Senja. Melihat wajah Senja, membuat aku malah teringat kejadian di dalam bus.

Setelah pulang rekreasi, semester terakhir di sekolah itu, kami mulai fokus belajar untuk menghadapi Ujian Nasional. Satu angkatan dipecah menjadi beberapa kelas, kalau nggak salah lima kelas, diurutkan berdasarkan ranking try out berturut-turut. Saat itu, aku masuk ke kelas A bersama orang-orang yang hampir semua pintar. Ternyata, Senja juga termasuk di dalamnya. Aku satu kelas dengan Senja. Senang tapi malu, aku belum bisa melupakan kejadian itu dan pipiku selalu memanas setiap kali berpapasan dengan Senja. Kelas A seringkali dibiarkan belajar mandiri, dibebaskan juga menentukan lokasi belajar asalkan tidak berpecah. Namanya juga masih pelajar, surganya sudah pasti kantin, jadi kami memilih kantin untuk belajar. Kami belajar bersama, membentuk dua lingkaran, satu lingkaran untuk sekelompok laki-laki, satu lingkaran untuk sekelompok perempuan. Kadang kami saling diskusi menemukan jawaban bersama. Sejak saat itu, aku nggak canggung lagi untuk berkomunikasi dengan Senja--tampaknya dia juga sudah lupa. 

Setelah ujian berakhir, kelas sembilan latihan untuk pertunjukan acara perpisahan. Kabarnya, Senja akan mendaftar di sekolah yang sama denganku. Wah, kesempatan untuk SMS-an lagi dengan Senja. Basa-basi menanyakan pendaftaran sekolah. Sudah lama banget aku nggak menghubungi Senja, mungkin hampir satu tahun. Akhirnya, kami saling bertukar informasi sambil menyelipkan sedikit curhat dan canda. Sampai tiba waktunya untuk pergi. Aku kira pendaftaran sekolah akan ditutup sebelum digelarnya acara perpisahan sehingga aku nggak ikut perpisahan. Aku merantau sebelum waktunya.

Kamu tahu apa yang terjadi setelah itu?

Saat aku berhenti di perjalanan untuk mampir di sebuah restoran untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan yang panjang lagi, teleponku berbunyi. Nomor yang nggak dikenal muncul di layar. Sebenarnya, aku enggan mengangkatnya karena takut telepon jahil tetapi akhirnya aku angkat juga karena takut ada hal yang penting.

"Halo, assalamu'alaikum." Suara di ujung telepon menyapa, suaranya lembut dan adem.

"Wa'alaikum salam. Maaf, ini siapa?" Aku bertanya karena nggak mengenali suaranya. Aku yakin itu bukan suara teman sekelasku karena mereka kalau berbicara nyaring seperti monyet Ragunan.

"Ini ibunya Senja."

S H O C K!

K A G E T.

Aku menarik napas dalam dan menahannya. Aku nggak mau suara napasku mengganggu dan menyinggung ibunya Senja. Gugup.

"Kata Senja, Nad mau masuk ke sekolah yang sama juga, ya?"

Ih, Senja cerita tentang aku ke ibunya. Aku senyum-senyum malu, nggak jelas. 

"Iya, Tante."

"Boleh tanya, nggak? Pendaftaran sekolah sebenarnya sampai tanggal berapa?"

"Sampai tanggal sekian Mei, Tante." Anggaplah aku menyebutkan tanggal. Jujur, aku lupa. "Tapi nanti kayaknya ada gelombang yang kedua."

"Oh begitu." Ibunya Senja terdiam sejenak. "Katanya, Senja mau ikut perpisahan dulu. Kasihan masa-masa terakhir dengan teman-teman."

"Oh begitu ya, Tante." Aku mengangguk walaupun ibunya Senja nggak bisa melihat anggukanku. "Masih bisa kok nanti ikut gelombang kedua."

"Ya sudah, nanti Senja ikut yang gelombang dua saja. Sekarang Nad sudah berangkat?"

Aku mengangguk lagi. "Iya, sudah, Tante."

"Sudah sampai mana?"

Aku melirik papan reklame restoran. "Sudah sampai Pekalongan. Ini lagi istirahat buat makan."

"Oh gitu, kalau gitu hati-hati di jalan ya, Sayang." 

S-A-Y-A-N-G. Suara lembut ibunya Senja membuat aku meleleh. Aku tersenyum lebar. "Iya, Tante, terima kasih ya."

"Iya, Sayang, sama-sama. Tante tutup ya, assalamu'alaikum."

Telepon terputus. Aku melompat senang nggak karuan. Senyuman merekah dan wajah memerah. Ibuku sampai penasaran apa yang membuatku kegirangan.

"Telepon dari siapa?"

"Calon mertua."

Bodo amat. Aku keceplosan tiba-tiba bilang begitu di depan ibuku. Aku terlalu senang. Jantungku berdebar dengan kencang. Senang sekali dipanggil "sayang" oleh orang tuanya Senja. Aku semakin baper lah.

Itulah perjalananku menjadi penggemar rahasia Senja selama tiga tahun. Sebenarnya, aku masih bingung. Apakah aku masih menyukai Senja atau nggak? Karena aku masih menutup pintu hati dan nggak membiarkan orang lain masuk untuk mengisi. Setiap aku mau membuka hati, aku malah teringat Senja lagi. Bisa dibilang ini sudah tahun ke-lima aku menjadi penggemar rahasianya. 

Baca juga kisah-kisah bucin lainnya klik di sini

Sekian kisah tentang Senja. Sepertinya sepotong kisah ini sudah terlalu panjang. Jadi, kapan-kapan lagi aku menceritakannya.

Have a nice day,


Michiko ♡

Tidak ada komentar:

Posting Komentar