Setelah bergulat dengan tugas dan ujian, hari libur datang menghampiri jiwa seseorang yang kelewat stres dan nyaris depresi ini. Selain bermalas-malasan, tugas setiap liburan semester adalah menjenguk Nenek di desa. Rutinitas yang tidak boleh terlupakan, sebab Mama selalu bilang, "Mumpung Nenek masih ada, kalau Nenek sudah engga ada, nanti menyesal engga pernah jenguk Nenek." Begitulah kalimat andalan Mama, senjata yang paling ampuh untuk mengusir anaknya dari rumah.
Aku, si Bujang Lapuk, begitu panggilan yang disematkan orang-orang di sekitarku, pergi mengajak salah satu sepupuku, Iwan. Sebab, status jomblo yang terus melekat dan tak pernah mau pergi ini, tidak mengizinkan aku untuk pergi mengunjungi nenek bersama seorang wanita yang menjadi kekasihku. Iya, aku memang tak laku-laku. Puas?
Seperti biasa, aku mengendarai motor untuk menempuh perjalanan dari Bogor ke Sukabumi. Terkadang, aku bergantian posisi dengan Iwan yang sejak tadi menumpang dan duduk manis di jok belakang, kala kedua tangan tak sanggup lagi memegangi setang. Perjalanan kurang lebih tiga jam, akan terasa kurang afdol jika tidak disertai badan pegal sebagai hidangan penutup saat perjalan.
Rumah Nenek terletak di pedalaman, jalur aspal yang berlubang sudah akrab menjadi kawan perjalanan, pemandangan pohon-pohon tinggi dan sawah di kanan kiri menjadi pajangan yang indah untuk sekadar cuci mata. Tidak lupa, silau cahaya matahari yang menyilaukan dan panas terik matahari juga setia menemani kami sepanjang perjalanan.
Rumah Nenek letaknya di tengah desa yang dikelilingi oleh hutan bambu. Sebelum sampai ke sana, kami harus melewati jalan kecil yang diapit dengan bambu-bambu tinggi yang berjajar seperti pagar yang menuntun jalan ke arah sebuah desa kecil. Terik matahari yang semula menyengat kulit dan membakar ubun-ubun, mulai diredam dedaunan pohon bambu, semilir angin sejuk membelai kulit, panas matahari tidak lagi seterik sebelumnya. Suara batu kerikil yang tergilas ban, terdengar lebih nyaring sebab keadaan jalanan yang sepi tanpa orang yang lewat.
"Punten," ucap Iwan yang tiba-tiba bergumam sendiri.
"Ngapain lo?" Pandanganku yang semula beredar menikmati pemandangan, teralihkan pada Iwan yang masih berhati-hati mengendarai motor di atas jalanan penuh kerikil.
"Numpang lewat sama penunggu sini."
"Ya elah, Nyet! Hari gini, masih percaya begituan?" aku menyergah. Ya iya lah, penunggu apaan? Peduli setan.
"Sompral banget lo kalau ngomong," protes Iwan.
"Heh, mereka itu cuma makhluk ghaib. Engga bisa ngapa-ngapain, paling cuma bisa menakut-nakuti doang!"
Iwan terdiam, entah karena dia tidak mau merespon ucapanku untuk menghindari perdebatan, atau dia diam karena takut "si penunggu" marah.
Perjalanan tetap berlanjut, kami berdua saling terdiam tak berucap. Suara knalpot mesin mengisi lengang hutan bambu yang lebat. Cahaya matahari kembali terasa menyilaukan pandangan mata saat kami keluar dari hutan bambu. Perjalanan yang semula sepi, kini semakin ramai dengan sapaan, setiap kali kami berpapasan dengan warga desa yang tak pernah lupa dengan wujud kami. Sapaan mereka yang ramah seolah rindu, mengalihkan perhatian kami.
Roda motor terus berputar membawa kami ke sebuah halaman rumah yang luas. Pohon-pohon cengkih yang besar menjulang tinggi bagai payung yang melindungi kepala kala terik kemarau. Tanah yang kering dan debu yang berterbangan setiap kali angin berembus adalah suasana yang sering dirindukan. Liburan semester kali ini, bertepatan dengan musim kemarau.
Nenek yang sedang duduk sambil mengunyah sepah di atas dipan yang terletak di teras, tersenyum melihat kedatangan kedua cucunya yang sudah semakin beranjak dewasa. Sambil mencangklong tas ransel, kami bersalaman secara bergantian.
"Aduh, cucu Nenek datang. Dari Bogor jam berapa?"
"Jam 12, Nek."
"Capek, ya? Sok atuh, gih pada mandi dulu."
"Nanti aja ah, Nek. Indra mah masih capek," ucapku sambil meletakkan tas ransel dan merebahkan tubuh di atas dipan, bersantai.
Nenek tak berkomentar, melihat aku yang rebah-rebahan beralas ransel gendut di punggung. "Oh ya sudah, sok atuh, Iwan dulu aja yang mandi."
"Iya, Nek," jawab Iwan, manut.
Tangan Nenek yang kurus menyentuh betisku, memijat kaki dari ujung sampai ke paha. "Cucu Nenek sudah gede begini. Gimana kuliahnya?"
Refleks tanganku menepis tangan Nenek yang memijat kaki, terkejut, sekaligus risih. Secara etika, rasanya seperti tidak sopan membiarkan orang tua memijati anaknya, apalagi di bagian kaki.
"Ih, jangan dipijitin gitu ah, Nek!" aku protes. "Iya, pokoknya kuliahnya gitu-gitu aja, Nek."
Nenek berhenti memijat kakiku. "Mana pacar kamu?"
Aku mendengus, dongkol.
"Jangan tanya pacar ah, Indra mah enggak punya pacar!" Aku bangkit dari aktivitas rebah-rebahan, lalu mencangklong tas dan beranjak dari dipan. "Indra mau tidur aja lah, Nenek mah tanyanya pucar pacar pucar pacar melulu!"
"Iya maaf atuh, Kasep." Nenek menyengir sambil melontarkan kosa kata andalannya jika cucu-cucunya kesal, geram atau badung. "Tapi mandi dulu, hei! Itu bajunya kotor, habis itu baru tidur."
Aku sudah masuk ke dalam rumah sebelum Nenek menyelesaikan kalimatnya. Dengan satu lambaian tangan, sudah cukup mengisyaratkan bahwa aku menolak, tidak mau mendengarkan, akan tetap tidur saat itu juga.
Aku meletakkan tas ransel di atas lantai setibanya di kamar, lalu tanpa keraguan melompat ke atas ranjang. Beberapa menit kemudian, aku terlelap.
***
Risih dan gatal, aku menggaruk lengan sambil memejamkan mata. Salahku juga, tadi sebelum tidur tidak membersihkan diri terlebih dahulu. Akan tetapi, saat ini pun aku belum mau bangun dari tidur yang menenangkan otot dan pikiran. Tubuhku berbalik, terlentang, masih terlarut dalam tidur yang nyenyak.
Beberapa saat, napas terasa lebih berat. Aku tersengal, dada dan perutku nyeri seperti ada benda berat yang menindih tubuhku. Lama kelamaan, napas makin menderu. Dengan mata yang masih terpejam, aku berusaha membalikkan tubuh untuk mengganti posisi tidur, siapa tahu sirkulasi udara menuju paru-paru akan lebih baik. Akan tetapi, aku tidak bisa melakukannya. Berat, tubuhku kaku dan lumpuh seketika.
Iwan!
Iwan!
Iwan!
Aku berteriak memanggil nama Iwan dalam hati. Tenggorokanku tercekat, tak bisa menyebut namanya lebih keras lagi.
Panik. Jangan-jangan ini saat-saat terakhirku. Apakah aku sedang meregang nyawa?
Aku membuka mata, ruangan remang. Lampu kamar belum dinyalakan, sepertinya hari sudah gelap—entah baru saja menyudahi petang atau sudah memasuki tengah malam. Hanya ada pendar cahaya lampu yang menyalip dari kisi-kisi pintu, membuat ruangan kamar tidak terlalu gelap gulita. Aku masih bisa melirik ke arah badan yang kaku, walaupun tubuhku tak bisa bergerak. Aku termangu saat sudut mata menangkap bayangan hitam dalam kegelapan. Seseorang duduk persis di sebelah tubuhku, seorang perempuan berambut panjang.
Nenek, tolong bantuin Indra, ucapku dalam hati.
Aku berusaha menggerakkan tangan untuk menepuk bahu atau lengannya, sekadar meminta bantuan untuk membangunkan aku yang tidak bisa bergerak. Jika saja tanganku bisa bergerak, mulutku bisa berucap, mungkin Nenek sudah menbantuku sedari tadi, tetapi hingga aku menyadari kehadirannya, tanganku tak kunjung bergerak juga. Sampai akhirnya, sosok perempuan di sampingku itu menoleh dengan sendirinya.
Mataku membeliak. Perutku mencelos, jantungku seolah pindah ke lambung. Seperti ada ledakan granat yang dahsyat di dalam tubuhku.
Bukan. Itu bukan Nenek.
Mataku terpaku menatap ke arah sosok itu. Bodohnya, mengapa aku harus menatap tepat ke arah kedua matanya yang hitam cekung di dalam balutan kegelapan. Tenggorokanku tercekat, tak bisa berteriak. Tubuhku kaku, tak bisa bergerak, apalagi lari. Jantungku berdegup kencang nyaris berhenti, pertama karena terkejut, selanjutnya karena rasa takut. Rasanya, seperti simulasi sakaratul maut.
Sosok itu hanya memandangiku, tidak mendekati atau menyakiti, tapi tubuhku rasanya dingin sekujur tubuh diguyur rasa takut setengah mati.
Iwan! Nenek!
Aku berteriak meminta tolong tetapi suara itu cuma bisa terdengar dalam benak sendiri. Tatapan mata sosok itu tajam, seperti pisau yang mampu menikam jantung hingga bisa membuatnya berhenti mendadak. Aku memejamkan mata dengan kuat, menghindari tatapannya sambil memendam rasa takut yang makin menjalar.
Beberapa saat memejamkan mata, aku merasakan sentuhan lembut—mirip seperti dengus napas atau belaian rambut halus yang membelai wajahku. Suaranya menderu seperti angin yang berembus. Aku makin memejamkan mata, berdoa dalam hati, berharap sosok itu segera pergi. Aku yang tak taat beragama, seketika mengingat Tuhan saat itu juga, bahkan berulang kali menyebut namaNya sambil merangkai doa.
Suara deru napas—suaranya seperti orang yang napasnya tersengal jadi kuanggap itu adalah suara embusan napas—yang terdengar di telingaku, perlahan menjauh dan menghilang. Jantungku yang seolah beku selama beberapa detik, tiba-tiba bergerak lagi setelah (kuanggap) sosok itu pergi.
Aku membuka mata perlahan, penasaran. Mata yang terbuka, disambut langit-langit yang kosong. Kepalaku terangkat, aku melirik ke tepi kasur yang barusan diduduki oleh sesosok perempuan yang mengerikan. Aku bangkit, duduk di atas kasur sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, pandanganku beredar memeriksa situasi dalam remang. Tanganku terulur jauh mencari stop kontak untuk menyalakan lampu. Cahaya terang benderang, menyilaukan mata, pupil mataku beradaptasi dengan cepat menerima cahayanya. Pandanganku beredar, kembali memastikan tak ada siapa pun di sana. Aku termenung sejenak, lalu menghela napas lega. Ternyata, cuma mimpi.
Aku berjalan keluar dari kamar. Sambil menoleh ke kanan dan kiri, aku mencari Iwan dan Nenek, sebab rumah terlihat sepi. Seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, aku telusuri, tak ada tanda-tanda kehadiran manusia di sana. Aku memanggil orang-orang yang kucari sambil mengitari seisi rumah, terus memanggil berulang kali walaupun tak kunjung disahuti.
"Iwan? Nek?"
Di bawah pohon cengkih, Iwan berdiri sambil meletakkan handphone pada telinganya. Ia berdiri menghadap ke arah jalan, sehingga aku hanya bisa mengenali punggungnya dari baju yang masih ia kenakan sejak tadi siang. Dia sedang menelepon dengan seseorang di ujung telepon. Pasti sedang melepas rindu dengan kekasihnya yang manja.
Dasar bucin, batinku setengah iri sambil beranjak pergi ke kamar mandi.
Sandal lengkap berjajar di rak yang terletak dekat pintu dapur, kamar mandi rumah Nenek memang terletak agak jauh dari bangunan utama, dekat sumur yang sudah tidak terpakai lagi, jaraknya dengan bangunan utama disekat oleh kebun cabai dan tomat, alasannya agar aroma masakan tidak bercampur bau kamar mandi. Menurutku, itu alasan yang konyol.
Aku bergegas menggantung handuk dan pakaian bersih, lalu mandi, tidak lupa sikat gigi, dan berdandan rapi. Kemudian, mengeringkan rambut yang basah kuyup karena guyuran air dengan handuk yang digantung tadi. Dingin. Aku tidak tahu, kalau mandi pada malam hari di desa akan sedingin ini.
Pakaian satu per satu aku kenakan, lalu aku berhenti sejenak saat mengambil kaus yang tergantung di belakang pintu. Rasanya seperti ada seseorang yang menyelinap dalam kamar mandi, sebab aku merasa risih seolah ada yang memperhatikan gerak-gerik aku sedari tadi. Aku menoleh perlahan, kemudian pandanganku beredar ke setiap sudut kamar mandi yang luasnya hampir setara luas kamar. Tidak ada apa pun, aku langsung mengenakan kaus dan keluar dari kamar mandi.
"Ya ampun, Indra!"
Aku terperangah, terkejut karena dua hal. Satu, saat aku baru saja menyadari kehadiran Nenek yang tiba-tiba berada di belakangku saat menutup akses ke dapur. Dua, saat Nenek berseru cenderung membentak.
"Kamu mandi pas maghrib begini?" omel Nenek, belum menurunkan intonasi suaranya.
"Iya, emang kenapa? Biasanya juga, Indra mah mandi jam segini."
"Pamali, hei! Jangan mandi maghrib maghrib!" ucap Nenek sambil meletakkan sebuah keresek hitam di atas meja makan.
"Lebay ah, Nenek mah. Pamali, pamali, pamalinya teh kenapa coba? Sok jelasin, biasanya juga enggak apa-apa," jawabku santai, berjalan ke ruang tengah sambil mengeringkan rambut yang setengah kering.
"Kamu ya, dikasih tahu teh malah gitu. Sok we, nanti kalau ada yang ganggu mah, kapok!" omel Nenek, terdengar sampai ke ruang tengah.
Aku melirik Iwan yang baru masuk ke dalam rumah dan menyambutnya, "Eh, si Bucin. Sudah kelar pacarannya?"
"Pacaran apaan?" tanya Iwan datar lalu meletakkan kunci motor di atas meja.
"Barusan, lo telponan sama pacar lo, kan?" Aku masih menggodanya.
"Apaan sih, orang gue habis antar Nenek ke rumah Uwak."
"Yang bener aja, terus tadi yang teleponan di bawah pohon itu siapa? Jurig?" Aku tak percaya dengan alibinya, menyikut pinggangnya pelan.
"Mana gue tahu," jawab Iwan datar lalu melewatiku.
Aku menatap punggung Iwan saat ia berjalan ke dapur. Seperti ada yang aneh, aku berpikir sejenak. Beberapa saat memikirkannya, malah membuatku bingung. Aku mengangkat bahu tak peduli.
***
"Wan, lo masih bangun?" Iwan tak menjawab, dia tidur menghadap dinding. Aku tak tahu pasti dia sudah terlelap atau belum, aku kembali memanggilnya lebih tegas untuk memastikan. "Wan?"
"Hm?"
"Wan," aku masih memanggilnya tanpa menyampaikan maksudku setelah memanggil namanya.
"Apaan sih, Ndra? Gue baru mau tidur, lo ganggu mulu," protes Iwan sambil menoleh, tubuhnya berbalik.
Aku melihat wajahnya samar yang hanya tersorot pendar cahaya dari kisi-kisi pintu, tersirat kekesalan di wajahnya.
"Beneran, lo tadi enggak teleponan di bawah pohon?"
"Apaan dah, telepan telepon melulu pembahasan lo dari tadi," jawabnya ketus. Ia kembali menghadap dinding.
"Soalnya tadi pas maghrib gue lihat lo di bawah pohon cengkih, lagi teleponan."
Iwan mendengus. "Setan kali," celetuk Iwan sembarangan.
"Setan, setan! Setan, kepala lo pitak!" aku menyergah.
Lagi-lagi pembahasan si Iwan tentang setan. Aku terus mengelak pembahasan itu. Padahal, aslinya, aku memang kepikiran.
"Berisik lo, gue mau tidur."
Senyap. Sesekali aku melirik punggung Iwan, berharap ucapannya hanya main-main saja, tapi kenyataannya, Iwan benar-benar sudah terlelap. Aku memandang lurus ke atas langit-langit yang gelap.
Udara malam di desa pada musim kemarau terasa begitu dingin sampai menusuk tulang. Aku berjalan menelusuri kebun belakang, sekalian menatap cakrawala menyaksikan gemerlap konstelasi bintang. Daun-daun kering di tanah menggerisik dalam senyap setiap kali aku mengambil langkah. Sumur tua yang sudah tidak terpakai dan terbengkalai berada di ujung sana. Lubang sumur itu tidak tertutup, membuat penasaran apakah sumur itu masih berisi sumber air atau sudah benar-benar tak berguna.
Beberapa langkah aku ambil, aku sudah berdiri di tepi sumur. Sebelum mengintip ke lubang sumur, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa situasi. Entah apa yang aku periksa, padahal aku tidak sedang merencanakan kejahatan.
Aku mengintip ke dalam sumur itu, masih tergenang air di dalamnya. Timba diturunkan, aku mengulur tali timba karena terlalu penasaran, sebanyak apa air di dalam sana sehingga sumurnya tak lagi digunakan. Aku terus mengulur tali sampai timba menyentuh permukaan air. Air sudah terciduk, siap ditarik kembali. Dengan mengerahkan seluruh tenaga ke lengan, aku menarik timba yang penuh dengan air.
Mengapa sumur ini harus ditutup kalau masih bisa digunakan? Aku membatin sambil menarik timba yang semakin lama, semakin berat—mungkin karena berlawanan dengan arah gravitasi bumi. Katrol yang berkarat pun berdecit menahan dua beban di kedua sisi, aku seolah sedang berpartisipasi lomba tarik tambang melawan gravitasi bumi. Tidak kuat menahannya lagi, aku berhenti menimba. Sambil menahan tali timba, aku mengintip ke lubang sumur. Seberapa besar beban yang aku angkat, sampai pemuda yang masih perkasa pun tak bisa menimba air dari sumur. Pantas saja Nenek menutup sumur itu. Sebab, Nenek sudah tua dan bisa saja mencederai punggungnya hanya karena menimba seember air yang begitu berat beban massanya.
Permukaan air meriak, gemercik air menggema sepanjang dalamnya sumur. Tidak terlalu jelas apa yang ada di dalam sana, tapi yang jelas ada sesuatu bergerak keluar dari dalam air. Bentuknya seperti laba-laba, ia merangkak dari dalam sana dengan cepat. Namun, ini bukan laba-laba biasa, ini beribu-ribu kali lebih besar daripada tarantula, besarnya setara manusia.
Sosok itu merayap dengan sangat cepat, memanjat galian sumur. Kuku-kukunya tajam, mencengkeram erat dinding sumur yang berlumut. Aku berdiri kaku memperhatikan sosok itu merayap ke arahku. Tanganku melepas genggaman tali timba, membuat ember berisi penuh dengan air jatuh lagi ke permukaan. Suara gemerciknya nyaring menggema sampai ke bibir sumur. Napasku tersengal, takut dan ingin kabur. Akan tetapi, kaki terlalu kaku untuk bergerak.
Sosok itu makin mendekat, ia merayap makin cepat sampai tiba di bibir sumur. Kemudian, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahku, dengan sigap menerkam tubuhku. Dorongannya sangat kuat, membuatku terpelanting jauh dari bibir sumur dan tersungkur di tanah. Sosok itu menindih tubuhku sehingga aku tak bisa melarikan diri. Tangannya mengayun brutal, dengan kukunya yang tajam ia berusaha mencabik wajahku yang berusaha aku lindungi dengan lengan.
"Iwan! Nenek! Tolong!" Aku berteriak sekencang yang aku bisa sampai tenggorokanku kering dan sakit dibuatnya. Kalau sampai tetangga mendengar, itu jauh lebih bagus.
Sosok itu terus mengayunkan cakarnya seperti seekor harimau yang sedang mencabik mangsa. Aku terus berteriak, meminta tolong sekeras mungkin pada siapa pun yang mungkin mendengarnya.
Serangan itu seketika berhenti, tapi tetap saja, sama sekali tidak menenangkanku yang sudah basah kuyup bermandikan peluh rasa takut. Sebab, tangannya yang semula berayun sembarangan arah, kini mencengkeram pergelangan tanganku. Napasku tersengal, tenggorokanku kering, jantungku seperti berhenti sesaat. Bola mataku bergerak perlahan, melirik ke arah tangan yang melingkar dengan kuat yang mencengkeram pergelangan tanganku. Wajah sosok itu bisa aku lihat dengan jelas, begitu dekat dan amat lekat terpampang di depan mata, ia menyeringai seram. Aku teriak sekencang-kencangnya.
Aku membuka mata. Mataku melotot dan pandangan mengedar ke seluruh sudut ruangan. Dadaku naik turun dengan cepat, napasku tersengal, dan keringat mengalir dari pelipisku. Pergelangan tanganku dicengkeram oleh Iwan, ia menatapku bingung.
"Heboh banget tidur lo," komentar Iwan seraya melepaskan pergelangan tanganku.
Aku masih mengatur napas dengan posisi duduk. Mimpi buruk lagi. Aku meremas rambutku yang basah karena peluh. Kaus yang kupakai juga basah karena mengeluarkan keringat.
"Kenapa sih lo? Ngigau sampai segitunya."
Aku menelan ludah, rongga mulutku terasa kering. Aku memandang Iwan lamat-lamat sambil menghela napas. Aku menceritakan mimpi yang aku alami di hari sebelumnya. Mimpi yang begitu terasa nyata, bahkan membuat diriku trauma.
"Ini pasti gara-gara lo ngomong sompral di hutan, kan?" tuduh Iwan sebelum aku menyelesaikan kalimat penutup cerita.
Aku mengernyitkan alis, lalu mengangkat bahu. "Hidup lo mistis mulu, Wan."
Aku melewati Iwan, menubruknya bahunya dengan bahuku saat keluar kamar.
Aku meraup air, membasuh wajahku. Butiran air yang tersisa mengalir di wajahku. Tetesan air terjun bebas dari daguku, menghantam genangan air yang menciptakan suara gemercik. Aku memandang pantulan bayangan wajahku pada permukaan air yang beriak. Sekelebat bayangan mimpi yang kualami kemarin, kembali menari-nari di bayanganku.
Dua kali aku bertemu dengan sosok wanita yang sama. Siapa dia? Mengapa bentuknya begitu menyeramkan?
Aku menggoyangkan tanganku, memercik sisa air yang masih membasahi telapak tanganku. Aku menggelengkan kepalaku dan melupakan mimpi itu, lalu keluar dari kamar mandi.
***
Seharian kami menghabiskan waktu di sawah, menemani Nenek untuk memantau pekerja tani yang menggiling padi dan gabah. Pukul 05.00 sore, kami baru menginjakkan kaki di rumah. Aku merebahkan tubuhku di atas dipan, memandang langit-langit teras.
"Indra, Iwan, langsung mandi! Bersih-bersih, badan pada kotor semua." Seperti biasanya, omelan Nenek tentang kebersihan selalu menggema di telinga, terutama setelah menerjang lumpur atau tanah di sawah.
"Wan, lo duluan!"
Iwan, anak yang penurut, yang bahkan bisa menuruti perintah sepupunya ini karena kelewat manut, langsung bergegas mengambil handuk dan membersihkan diri. Sambil menunggu, aku mengeluarkan handphone, memainkan permainan online yang beberapa hari ini belum aku mainkan.
Iwan kembali, lalu menyabetkan handuk ke tubuhku. "Sana lo, mandi!"
Aku yang masih asik dengan permainanku, melambaikan tanganku menyuruhnya pergi. "Bentar, bentar!"
"Diomelin Nenek lo, Ndra, mandi maghrib lagi."
Aku tak menggubris ucapannya. Mataku masih fokus pada layar handphone dan kedua tanganku sibuk mengontrol permainan pada layar. Selain penurut, Iwan orang yang tidak suka berdebat dan mudah menyerah. Jadi, ia pergi meninggalkan aku yang masih asik bermain sendirian.
Tak terasa, aku sudah main beberapa putaran hingga semburat jingga yang semula menyala di kaki langit pada ufuk barat sudah tergantikan dengan warna biru keunguan cakrawala.
"Ya ampun, Indra, belum mandi juga?" Omelan Nenek kembali memekak telinga. Mukena putih yang masih Nenek kenakan saat Nenek menyalakan lampu teras, membuat aku agak terkejut. Nenek menyabetku dengan sajadah di tangannya. "Mandi malam lagi kamu, hah?"
Aku sudah menyulut emosi Nenek. Daripada aku terkena omelan yang bertubi-tubi, lebih baik aku mengalah saja untuk pergi mandi saat itu juga.
Handuk aku sampirkan pada bahu. Aku terperanjat melihat seseorang berdiri di kebun belakang saat membuka pintu dapur. Ia berdiri membelakangiku sambil meletakkan handphone pada telinganya.
Iwan, bukan? Atau sosok yang menyerupai Iwan?
Aku tidak bergerak, masih termangu memperhatikan gerak-geriknya. Ia menoleh ke arahku yang masih mematung di ambang pintu.
"Ngapain lo di situ?" tanyanya tanpa menurunkan handphone yang ia letakkan pada telinganya. Obrolannya dengan seseorang di ujung telepon belum berakhir.
Oh, Iwan sungguhan. Aku menghela napas lega lalu berlenggang ke arah kamar mandi melintasi kebun belakang sambil bersiul.
Aku mandi seperti biasa, membersihkan badanku dari debu-debu yang melekat di tubuh. Aku membersihkan wajah, mengusapkan busa-busa berlimpah pada seluruh bagian wajah. Mataku terpejam sebab akan perih jika sabunnya masuk ke mata. Aku menggosok wajah sambil bersiul santai menikmati usapan busa lembut di wajah.
Sekelebat bayangan melintas pada pikiranku, seolah ada sesosok wajah yang terpampang di depan wajahku. Entah mengapa aku tiba-tiba membayangkan hal itu. Aku berhenti menggosok wajah, tanganku dengan sigap meraba-raba gayung yang berisi air, membilas wajah yang berbusa. Aku membuka satu mata, sial, perih sekali saat sisa sabun mengalir bersama air melewati mataku. Dengan cepat, aku mengusap sisa busa dan membasuhnya. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, menyapu kamar mandi yang hanya diterangi oleh cahaya lampu bohlam kuning yang redup.
Bayangan gila, menakut-nakuti saja, padahal tidak ada apa-apa.
Setelah menuntaskan aktivitas, aku berbalik hendak mengambil pakaian dan handuk. Sial, aku lupa membawa pakaian ganti. Aku mengeringkan tubuhku dengan handuk dari ujung kaki ke ujung kepala.
Suara gemericik air, menghentikanku saat aku melilit handuk di pinggangku. Aku menahan napas membuat kamar mandi senyap agar tidak terganggu deru napasku sendiri, berusaha memastikan apa yang baru saja kudengar. Suara seperti air bak mandi yang beriak diaduk dengan ciduk terdengar mengisi senyap. Aku menoleh cepat, lalu mengernyitkan alis saat kudapati permukaan air yang tenang dan gayung masih dalam posisi semula. Lalu dari mana asal suara air yang aku dengar? Aku kembali berbalik, tak peduli, mengikat handuk di pinggangku agar melilit dengan kuat.
Geli, sesuatu membelai tengkuk, membuat aku bergidik. Aku mengusap tengkuk, menyambar sesuatu yang menggelitik, entah serangga atau apa pun itu. Mataku terbelalak saat melirik jariku yang menarik sesuatu dari tengkuk. Aku menelan ludah dengan gugup. Entah rambut milik siapa yang bertengger di bahuku, panjang menjuntai dari tengkuk sampai ke pinggang. Jelas, itu bukan rambutku.
Belum tuntas rasa penasaran atas rambut misterius itu, tetesan air yang menetes dari atap mengalihkan perhatianku. Tetesannya jatuh membasahi hidungku. Aku mengusap hidungku dengan jari, jariku berwarna merah setelah mengusapnya. Aku mengangkat wajahku perlahan, takut tapi penasaran. Jantungku nyaris berhenti seketika saat mengetahui dari mana tetesan darah itu berasal. Kakiku gemetar, begitu juga tanganku yang tremor ketika berusaha membuka selot. Kali ini aku harus kabur, sebab aku yakin ini bukan lagi mimpi.
Aku mendorong pintu tetapi pintu tak juga terbuka, seperti terkunci dari luar. Berulang kali aku mendobraknya dengan bahu, pintu tak kunjung terbuka. Aku menggebrak pintu dari dalam sambil memanggil Iwan yang beberapa saat lalu masih berada di kebun, menelepon seseorang di ujung telepon.
"Iwan! Iwan! Buka pintunya, Wan!"
Leherku tiba-tiba terlilit rambut panjang yang tersampir di bahuku hingga mencekikku. Aku gelagapan berusaha melepas lilitannya. Telapak kakiku terangkat, menyisakan tumit yang menapak pada tanah. Tubuhku miring hampir 45 derajat ke belakang, diseret rambut itu ke arah bak mandi di ujung ruangan dengan paksa. Aku hampir kehabisan napas. Punggungku membentur tepian bak mandi yang terbuat dari semen, pinggang bagian belakangku ngilu saat tergores permukaan semen pada ujung sisi bak mandi yang tajam karena tak rata. Kakiku terangkat, aku mengapung di udara karena lilitan rambut yang menarik leherku ke atas.
"I... Wan!" Aku mengulurkan satu tangan, berusaha meraih gagang pintu dari kejauhan sambil terbata-bata menyebut nama Iwan.
Lilitan rambut di leherku terlepas seketika, menjatuhkan tubuhku ke tanah hingga tersungkur. Aku mendarat dengan kedua lutut, terbatuk-batuk saat tenggorokanku tak lagi terlilit dengan kuat. Sadar bahwa aku harus melarikan diri, aku langsung bangkit dan mengabaikan rasa sakit yang menjalar pada seluruh tubuhku. Belum sempat meraih gagang pintu, suara gemericik air dan tawa menggema di langit-langit kamar mandi. Permukaan air pada bak mandi kini beriak hebat, membuat gayung yang bertengger di tepi bak mandi jatuh ke lantai.
Jari-jari terbit dari permukaan air, membuat kakiku gemetar. Aku tersengal, napasku tak beraturan dilanda ketakutan. Jari-jari itu berkuku tajam, makin jelas terlihat saat mencengkeram dinding bak mandi, persis seperti ia mencengkeram dinding sumur dalam mimpiku tadi malam. Aku bangkit, berlari tunggang-langgang ke arah pintu. Aku mendorong pintu dengan satu kali dobrakan, membuatku terjerembab ke tanah dengan handuk yang masih melilit pinggangku. Dengan cepat aku bangkit dan lari terbirit-birit sambil berteriak ke dalam rumah.
***
"Ada apa, Ndra?" Iwan turut panik saat ia menyusul beberapa waktu setelah aku duduk sambil ngos-ngosan di atas kasur.
"Kenapa lo enggak bukain pintunya?" bentakku dengan emosi yang masih tidak stabil.
"Eh?"
Aku mendorong bahu Iwan, membuat dia tersudut. "Gue teriak-teriak di dalam sana, hampir mati. Bajingan lo!"
"Maksud lo apa?" Iwan masih tak paham.
"Gue panggil-panggil lo ya, Bangsat. Masih banyak tanya!"
"Gue gak dengar apa-apa, Ndra! Gue berani sumpah!"
Aku meliriknya, menilik wajahnya. Napasku masih tersengal seperti banteng yang mengamuk saat mengolah emosi yang membuncah.
"Gue juga bingung, kenapa lo lari sampai terbirit-birit gitu waktu keluar kamar mandi."
Aku mengusap wajahku, lalu meremas rambutku. Pasti cuma halusinasi. Aku tak ingin menceritakannya, bisa-bisa dianggap gila. "Enggak apa-apa, kayaknya gue halusinasi lagi."
Aku berusaha melupakannya. Aku merogoh tas ranselku, mengambil kaus yang terlipat di dalam sana.
"Ndra," panggil Iwan.
"Hm?" Aku menyahuti tanpa mengalihkan pandanganku saat sibuk mengeluarkan pakaian dari dalam ransel.
"Punggung lo memar," ucap Indra terdengar khawatir.
Aku menoleh ke arahnya, menatapnya bingung. Aku melirik ke arah punggungku tetapi tak terlihat begitu jelas. Aku berjalan ke depan lemari yang terdapat cermin besar pada pintunya, berdiri membelakangi cermin, dan memperhatikan pantulan bayangan pada cermin. Lebam kebiruan dan lecet berwarna kemerahan membekas pada punggungku. Aku merabanya, terasa amat perih dan ngilu.
Sebenarnya, yang aku alami ini, hanya sekadar halusinasi atau teror gila dari gadis bak mandi?
***
Ditulis oleh:
Michiko
Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar