Tampilkan postingan dengan label adventure. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label adventure. Tampilkan semua postingan

1 Oktober 2021

Porsi Rezeki Abang Ojol

5:37 PM 2 Comments


Hari Selasa di bulan September, aku mengalami sebuah kejadian yang membuka mataku dan memberikan pelajaran yang berharga bagiku. Satu hal yang aku pelajari:

Rezeki setiap orang ada porsinya masing-masing dan gak akan lari ke mana pun.


Hal ini aku alami saat aku pergi ke Bandung untuk tes CPNS pada hari Senin dan Selasa. Pada hari Senin di malam hari, aku memesan makanan di aplikasi online dengan total 41 ribu. Saat itu, uangku genap 50 ribu dan aku gak punya uang receh untuk menggenapkan uang kembalian. Turunlah aku dari kamarku di lantai tiga dengan membawa uang 50 ribu di kantongku. Saat aku bayar ke abangnya, ternyata beliau gak ada uang sembilan ribu justru beliau cuma ada sepuluh ribu. Aku sendiri gak bawa seribu buat menggenapkan uang kembalian itu karena dompetku ketinggalan di kamar. Akhirnya, abangnya mengikhlaskan seribu itu dan memberikan kembalian sepuluh ribu. Aku banyak berterima kasih ke abangnya, mungkin ini rezekiku. Semoga rezeki abangnya dilancarkan selalu. 


Keesokan paginya, aku pesan bubur ayam di aplikasi online yang sama dengan total yang aku habiskan saat itu adalah 35 ribu. Sama seperti malam sebelumnya, aku bawa uang 50 ribu. Waktu aku bayar ke abangnya, ternyata abangnya cuma ada uang 14 ribu, yang berarti kembaliannya kurang seribu. Akhirnya, aku ikhlaskan aja kembalian seribu itu buat abangnya. Semoga abang ojol yang ini juga rezekinya dilancarkan selalu.


Saat aku kembali ke kamar, aku baru sadar. Ternyata, uang yang diikhlaskan oleh abang ojol semalam adalah rezeki abang ojol pagi itu dan aku hadir sebagai perantara. Aku jadi paham, ternyata rezeki orang itu ada porsinya masing-masing. 

Kalau rezeki itu untukmu, ia akan jadi milikmu. Kalau rezeki itu bukan untukmu, ia bukan milikmu. 


Lantas, kenapa kita harus khawatir akan hidup dalam kekurangan kalau ternyata manusia sudah punya porsi rezekinya masing-masing? 


Tugas kita sebagai manusia bukan menentukan siapa yang berhak menerima rezeki lebih banyak dari yang lain, tapi tugas kita adalah menjemput rezeki yang sudah ditetapkan untuk kita. 


Sekian tulisan untuk hari ini. 

Have a nice day,



Michiko ♡


Pictures source: Visual stories || Michelle on Unsplash

9 Juli 2021

Sambutan Fajar dalam Keputusasaan

11:09 PM 0 Comments
[CERPEN FIKSI] 

Sore itu, langit menyemburatkan cahaya jingga yang terang. Mesin berderu dan roda besi terus berputar menyongsong ke arah barat daya sebuah gunung tertinggi di negeri ini. Matahari senja mengikutiku sepanjang perjalanan itu. Seri menyelimuti wajahku bak topeng yang sangat damai dan menenangkan. Sudah kupikirkan hal ini beberapa saat di dalam kesunyianku, namun keadaan tak cukup sunyi untuk mengambil keputusan itu.

Sepanjang perjalanan singkat itu, mendung terbit meriak pada air mukanya saat kusebut tujuan terakhirku kepada seorang wanita tua yang tengah duduk di sampingku. 

"Kau benar-benar akan pergi ke sana?" tanya ia dengan wajah yang tampak cemas.

"Tak apa, aku hanya mengunjungi kawanku," ucapku menutup percakapan itu dengan senyum yang damai. Aku sudah mempersiapkan alasan itu. Sedetik berlalu, gemuruh guntur yang hampir menurunkan hujan lebat dari pelupuk matanya terseka oleh satu helaan napas dalam. Namun, keadaan itu tak pernah mengubah niatku kala itu.

Satu pesan yang ia bisikkan kepadaku sebelum aku turun di titik perhentianku, "Berhati-hatilah dengan roh jahat."

Kakiku menapak di atas tanah yang keras setelah beberapa langkah kaki membawaku pergi dari tempat perhentianku. Dengan sebuah tas ransel di punggungku, aku melangkah masuk ke dalamnya sembari membawa tekad yang terkumpul di dalam dada. Aku berjalan perlahan menyongsong jurang kekosongan. Sebuah peringatan abai untuk kuperhatikan.

"Anugerah?" Aku tertawa kecut. Bahkan di dalam hidupku, tak pernah aku menemukannya. Omong kosong yang tak berarti.

Lautan pepohonan ini meredam semua kebisingan, termasuk kebisingan yang selalu terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Matahari yang sejak tadi mengikutiku, mulai meredup disaring dedaunan. Membawaku terkungkung di dalam sebuah kesunyian dan kegelapan.

Kerasnya tanah yang kupijak sekeras tekadku hari itu. Tingginya pepohonan menghalangiku untuk kembali. Lubang-lubang besar di tanah ini terlihat persis seperti masalah-masalah yang selalu mengiringi langkah kehidupanku. Saat ini, lubang-lubang itu adalah rintangan dalam perjalanan terakhirku. Kesiur angin meniupkan beban-beban di bahuku. 

Sepanjang perjalanan, aku menemukan mereka yang mendahuluiku. Sekali sempat aku bertegur sapa dengan salah satu di antara mereka. Aku merasakan lelahnya perjuangan mereka untuk tiba pada titik ini.

"Kau pasti sangat lelah, semoga perjalananmu menyenangkan," tegurku pada salah satu di antara orang-orang yang aku temui. Aku tidak ragu sedikit pun untuk menegurnya. Meskipun aku tidak mengenalnya sama sekali tetapi aku tahu persis bagaimana rasa lelah yang mereka rasakan.

Lantas, aku kembali melanjutkan langkahku. Menelusuri rute terlarang hingga aku menemukan sebuah pohon besar dan permukaan tanah yang rata. Tempat yang sangat strategis untuk bermalam. Duduk di bawah pohon besar, cukuplah menjadi sandaran lelahku seperti tertidur di pangkuan ibunda. 

Sepotong ingatan kehangatan sang ibunda terlintas sejenak saat aku memejamkan mata. Sepersekian detik kemudian, potongan itu berganti dengan celaan dan hinaan. Aku segera mengalihkan pikiranku dari hal menyakitkan itu. Sepotong kenangan masa kecil yang indah kembali terlintas sejenak, namun tak lama kemudian teriakan kasar dan cacian yang memekakkan telinga mulai mencabik ingatanku. 

Matahari semakin meredup ditelan malam. Hari mulai gelap, aku bahkan tidak bisa melihat apa pun di sekelilingku. Aku juga tak bisa menemukan jalan pulang. Lautan pepohonan ini benar-benar senyap. Tak ada kor jangkrik yang bernyanyi dan menyapa. Tak ada pula monyet-monyet yang bersahutan memanggil sesamanya dari satu pohon ke pohon lainnya. Benar-benar tempat yang sangat tenang. Tempat ini sangat menjanjikan untuk dijadikan tempat peristirahatan yang penuh dengan kedamaian. Aku bisa beristirahat dengan damai di sini.

Dinginnya angin berbisik membelai bulu kudukku. Aku merapatkan jaket yang melekat di tubuhku. Sedikitnya, ia memberi kehangatan saat perasaanku justru membeku. Bisikan dari kepalaku mulai menjalari pikiranku. 

Aku manusia gagal. Aku tidak bisa memenuhi keinginan orang-orang terdekatku. Aku lahir membawa kekecewaan. Tak pernah sekalipun mereka bangga kepadaku. Aku adalah kesialan yang dilahirkan tanpa kesengajaan. Selama ini aku hanya membawa kesulitan dan masalah di dalam keluargaku. Tak sedikitpun kebahagiaan kuberikan kepada mereka yang membawaku ke dunia ini. Aku bukan anugerah. Aku adalah sebuah kutukan. 

Kedua tanganku memeluk ransel yang ada di pangkuanku lebih erat. Tanpa sadar, bulir air menyembul di ujung netra dan jatuh membentuk parit kecil di pipiku. Dada terasa sesak hingga tenggorokanku terbakar. Ujung jari-jariku membeku dalam bentuk kepalan tangan. Teriakan itu hanya bisa kuredam. Sekali pun aku meneriakkannya, tak akan ada yang bisa memahami rasa sakitnya.

Entah berapa menit sudah berlalu, entah berapa jam terlewati. Sudahkah lewat tengah malam atau masih sekitar pukul sepuluh malam, aku tidak yakin. Namun, yang paling jelas aku rasakan adalah udara semakin dingin hingga menyelinap ke dalam pakaianku dan menusukkan jarum-jarum beku ke tulang-tulang tubuhku. 

Pikiranku terlalu sibuk mempertimbangkan keadaan. Carut-marut di dalam benakku membawa kegelisahan. Rasa jijik dengan kehadiran diriku sendiri semakin menyelimutiku. Hingga sebuah bisikan berkelebat di telingaku. 

"Kau ingin bergabung dalam kedamaian?" 

Suara itu terasa dekat, berbisik tepat di telinga. Namun, aku tak yakin dengan wujudnya. Suara itu terus terngiang di telingaku seperti alunan musik yang menggoda. Berulang kali bisikan itu terdengar di telingaku. Rasa penasaranku mendorongku untuk membuka mata. Lantas kudapati seorang wanita berpakaian kain putih dengan rambut panjangnya tersenyum di hadapanku sambil berkata, "Kau mau bergabung bersama kami?"

Aku tak bisa berucap sedikit pun. Lidahku benar-benar kelu saat mendapati kehadirannya. Roh yang berkeliaran di hutan ini benar-benar ada. Padahal, kisahnya hanyalah sebuah kisah turun temurun yang masih dianggap mitos belaka. 

"Tempat ini menjanjikan kedamaian untukmu. Tak ada lagi rasa sakit, hanya ketenangan jiwa yang akan kau bawa."

Bisikan itu menggetarkan jiwaku. Sekian detik aku bergeming, lalu hatiku menyetujuinya. Kekalutan yang sejak tadi tak kunjung berakhir membalut perasaanku, mulai menemukan titik terangnya. Simpul tali kekacauan yang kusut perlahan menemukan cara untuk melepas ikatan kusutnya. 

"Jika kau ingin bergabung, kami akan menunggumu."

Sosok itu pergi dan menghilang di balik batang pohon yang berjajar rapat. Langit yang semula dikungkung kegelapan mulai bersambut fajar. Semburat jingga menerangi langit yang memberi sedikit penerangan untuk penglihatanku. Fajar menyambutku dalam keputusasaan. Aku telah mengambil keputusan itu.

Lembayung fajar yang bersemburat di cakrawala dengan indah memanjakan mataku. Kesunyian sungguh membawa kedamaian hingga merasuk ke dalam jiwa. Sunyi. Senyap. Tenang. Tak pernah aku rasakan ketenangan semacam ini sebelum aku datang ke sini. Suara alam dan angin yang berkesiur bersahutan merdu membelai telingaku. Cahaya matahari malu-malu mengintip dari dedaunan yang rimbun. Setidaknya, jika aku tak pernah menemukan keindahan di dalam kehidupanku, pemandangan ini adalah hal terindah yang pernah kulihat di akhir hayatku. Maafkan aku dan terima kasih banyak.

Angin memeluk tubuhku. Aliran napasku tersendat. Air mataku menetes begitu derasnya. Pohon ini mendekapku untuk beristirahat di dalam pangkuannya. 

Aku berharap bisa melindungi mereka yang kutinggalkan. Setidaknya, kehadiranku di sini akan menjadi berkat bagi mereka yang masih menjalani kehidupannya. Aku tidak sendirian di sini. Mereka menantiku di depan gerbang, menyambutku dengan senyuman. 

Wahai keluarga baruku, terimalah aku sebagai bagian dari kehidupanmu yang baru.

***

Baca juga cerita pendek lainnya di sini

Ilustrasi: Hutan Aokigahara

Ditulis oleh Michiko

Picture by Akira.t on Pixta

6 Mei 2021

Belajar Tentang Keserakahan dari Buku Aroma Karsa Karya Dee Lestari

6:09 PM 0 Comments
Buku merupakan jendela dunia bagi semua orang. Dengan membaca buku, kita bisa mendapatkan manfaat untuk membuka mata dan pikiran terkait fenomena yang terjadi di dalam hidup. Buku jenis apa pun itu, baik fiksi maupun non-fiksi, tentu akan membuka pikiran kita tentang dunia dan mendorong kita untuk melihat dunia dari berbagai sudut pandang.

Kali ini, sudut pandang kehidupanku kembali terbuka setelah membaca buku novel fiksi karya Dee Lestari yang berjudul Aroma Karsa. Setelah berbagai pelajaran hidup aku dapatkan dari dalam buku ini, aku pun tergugah untuk mencatatnya dan mengabadikannya sekaligus membaginya dengan kamu dalam bentuk review novel Aroma Karsa.

Sebelum aku memaparkan pengalamanku dalam membaca buku ini, ayo kenali terlebih dahulu identitas buku yang telah aku baca kali ini.

Identitas Buku

Ulasan Novel Aroma Karsa Karya Dee Lestari
  • Judul: Aroma Karsa
  • Penulis: Dee Lestari
  • Tahun: 2018
  • Penerbit: Bentang Pustaka
  • ISBN: 978-602-291-463
  • Jumlah halaman: 710 hlm
  • Bahasa: Bahasa Indonesia
  • Genre: Fiksi, Romansa, Misteri, Fantasi, Petualangan, Sejarah
  • Harga: Rp. 125.000 (Pulau Jawa)

Sinopsis Aroma Karsa

Raras Prayagung, seorang presiden direktur sebuah perusahaan parfum, mendapatkan mandat dari neneknya untuk mencari Puspa Karsa. Puspa Karsa dipercaya sebagai sebuah bunga yang dapat mengubah dunia dan hanya menunjukkan diri pada orang-orang pilihan melalui aroma.

Raras Prayagung menduga aroma Puspa Karsa dapat dicium oleh anak perempuannya, Tanaya Suma, yang punya kemampuan indera penciuman yang tajam. Akan tetapi, Suma terlalu sensitif dengan bebauan sehingga Raras Prayagung harus menunda ekspedisi pencarian Puspa Karsa sampai anaknya siap mempersiapkan indera penciumannya.   

Kemudian, Raras Prayagung bertemu dengan Jati Wesi yang memiliki kemampuan penciuman yang serupa dengan anaknya. Raras Prayagung meyakini bahwa Jati Wesi dapat mencium aroma Puspa Karsa karena ia dapat membaui berbagai jenis aroma dan bertahan di segala situasi, baik aroma nikmat atau busuk sekali pun karena ia berasal dari Bantar Gebang. 

Dengan ambisi yang kuat, Raras Prayagung mulai merekrut orang-orang untuk melakukan ekspedisi pencarian Puspa Karsa, bunga yang dapat mengubah tatanan kehidupan dunia.

Kesan Pertama pada Buku Aroma Karsa

Waktu pertama kali aku melihat buku ini di etalase Gramedia, aku langsung jatuh hati saat melihat sampulnya. Fun fact, aku membeli buku ini waktu sedang mengantre di depan kasir sambil melihat-lihat sampul buku, aku pun terpikat dengan sebuah buku yang berjudul Aroma Karsa. Aku sampai rela menukar buku yang mau aku beli dengan buku tebal bersampul akar-akaran dan serangga ini. Seolah buku ini bagai bunga yang menarik serangga (aku) untuk membeli buku itu.

Saat aku pegang buku itu, tebal banget dan berat. Awalnya tuh kaget, wow novel ini tebal banget ya? Aku sempat ragu, apalagi aku orang yang nggak begitu suka membaca alias gampang bosan. Akan tetapi, begitu aku membaca blurp di belakang bukunya, aku langsung memutuskan untuk mengambil buku ini. Sebab, aku punya ketertarikan terhadap buku-buku misteri atau fantasi. 

Pertama kali dibuka, bukunya menguarkan aroma yang khas, aromanya agak beda lah dengan aroma novel-novelku yang sebelumnya. Seolah aroma bukunya saja sudah bisa mengantarkan tema buku pada kesan pertama.

Gaya Bahasa yang Menyihir Pembaca

Gaya bahasa yang dipakai Dee Lestari itu benar-benar puitis dan rinci banget dalam mendeskripsikan suasana. Racikan kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, mengalir tanpa hambatan dan nggak disadari aku sudah baca beberapa bab dari buku itu. Gaya bahasanya itu sangat memikat dan membuat aku sebagai pembaca tersihir dengan pembawaan Dee Lestari dalam bercerita.

Cuman, sebagai seorang pembaca buku pemula, aku merasa bahasa yang digunakan oleh Dee Lestari itu berat. Banyak banget kata-kata arkais dan majas di dalam buku ini, kosa kataku nggak sebanyak itu untuk memahami buku ini tanpa bantuan KBBI. Ditambah lagi, aku perlu baca berulang kalimat-kalimat bermajas di dalam catatan Jati Wesi untuk memahami maknanya. Hitung-hitung, baca buku ini sambil latihan memperluas pengetahuan kosa kata.

Penggambaran Suasana yang Detail dan Mewah

Aku suka banget cara Dee Lestari menggambarkan suasana dalam novel Aroma Karsa. Saat membaca novel ini, aku merasa seperti diajak tour di rumah Raras Prayagung yang mewah. Penggambaran rumah Raras Prayagung tergambarkan dengan jelas dari mulai halaman rumahnya yang luas, bentuk teras dan pintu rumahnya, isi rumahnya, rumah kaca tempat tanaman, paviliun, dan satu lagi yang paling menarik: olfaktorium. 

Aku suka banget dengan penggambaran olfaktorium yang rinci, sampai aku membayangkan kalau bangunan itu punya interior sederhana dan nyaman. Olfaktorium yang berupa bangunan kubus, di dalamnya memiliki rak-rak yang penuh dengan botol-botol parfum dipajang di setiap raknya, sofa yang diletakkan di dalam ruangan, meja untuk meracik parfum yang ada di tengah ruangan, penggambaran itu membuat aku bisa memvisualisasikan bentuk olfaktorium.

Selain itu, penggambaran Gunung Lawu dan Desa Dwarapala juga begitu jelas digambarkan oleh Dee Lestari. Visualisasi hutan tergambarkan dengan jelas sampai aku merasa seperti sedang ikut ekspedisi ke Gunung Lawu, rumah-rumah penduduk Desa Dwarapala yang menggantung di atas pohon, juga Goa tempat Puspa Karsa berada, bisa aku bayangkan semua dengan jelas. Semua penggambaran latar dijelaskan secara rinci dan mencengangkan. 

Ditambah lagi, penggambaran emosi dan aktivitas karakternya dijelaskan dengan sangat detail. Aku seperti bisa merasakan apa yang tokoh-tokoh Aroma Karsa alami. Bahkan, aku bisa membayangkan apa yang sedang mereka lakukan. 

Plot yang Penuh Kejutan

Awalnya, aku mengira kalau plot yang ada di novel ini bakalan biasa aja seperti halnya genre romance biasa, kisah cinta yang berawal dari kebencian. Plot itu mainstream banget kan ya, rasanya pasti ketebak lah apa yang bakalan terjadi. Walaupun begitu, tetapi ada plot lain yang membuat aku terkejut. Ternyata, di belakang kisah cinta itu ada kisah misteri dan teka-teki yang mengikuti. Kisah itu bercerita tentang jati diri Jati Wesi dan juga dosa-dosa masa lalu yang pernah dilakukan Raras Prayagung.

Aku tercengang waktu baca plot twist-nya. Aku nggak kepikiran sama sekali tentang alur ceritanya yang bakalan dibawa melenceng jauh dari dugaanku sendiri. Dee Lestari berhasil membuat aku terkecoh dengan ekspektasi plot yang aku bayangkan. 

Belum selesai aku tercengang karena plot twist-nya, Dee Lestari membuat aku berdecak kagum dengan cara dia menyambungkan timeline dari zaman dahulu yang serba kuno dengan zaman sekarang yang serba modern. Alurnya mengalir dengan halus banget sampai aku nggak sadar kalau sedang diajak flashback ke masa lalu. 

Kemudian nggak cuma itu aja, aku kagum banget sih dengan cara Dee Lestari menyatukan dua dunia, antara realitas dan fantasi. Seolah di antara dunia itu nggak ada batasnya, bahkan batasnya jadi saru, nggak bisa dibedakan. Begitu mengikuti alur ceritanya, aku merasa seperti dibawa ke Desa Dwarapala dengan penduduk yang punya super power dan ternyata kehadirannya berada di dunia fantasi.

Saat dibawa berpetualang dalam ekspedisi pencarian Puspa Karsa, aku mulai bisa menyatukan kepingan-kepingan puzzle yang aku baca di bab sebelumnya dan menyimpulkan apa yang terjadi pada setiap karakternya. Pada saat itu pula, aku bisa melihat perkembangan karakternya, ketulusan cinta sepasang kekasih, ketulusan cinta antara orang tua dan anak, juga keserakahan dan kelicikan seorang manusia.

Nggak terasa, usai petualangan ekspedisi Puspa Karsa, aku mengira akhir cerita akan menjadi sebuah kisah bahagia. Akan tetapi, Dee Lestari rupanya ingin mempermainkan rasa penasaran pembaca dan membuat akhir ceritanya menggantung alias open-ending.

Karakter yang Membuat Jatuh Cinta dan Unik

Ada tiga pemeran utama dalam kisah ini, Jati Wesi, Tanaya Suma, dan Raras Prayagung.

Jati Wesi

Jati Wesi digambarkan sebagai seorang pria yang punya tubuh "atletis" karena suka bersepeda dan angkat "beban", beban berupa pupuk dan perkakas untuk berkebun. Dia punya sifat yang pendiam dan cenderung digambarkan sebagai seorang introvert karena dia lebih suka bercerita pada buku catatannya ketimbang mengobrol dengan orang lain. Hal ini membuat dia menjadi orang yang sulit untuk diajak bekerja sama dan kikuk saat bertemu orang baru.

Walaupun begitu, Jati Wesi memiliki sifat yang hangat. Aku jatuh cinta banget dengan satu karakter ini, rasanya ingin aku pacarin, eh hahaha. Jati Wesi itu sosok yang sangat romantis, apalagi waktu dia diam-diam menulis surat untuk Tanaya Suma dalam buku catatannya. Pokoknya, aku meleleh waktu membaca aktivitas Jati Wesi yang menunjukkan sisi romantismenya.

Perkembangan karakter Jati Wesi juga cukup membuatku kagum. Dia yang semula orang pendiam dan dingin seiring waktu berubah menjadi seorang pria pemberani dan romantis.

Tanaya Suma

Tanaya Suma digambarkan sebagai seorang wanita yang memiliki paras cantik dan tubuh yang molek. Suma punya sifat sensitif dan cenderung pemarah, juga punya ambisi yang kuat seperti ibunya, Raras Prayagung. Menurutku, Suma ini sebenarnya adalah seorang ekstrovert tapi dia jarang bergaul karena hambatan indera penciumannya yang terlalu peka. Hal ini membuat Suma hanya punya satu teman saja, yaitu Arya. 

Awalnya, aku sebal banget sama Suma karena menurutku dia itu aneh. Dia memusuhi Jati, padahal Jati nggak ngapa-ngapain. Dia bawaannya kesal terus kalau melihat Jati bahkan sampai membuka rahasia Jati untuk menjatuhkan Jati demi ambisinya.

Perkembangan karakter Suma nggak terlalu banyak mengalami perubahan. Perubahan yang dialami cuma perlakuan dia terhadap Jati, yang semula benci banget dengan Jati malah ujungnya nggak mau jauh-jauh dari Jati.

Raras Prayagung

Raras Prayagung digambarkan sebagai seorang wanita tua yang masih sehat dan kuat. Raras punya sifat peduli, sangat ambisius, dan digambarkan sebagai karakter yang sempurna karena berhasil menjadi wanita yang kaya dan berpengaruh di usia muda.  

Kepedulian Raras Prayagung terhadap hal-hal kecil, ternyata ia gunakan untuk melancarkan ambisinya. Seolah kepeduliannya itu menjadi sebuah alasan untuk memaksa orang lain melakukan hal sesuai kehendaknya. Menurutku, Raras ini sering melakukan gaslighting kepada mereka yang lemah untuk mengikuti keinginannya.

Perkembangan karakter Raras sebenarnya nggak terlalu kentara tetapi Raras dibuat sebagai orang yang baik dan lemah lembut di awal cerita sehingga memberikan kesan pertama yang bagus. Padahal sejak sebelum ekspedisi dimulai, Raras memang sudah punya sifat serakah dan punya ambisi yang kuat.

Keunikan Karakter Lainnya

Selain penggambaran tiga karakter utama yang rinci, Dee Lestari memberikan keunikan masing-masing bagi setiap karakternya agar mudah diingat oleh pembaca. Misalnya:
  • Anung sebagai pria tua yang linglung dan nggak nyambung kalau diajak berbicara.
  • Sarip dengan logat Betawi yang kental.
  • Khalil dengan ciri khas kumis dan pecinya.
  • Nurdin dengan perut buncit dan keegoisannya.

Keserakahan Menjadi Sebuah Pelajaran Utama

Setelah membaca buku Aroma Karsa secara keseluruhan, aku mendapatkan pelajaran baru. Bahwa:
Jika kita menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, maka bukan keberhasilan yang akan kita dapatkan melainkan petaka dan kesengsaraan. 

Amanat yang disisipkan oleh Dee Lestari dalam buku Aroma Karsa ini membuka pemikiran kita bahwa apa yang pernah kita tabur akan kita tuai di masa mendatang. Apa yang kita lakukan di masa lalu akan mendapatkan balasannya di kemudian hari. Karma.

Kutipan Favorit dalam Buku Aroma Karsa

Kutipan tentang rezeki:
Jika rezeki adalah satuan, di mata Nurdin waktu adalah mistar yang dibagi oleh garis-garis rezeki.
— Dee Lestari, Aroma Karsa Bab 3
Kutipan tentang memaknai kekurangan:
Saya percaya, apa yang terlahir bersama kita adalah anugerah.
— Komandan Mada dalam Aroma Karsa Bab 4

Kesan Setelah Membaca Buku Aroma Karsa

Setelah membaca buku Aroma Karsa secara keseluruhan dan tiba pada halaman Tentang Penulis, rasanya aku nggak rela buku itu tamat. Walaupun drama banget, tapi rasanya sesak waktu baca halaman Tentang Penulis dan membuat aku meneteskan air mata. Belum mau pisah dengan Dee Lestari dan Jati Wesi huhuhu.

Buku ini berhasil membuat aku gagal move on! Aku sampai baca ulang buku ini hanya untuk melihat sosok Jati Wesi. 

Penilaianku terhadap buku ini: ⭐⭐⭐⭐⭐ (Recommended and I love it!)

Aku rekomendasikan buku ini untuk kamu yang suka membaca kisah fantasi dan misteri. Buku ini cocok untuk dibaca oleh remaja dewasa yang berusia 18 tahun ke atas. Jadi, hati-hati untuk pembaca di bawah umur karena terdapat bagian cerita yang melibatkan erotisme di dalam karya sastra ini. 

Sekian ulasan yang aku paparkan untuk novel Aroma Karsa karya Dee Lestari. Aku berharap Dee Lestari bisa menghasilkan novel-novel misteri seperti buku Aroma Karsa lebih banyak lagi.

Sekarang, kamu sedang baca buku apa? Bisikin dong di kolom komentar! 

Sampai jumpa di lain waktu. Selamat membaca!

Have a nice day,


Michiko ♡

Picture by nadhishafa

7 Juni 2018

Warashibe Chōja (Saudagar Jerami)

5:20 PM 0 Comments
Jangan ragu untuk melakukan kebaikan sekecil apa pun. Sebab, kebaikan yang kau lakukan akan mendatangkan kebaikan yang lebih besar.
わらしべ長者 (Warashibe Chōja)

Pada zaman dahulu kala, di suatu tempat, hidup seorang laki-laki bernama Tarō. Tarō setiap hari rajin bekerja, tetapi ia tidak pernah mendapatkan sesuatu yang baik. Suatu hari, Tarō berdoa kepada Dewi Kwan Im.

"Aku harap ada sesuatu yang baik datang kepadaku. Aku mohon."

Setelah itu, pada malam harinya, Tarō bermimpi. Di dalam mimpinya, ia berbicara kepada Dewi Kwan Im.

"Tarō, jagalah sesuatu yang kau pungut besok. Kemudian, berjalanlah ke arah timur sambil membawanya. Niscaya akan ada hal baik datang kepadamu."

Keesokan paginya, ketika ia berjalan menelusuri jalan, ia tersandung. Kemudian, ia tersadar, ia membawa setangkai jerami di tangannya. Tarō membawa jerami itu dengan hati-hati dan mulai berjalan ke arah timur. Karena ia merasa kesepian berjalan sendiri, ia pun menangkap seekor serangga. Ia mengikat serangga itu pada jerami yang ia bawa lalu ia pergi berjalan lagi.

Setelah beberapa saat, ada seorang bayi tengah menangis. Ibunya memeluknya sambil menyanyikan lagu untuknya, tetapi bayi itu terus menangis. Ibunya kebingungan. Namun, ketika Tarō menunjukkan serangga, bayi itu berhenti menangis lalu mulai tertawa.

Ibunya bayi itu berkata kepada Tarō, "Bolehkah jerami dan serangga itu untuk saya?"

Tarō memberikan jerami dan serangga kepada bayi itu. Ibunya bayi itu sangat berterimakasih, ia memberikan tiga buah jeruk kepada Tarō. Tarō membawa ketiga jeruk itu, kemudian lanjut pergi berjalan ke arah timur. Kali ini, ada seorang wanita muda yang cantik duduk lemah lesu di jalanan. Di sebelahnya, berdiri seorang kakek tua terlihat khawatir.

"Apa yang terjadi?"

Ketika Tarō bertanya, kakek itu menjawab, "Katanya, Nona ini sedang sakit dan ia ingin minum air. Di manakah sumber air berada?"

Tetapi, tidak ada air di mana pun.

"Oh, ini ada tiga buah jeruk. Makanlah!"

Tarō memberikan jeruknya kepada wanita itu. Setelah wanita itu memakan semua jeruk, ia jadi pulih kembali.

"Terima kasih banyak."

Kakek dan wanita itu amat berterimakasih, mereka memberikan kain yang indah kepada Tarō.

Tarō membawa kain itu kemudian pergi berjalan lagi ke arah timur. Sore pun telah tiba. Kemudian, kali ini ada seekor kuda yang tergeletak di jalan. Samurai yang berdiri di sebelah kuda itu berkata kepada Tarō, "Hei! Kuda ini untukmu. Sekarang, dia sedang tidak sehat tetapi ini kuda yang bagus. Sebagai gantinya, kain indah yang kau bawa, kau berikan untukku."

Setelah berkata begitu, samurai itu meletakkan kudanya lalu membawa pergi kain indah itu. Tarō kebingungan. Namun, karena ia merasa kasihan kepada kuda itu, ia pun duduk di sebelah kuda itu lalu berdoa kepada Dewi Kwan Im. 

"Kumohon, bantulah kuda yang menyedihkan ini."
Tarō terus menerus berdoa tiada henti sampai pagi.

Ketika pagi telah tiba, kuda itu membuka matanya. Kemudian, ketika melihat ke arah Tarō ia langsung berdiri dan meringkik. Tarō sangat bersyukur, ia pun mulai berjalan ke arah timur bersama kuda itu. Tarō dan kuda itu tiba di kota. Di sana ada banyak rumah besar. Ketika berjalan melewati sebuah rumah besar, seorang laki-laki yang bekerja sebagai pembantu rumah itu berkata, "Kau membawa kuda yang keren ya. Pemilik rumah ini sangat menyukai kuda. Tunggu di situ sebentar!"

Segera, pemilik rumah itu keluar dari dalam rumahnya. Ketika melihat kuda itu, ia berkata kepada Tarō, "Wah, ini kuda yang hebat! Bolehkah kuda itu untuk saya? Sebagai tanda terima kasih, saya akan memberikan banyak ladang yang saya punya."

Demikianlah, satu batang jerami dan berakhir menjadi ladang yang luas. Tarō pun bersungguh-sungguh bekerja menggarap ladang itu dan menjadi orang kaya. Maka dari itu, semua orang menjuluki Tarō "Warashibe Chōja (Saudagar Jerami)".

***

Baca juga cerita pendek lainnya di sini

Diterjemahkan oleh: 


Nadhira Shafa

Picture source: web-japan.org

6 Januari 2017

Mosquito and the Lizard

9:36 PM 0 Comments
Suatu hari ada seekor cicak. Cicak itu berjalan di atas dinding. Merayap. Terus merayap sampai ke atap.

Ngiunggg ngiunggg.
Seekor nyamuk betina datang menghampiri. Dengung nyamuk yang nyaring membuat cicak mengejarnya.

"Sial! Cicak itu mengincarku!" dengus sang nyamuk sambil terbang menghindari cicak itu. Sang nyamuk mempercepat gerakannya. Ia mengepakkan sayapnya lebih kuat sehingga cicak tak dapat menggapai nyamuk karena gerakan nyamuk terlalu gesit. 

Cicak itu tak kuat mengejar nyamuk yang terbang dengan gesit. Kemudian, ia memutuskan untuk melompat dari dinding. Cicak itu merebahkan tangannya dan terbang mengikuti nyamuk betina yang tadi hinggap di kaki seorang manusia. Dengan kekuatan aliran darah dingin yang bersumber di bawah kulitnya, cicak itu asik terbang melayang mengikuti nyamuk yang terbang ke arah jendela untuk mencari jalan keluar.

"What the f#$@!" Sang nyamuk terkejut ketika melihat cicak terbang di belakangnya. Wush! Nyamuk betina terbang semakin kencang karena merasa terancam setelah menyadari cicak sedang mengincarnya. 

Cicak yang tidak memiliki bakat untuk terbang, kehilangan kendali. Energinya habis. Ia terbang ke sana ke mari dengan arah tak menentu. Berpusing ke kanan, berpusing ke kiri tak beraturan. Tubuhnya perlahan berubah warna menjadi biru.

Syunggg! Nyamuk betina keluar dari ventilasi jendela dan berhasil melarikan diri dari sang cicak. Cicak kehilangan jejak dari si nyamuk betina. Tubuhnya semakin lama semakin membiru karena energinya habis digunakan untuk terbang. Plukkk. Cicak terjatuh tepat di atas dada manusia yang tadi dihinggapi nyamuk. Dengan kesadaran yang lemah, cicak tak tahu di mana posisinya, yang ia tahu hanya ada gunung besar dan tebing yang curam. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, cicak itu merangkak penuh perjuangan melewati gunung dan lembah. Berulang kali ia terguncang karena manusia yang dihinggapinya berulang kali menggaruk dadanya.

Setelah berjuang melewati gunung dan lembah, cicak menghadapi jajaran tebing curam yang menjulang. Dengan usaha kerasnya, ia memanjat tebing curam. Meskipun berkali-kali terjatuh tetapi ia bangkit lagi. Dengan penuh perjuangan, ia sampai pada puncaknya, dagu manusia. Saat ia mencapai puncak, ternampaklah dua buah gua kecil di ujung sana. Namun, sebelum menuju ke gua kecil, terdapat sebuah kawah gelap dan dalam. Cicak itu berusaha melompati kawah gelap itu walau kadang beberapa kali terpeleset hingga hampir jatuh ke dalamnya. Setelah berhasil melaluinya, ia pun mencari perlindungan dari serangan makhluk liar lainnya. Cicak memasuki salah satu lubang pada dua buah gua kembar di hadapannya.

Selamat datang mimpi buruk. Cicak itu masuk ke dalam hidung manusia dengan penuh asa. Gelap. Lembab. Berlendir. Rasa lelahnya mampu dikalahkan oleh rasa penasaran. Cicak terus berjalan hingga menemukan lubang. Entah sebuah jalan keluar atau ia terjebak di gua semakin dalam. Setelah melaluinya, cicak terkesima melihat berbagai alat canggih. Layar besar, tuas, dan tombol berkelap-kelip di hadapannya. Tanpa pikir panjang, cicak menghampiri seperangkat alat canggih yang bisa dibilang seperti monitor utama penggerak tubuh manusia. Kebingungan melihat banyaknya tombol, ia menekan tombol hijau dekat tuas. Kemudian, pada layar monitor tampak langit-langit kamar dan lampu. Semakin penasaran, cicak menggerakan tuas yang berdiri tegak di hadapannya.

Srekkk. Berguncanglah tempat itu ketika ia menariknya dan layar monitor berubah tampilan menjadi sebuah lemari. Kemudian, cicak memutar tuas, dan tampilan layar monitor menyorot seluruh sudut ruangan. Akhirnya, cicak paham bahwa ruangan itu adalah ruangan kendali manusia.

Setelah memahaminya, ia mengotak-atik berkas dan memutar ulang kejadian yang dialami manusia. Cicak memutarnya secara acak di monitor kendali, kebetulan ia menemukan sebuah rekaman di mana sesuatu yang ia kenal hinggap di kaki manusia yang ia kendalikan. Tidak lain, nyamuk yang ia kejar. Dengan kemampuan scan barcode pada alat kendali manusia, cicak mampu mendeteksi keberadaan sang nyamuk melalui bau, suara, dan bentuk nyamuk secara akurat.

Data berhasil tersimpan.

Seluruh data tentang nyamuk sudah tersimpan, cicak memulai pencarian dengan mengendalikan tubuh manusia. Manusia itu bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan keluar atas kehendak si cicak. Beberapa meter berjalan, manusia sudah berada di luar rumah dan posisinya berada di taman berputar-putar untuk mendeteksi keberadaan nyamuk. Lampu ruang kendali berkedip menjadi merah, tanda target telah ditemukan. Tangan manusia bergerak mengambil kaleng yang ada pada genangan air di taman.

Ngiunggg. Suara dengung nyamuk nyaring terdengar. Lampu kembali berkedip tanda memang nyamuk ini lah yang sesuai dengan scan data yang cicak cari. Dengan mudah, nyamuk itu dicapit dengan dua jari manusia. Cicak yang mampu melihat dari monitor, mendekatkan nyamuk yang tertangkap ke depan pandangan manusia. Nyamuk betina yang mulanya berusaha melepaskan diri, berhenti memberontak dan melihat tepat ke kedua bola mata manusia. Ternampak cicak sedang melihat ke arahnya dari dua bola mata hitam itu.

"Hey, cicak! Apa maumu?! Jangan makan aku! Aku punya banyak jentik, mereka tidak bisa hidup tanpa aku!"

Ilustrasi Cicak dan Nyamuk

Cicak terdiam tak berucap. Cicak hanya menyeringai dengan tatapan jahat.

"Katakan apa maumu?! Kamu jahat! Dasar, cicak jahat! Makan saja aku!" teriak nyamuk tersulut amarahnya.

Cicak yang tak tahan mendengarnya pun mendekatkan mulutnya pada mikrofon. Suara cicak menggema dari mulut manusia yang dikendalikannya, "Ckckckck." 

Nyamuk mengerti apa yang diucapkannya. Ia bergeming setelah menuduh si cicak dengan asal. "Oh, jadi sebenarnya kamu hanya ingin berteman denganku? Benarkah? Kalau begitu keluarlah kamu dari tubuh manusia itu."

"Ckckck!" Suara cicak menggema dari mulut manusia lagi.

"Baiklah, buka mulut manusia ini dan kita bertemu di sana. Lalu, kita tinggalkan manusia ini bersama."

Cicak mendorong tuas dan membuka mulut manusia itu, sedangkan nyamuk melepaskan diri dari capitan manusia dan terbang ke mulut manusia untuk menjemput cicak. Melihat nyamuk sudah terbang ke tempat mereka akan bertemu, cicak pun berlari dan mencari jalan menuju kerongkongan manusia. Ia memilih sebuah lubang yang besar dan ketika itu kerongkongan tertutup sehingga sang cicak harus melompati tenggorokan manusia.

Hup! Cicak melompat dan mendarat di lidah. Nyamuk sudah menunggunya tepat di depannya.

"Hai cicak, namaku Mosquito," sapa nyamuk sambil mengepakkan sayapnya.

Hap! Seketika lidah cicak menjulur dan melahap nyamuk. Nyam nyam nyam. Santapan lezat untuk cicak. Usai melahap nyamuk, cicak hendak pergi meninggalkan tubuh manusia. Namun, lidah manusia ini lembab dan licin sehingga cicak harus berhati-hati agar tidak terpeleset. Perlahan cicak berjalan. Namun kakinya tidak dapat menempel seperti pada dinding. Nahas, cicak pun tertelan dan masuk ke kerongkongan. Ia mencoba menyelamatkan diri, tetapi percuma tubuhnya habis termakan asam lambung dan mati.

Tamat.

Ewww. Jijik hahahaha.

Baca juga kisah-kisah petualangan lainnya klik di sini

Ditullis oleh:


Michiko 

26 April 2016

Kuto Solo Sing Dadi Kenangan, Mencari Keraton yang Hilang

1:46 PM 0 Comments
Halo, guys! Kembali bersama saya di channel ikan terbang. 
Kangen nggak nih sama aku? Perasaan setiap pembukaan pasti tanya kangen melulu ya. Maklum, nggak ada yang kangen sama aku. Aku kan jadi sedih setengah mengenaskan gitu. Eh malah curhat.

Hari ini, aku mau cerita aja deh. Beberapa hari setelah menghadapi ujian kelulusan dan bertahan melalui gejala-gejala examination syndrome, akhirnya aku bisa posting di blog lagi. Sekarang, aku tinggal menunggu hasil ujiannya aja sih. Doakan semoga hasilnya baik ya! 

Baca juga: Examination Syndrome 

Setelah menghadapi masa-masa stres dan edan, aku memutuskan untuk menghibur diri. Iya, aku pergi keluar kota bersama salah satu partner in crime selama masa SMA. Siapakah dia? Jeng jeng! Yup, si mungil Nonny. Aku sudah pernah cerita tentang dia di postingan sebelumnya, waktu itu aku kasih ucapan selamat ulang tahun. 

Kisah ini terjadi pada hari Rabu, 13 April 2016, persis setelah melaksakan Ujian Nasional. Jadi, sejak dahulu kala Nonny sering banget bilang ke aku, "Nad, ayo kapan-kapan kita jalan-jalan berdua lagi." 

Dulu, kelas sepuluh dan sebelas, aku sering banget jalan berdua dengan Nonny. Cuma jalan-jalan aja, keliling kota dengan jalan kaki berdua sambil curhat-curhat gitu. Namun, kelas dua belas kami lebih fokus untuk ujian dan belajar. Jadi, nggak sempat buat jalan-jalan sampai kaki lempoh. Akhirnya, kami janjian setelah Ujian Nasional berlangsung. Saat itu kami bingung, mau jalan ke Semarang atau ke Solo. Ujungnya sih jadinya ke Solo. Bentar, belum afdol kalau nggak setel lagunya Didi Kempot. Ayo tarik mang, Stasiun Balapan! 

Baca sekilas tentang Nonny: Kado Ulang Tahun Nonny 

Kisah perjalanan ke Solo

Oke, guys, anggaplah kita sekarang akan melakukan perjalanan. Let's go!

Jam tujuh pagi, aku berpamitan dengan Mbah. Kami janjian jam delapan pagi. Aku berdiri di terminal menanti Nonny. Sambil melihat kendaraan yang berlalu-lalang di jalan utama, aku berdiri sambil bersandar di dinding terminal. Nonny nggak datang juga, padahal sudah jam 8 lebih. Biasa, emang ya manusia-manusia Indonesia tuh hobinya ngaret. Aku merasa kayak anak hilang berdiri sendiri di dekat lampu merah perempatan jalan. Dikiranya nggak bisa menyeberang jalan kali dengan orang-orang yang ada di sana. Lama banget menunggu Nonny datang, untungnya pagi itu cerah. Langitnya biru dengan awan putih tipis yang mengambang, sinar matahari juga lumayan bisa menghangatkan tubuh yang kedinginan karena udara pagi. Aku menarik napas dalam-dalam, mumpung udara segar. Kalau udaranya nggak segar sih, aku kayaknya sudah emosi gara-gara penantian panjang.

Beberapa menit berlalu, demi apa, ini lama banget woy. Kami belum juga berangkat ke Solo. Aku mulai pegal menunggu si bocah cilik ini. Setiap angkutan kota yang lewat, aku awasi kayak mata-mata. Siapa tahu di dalamnya terdapat manusia yang aku cari tetapi tetap saja dia nggak ada di setiap angkot yang lewat. Bosan, aku main handphone saja biar sabar. Sebab, aku paling nggak suka kalau disuruh buat menunggu. Malahan, aku pernah nangis gara-gara kesal nunggu angkot yang nggak lewat juga. Pokoknya aku bukan orang yang sabar kalau disuruh menunggu. Beberapa lama kemudian, sebuah angkot tiba-tiba berhenti dan jalannya mundur. Padahal, aku nggak menghentikan angkot itu. Tiba-tiba muncul lah sebuah kepala manusia di balik pintu. Horor banget emang. Ternyata itu dia! Aku lari ke arah angkot itu. Kelamaan woy! 

Saat di angkot, Nonny izin dulu nanti mau berhenti di Bangsari. Katanya sih mau ketemuan dengan seseorang. Siapa tuh? Nggak tahu deh aku juga. Aku kira sih gebetannya. Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya sampailah di Bangsari. Sebenarnya, jarak yang ditempuh nggak terlalu jauh sih cuman angkotnya aja yang lelet kebanyakan ngetem. Kayak yang nggak tahu aja manusia Indonesia penganut paham jam karet. Kami turun di pangkalan angkot pasar Bangsari. Lalu berdiri dan menunggu (lagi), hanya saja bedanya ini ada Nonny di sebelahku. Harus menunggu lagi, sabar ya. 

Saat menunggu orang yang dinanti Nonny, kebetulan bertemu dengan teman sekelasku, Rifa. Dia melambaikan tangan, menyapaku yang luntang-lantung di pinggir jalan. Dia mau mengantar ibunya ke pasar. Maklum, kalau liburan anak auto jadi babu. 

Tiba-tiba seorang perempuan menghampiri kami berdua dengan motornya. "Lagi nunggu orang, Neng?"

Aku kira dia siapa. Ternyata, itu orang yang mau ditemui oleh Nonny. Halah, aku kira laki-laki yang jadi gebetannya Nonny. Padahal aku membayangkan kalau aku akan jadi pemeran cameo di kisah cintanya. Sayang beribu sayang, perjalanan ini nggak ber-genre romance. 

Setelah bertemu dengan rekannya Nonny, kami harus menunggu bus yang lewat. Kayaknya hari ini emang edisi penantian panjang deh, dari awal cerita isinya nunggu melulu. Beberapa bus lewat tapi rutenya nggak searah dengan tempat yang kami tuju. Akhirnya, ada satu bus yang sejalur dengan kami. Kami melompat naik ke dalamnya. Wow, penuh. Nggak ada satu pun kursi yang tersisa. Bahkan orang yang naik sebelum kami aja banyak yang berdiri. Jadi, terpaksa kami juga harus berdiri sampai ada penumpang yang turun kalau mau mendapatkan tempat duduk. Seru juga sih, berdiri saat bus jalan. Kayak sedang berselancar di atas ombak yang menggulung, bedanya ini edisi di atas jalan aspal. Setelah kami berdua dapat tempat duduk, aku banyak cerita. Suara kami berdua mengisi langit-langit bus. Kayaknya sih kami jadi makhluk paling berisik di sana. Nggak apa-apa lah ya, busnya juga nggak berisik. Biarkan penumpang mendengarkan bacotan radio rusak ini. 

Setelah menempuh kurang lebih satu setengah jam perjalanan, dengan ekstra menunggu selama satu jam, akhirnya kami sampai di kota kenangan. Kami turun di daerah Kerten, dekat halte Batik Solo Trans atau yang biasa disingkat BST. Kami belum tahu rute untuk menjelajahi Kota Solo, modal nekat aja sih berangkat ke sana. Jadi, kami sering banget tanya ke si Mbah yang tahu segalanya, Mbah Google. Beginilah perjuangan kami untuk menjelajahi Kota Solo. 

Rute Batik Solo Trans

Setelah paham rute BST, kami menunggu (lagi) untuk kedatangan BST yang sejalur dengan tujuan kami. Kami masuk saat BST yang sejalur dengan tujuan kami datang. Wow, luas. Nggak seperti bus besar yang kami tumpangi tadi. Kami jalan ke bagian belakang bus, lalu duduk di sisi kiri yang dekat dengan jendela supaya memudahkan kami untuk mengakses jalan dan prediksi cuaca. Soalnya, takut nyasar. Maklum, ke sana modal nekat aja. 

Awan abu-abu mulai menutupi matahari, mungkinkah hujan? Kalau hujan bakal gawat sih, soalnya nggak ada yang bawa payung juga. Apalagi nggak ada yang tahu pasti di mana harus turun dari bus. Kami lihat lagi ke foto hasil screenshot barusan. Kami harus turun di antara Pasar Klewer dan Pasar Gadhag. Ternyata, akibat kesoktahuan itu, kami kebablasan. Kami turun di Pasar Ghadag. Jauh banget dari keraton. Ditambah lagi, nggak tahu tujuan dan arah. Nggak jelas juga sih mau ngapain di Solo dan juga nggak tahu mau ke mana, yang jelas jalan-jalan ke Solo. Akhirnya, kami jalan sampai ke alun-alun, ada monumen pahlawan dekat keraton. Kami nekat saja jalan ke sana sambil dipayungi teriknya matahari. Panas, ditambah lagi aku yang memakai pakaian hitam.

Arah lalu lintas Kota Solo dibuat sejalur sehingga perjalanan kami cukup memakan waktu karena nggak ada angkutan untuk kembali kalau kami kebablasan. Semua bangunan di Kota Solo unik. Setiap bangunan semacam perusahaan, bank, pokoknya bangunan gedung tinggi pasti ada tulisan menggunakan aksara Jawa. Kental banget budaya Jawanya. Kami berhenti dan melihat papan petunjuk arah yang menunjukkan arah letak keraton dan masjid berada. Akhirnya, kami memutuskan untuk mampir ke keraton saja daripada luntang-lantung nggak bertujuan. Kami lanjut berjalan. Tukang becak berjajar di sepanjang trotoar. Berapa kali kami papasan dan dihampiri tukang becak untuk diantar ke keraton atau tempat lain yang mungkin mau kami kunjungi. Akan tetapi, dengan kesoktahuan dan memikirkan tarif becak yang mahal, kami menolak. Padahal kami nggak tahu letak keraton tepatnya ada di mana. Emang bodoh banget sih ini. 

Kami berjalan lurus dan tiba di Pasar Klewer. Di dalam sana banyak penjual yang berjualan benda-benda khas Jawa: baju batik, tas batik, makanan Jawa. Kami mampir saja ke tempat-tempat dagangan itu dan melupakan tujuan utama kami, yaitu keraton. Aku mampir ke toko pakaian, melihat sebuah gaun yang bermotif batik. Harganya seratus lima puluh ribu. Aku coba untuk menawarnya dan mendapatkan 135 ribu. Masih tergolong mahal sih. 

Setelah itu, kami mampir ke toko tas. Aku dan Nonny bingung saat disuguhi tas-tas yang bagus. Terlalu banyak pilihan justru lebih membingungkan daripada hanya memiliki sebuah pilihan. Akhirnya, setelah mempertimbangkannya, Nonny membeli tas dengan harga 45 ribu dan aku membeli tas motif batik dengan harga 35 ribu. Kami berkeliling lagi. Entahlah, apa yang sebenarnya kami cari. 

Sebelum pulang, tiba-tiba mata aku jelalatan. Ada sebuah tas rajut berwarna biru. Bagus banget. Aku langsung jatuh hati ditempat. Harganya sampai 300 ribu, sedih banget sih lihat harganya mahal gitu. Soalnya tas sekolahku aja harganya nggak sampai segitu. Akhirnya, kalap juga sih. Aku beli tas itu untuk kuliah.

Setelah menghabiskan banyak uang, aku dan Nonny angkat tangan. Nggak sanggup lagi belanja di sana dan menuruti keinginan karena lapar mata. Kami pun keluar dari pasar lalu berjalan tanpa arah dan tujuan. Saat itu, sudah jam satu siang, kami mencari masjid. Kebetulan saat melewati masjid, ada sebuah papan penunjuk arah yang menunjukkan arah keraton. Akhirnya, kami jalan lurus terus. Lho, malah nyasar ke pemukiman warga. Akhirnya balik lagi ke papan penunjuk arah. Saat bertanya ke warga yang ada di sekitar malah disuruh jalan lurus terus. Kami ikutilah petunjuknya, ternyata kami malah sampai di mushola. Ya sudahlah, kami mampir dulu saja di masjid sekalian ibadah.

Sebelum masuk ke mushola, Nonny si bakul aksesoris menawarkan beberapa barang dagangannya.  Dagangan semacam kaos kaki dan juga manset. Kebetulan, saat itu aku nggak pakai kaos kaki dan kami sejak berangkat berjalan kaki sampai membuat kakiku lecet tergores sepatuku sendiri. Jadi, aku membelinya dan langsung memakainya. Saat itu, kaki pegal banget dan sakit gila. Padahal cuma mau cari satu bangunan, Keraton Solo.

Setelah beristirahat di depan masjid sejenak, kami jalan kaki lagi. Masih gigih mencari Keraton Solo yang hilang. Kami jalan lagi ke Pasar Klewer. Mungkin tukang becak yang ada di sana bingung kali melihat kami yang bolak-balik hampir setengah jam. Akhirnya, tukang becak yang mangkal di sana tanya, "Mbak, mau ke mana to?"

"Mau ke keraton." 

"Ayo tak anter wis."

"Berapa, Pak?" Bodohnya, nggak nanya pakai bahasa Jawa. Pasti dikira datang dari luar kota. Biasanya kalau begitu, pasti harganya mahal. 

"Dua puluh lima ribu."

Buset. Mahal banget. Akhirnya, kami menolak. Oke, ini kebodohan yang kedua kalinya. Padahal kami aja nggak tahu letak keraton ada di sebelah mana. Inisiatif lah jalan kaki lagi dengan gigih mencari keraton tetapi nggak ketemu juga. Sedih banget. Kaki sudah pegal-pegal masih aja nggak ketemu. Akhirnya, kami berdiskusi sejenak dan menyerah. Mau tanya tukang becak juga gengsi, nanti malah suruh naik. Masalahnya, tarifnya mahal banget. Nanti nggak bisa pulang naik bus kalau naik becak. Berhubung waktu juga nggak memungkinkan untuk tetap gigih mencari keraton Solo, ditambah lagi menyasar karena nggak tahu jalan, akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri pelancongan kami di Solo. 

Kami jalan meninggalkan alun-alun kota. Lagi, kami nggak tahu arah pulang jadi harus bertanya dulu kepada seorang pedagang yang kebetulan berada di sana. Saat mencari halte BST, aku sempat salah ngomong. Aku menyebut BST sebagai Trans Semarang. Jelas, pedagangnya bingung. Malu banget woy. Lalu kami pergi lah ke halte dan menanti BST datang. Setelah penantian panjang, BST pun datang. Saat kami masuk ke dalamnya, isi BST penuh. Sepertinya karena jam pulang sekolah dan pulang kerja. Bau badan, bau keringat, bau ketiak, bau AC, bau matahari, dan lengkap sudah waktu ada mas-mas masuk ke dalam BST dengan bau parfumnya. Campur aduk baunya. Pusing.

Seperti yang aku tuliskan sebelumnya, arah lalu lintas Kota Solo itu dibuat searah. Jadi, selama kurang lebih 45 menit, kami berada di dalam BST untuk melakukan perjalanan menuju Solo Square. Sesampainya di Solo Square, kami berburu ramen. Dulu, waktu mengikuti lomba di Solo, aku pernah makan ramen itu dan rasanya enak banget. Aku mau makan ramen itu lagi, tapi aku lupa di mana tempatnya. Lagi, kami berjalan mengitari Solo Square. Bolak-balik naik turun eskalator untuk mencari kedai ramen. Nihil, nggak ketemu. Foodcourt-nya kayak Atlantis, tiba-tiba menghilang. Gara-gara sudah kelaparan karena melancong dari jam tujuh pagi sampai jam tiga, akhirnya kami mampir saja ke Es Teler 77 si jagoan yang bikin teler karena makanannya mahal, bikin kantong pelajar bolong. 

Aku memesan mie ayam bakso dan Nonny memesan mie goreng. Lalu kami memilih minum yang paling murah aja dengan harga lima ribu rupiah. Saat mau bayar, kaget banget dong. Bukan kaget karena total pembayarannya, tapi kaget karena air mineral yang harganya lima ribu rupiah itu cuma dapat yang botol kecil. Kalau beli di warung sih mungkin seribu lima ratus juga sudah dapat. Untungnya, yang beli air mineral sih bukan aku, tapi Nonny hahahahaha.

Pukul setengah empat sore, kami selesai makan. Sebelum pulang, mampir dulu buat beli minum dulu, beli satu gelas teh poci buat dibawa pulang. Kami menunggu bus di halte yang ada di samping Solo Square. Sambil menunggu, aku dan Nonny mengobrol aja. Sekalian ambil foto candidnya Nonny. Soalnya bodoh aja gitu, tadi waktu jalan-jalan di alun-alun nggak foto bareng. Emang benar-benar bodoh dan aneh sih. Waktu sedang asyik jeprat-jepret, tiba-tiba aku terperanjat. Ada suara ledakan. Nggak tahu pasti itu suara ledakan dari mana. Pokoknya orang yang ada di halte juga sampai berkerumun mencari sumber suara. Setelah beberapa lama, bus pun datang. 

Kami sudah ada di dalam bus. Bus nggak penuh kayak tadi pagi. Jadi, kami kebagian tempat untuk duduk. Aku duduk di dekat jendela dan Nonny duduk di sebelah kiriku. Setelah itu, kami mengobrol, membuat bus yang senyap jadi berisik. Ketawa-ketawa nggak jelas, padahal cuma ngetawain air mineral cilik yang harganya lima ribu. Begitulah ketika orang gila yang pura-pura waras berkumpul. Di dalam bus, kami juga foto-foto dan merekam video untuk cerita kejadian hari itu, persis seperti yang aku lakukan di rumahku yang pernah aku ceritakan di pos sebelumnya. Pokoknya, di dalam bus kami berdua have fun. Ikut lipsync saat lagu-lagu hits diputar. Asyik lah, we're having fun.

Kisah rekam video bersama Nonny, baca dulu: Kado Ulang Tahun Nonny 

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Bus sudah sampai di kota tempat kami berasal. Kami harus berpisah. Aku turun lebih dulu di terminal tempatku menunggu Nonny tadi pagi. Saat aku mau turun, Nonny memanggilku. Aku menoleh dan dia berkata, "Nad, teefte!" [read: Thanks for today]

"Teefte juga. Hati-hati!" Aku pun melompat turun dari bus dan pulang.

Sudah kisahnya bersambung. Iya, bersambung. Sebab, masih banyak sebenarnya cerita perjalanan kami melancong berdua. Mungkin kapan-kapan akan aku ceritakan juga di blog ini, kalau nggak lupa. Perjalanan ini adalah pertama kalinya aku dan Nonny pergi jauh sampai ke luar kota. Jadi, sudah pasti ini bakal menjadi kenangan. Begitulah alasannya kenapa aku memberikan judul dengan lirik lagu Didi Kempot. Kenangan nyasar ini nggak akan terlupakan kayaknya hahahaha.

Baca juga kisah-kisah pertemanan kami klik di sini

Sekian cerita untuk hari ini. Sampai jumpa di cerita yang lainnya.
Have a nice day


Michiko ♡

Picture source on Google