26 April 2016

Kuto Solo Sing Dadi Kenangan, Mencari Keraton yang Hilang

Halo, guys! Kembali bersama saya di channel ikan terbang. 
Kangen nggak nih sama aku? Perasaan setiap pembukaan pasti tanya kangen melulu ya. Maklum, nggak ada yang kangen sama aku. Aku kan jadi sedih setengah mengenaskan gitu. Eh malah curhat.

Hari ini, aku mau cerita aja deh. Beberapa hari setelah menghadapi ujian kelulusan dan bertahan melalui gejala-gejala examination syndrome, akhirnya aku bisa posting di blog lagi. Sekarang, aku tinggal menunggu hasil ujiannya aja sih. Doakan semoga hasilnya baik ya! 

Baca juga: Examination Syndrome 

Setelah menghadapi masa-masa stres dan edan, aku memutuskan untuk menghibur diri. Iya, aku pergi keluar kota bersama salah satu partner in crime selama masa SMA. Siapakah dia? Jeng jeng! Yup, si mungil Nonny. Aku sudah pernah cerita tentang dia di postingan sebelumnya, waktu itu aku kasih ucapan selamat ulang tahun. 

Kisah ini terjadi pada hari Rabu, 13 April 2016, persis setelah melaksakan Ujian Nasional. Jadi, sejak dahulu kala Nonny sering banget bilang ke aku, "Nad, ayo kapan-kapan kita jalan-jalan berdua lagi." 

Dulu, kelas sepuluh dan sebelas, aku sering banget jalan berdua dengan Nonny. Cuma jalan-jalan aja, keliling kota dengan jalan kaki berdua sambil curhat-curhat gitu. Namun, kelas dua belas kami lebih fokus untuk ujian dan belajar. Jadi, nggak sempat buat jalan-jalan sampai kaki lempoh. Akhirnya, kami janjian setelah Ujian Nasional berlangsung. Saat itu kami bingung, mau jalan ke Semarang atau ke Solo. Ujungnya sih jadinya ke Solo. Bentar, belum afdol kalau nggak setel lagunya Didi Kempot. Ayo tarik mang, Stasiun Balapan! 

Baca sekilas tentang Nonny: Kado Ulang Tahun Nonny 

Kisah perjalanan ke Solo

Oke, guys, anggaplah kita sekarang akan melakukan perjalanan. Let's go!

Jam tujuh pagi, aku berpamitan dengan Mbah. Kami janjian jam delapan pagi. Aku berdiri di terminal menanti Nonny. Sambil melihat kendaraan yang berlalu-lalang di jalan utama, aku berdiri sambil bersandar di dinding terminal. Nonny nggak datang juga, padahal sudah jam 8 lebih. Biasa, emang ya manusia-manusia Indonesia tuh hobinya ngaret. Aku merasa kayak anak hilang berdiri sendiri di dekat lampu merah perempatan jalan. Dikiranya nggak bisa menyeberang jalan kali dengan orang-orang yang ada di sana. Lama banget menunggu Nonny datang, untungnya pagi itu cerah. Langitnya biru dengan awan putih tipis yang mengambang, sinar matahari juga lumayan bisa menghangatkan tubuh yang kedinginan karena udara pagi. Aku menarik napas dalam-dalam, mumpung udara segar. Kalau udaranya nggak segar sih, aku kayaknya sudah emosi gara-gara penantian panjang.

Beberapa menit berlalu, demi apa, ini lama banget woy. Kami belum juga berangkat ke Solo. Aku mulai pegal menunggu si bocah cilik ini. Setiap angkutan kota yang lewat, aku awasi kayak mata-mata. Siapa tahu di dalamnya terdapat manusia yang aku cari tetapi tetap saja dia nggak ada di setiap angkot yang lewat. Bosan, aku main handphone saja biar sabar. Sebab, aku paling nggak suka kalau disuruh buat menunggu. Malahan, aku pernah nangis gara-gara kesal nunggu angkot yang nggak lewat juga. Pokoknya aku bukan orang yang sabar kalau disuruh menunggu. Beberapa lama kemudian, sebuah angkot tiba-tiba berhenti dan jalannya mundur. Padahal, aku nggak menghentikan angkot itu. Tiba-tiba muncul lah sebuah kepala manusia di balik pintu. Horor banget emang. Ternyata itu dia! Aku lari ke arah angkot itu. Kelamaan woy! 

Saat di angkot, Nonny izin dulu nanti mau berhenti di Bangsari. Katanya sih mau ketemuan dengan seseorang. Siapa tuh? Nggak tahu deh aku juga. Aku kira sih gebetannya. Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya sampailah di Bangsari. Sebenarnya, jarak yang ditempuh nggak terlalu jauh sih cuman angkotnya aja yang lelet kebanyakan ngetem. Kayak yang nggak tahu aja manusia Indonesia penganut paham jam karet. Kami turun di pangkalan angkot pasar Bangsari. Lalu berdiri dan menunggu (lagi), hanya saja bedanya ini ada Nonny di sebelahku. Harus menunggu lagi, sabar ya. 

Saat menunggu orang yang dinanti Nonny, kebetulan bertemu dengan teman sekelasku, Rifa. Dia melambaikan tangan, menyapaku yang luntang-lantung di pinggir jalan. Dia mau mengantar ibunya ke pasar. Maklum, kalau liburan anak auto jadi babu. 

Tiba-tiba seorang perempuan menghampiri kami berdua dengan motornya. "Lagi nunggu orang, Neng?"

Aku kira dia siapa. Ternyata, itu orang yang mau ditemui oleh Nonny. Halah, aku kira laki-laki yang jadi gebetannya Nonny. Padahal aku membayangkan kalau aku akan jadi pemeran cameo di kisah cintanya. Sayang beribu sayang, perjalanan ini nggak ber-genre romance. 

Setelah bertemu dengan rekannya Nonny, kami harus menunggu bus yang lewat. Kayaknya hari ini emang edisi penantian panjang deh, dari awal cerita isinya nunggu melulu. Beberapa bus lewat tapi rutenya nggak searah dengan tempat yang kami tuju. Akhirnya, ada satu bus yang sejalur dengan kami. Kami melompat naik ke dalamnya. Wow, penuh. Nggak ada satu pun kursi yang tersisa. Bahkan orang yang naik sebelum kami aja banyak yang berdiri. Jadi, terpaksa kami juga harus berdiri sampai ada penumpang yang turun kalau mau mendapatkan tempat duduk. Seru juga sih, berdiri saat bus jalan. Kayak sedang berselancar di atas ombak yang menggulung, bedanya ini edisi di atas jalan aspal. Setelah kami berdua dapat tempat duduk, aku banyak cerita. Suara kami berdua mengisi langit-langit bus. Kayaknya sih kami jadi makhluk paling berisik di sana. Nggak apa-apa lah ya, busnya juga nggak berisik. Biarkan penumpang mendengarkan bacotan radio rusak ini. 

Setelah menempuh kurang lebih satu setengah jam perjalanan, dengan ekstra menunggu selama satu jam, akhirnya kami sampai di kota kenangan. Kami turun di daerah Kerten, dekat halte Batik Solo Trans atau yang biasa disingkat BST. Kami belum tahu rute untuk menjelajahi Kota Solo, modal nekat aja sih berangkat ke sana. Jadi, kami sering banget tanya ke si Mbah yang tahu segalanya, Mbah Google. Beginilah perjuangan kami untuk menjelajahi Kota Solo. 

Rute Batik Solo Trans

Setelah paham rute BST, kami menunggu (lagi) untuk kedatangan BST yang sejalur dengan tujuan kami. Kami masuk saat BST yang sejalur dengan tujuan kami datang. Wow, luas. Nggak seperti bus besar yang kami tumpangi tadi. Kami jalan ke bagian belakang bus, lalu duduk di sisi kiri yang dekat dengan jendela supaya memudahkan kami untuk mengakses jalan dan prediksi cuaca. Soalnya, takut nyasar. Maklum, ke sana modal nekat aja. 

Awan abu-abu mulai menutupi matahari, mungkinkah hujan? Kalau hujan bakal gawat sih, soalnya nggak ada yang bawa payung juga. Apalagi nggak ada yang tahu pasti di mana harus turun dari bus. Kami lihat lagi ke foto hasil screenshot barusan. Kami harus turun di antara Pasar Klewer dan Pasar Gadhag. Ternyata, akibat kesoktahuan itu, kami kebablasan. Kami turun di Pasar Ghadag. Jauh banget dari keraton. Ditambah lagi, nggak tahu tujuan dan arah. Nggak jelas juga sih mau ngapain di Solo dan juga nggak tahu mau ke mana, yang jelas jalan-jalan ke Solo. Akhirnya, kami jalan sampai ke alun-alun, ada monumen pahlawan dekat keraton. Kami nekat saja jalan ke sana sambil dipayungi teriknya matahari. Panas, ditambah lagi aku yang memakai pakaian hitam.

Arah lalu lintas Kota Solo dibuat sejalur sehingga perjalanan kami cukup memakan waktu karena nggak ada angkutan untuk kembali kalau kami kebablasan. Semua bangunan di Kota Solo unik. Setiap bangunan semacam perusahaan, bank, pokoknya bangunan gedung tinggi pasti ada tulisan menggunakan aksara Jawa. Kental banget budaya Jawanya. Kami berhenti dan melihat papan petunjuk arah yang menunjukkan arah letak keraton dan masjid berada. Akhirnya, kami memutuskan untuk mampir ke keraton saja daripada luntang-lantung nggak bertujuan. Kami lanjut berjalan. Tukang becak berjajar di sepanjang trotoar. Berapa kali kami papasan dan dihampiri tukang becak untuk diantar ke keraton atau tempat lain yang mungkin mau kami kunjungi. Akan tetapi, dengan kesoktahuan dan memikirkan tarif becak yang mahal, kami menolak. Padahal kami nggak tahu letak keraton tepatnya ada di mana. Emang bodoh banget sih ini. 

Kami berjalan lurus dan tiba di Pasar Klewer. Di dalam sana banyak penjual yang berjualan benda-benda khas Jawa: baju batik, tas batik, makanan Jawa. Kami mampir saja ke tempat-tempat dagangan itu dan melupakan tujuan utama kami, yaitu keraton. Aku mampir ke toko pakaian, melihat sebuah gaun yang bermotif batik. Harganya seratus lima puluh ribu. Aku coba untuk menawarnya dan mendapatkan 135 ribu. Masih tergolong mahal sih. 

Setelah itu, kami mampir ke toko tas. Aku dan Nonny bingung saat disuguhi tas-tas yang bagus. Terlalu banyak pilihan justru lebih membingungkan daripada hanya memiliki sebuah pilihan. Akhirnya, setelah mempertimbangkannya, Nonny membeli tas dengan harga 45 ribu dan aku membeli tas motif batik dengan harga 35 ribu. Kami berkeliling lagi. Entahlah, apa yang sebenarnya kami cari. 

Sebelum pulang, tiba-tiba mata aku jelalatan. Ada sebuah tas rajut berwarna biru. Bagus banget. Aku langsung jatuh hati ditempat. Harganya sampai 300 ribu, sedih banget sih lihat harganya mahal gitu. Soalnya tas sekolahku aja harganya nggak sampai segitu. Akhirnya, kalap juga sih. Aku beli tas itu untuk kuliah.

Setelah menghabiskan banyak uang, aku dan Nonny angkat tangan. Nggak sanggup lagi belanja di sana dan menuruti keinginan karena lapar mata. Kami pun keluar dari pasar lalu berjalan tanpa arah dan tujuan. Saat itu, sudah jam satu siang, kami mencari masjid. Kebetulan saat melewati masjid, ada sebuah papan penunjuk arah yang menunjukkan arah keraton. Akhirnya, kami jalan lurus terus. Lho, malah nyasar ke pemukiman warga. Akhirnya balik lagi ke papan penunjuk arah. Saat bertanya ke warga yang ada di sekitar malah disuruh jalan lurus terus. Kami ikutilah petunjuknya, ternyata kami malah sampai di mushola. Ya sudahlah, kami mampir dulu saja di masjid sekalian ibadah.

Sebelum masuk ke mushola, Nonny si bakul aksesoris menawarkan beberapa barang dagangannya.  Dagangan semacam kaos kaki dan juga manset. Kebetulan, saat itu aku nggak pakai kaos kaki dan kami sejak berangkat berjalan kaki sampai membuat kakiku lecet tergores sepatuku sendiri. Jadi, aku membelinya dan langsung memakainya. Saat itu, kaki pegal banget dan sakit gila. Padahal cuma mau cari satu bangunan, Keraton Solo.

Setelah beristirahat di depan masjid sejenak, kami jalan kaki lagi. Masih gigih mencari Keraton Solo yang hilang. Kami jalan lagi ke Pasar Klewer. Mungkin tukang becak yang ada di sana bingung kali melihat kami yang bolak-balik hampir setengah jam. Akhirnya, tukang becak yang mangkal di sana tanya, "Mbak, mau ke mana to?"

"Mau ke keraton." 

"Ayo tak anter wis."

"Berapa, Pak?" Bodohnya, nggak nanya pakai bahasa Jawa. Pasti dikira datang dari luar kota. Biasanya kalau begitu, pasti harganya mahal. 

"Dua puluh lima ribu."

Buset. Mahal banget. Akhirnya, kami menolak. Oke, ini kebodohan yang kedua kalinya. Padahal kami aja nggak tahu letak keraton ada di sebelah mana. Inisiatif lah jalan kaki lagi dengan gigih mencari keraton tetapi nggak ketemu juga. Sedih banget. Kaki sudah pegal-pegal masih aja nggak ketemu. Akhirnya, kami berdiskusi sejenak dan menyerah. Mau tanya tukang becak juga gengsi, nanti malah suruh naik. Masalahnya, tarifnya mahal banget. Nanti nggak bisa pulang naik bus kalau naik becak. Berhubung waktu juga nggak memungkinkan untuk tetap gigih mencari keraton Solo, ditambah lagi menyasar karena nggak tahu jalan, akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri pelancongan kami di Solo. 

Kami jalan meninggalkan alun-alun kota. Lagi, kami nggak tahu arah pulang jadi harus bertanya dulu kepada seorang pedagang yang kebetulan berada di sana. Saat mencari halte BST, aku sempat salah ngomong. Aku menyebut BST sebagai Trans Semarang. Jelas, pedagangnya bingung. Malu banget woy. Lalu kami pergi lah ke halte dan menanti BST datang. Setelah penantian panjang, BST pun datang. Saat kami masuk ke dalamnya, isi BST penuh. Sepertinya karena jam pulang sekolah dan pulang kerja. Bau badan, bau keringat, bau ketiak, bau AC, bau matahari, dan lengkap sudah waktu ada mas-mas masuk ke dalam BST dengan bau parfumnya. Campur aduk baunya. Pusing.

Seperti yang aku tuliskan sebelumnya, arah lalu lintas Kota Solo itu dibuat searah. Jadi, selama kurang lebih 45 menit, kami berada di dalam BST untuk melakukan perjalanan menuju Solo Square. Sesampainya di Solo Square, kami berburu ramen. Dulu, waktu mengikuti lomba di Solo, aku pernah makan ramen itu dan rasanya enak banget. Aku mau makan ramen itu lagi, tapi aku lupa di mana tempatnya. Lagi, kami berjalan mengitari Solo Square. Bolak-balik naik turun eskalator untuk mencari kedai ramen. Nihil, nggak ketemu. Foodcourt-nya kayak Atlantis, tiba-tiba menghilang. Gara-gara sudah kelaparan karena melancong dari jam tujuh pagi sampai jam tiga, akhirnya kami mampir saja ke Es Teler 77 si jagoan yang bikin teler karena makanannya mahal, bikin kantong pelajar bolong. 

Aku memesan mie ayam bakso dan Nonny memesan mie goreng. Lalu kami memilih minum yang paling murah aja dengan harga lima ribu rupiah. Saat mau bayar, kaget banget dong. Bukan kaget karena total pembayarannya, tapi kaget karena air mineral yang harganya lima ribu rupiah itu cuma dapat yang botol kecil. Kalau beli di warung sih mungkin seribu lima ratus juga sudah dapat. Untungnya, yang beli air mineral sih bukan aku, tapi Nonny hahahahaha.

Pukul setengah empat sore, kami selesai makan. Sebelum pulang, mampir dulu buat beli minum dulu, beli satu gelas teh poci buat dibawa pulang. Kami menunggu bus di halte yang ada di samping Solo Square. Sambil menunggu, aku dan Nonny mengobrol aja. Sekalian ambil foto candidnya Nonny. Soalnya bodoh aja gitu, tadi waktu jalan-jalan di alun-alun nggak foto bareng. Emang benar-benar bodoh dan aneh sih. Waktu sedang asyik jeprat-jepret, tiba-tiba aku terperanjat. Ada suara ledakan. Nggak tahu pasti itu suara ledakan dari mana. Pokoknya orang yang ada di halte juga sampai berkerumun mencari sumber suara. Setelah beberapa lama, bus pun datang. 

Kami sudah ada di dalam bus. Bus nggak penuh kayak tadi pagi. Jadi, kami kebagian tempat untuk duduk. Aku duduk di dekat jendela dan Nonny duduk di sebelah kiriku. Setelah itu, kami mengobrol, membuat bus yang senyap jadi berisik. Ketawa-ketawa nggak jelas, padahal cuma ngetawain air mineral cilik yang harganya lima ribu. Begitulah ketika orang gila yang pura-pura waras berkumpul. Di dalam bus, kami juga foto-foto dan merekam video untuk cerita kejadian hari itu, persis seperti yang aku lakukan di rumahku yang pernah aku ceritakan di pos sebelumnya. Pokoknya, di dalam bus kami berdua have fun. Ikut lipsync saat lagu-lagu hits diputar. Asyik lah, we're having fun.

Kisah rekam video bersama Nonny, baca dulu: Kado Ulang Tahun Nonny 

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Bus sudah sampai di kota tempat kami berasal. Kami harus berpisah. Aku turun lebih dulu di terminal tempatku menunggu Nonny tadi pagi. Saat aku mau turun, Nonny memanggilku. Aku menoleh dan dia berkata, "Nad, teefte!" [read: Thanks for today]

"Teefte juga. Hati-hati!" Aku pun melompat turun dari bus dan pulang.

Sudah kisahnya bersambung. Iya, bersambung. Sebab, masih banyak sebenarnya cerita perjalanan kami melancong berdua. Mungkin kapan-kapan akan aku ceritakan juga di blog ini, kalau nggak lupa. Perjalanan ini adalah pertama kalinya aku dan Nonny pergi jauh sampai ke luar kota. Jadi, sudah pasti ini bakal menjadi kenangan. Begitulah alasannya kenapa aku memberikan judul dengan lirik lagu Didi Kempot. Kenangan nyasar ini nggak akan terlupakan kayaknya hahahaha.

Baca juga kisah-kisah pertemanan kami klik di sini

Sekian cerita untuk hari ini. Sampai jumpa di cerita yang lainnya.
Have a nice day


Michiko ♡

Picture source on Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar