Tampilkan postingan dengan label Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Story. Tampilkan semua postingan

25 Juli 2023

Menanti Chapter Selanjutnya

2:01 PM 0 Comments
"Bagaimana harimu?" sapa dia dengan ramah. 

Setiap hari dia selalu saja menyapaku dengan senyumannya yang manis. Mata yang menyipit dan lesung pipitnya cukup menggodaku. Siapa yang nggak tergoda dengan senyuman seorang pria berambut ikal dengan pipi chubby yang menggemaskan? Bukan cuma aku yang tergoda, semua gadis suka padanya karena sikap ramahnya. 

Tapi pernah nggak sih kamu terkecoh dengan sikap ramah seseorang? Astaga, aku sampai berkali-kali merasakan kupu-kupu berterbangan di perutku setiap kali dia bersikap ramah terhadapku—termasuk sapaannya sore hari ini. Setelah melewati hari yang panjang nan sibuk, akhirnya dia menyapaku. Oh ya, tentu sambil membukakan pintu kaca yang baru saja mau aku dorong. Tuhan, cobaan apa lagi ini? Pria ramah dengan acts of service?! Cobaan yang keterlaluan.

Ini bukan pertama kalinya dia melakukan ini kepadaku tetapi entah kenapa ini membuat aku gila. Nggak ada cobaan yang lebih parah lagi, nih? 

"Melelahkan," ucapku. Tapi cukup menyenangkan setelah melihatmu. Aku tersenyum. 

"Kerja bagus. You did well! Istirahat yang cukup!" Dia memujiku sambil mengepalkan tangannya untuk tos tinju denganku. 

Aku membalas kepalan tinjunya. Wajahku terasa memanas saat mendengarnya, seperti keluar api dari pori-pori wajahku dan aku ingin berteriak, aku suka sama kamu! Kamu paham nggak sih? Aku tuh nggak bisa diginiin! 

Iya, sudah tiga bulan aku mengenalnya. Dia sosok orang yang baik dan ramah. Aku menyukainya, sangat menyukainya. Entah aku suka sikapnya, atau aku suka orangnya. Yang jelas, aku suka dia. Terkadang, aku sengaja menghampirinya supaya lebih dekat dengan dia. Aku sengaja duduk di tempat yang bisa membuatku menatapnya tanpa diketahui olehnya. Bahkan mencoba berinteraksi dan membuka obrolan dengannya. 

Berbulan-bulan aku berdiam diri. Bergerilya mengagumi seseorang yang entah apakah bisa aku miliki. Masalahnya di sini, aku menyukai orang yang ramah. Itu sama saja seperti aku seorang fans yang mengidolakan seorang artis. Bisa kamu bayangkan, kan? Bagaimana aku di mata dia? Aku banyak mengingat hal tentang dia, dari hal apa yang dia suka sampai hal-hal kecil tentang dia. Akan tetapi sebaliknya, aku di matanya hanyalah seorang relasi yang perlu disapa, tidak tahu asal-usul keberadaanku bahkan mungkin tidak ingat kalau aku ada. 

Semakin hari, semakin gemar aku mencari tahu tentang dia. Semakin subur pula tunas-tunas dari benih cinta yang kutanam dalam hati itu tumbuh. Tak sabar ingin kupupuk hingga berbuah. Rasa sukaku kini terasa semakin dalam. Setiap malam aku membayangkan bisa bersama dengan dirinya. Bisa memilikinya suatu hari nanti. Bisa tertawa bersamanya sambil menggenggam tangannya. Berhalusinasi itu asik, bukan? Memang.

Pada akhirnya, suatu hari dia menyadari keberadaan aku. Malam hari, ketika aku sedang berjalan kaki, dia menghampiriku dengan sepeda motornya dan menawarkan tumpangan. Awalnya, aku berpikir, haruskah aku berpura-pura untuk menolaknya sedangkan ini adalah kesempatanku untuk dekat dengannya? Nggak, aku nggak mau kehilangan kesempatan itu. Maka dari itu, aku pun mengiyakan ajakannya. Itu lah pertama kalinya aku berboncengan dengan dia. Tahu nggak sih, rasanya tuh senang banget bisa berboncengan dengan orang yang aku suka. Ingin aku rengkuh pinggangnya, tapi aku siapa? Bukan siapa-siapa. 

Sesampainya di rumah, aku nggak bisa menahan rasa berbunga-bunga itu. Aku melompat dengan girang ke tempat tidurku dan membenamkan wajahku di bantal seolah aku membenamkan diriku ke dalam pelukannya. Boncengan pertamaku! 

Semenjak boncengan pertama itu, aku semakin dekat dengan dia. Kami sering jalan bersama-sama, mengobrol tentang apa pun, bercanda ria, dan saling meledek. Satu hal yang membuatku semakin salah tingkah karena sikapnya yang ramah itu adalah dia memanggilku dengan sebutan khusus. Bocil. Alasannya, karena perilakuku seperti anak kecil tanpa kusadari di hadapannya sehingga nama itu muncul sebagai julukanku. 

"Cil, mau beli makan malam bareng, nggak?"
"Cil, mau nebeng, nggak?
"Cil, mau dibantuin, nggak?"

Cal. Cil. Cal. Cil. Enak banget dia manggil aku kayak gitu padahal hatiku sudah bergetar setiap kali dia memanggil aku dengan panggilan khusus itu. Dia membuat aku berharap semakin tinggi. Namun, aku selalu bingung dengan sikapnya yang ramah itu. Dia membuatku bingung dan penasaran. Siapa orang yang dia suka? Apakah dia suka aku? Kenapa dia sebaik itu kepadaku? Kenapa dia nggak mengerti sih kalau aku di sini kebingungan dengan sikapnya?

Sepanjang malam, aku nggak bisa tidur karenanya. Aku memikirkan, siapa orang yang dia suka? Aku nggak mau sembarangan menduga-duga tentang dia yang ramah tapi misterius itu. Kadang dia membicarakan perempuan lain juga. Kadang dia baik dengan perempuan lain juga. Sempat aku berpikir, sebenarnya dia itu bersikap ramah atau memang sengaja membuat semua gadis jatuh hati sama dia sih?

Aku bercerita pada teman-temanku. Apa yang harus aku lakukan dalam menghadapi situasi membingungkan ini? Aku yang terus kepikiran tentang dia, membuat aku selalu nggak fokus dalam mengerjakan suatu hal. Beberapa temanku ada yang menyarankan agar aku suka dalam diam saja, supaya nggak canggung. Tapi ada beberapa temanku juga yang menyarankan untuk mengungkapkannya supaya lega. 

Aku berpikir beberapa hari tentang hal itu. Ungkapkan jangan, ya? Aku kebingungan. Namun, karena siatuasi ini cukup mengganggu, akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi dia lewat chat. Aku nggak seberani itu untuk bertatapan langsung dengannya. Nyaliku kurang besar. 

"I have crush on you

Intinya, itu yang aku bicarakan saat aku mengirim pesan panjang lebar demi mengubur gengsi dan rasa malu yang berkecamuk dalam dada. Wajahku terasa memanas, aku tenggelamkan wajahku di bantal sambil menunggu jawaban darinya. Aku nggak berharap dia balik suka aku sih, eh ada deh sedikit. Aku tunggu beberapa menit sampai hampir setengah jam setelah pesanku dibaca olehnya. DIA NGGAK BALAS PESAN AKU.

Aku melemparkan ponselku. Merasa kecewa karena aku harus memendam rasa penasaran akan jawaban dia terhadap ungkapan perasaanku yang baru saja aku kirimkan. Namun, beberapa saat kemudian dia membalas. 

"Terima kasih kamu sudah membuat aku merasa dicintai. Tapi sekarang, aku nggak fokus dengan hal itu. Aku harap kamu mengerti," jawabnya. "Kamu nggak marah, kan?"

Marah? Buat apa aku marah terhadap perasaan seseorang yang nggak bisa membalas perasaanku? Sedikit kecewa mungkin iya, tapi aku nggak berharap setinggi itu dari awal karena tujuanku untuk mengungkapkan perasaan ini hanya supaya aku merasa lega dan nggak lagi terbayang-bayang dengan hal-hal yang ingin aku ketahui tentang dia. Yang jelas, dia nggak suka sama aku. Aku sudah dapat jawabannya, walaupun hatiku masih sedikit mengharapkannya. Kamu juga pasti tahu rasanya kan, jatuh cinta itu ada prosesnya begitu pula berhenti menyukai seseorang, itu juga butuh proses. 

Setelah insiden pernyataan perasaan itu, aku dan dia terasa semakin berjarak. Aku mencoba biasa saja terhadap dia, tapi entah kenapa justru dia yang terasa semakin bersikap dingin terhadapku. Apa mungkin dia takut kalau aku salah paham lagi akan sikapnya? 

Rupanya, rasa lega itu nggak aku dapatkan. Justru yang aku dapatkan hanyalah penyesalah, seandainya aku nggak mengungkapkan apa yang aku rasakan terhadap dia saat itu mungkin akhir cerita kita nggak akan seperti ini. Aku nggak akan menjadi asing dengan dia. Panggilan Bocil yang sering dia sematkan untuk memanggilku pun jarang kudengar. Sekarang, dia lebih sering menghindariku ketimbang menyapaku terlebih dahulu. Padahal aku berusaha untuk menyapanya lho, tapi kenapa sikap dia berubah begitu ya?

Hari demi hari berlalu. Beberapa bulan kemudian, aku masih dengan rasa yang sama, masih di tempat yang sama menanti dia, mendapati dia sudah memiliki seorang pujaan hati. Hatiku teriris perih. Kukira aku bisa memperbaiki semuanya. Kukira aku bisa kembali lagi seperti sedia kala. Ternyata, aku telah menghancurkannya. 

Langkahku harus terhenti di sini, hanya sampai di sini aku bisa mengagumi. Selamat tinggal, aku akan terus berjalan menyambut chapter selanjutnya. 


Michiko 

Photo by Ivan Jevtic on Unsplash


25 September 2022

Duri Mawar Sengat Asmara

10:39 AM 1 Comments
Pernahkah kamu berteman dengan seseorang demi mendapatkan hatinya? Atau justru kamu hanya menjadi bagian kehidupannya tapi tak pernah mendapatkan hatinya? Kalau kamu pernah merasakan hal itu, mungkin kita ada di posisi yang sama saat ini.

Aku seorang perempuan—yang bisa dibilang bodoh atau mungkin beruntung—yang saat ini sedang berteman dengan seseorang yang sudah kusukai sejak dua tahun silam. Usia pertemanan kita belum genap dua tahun, tetapi perasaanku padanya justru usianya lebih tua dari itu.

Enam bulan sebelum aku berteman dengannya, muncul rasa yang bersemi di hatiku. Dia menarik perhatianku dan selalu membuat jantungku berdebar-debar setiap ada di dekatnya. Memasuki bulan ke-tujuh, aku memutuskan untuk memberanikan diri menampakkan diri di hadapannya. Menunjukkan eksistensiku sebagai seorang penggemar rahasianya. Dan aku... berhasil menembus pintu hatinya dan ditempatkan sebagai seorang kawan. 

Menurutmu itu tindakan waras? Tidak. Dia bak setangkai mawar, indah kupandangi dari jauh. Namun, saat aku mendekatinya dia justru melukaiku. Semakin aku mengenalnya, semakin banyak pula nama-nama wanita cantik yang ia sebutkan dalam kisahnya. Aku hanya berperan sebagai wadah. Hatiku yang bolong, harus tetap bisa menampungnya dan menambal lubang itu sendirian. Sakit, apalagi tidak pernah ada namaku disebut selama dua tahun kami berteman. 

Entah siapa—atau apa—yang dia cari dari wanita, tapi berulang kali dia bergonta-ganti pasangan dan itu selalu tak bertahan lama. Alasannya putus cinta pun bermacam-macam, ada yang karena wanitanya terlalu manja, terlalu mandiri, terlalu tinggi untuk dicapai, terlalu posesif, terlalu overprotektif. Dan aku hanya bisa tertawa mendengar spesifikasi yang dia cari. Terlalu sempurna. Mana ada di dunia? Toh kalau aku jadi wanitanya pun, pasti ada kekuranganku sendiri yang akan membuat dia meninggalkan aku—jika dia tak mau menerimanya.

"Mana ada yang kayak gitu?" sanggahku. "Kalau kamu mau cari orang yang bisa terima kekurangan kamu, kamu juga harus bisa terima kekurangan dia. Jangan egois. Maunya dimengerti terus tapi nggak mau belajar buat mengerti orang lain."

Setelah itu, dia tak banyak bertingkah lagi. Dia tidak mencari wanita lagi. Penampilan dan sikapnya, tidak seperti biasanya saat dia sedang gencar mencari wanita. Kupikir, dia sudah lelah mencari orang yang cocok untuk bersanding. Padahal, saat itu pula aku masih menunggu namaku disebut sebagai wanita selanjutnya—atau bahkan mungkin berharap menjadi wanita terakhir. Konyol memang. Kenapa aku tak mengungkapkan perasaanku kepadanya ya? 

Aku terlalu banyak pertimbangan, lebih tepatnya takut dengan penolakan. Aku takut sikapnya tak akan sama lagi setelah aku mengungkapkan perasaanku. Bagiku, berada di sisinya, mencoba menguatkannya saat ia goyah adalah hal yang indah. Dan aku tak ingin kehilangan momen ini. Namun, sepertinya strategiku salah. Semua yang kudapat hanyalah luka. Aku terlalu banyak diam. Mereka yang menyatakan perasaannya lebih dulu justru yang berhasil mendapatkan dia. Apakah sistem kerja romansa di dunia ini adalah siapa cepat dia yang dapat? 

Beberapa bulan, aku tak mendengar kabar dia jatuh cinta lagi. Usia pertemanan kita pun terus bertambah. Aku heran tapi tak mau tahu. Aku cuma mau tahu, kapan namaku akan terpatri di hatinya.

"Nggak ada cerita baru nih?" tanyaku saat ia sedang sibuk dengan laptop dan kursor yang berkedip.

"Cerita apaan?" 

"Cewek baru... mungkin?" ucapku ragu. 

"Nggak ada," singkatnya. "Lagi sibuk proyek dulu. Urusan cewek nanti lagi."

Lantas, ia kembali sibuk dengan pekerjaannya. Aku hanya duduk termenung. Setan apa yang sedang merasuki dia? Kenapa tujuannya tiba-tiba berubah haluan?

Hari demi hari berlalu. Satu minggu. Dua minggu. Tiga minggu. Satu bulan. Dua bulan. Aku sudah lupa dengan tujuan utama dia, manusia pencari cinta sejati. Aku pun menganggap perjalanan ini sudah usai. Garis finish-ku adalah seorang teman cerita. Hari terus berjalan. Usia pertemanan kami pun genap menginjak usia dua tahun. Dia sudah vakum selama enam bulan. 

Suatu hari, dia tiba-tiba berbeda. Si Pencari Cinta Sejati sudah kembali. Parfum satu botol dia guyurkan ke seluruh badannya. Rambutnya yang biasanya tak ditata rapi pun tiba-tiba berubah. Wajahnya terlihat sumringah. Semua gelagat enam bulan yang lalu pun kembali. Jelas, dia sudah kembali. Namun, ada satu hal yang mengganjal. Dia tidak cerita apa pun tentang wanita yang ini. Sama sekali. 

Berhari-hari dia terlihat seperti orang yang berbunga-bunga. Seolah kebahagiaan selalu menyertai langkahnya. Aku turut bahagia melihatnya. Walaupun ada sedikit kekhawatiran dan rasa iri terbesit dalam dada. Yang pertama, aku iri karena ada wanita yang bisa membuat dia bahagia setiap hari. Yang kedua, aku khawatir dia diam-diam menyebar undangan. Hal yang kedua, hanya asumsiku saja tapi cukup membuatku sakit. Pikiran yang nakal, berani-beraninya menyakiti hati yang rapuh. Daripada hatiku terus digerus asumsiku, aku pun mencoba bertanya langsung padanya.

"Kamu lagi jatuh cinta ya?"

"Hah?" Dia menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia melirik sejenak, lalu melemparkan pandangan lagi. "Nggak usah ngarang."

"Aku peka kok. Aku bisa merasakan perbedaan orang yang waras dan orang yang bodoh karena cinta."

"Jatuh cinta sama siapa sih? Emangnya kamu tahu? Kok tiba-tiba tuduh orang lagi jatuh cinta?"

"Nggak. Tapi kamu benar lagi jatuh cinta, kan?" Aku menilik wajahnya mencari jawaban serta kejujurannya yang barangkali tersimpan dibalik matanya. "Aku nggak tahu ke hati mana lagi kamu berlabuh, yang aku tahu kamu lagi jatuh cinta. Kamu lagi rela bodoh demi seseorang. Iya, kan?"

"Dih, sok tahu," ucapnya dengan tawa ledekannya.

"Heh! Kita berteman nggak cuma dua hari doang ya. Dua tahun, sudah dua tahun, Raffi!"

"Iya deh...." Ia mengalah dan mengakuinya. Namun, tak ada rasa senang atau penasaran yang menghinggapiku. Sebab, aku tahu, pekerjaan utamaku akan kembali setelah ini. Menampung kisah cinta dia dan wanita barunya di hati yang bolong.

"Pantesan beda," celetukku. Aku membuang pandanganku setelah menemukan jawaban yang aku cari. "On the way jadi orang bodoh lagi."

Dia tiba-tiba duduk di sampingku. Lengannya yang bertumpu di atas meja hanya berjarak beberapa milimeter dari lenganku dan bahunya hampir menyentuh bahuku. 

"Kamu mau tahu nggak, siapa yang kali ini bikin aku rela menjadi bodoh?"

Aku sudah tahu itu bukan aku. Hatiku baru saja remuk kembali oleh fakta dia sedang jatuh cinta—lagi. Aku terlalu terbiasa dengan dia yang sedang tidak menjadi bunga mawar. Jadi, demi melindungi diriku dari tusukan duri itu, aku akan menanyakan tentang itu lain kali.

"Kalau orang itu bukan aku, aku nggak peduli sih."

Entah mengapa, justru kalimat itu yang keluar dari mulutku. Aku sendiri justru kaget setelah sepersekian detik mendengar ucapanku sendiri. 

Dia menahan tawanya agar tidak lepas di tempat umum. Lantas, tangannya menyentuh kepalaku dan ia mengusapnya sembari mengacak-acak rambutku. "Kalau gitu, mulai sekarang waktunya kamu buat peduli tentang itu."

Alamak, duri itu melunak. Duri itu bukan membuatku berdarah, tapi kini menyengatku dengan kejutan asmara. 

Baca juga cerita pendek lainnya di sini

Duri Mawar Sengat Asmara by Nadhishafa

Michiko ♡

21 September 2022

Kupu-Kupu, Maukah Kau Pulang Bersamaku

12:32 AM 0 Comments
Aduhai Mak. Anakmu ini benar-benar sedang jatuh cinta. Entah yang ke-berapa kalinya.

Mungkin kau sudah lelah Mak mendengar berita anakmu jatuh cinta melulu. Ada makhluk tampan di TV, jatuh cinta. Ada lelaki tinggi sedikit, jatuh cinta. Ada lelaki wangi sedikit, jatuh cinta. Ada lelaki senyum sedikit, jatuh cinta. Ada lelaki baik sedikit, jatuh cinta. Bosan kali pasti kau dengar anakmu yang mudah jatuh cinta ini.

Sungguh, yang kali ini berbeda, Mak. Sakitnya cinta telah membuat anakmu berpikir berulang kali untuk jatuh cinta. Namun, setelah dipikir-pikir berulang kali pun aku tetap jatuh cinta, Mak. Bagaimana ini, Mak?

Kepalaku setiap malam berisik menggemakan nama dia. Kepalaku pusing membayangkan senyum dia dalam benakku. Tersulut kembang api yang menggelegar meramaikan dadaku setiap aku bertemu dia. Aduh, Mak. Anakmu ini sepertinya sedang benar-benar dimabuk asmara.

Kira-kira, dia membalas cintaku tidak, Mak? Alamak, betapa hancurnya aku kalau tidak dibalas rasaku.

Apa sebaiknya aku kejar saja dia, Mak? Akan tetapi, dia terlalu indah bak kupu-kupu, Mak. Semakin dikejar, semakin menjauh. Apa sebaiknya anakmu ini menjadi sebuah bunga agar dihinggapi makhluk indah sepertinya? Tidak juga, Mak. Kupu-kupu juga pilih-pilih tempat untuk hinggap dan itu belum tentu aku yang dia pilih.

Sepertinya, aku akan tetap duduk di taman kebahagiaan ini memandangi dia dari jauh saja, Mak. Dia hinggap di jariku, atau tidak, mungkin aku akan menanti sampai aku bosan mengaguminya terbang saja, Mak. Walaupun dari dalam lubuk hatiku ini, ingin membawa ia pulang bersamaku saja.

Mak, doakanlah aku pulang membawa kupu-kupu indah untuk kuhadiahkan untukmu. 
Kupu-kupu, Maukah Kau Pulang Bersamaku
Baca juga karya-karya lainnya di sini

Michiko ♡

4 Desember 2021

Superman Tanpa Jubah

2:08 PM 0 Comments
"Ayah" puisi karya nadhishafa. Dialah cinta pertamaku Dia pula patah hati terhebatku Terlepas dari dosa-dosanya, aku ingin berterima kasih sebanyak-banyaknya.

Hari ini, aku menangis di ujung ruangan. Teringat pada pekerjaan ayahku semalam yang tiada lelah dan tak menyerah saat kudapati ia sedang membetulkan benda-benda rusak di rumah. Sesulit apa pun hal yang dihadapinya, ia bisa melakukannya. Tidak sedikit pun menyerah. Sama sekali. Hanya dengan berlapiskan sarung dan singlet tipis yang menempel di tubuhnya, sepulang dari kantor ayah membetulkan kaki jemuran yang patah.

Aku tak pernah menyangka, bahwa saat itu lah aku menyadari betapa gigihnya perjuangan ia dalam melakukan sesuatu. Ia tidak pernah menyerah dan tidak akan pernah melakukannya. Pria yang selalu melakukan hal terbaik demi keluarganya. Mungkin, dia hanya bisa diam seribu bahasa. Tak pandai mengungkap rasa cinta. Terkesan egois dan memikirkan kebahagiaannya. Akan tetapi, jauh di alam bawah sadarnya, ia sangat mencintai keluarganya.

Hal sekecil kaki jemuran yang patah sudah cukup membuktikan bahwa ayahku orang yang pantang menyerah. Ia berkeliling kota mencari tiang penyangga besi untuk mengganti kaki jemuran yang patah. Dengan gigih, melubangi pipa-pipa besi agar dapat dipasang bersama rangka yang lainnya. Kadang pula mengulangi hal yang sama kala pipa-pipa itu belum tersambung dengan sempurna. Ayah seperti seorang ahli reparasi saat ia sedang melakukan pekerjaan ini.

Ayahku juga seorang pematri handal. Ia bisa membetulkan gagang panci yang patah juga menambal panci yang bolong. Ia tahu betul langkah-langkah yang harus dilakukan agar semua kembali seperti sedia kala walaupun tak sesempurna sebelumnya. Kelontang panci berbunyi di malam hari, bunyi kegigihan ayahku yang belum juga menyerah memasang baut panci yang kepanjangan. Rumah berantakan hanya untuk mencari si kecil mur yang hilang. Bagi ayahku, rumah berantakan bukanlah masalah besar yang penting panci yang rusak kembali sempurna, tidak buntung seperti sebelumnya. Dengan bangganya, ia memamerkan hasil kerjanya di hadapanku. Hebat. Dia memang seorang pematri yang handal.

Ayahku multitalenta. Selain bisa menjadi ahli reparasi dan pematri handal, ia juga ATM berjalan. Di sana lah aku mendapatkan pemasukan. Di sana pula aku mendapat pinjaman uang untuk hidup dan berkembang. Bahkan, menurutku ayahku lebih canggih daripada bank. Aku tak harus meninggalkan jaminan di muka untuk mencairkan dana hidup. Pernahkah kamu berpikir, bank mana yang rela meminjam uang kepada bank lain demi memenuhi permintaan nasabah kecilnya itu?

Aku, nasabah kecilnya, hanya menunggu beberapa waktu agar dana yang kuminta cair. Aku tak pernah tahu dari mana dana itu didapatkan. Aku tak pernah mau tahu saat bank hampir bangkrut karena nasabahnya yang terlalu banyak meminta. Aku tak pernah mau mengerti saat bank kehabisan dana, bahkan nasabah kecil ini cenderung tak tahu diri. Untungnya, bank ini tak pernah memblokir rekeningku dan memasukkan namaku ke daftar hitamnya. Sebab, dia bukan bank biasa. Dia adalah bank yang sangat amat super luar biasa.

Saat ini lah, aku menyadari bahwa aku memiliki ayah yang hebat. Bahkan lebih dari hebat sampai aku tak tahu diksi mana yang harus aku gunakan untuk mendeskripsikannya. Dia lah orang yang mengajarkanku arti kegigihan. Dia pula yang mengajarkanku artinya tanggung jawab dan kerja keras. Dia juga yang mengajarkanku arti kepedulian. Dialah cinta pertamaku, dia juga patah hati terhebatku.

Terlepas dari segala dosa-dosanya, aku tetap mencintainya. Aku mungkin tak pernah mengungkapkannya secara langsung. Namun, aku tetap berusaha untuk melakukan yang terbaik demi membuatnya bangga. Dia mungkin tidak bisa mereparasi masa laluku yang sempat hancur. Dia juga tak bisa mematri lubang di hatiku yang teramat dalam itu. Dia juga tak selalu bisa memenuhi seluruh keinginanku yang tak tahu diri itu. Akan tetapi, dia lah ayah terbaikku. Ayah yang mengerahkan seluruh jiwa raganya demi berjuang untukku.

Aku belum bisa melakukan banyak hal untuk membuatnya bangga. Aku belum bisa berbuat banyak untuk membuatnya bahagia. Dia telah memberiku banyak hal dan aku berterima kasih sebanyak-banyaknya atas hal itu. Terima kasih, Ayah. Aku mencintaimu. 

Ditulis oleh Michiko

Baca juga kisah-kisah lainnya di sini

20 November 2021

Cinta Bersyarat

5:58 PM 2 Comments
Cinta bersyarat
Kalau Tuhan menciptakan Adam dan Eve untuk bersatu, lantas mengapa masih ada perbedaan yang harus menghalangi kita untuk bersatu? Banyak pertanyaan di kepalaku yang hingga saat ini masih belum aku temukan jawabannya.

Seandainya aku terlahir sebagai manusia pertama di muka bumi, mungkinkah ada faktor lain yang menghalangi cinta kita? Mungkin, saat itu hanya ada aku dan kamu. Aku hanya akan jatuh cinta padamu. Aku hanya akan memilikimu. Tak ada halangan lain untuk mempertemukan cinta kita. Kita pun dengan mudahnya untuk hidup bersama.

Inilah sepotong percakapan di antara kita kala itu. 
"Aku pengen mencintaimu, tapi dengan satu syarat. Kamu jangan mencintai aku juga."

"Lho, kenapa?"

"Aku takut semakin cinta. Repot."

"Apa salahnya kalau kamu semakin cinta?"

"Kita tahu, cinta kita nggak bisa bersatu. Makin repot lagi."

Cinta memang tak bisa memilih kepada siapa dia akan berlabuh. Namun, kita bisa memilih untuk melanjutkan kisah ini atau berhenti sampai di sini.

Ditulis oleh Michiko

Baca juga kumpulan puisi lainnya di sini

1 Oktober 2021

Porsi Rezeki Abang Ojol

5:37 PM 2 Comments


Hari Selasa di bulan September, aku mengalami sebuah kejadian yang membuka mataku dan memberikan pelajaran yang berharga bagiku. Satu hal yang aku pelajari:

Rezeki setiap orang ada porsinya masing-masing dan gak akan lari ke mana pun.


Hal ini aku alami saat aku pergi ke Bandung untuk tes CPNS pada hari Senin dan Selasa. Pada hari Senin di malam hari, aku memesan makanan di aplikasi online dengan total 41 ribu. Saat itu, uangku genap 50 ribu dan aku gak punya uang receh untuk menggenapkan uang kembalian. Turunlah aku dari kamarku di lantai tiga dengan membawa uang 50 ribu di kantongku. Saat aku bayar ke abangnya, ternyata beliau gak ada uang sembilan ribu justru beliau cuma ada sepuluh ribu. Aku sendiri gak bawa seribu buat menggenapkan uang kembalian itu karena dompetku ketinggalan di kamar. Akhirnya, abangnya mengikhlaskan seribu itu dan memberikan kembalian sepuluh ribu. Aku banyak berterima kasih ke abangnya, mungkin ini rezekiku. Semoga rezeki abangnya dilancarkan selalu. 


Keesokan paginya, aku pesan bubur ayam di aplikasi online yang sama dengan total yang aku habiskan saat itu adalah 35 ribu. Sama seperti malam sebelumnya, aku bawa uang 50 ribu. Waktu aku bayar ke abangnya, ternyata abangnya cuma ada uang 14 ribu, yang berarti kembaliannya kurang seribu. Akhirnya, aku ikhlaskan aja kembalian seribu itu buat abangnya. Semoga abang ojol yang ini juga rezekinya dilancarkan selalu.


Saat aku kembali ke kamar, aku baru sadar. Ternyata, uang yang diikhlaskan oleh abang ojol semalam adalah rezeki abang ojol pagi itu dan aku hadir sebagai perantara. Aku jadi paham, ternyata rezeki orang itu ada porsinya masing-masing. 

Kalau rezeki itu untukmu, ia akan jadi milikmu. Kalau rezeki itu bukan untukmu, ia bukan milikmu. 


Lantas, kenapa kita harus khawatir akan hidup dalam kekurangan kalau ternyata manusia sudah punya porsi rezekinya masing-masing? 


Tugas kita sebagai manusia bukan menentukan siapa yang berhak menerima rezeki lebih banyak dari yang lain, tapi tugas kita adalah menjemput rezeki yang sudah ditetapkan untuk kita. 


Sekian tulisan untuk hari ini. 

Have a nice day,



Michiko ♡


Pictures source: Visual stories || Michelle on Unsplash

9 Juli 2021

Sambutan Fajar dalam Keputusasaan

11:09 PM 0 Comments
[CERPEN FIKSI] 

Sore itu, langit menyemburatkan cahaya jingga yang terang. Mesin berderu dan roda besi terus berputar menyongsong ke arah barat daya sebuah gunung tertinggi di negeri ini. Matahari senja mengikutiku sepanjang perjalanan itu. Seri menyelimuti wajahku bak topeng yang sangat damai dan menenangkan. Sudah kupikirkan hal ini beberapa saat di dalam kesunyianku, namun keadaan tak cukup sunyi untuk mengambil keputusan itu.

Sepanjang perjalanan singkat itu, mendung terbit meriak pada air mukanya saat kusebut tujuan terakhirku kepada seorang wanita tua yang tengah duduk di sampingku. 

"Kau benar-benar akan pergi ke sana?" tanya ia dengan wajah yang tampak cemas.

"Tak apa, aku hanya mengunjungi kawanku," ucapku menutup percakapan itu dengan senyum yang damai. Aku sudah mempersiapkan alasan itu. Sedetik berlalu, gemuruh guntur yang hampir menurunkan hujan lebat dari pelupuk matanya terseka oleh satu helaan napas dalam. Namun, keadaan itu tak pernah mengubah niatku kala itu.

Satu pesan yang ia bisikkan kepadaku sebelum aku turun di titik perhentianku, "Berhati-hatilah dengan roh jahat."

Kakiku menapak di atas tanah yang keras setelah beberapa langkah kaki membawaku pergi dari tempat perhentianku. Dengan sebuah tas ransel di punggungku, aku melangkah masuk ke dalamnya sembari membawa tekad yang terkumpul di dalam dada. Aku berjalan perlahan menyongsong jurang kekosongan. Sebuah peringatan abai untuk kuperhatikan.

"Anugerah?" Aku tertawa kecut. Bahkan di dalam hidupku, tak pernah aku menemukannya. Omong kosong yang tak berarti.

Lautan pepohonan ini meredam semua kebisingan, termasuk kebisingan yang selalu terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Matahari yang sejak tadi mengikutiku, mulai meredup disaring dedaunan. Membawaku terkungkung di dalam sebuah kesunyian dan kegelapan.

Kerasnya tanah yang kupijak sekeras tekadku hari itu. Tingginya pepohonan menghalangiku untuk kembali. Lubang-lubang besar di tanah ini terlihat persis seperti masalah-masalah yang selalu mengiringi langkah kehidupanku. Saat ini, lubang-lubang itu adalah rintangan dalam perjalanan terakhirku. Kesiur angin meniupkan beban-beban di bahuku. 

Sepanjang perjalanan, aku menemukan mereka yang mendahuluiku. Sekali sempat aku bertegur sapa dengan salah satu di antara mereka. Aku merasakan lelahnya perjuangan mereka untuk tiba pada titik ini.

"Kau pasti sangat lelah, semoga perjalananmu menyenangkan," tegurku pada salah satu di antara orang-orang yang aku temui. Aku tidak ragu sedikit pun untuk menegurnya. Meskipun aku tidak mengenalnya sama sekali tetapi aku tahu persis bagaimana rasa lelah yang mereka rasakan.

Lantas, aku kembali melanjutkan langkahku. Menelusuri rute terlarang hingga aku menemukan sebuah pohon besar dan permukaan tanah yang rata. Tempat yang sangat strategis untuk bermalam. Duduk di bawah pohon besar, cukuplah menjadi sandaran lelahku seperti tertidur di pangkuan ibunda. 

Sepotong ingatan kehangatan sang ibunda terlintas sejenak saat aku memejamkan mata. Sepersekian detik kemudian, potongan itu berganti dengan celaan dan hinaan. Aku segera mengalihkan pikiranku dari hal menyakitkan itu. Sepotong kenangan masa kecil yang indah kembali terlintas sejenak, namun tak lama kemudian teriakan kasar dan cacian yang memekakkan telinga mulai mencabik ingatanku. 

Matahari semakin meredup ditelan malam. Hari mulai gelap, aku bahkan tidak bisa melihat apa pun di sekelilingku. Aku juga tak bisa menemukan jalan pulang. Lautan pepohonan ini benar-benar senyap. Tak ada kor jangkrik yang bernyanyi dan menyapa. Tak ada pula monyet-monyet yang bersahutan memanggil sesamanya dari satu pohon ke pohon lainnya. Benar-benar tempat yang sangat tenang. Tempat ini sangat menjanjikan untuk dijadikan tempat peristirahatan yang penuh dengan kedamaian. Aku bisa beristirahat dengan damai di sini.

Dinginnya angin berbisik membelai bulu kudukku. Aku merapatkan jaket yang melekat di tubuhku. Sedikitnya, ia memberi kehangatan saat perasaanku justru membeku. Bisikan dari kepalaku mulai menjalari pikiranku. 

Aku manusia gagal. Aku tidak bisa memenuhi keinginan orang-orang terdekatku. Aku lahir membawa kekecewaan. Tak pernah sekalipun mereka bangga kepadaku. Aku adalah kesialan yang dilahirkan tanpa kesengajaan. Selama ini aku hanya membawa kesulitan dan masalah di dalam keluargaku. Tak sedikitpun kebahagiaan kuberikan kepada mereka yang membawaku ke dunia ini. Aku bukan anugerah. Aku adalah sebuah kutukan. 

Kedua tanganku memeluk ransel yang ada di pangkuanku lebih erat. Tanpa sadar, bulir air menyembul di ujung netra dan jatuh membentuk parit kecil di pipiku. Dada terasa sesak hingga tenggorokanku terbakar. Ujung jari-jariku membeku dalam bentuk kepalan tangan. Teriakan itu hanya bisa kuredam. Sekali pun aku meneriakkannya, tak akan ada yang bisa memahami rasa sakitnya.

Entah berapa menit sudah berlalu, entah berapa jam terlewati. Sudahkah lewat tengah malam atau masih sekitar pukul sepuluh malam, aku tidak yakin. Namun, yang paling jelas aku rasakan adalah udara semakin dingin hingga menyelinap ke dalam pakaianku dan menusukkan jarum-jarum beku ke tulang-tulang tubuhku. 

Pikiranku terlalu sibuk mempertimbangkan keadaan. Carut-marut di dalam benakku membawa kegelisahan. Rasa jijik dengan kehadiran diriku sendiri semakin menyelimutiku. Hingga sebuah bisikan berkelebat di telingaku. 

"Kau ingin bergabung dalam kedamaian?" 

Suara itu terasa dekat, berbisik tepat di telinga. Namun, aku tak yakin dengan wujudnya. Suara itu terus terngiang di telingaku seperti alunan musik yang menggoda. Berulang kali bisikan itu terdengar di telingaku. Rasa penasaranku mendorongku untuk membuka mata. Lantas kudapati seorang wanita berpakaian kain putih dengan rambut panjangnya tersenyum di hadapanku sambil berkata, "Kau mau bergabung bersama kami?"

Aku tak bisa berucap sedikit pun. Lidahku benar-benar kelu saat mendapati kehadirannya. Roh yang berkeliaran di hutan ini benar-benar ada. Padahal, kisahnya hanyalah sebuah kisah turun temurun yang masih dianggap mitos belaka. 

"Tempat ini menjanjikan kedamaian untukmu. Tak ada lagi rasa sakit, hanya ketenangan jiwa yang akan kau bawa."

Bisikan itu menggetarkan jiwaku. Sekian detik aku bergeming, lalu hatiku menyetujuinya. Kekalutan yang sejak tadi tak kunjung berakhir membalut perasaanku, mulai menemukan titik terangnya. Simpul tali kekacauan yang kusut perlahan menemukan cara untuk melepas ikatan kusutnya. 

"Jika kau ingin bergabung, kami akan menunggumu."

Sosok itu pergi dan menghilang di balik batang pohon yang berjajar rapat. Langit yang semula dikungkung kegelapan mulai bersambut fajar. Semburat jingga menerangi langit yang memberi sedikit penerangan untuk penglihatanku. Fajar menyambutku dalam keputusasaan. Aku telah mengambil keputusan itu.

Lembayung fajar yang bersemburat di cakrawala dengan indah memanjakan mataku. Kesunyian sungguh membawa kedamaian hingga merasuk ke dalam jiwa. Sunyi. Senyap. Tenang. Tak pernah aku rasakan ketenangan semacam ini sebelum aku datang ke sini. Suara alam dan angin yang berkesiur bersahutan merdu membelai telingaku. Cahaya matahari malu-malu mengintip dari dedaunan yang rimbun. Setidaknya, jika aku tak pernah menemukan keindahan di dalam kehidupanku, pemandangan ini adalah hal terindah yang pernah kulihat di akhir hayatku. Maafkan aku dan terima kasih banyak.

Angin memeluk tubuhku. Aliran napasku tersendat. Air mataku menetes begitu derasnya. Pohon ini mendekapku untuk beristirahat di dalam pangkuannya. 

Aku berharap bisa melindungi mereka yang kutinggalkan. Setidaknya, kehadiranku di sini akan menjadi berkat bagi mereka yang masih menjalani kehidupannya. Aku tidak sendirian di sini. Mereka menantiku di depan gerbang, menyambutku dengan senyuman. 

Wahai keluarga baruku, terimalah aku sebagai bagian dari kehidupanmu yang baru.

***

Baca juga cerita pendek lainnya di sini

Ilustrasi: Hutan Aokigahara

Ditulis oleh Michiko

Picture by Akira.t on Pixta

6 Mei 2021

Belajar Tentang Keserakahan dari Buku Aroma Karsa Karya Dee Lestari

6:09 PM 0 Comments
Buku merupakan jendela dunia bagi semua orang. Dengan membaca buku, kita bisa mendapatkan manfaat untuk membuka mata dan pikiran terkait fenomena yang terjadi di dalam hidup. Buku jenis apa pun itu, baik fiksi maupun non-fiksi, tentu akan membuka pikiran kita tentang dunia dan mendorong kita untuk melihat dunia dari berbagai sudut pandang.

Kali ini, sudut pandang kehidupanku kembali terbuka setelah membaca buku novel fiksi karya Dee Lestari yang berjudul Aroma Karsa. Setelah berbagai pelajaran hidup aku dapatkan dari dalam buku ini, aku pun tergugah untuk mencatatnya dan mengabadikannya sekaligus membaginya dengan kamu dalam bentuk review novel Aroma Karsa.

Sebelum aku memaparkan pengalamanku dalam membaca buku ini, ayo kenali terlebih dahulu identitas buku yang telah aku baca kali ini.

Identitas Buku

Ulasan Novel Aroma Karsa Karya Dee Lestari
  • Judul: Aroma Karsa
  • Penulis: Dee Lestari
  • Tahun: 2018
  • Penerbit: Bentang Pustaka
  • ISBN: 978-602-291-463
  • Jumlah halaman: 710 hlm
  • Bahasa: Bahasa Indonesia
  • Genre: Fiksi, Romansa, Misteri, Fantasi, Petualangan, Sejarah
  • Harga: Rp. 125.000 (Pulau Jawa)

Sinopsis Aroma Karsa

Raras Prayagung, seorang presiden direktur sebuah perusahaan parfum, mendapatkan mandat dari neneknya untuk mencari Puspa Karsa. Puspa Karsa dipercaya sebagai sebuah bunga yang dapat mengubah dunia dan hanya menunjukkan diri pada orang-orang pilihan melalui aroma.

Raras Prayagung menduga aroma Puspa Karsa dapat dicium oleh anak perempuannya, Tanaya Suma, yang punya kemampuan indera penciuman yang tajam. Akan tetapi, Suma terlalu sensitif dengan bebauan sehingga Raras Prayagung harus menunda ekspedisi pencarian Puspa Karsa sampai anaknya siap mempersiapkan indera penciumannya.   

Kemudian, Raras Prayagung bertemu dengan Jati Wesi yang memiliki kemampuan penciuman yang serupa dengan anaknya. Raras Prayagung meyakini bahwa Jati Wesi dapat mencium aroma Puspa Karsa karena ia dapat membaui berbagai jenis aroma dan bertahan di segala situasi, baik aroma nikmat atau busuk sekali pun karena ia berasal dari Bantar Gebang. 

Dengan ambisi yang kuat, Raras Prayagung mulai merekrut orang-orang untuk melakukan ekspedisi pencarian Puspa Karsa, bunga yang dapat mengubah tatanan kehidupan dunia.

Kesan Pertama pada Buku Aroma Karsa

Waktu pertama kali aku melihat buku ini di etalase Gramedia, aku langsung jatuh hati saat melihat sampulnya. Fun fact, aku membeli buku ini waktu sedang mengantre di depan kasir sambil melihat-lihat sampul buku, aku pun terpikat dengan sebuah buku yang berjudul Aroma Karsa. Aku sampai rela menukar buku yang mau aku beli dengan buku tebal bersampul akar-akaran dan serangga ini. Seolah buku ini bagai bunga yang menarik serangga (aku) untuk membeli buku itu.

Saat aku pegang buku itu, tebal banget dan berat. Awalnya tuh kaget, wow novel ini tebal banget ya? Aku sempat ragu, apalagi aku orang yang nggak begitu suka membaca alias gampang bosan. Akan tetapi, begitu aku membaca blurp di belakang bukunya, aku langsung memutuskan untuk mengambil buku ini. Sebab, aku punya ketertarikan terhadap buku-buku misteri atau fantasi. 

Pertama kali dibuka, bukunya menguarkan aroma yang khas, aromanya agak beda lah dengan aroma novel-novelku yang sebelumnya. Seolah aroma bukunya saja sudah bisa mengantarkan tema buku pada kesan pertama.

Gaya Bahasa yang Menyihir Pembaca

Gaya bahasa yang dipakai Dee Lestari itu benar-benar puitis dan rinci banget dalam mendeskripsikan suasana. Racikan kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, mengalir tanpa hambatan dan nggak disadari aku sudah baca beberapa bab dari buku itu. Gaya bahasanya itu sangat memikat dan membuat aku sebagai pembaca tersihir dengan pembawaan Dee Lestari dalam bercerita.

Cuman, sebagai seorang pembaca buku pemula, aku merasa bahasa yang digunakan oleh Dee Lestari itu berat. Banyak banget kata-kata arkais dan majas di dalam buku ini, kosa kataku nggak sebanyak itu untuk memahami buku ini tanpa bantuan KBBI. Ditambah lagi, aku perlu baca berulang kalimat-kalimat bermajas di dalam catatan Jati Wesi untuk memahami maknanya. Hitung-hitung, baca buku ini sambil latihan memperluas pengetahuan kosa kata.

Penggambaran Suasana yang Detail dan Mewah

Aku suka banget cara Dee Lestari menggambarkan suasana dalam novel Aroma Karsa. Saat membaca novel ini, aku merasa seperti diajak tour di rumah Raras Prayagung yang mewah. Penggambaran rumah Raras Prayagung tergambarkan dengan jelas dari mulai halaman rumahnya yang luas, bentuk teras dan pintu rumahnya, isi rumahnya, rumah kaca tempat tanaman, paviliun, dan satu lagi yang paling menarik: olfaktorium. 

Aku suka banget dengan penggambaran olfaktorium yang rinci, sampai aku membayangkan kalau bangunan itu punya interior sederhana dan nyaman. Olfaktorium yang berupa bangunan kubus, di dalamnya memiliki rak-rak yang penuh dengan botol-botol parfum dipajang di setiap raknya, sofa yang diletakkan di dalam ruangan, meja untuk meracik parfum yang ada di tengah ruangan, penggambaran itu membuat aku bisa memvisualisasikan bentuk olfaktorium.

Selain itu, penggambaran Gunung Lawu dan Desa Dwarapala juga begitu jelas digambarkan oleh Dee Lestari. Visualisasi hutan tergambarkan dengan jelas sampai aku merasa seperti sedang ikut ekspedisi ke Gunung Lawu, rumah-rumah penduduk Desa Dwarapala yang menggantung di atas pohon, juga Goa tempat Puspa Karsa berada, bisa aku bayangkan semua dengan jelas. Semua penggambaran latar dijelaskan secara rinci dan mencengangkan. 

Ditambah lagi, penggambaran emosi dan aktivitas karakternya dijelaskan dengan sangat detail. Aku seperti bisa merasakan apa yang tokoh-tokoh Aroma Karsa alami. Bahkan, aku bisa membayangkan apa yang sedang mereka lakukan. 

Plot yang Penuh Kejutan

Awalnya, aku mengira kalau plot yang ada di novel ini bakalan biasa aja seperti halnya genre romance biasa, kisah cinta yang berawal dari kebencian. Plot itu mainstream banget kan ya, rasanya pasti ketebak lah apa yang bakalan terjadi. Walaupun begitu, tetapi ada plot lain yang membuat aku terkejut. Ternyata, di belakang kisah cinta itu ada kisah misteri dan teka-teki yang mengikuti. Kisah itu bercerita tentang jati diri Jati Wesi dan juga dosa-dosa masa lalu yang pernah dilakukan Raras Prayagung.

Aku tercengang waktu baca plot twist-nya. Aku nggak kepikiran sama sekali tentang alur ceritanya yang bakalan dibawa melenceng jauh dari dugaanku sendiri. Dee Lestari berhasil membuat aku terkecoh dengan ekspektasi plot yang aku bayangkan. 

Belum selesai aku tercengang karena plot twist-nya, Dee Lestari membuat aku berdecak kagum dengan cara dia menyambungkan timeline dari zaman dahulu yang serba kuno dengan zaman sekarang yang serba modern. Alurnya mengalir dengan halus banget sampai aku nggak sadar kalau sedang diajak flashback ke masa lalu. 

Kemudian nggak cuma itu aja, aku kagum banget sih dengan cara Dee Lestari menyatukan dua dunia, antara realitas dan fantasi. Seolah di antara dunia itu nggak ada batasnya, bahkan batasnya jadi saru, nggak bisa dibedakan. Begitu mengikuti alur ceritanya, aku merasa seperti dibawa ke Desa Dwarapala dengan penduduk yang punya super power dan ternyata kehadirannya berada di dunia fantasi.

Saat dibawa berpetualang dalam ekspedisi pencarian Puspa Karsa, aku mulai bisa menyatukan kepingan-kepingan puzzle yang aku baca di bab sebelumnya dan menyimpulkan apa yang terjadi pada setiap karakternya. Pada saat itu pula, aku bisa melihat perkembangan karakternya, ketulusan cinta sepasang kekasih, ketulusan cinta antara orang tua dan anak, juga keserakahan dan kelicikan seorang manusia.

Nggak terasa, usai petualangan ekspedisi Puspa Karsa, aku mengira akhir cerita akan menjadi sebuah kisah bahagia. Akan tetapi, Dee Lestari rupanya ingin mempermainkan rasa penasaran pembaca dan membuat akhir ceritanya menggantung alias open-ending.

Karakter yang Membuat Jatuh Cinta dan Unik

Ada tiga pemeran utama dalam kisah ini, Jati Wesi, Tanaya Suma, dan Raras Prayagung.

Jati Wesi

Jati Wesi digambarkan sebagai seorang pria yang punya tubuh "atletis" karena suka bersepeda dan angkat "beban", beban berupa pupuk dan perkakas untuk berkebun. Dia punya sifat yang pendiam dan cenderung digambarkan sebagai seorang introvert karena dia lebih suka bercerita pada buku catatannya ketimbang mengobrol dengan orang lain. Hal ini membuat dia menjadi orang yang sulit untuk diajak bekerja sama dan kikuk saat bertemu orang baru.

Walaupun begitu, Jati Wesi memiliki sifat yang hangat. Aku jatuh cinta banget dengan satu karakter ini, rasanya ingin aku pacarin, eh hahaha. Jati Wesi itu sosok yang sangat romantis, apalagi waktu dia diam-diam menulis surat untuk Tanaya Suma dalam buku catatannya. Pokoknya, aku meleleh waktu membaca aktivitas Jati Wesi yang menunjukkan sisi romantismenya.

Perkembangan karakter Jati Wesi juga cukup membuatku kagum. Dia yang semula orang pendiam dan dingin seiring waktu berubah menjadi seorang pria pemberani dan romantis.

Tanaya Suma

Tanaya Suma digambarkan sebagai seorang wanita yang memiliki paras cantik dan tubuh yang molek. Suma punya sifat sensitif dan cenderung pemarah, juga punya ambisi yang kuat seperti ibunya, Raras Prayagung. Menurutku, Suma ini sebenarnya adalah seorang ekstrovert tapi dia jarang bergaul karena hambatan indera penciumannya yang terlalu peka. Hal ini membuat Suma hanya punya satu teman saja, yaitu Arya. 

Awalnya, aku sebal banget sama Suma karena menurutku dia itu aneh. Dia memusuhi Jati, padahal Jati nggak ngapa-ngapain. Dia bawaannya kesal terus kalau melihat Jati bahkan sampai membuka rahasia Jati untuk menjatuhkan Jati demi ambisinya.

Perkembangan karakter Suma nggak terlalu banyak mengalami perubahan. Perubahan yang dialami cuma perlakuan dia terhadap Jati, yang semula benci banget dengan Jati malah ujungnya nggak mau jauh-jauh dari Jati.

Raras Prayagung

Raras Prayagung digambarkan sebagai seorang wanita tua yang masih sehat dan kuat. Raras punya sifat peduli, sangat ambisius, dan digambarkan sebagai karakter yang sempurna karena berhasil menjadi wanita yang kaya dan berpengaruh di usia muda.  

Kepedulian Raras Prayagung terhadap hal-hal kecil, ternyata ia gunakan untuk melancarkan ambisinya. Seolah kepeduliannya itu menjadi sebuah alasan untuk memaksa orang lain melakukan hal sesuai kehendaknya. Menurutku, Raras ini sering melakukan gaslighting kepada mereka yang lemah untuk mengikuti keinginannya.

Perkembangan karakter Raras sebenarnya nggak terlalu kentara tetapi Raras dibuat sebagai orang yang baik dan lemah lembut di awal cerita sehingga memberikan kesan pertama yang bagus. Padahal sejak sebelum ekspedisi dimulai, Raras memang sudah punya sifat serakah dan punya ambisi yang kuat.

Keunikan Karakter Lainnya

Selain penggambaran tiga karakter utama yang rinci, Dee Lestari memberikan keunikan masing-masing bagi setiap karakternya agar mudah diingat oleh pembaca. Misalnya:
  • Anung sebagai pria tua yang linglung dan nggak nyambung kalau diajak berbicara.
  • Sarip dengan logat Betawi yang kental.
  • Khalil dengan ciri khas kumis dan pecinya.
  • Nurdin dengan perut buncit dan keegoisannya.

Keserakahan Menjadi Sebuah Pelajaran Utama

Setelah membaca buku Aroma Karsa secara keseluruhan, aku mendapatkan pelajaran baru. Bahwa:
Jika kita menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, maka bukan keberhasilan yang akan kita dapatkan melainkan petaka dan kesengsaraan. 

Amanat yang disisipkan oleh Dee Lestari dalam buku Aroma Karsa ini membuka pemikiran kita bahwa apa yang pernah kita tabur akan kita tuai di masa mendatang. Apa yang kita lakukan di masa lalu akan mendapatkan balasannya di kemudian hari. Karma.

Kutipan Favorit dalam Buku Aroma Karsa

Kutipan tentang rezeki:
Jika rezeki adalah satuan, di mata Nurdin waktu adalah mistar yang dibagi oleh garis-garis rezeki.
— Dee Lestari, Aroma Karsa Bab 3
Kutipan tentang memaknai kekurangan:
Saya percaya, apa yang terlahir bersama kita adalah anugerah.
— Komandan Mada dalam Aroma Karsa Bab 4

Kesan Setelah Membaca Buku Aroma Karsa

Setelah membaca buku Aroma Karsa secara keseluruhan dan tiba pada halaman Tentang Penulis, rasanya aku nggak rela buku itu tamat. Walaupun drama banget, tapi rasanya sesak waktu baca halaman Tentang Penulis dan membuat aku meneteskan air mata. Belum mau pisah dengan Dee Lestari dan Jati Wesi huhuhu.

Buku ini berhasil membuat aku gagal move on! Aku sampai baca ulang buku ini hanya untuk melihat sosok Jati Wesi. 

Penilaianku terhadap buku ini: ⭐⭐⭐⭐⭐ (Recommended and I love it!)

Aku rekomendasikan buku ini untuk kamu yang suka membaca kisah fantasi dan misteri. Buku ini cocok untuk dibaca oleh remaja dewasa yang berusia 18 tahun ke atas. Jadi, hati-hati untuk pembaca di bawah umur karena terdapat bagian cerita yang melibatkan erotisme di dalam karya sastra ini. 

Sekian ulasan yang aku paparkan untuk novel Aroma Karsa karya Dee Lestari. Aku berharap Dee Lestari bisa menghasilkan novel-novel misteri seperti buku Aroma Karsa lebih banyak lagi.

Sekarang, kamu sedang baca buku apa? Bisikin dong di kolom komentar! 

Sampai jumpa di lain waktu. Selamat membaca!

Have a nice day,


Michiko ♡

Picture by nadhishafa

3 April 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 8: Dilema Tak Berujung]

11:04 PM 0 Comments
Ingatan masa lalunya itu membawanya pada ekor perjalanan hidupnya. Lambat laun seiring berjalannya waktu, Grace semakin didera penderitaan yang semakin mendalam. Ia mungkin bisa bebas dari kehidupan yang dipenuhi oleh hasrat yang sebenarnya tak ia inginkan, tapi ia tidak bisa terlepas dari jeratan kehidupan hitam yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Grace memejamkan mata saat itu pula ia tak sadar di ujung pelupuk matanya mengalir embun yang membentuk sungai kecil di wajahnya. Mungkin ini adalah tugas terakhirnya.

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 7 - Rekam Memori yang Terkenang

Bagian 8: Dilema Tak Berujung

Mentari kembali menyeruak di kaki langit. Kelemayar lembayung kemerahan mewarnai cakrawala berhias bingkaian awan tipis. Semakin tinggi sang surya di langit, sinarnya semakin menyala dan membawa kehangatan bagi jiwa-jiwa yang menjalani aktivitasnya di atas pijakan bumi. 

Namun, seri mentari tak cukup membawa kebahagiaan bagi seorang gadis yang baru saja tiba di depan kantornya. Senyumannya pudar tak lagi memperlihatkan keelokannya. Matanya sembab dengan kantung mata yang lebih besar seperti kantung semar. Matanya yang bening dan kerapkali memancarkan kebahagiaan pun kini kuyu dalam balutan warna merah. Penampilannya pun amat berbeda dari biasanya, riasan di wajah tidak cukup mampu menyembunyikan kegelisahan pada wajahnya.

Terlalu banyak hal yang ia pikirkan semalam, salah satu dari jutaan hal yang mengusiknya adalah seorang pria yang sejak Grace turun dari taksi sudah terlihat memandang sekitarnya sambil menyapa karyawan-karyawan yang melintas di hadapannya dengan ramah. Grace menunduk, sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya. Ia menghindari temu pandang dengan pria itu dan berharap pria itu meluputkan perhatiannya. 

Namun, justru gadis itulah yang pria itu tunggu dari sekian banyak karyawan yang sudah ia sapa. "Grace!" Jo berlari kecil menghampiri Grace seperti tidak mau tertinggal langkahnya dari Grace. 

Grace mengangkat wajahnya. Ia memandang Jo dengan tatapan matanya yang sejak awal sudah terlihat kuyu. Sebisa mungkin ia mengembangkan senyumnya saat menyambut kedatangan pria itu. 

Langkah Jo memelan begitu melihat keadaan Grace. Gadis itu berpenampilan tidak serapi biasanya seperti ia sedang berada dalam kekacauan yang meluputkannya dari rutinitas pagi hari. Rambut gadis itu tampak tidak tersisir dengan rapi, beberapa anak rambut berdiri. Gadis itu juga sepertinya lupa menyemprotkan minyak wangi sebab aroma tubuh Grace saat ini berbeda dari aroma yang biasanya tercium. Serta riasan wajahnya tak mampu menyembunyikan wajah bengkak akibat menangis semalaman.

"Kau baik-baik saja, Grace?" tanya Jo.

"Iya, aku baik-baik saja, Jo," jawab Grace sambil mengembangkan senyumannya begitu mendengar pertanyaan Jo, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia mengangguk sambil menyisir rambutnya yang terkucir dengan jari. 

Namun, gerakan itu tampak mencurigakan bagi Jo sehingga Jo kembali bertanya, "Kau yakin baik-baik saja?" 

"Aku seratus persen yakin, Jo." Grace menghela napasnya, jemu akan pertanyaan berulang itu. Selain diburu waktu, ia ingin segera meninggalkan pria itu. Rasa bersalah terasa berkabut melapisi seisi benaknya, terlebih setelah Jo terlibat dalam konflik hidupnya. 

"Yang benar?" Jo kurang puas dengan jawaban Grace.

Grace melirik pergelangan tangannya. Namun, ia terkejut saat jam tangan silver yang biasa dikenakannya tak ada di sana. Grace menyembunyikan tangan ke belakang punggungnya. "Sudahlah, Jo, aku pergi ya? Nona Kim bisa mengomel jika aku terlambat."

Jo tak ingin segera melepaskan gadis itu. Ia belum yakin bahwa Grace baik-baik saja. Maka, ia mencoba mengulur waktu sambil menyelidiki raut wajah Grace. Jo meraih pergelangan tangan Grace saat gadis itu beranjak pergi.

Jo memandang wajah Grace, menyelidiki perubahan ekspresi gadis itu. "Uhm... Grace, kau membaca pesanku?"

Grace menghentikan langkahnya. Ia teringat akan dua pesan Jo. Setelah bertanya, Jo kembali mengirimkan pesan untuk mengajaknya patroli malam bersama lagi. Ia mengangguk. "Iya, aku baru membacanya tadi pagi. Jadi, aku tak sempat membalasnya."

Jo ber-oh pelan. "Jadi, kau mau mulai kapan? Aku ada jadwal berjaga malam—"

"Maaf, Jo. Aku buru-buru sekarang," sela Grace. Raut wajah Grace yang semula menyembulkan sebuah senyuman berubah serius. Senyuman itu pudar berganti kegelisahan yang terbit pada guratan wajahnya. Grace melepaskan tangan Jo yang menggenggam pergelangan tangannya. "Bisa kita bicara nanti?"

Reaksi itu benar-benar di luar dugaan Jo. Grace berubah dalam semalam. Grace membalik badan dan buru-buru melangkah pergi. Ia seperti menghindari Jo pagi itu.

Jo terpaku menatap kepergiannya. Apa yang sebenarnya terjadi kemarin hingga membuatnya menjadi seperti itu?

***

Gertakan Jun kemarin membuat Grace terlalu banyak menghabiskan energi untuk memikirkan strategi selanjutnya. Ia sudah mantap mendekati target lewat jalur belakang. Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya ia sangat tidak menginginkan untuk kembali ke masa lalu yang amat dibencinya. 

Baru kali ini, ia merasa bodoh. Ia tidak seperti sebelum-sebelumnya, yang berhasil menjalankan tugasnya dengan rapi tanpa jejak apa pun. Ia tahu muara kegelisahan ini berasal dari dilema yang tak berujung. Pilihan antara hidup atau mati. Berhenti atau lanjut. Patuh atau bebas. Baik atau jahat. Jo atau Ray.

Grace mengetuk keningnya dengan ujung pulpen. Kepalanya berasap memikirkan hal yang sama sekali tak ada ujungnya sampai kertas-kertas pekerjaan di hadapannya terbengkalai. Hal itu menarik perhatian Nona Kim yang meja kerjanya terletak di seberang meja kerja Grace. Tidak tahan melihat Grace yang justru sibuk dengan pikirannya, Nona Kim menghampiri Grace.

Kehadiran Nona Kim yang diam-diam ada di depannya membuat Grace terperanjat. "Astaga! Kau membuatku terkejut."

"Grace, ini bukan waktunya melamun. Kau tahu ini pukul berapa?" Nona Kim menunjuk jam dinding yang terpampang di atas pintu ganda berwarna cokelat. Ia menekankan, "Dan kau, sama sekali belum menyentuh pekerjaanmu." 

Grace terbelalak melihat setumpuk kertas yang sama sekali belum terjamah. Waktu bergulir begitu cepat hingga membuat gadis itu tak menyadari tugasnya kian menumpuk. Ia berharap tugas itu selesai dengan sendirinya. "Oh, iya. Maafkan aku, Nona Kim."

"Jangan menghabiskan waktu bekerja dengan pikiran kosongmu itu. Kau mau performa kerjamu aku laporkan kepada Tuan Ray?" 

Mendengar nama itu membuat Grace teringat sesuatu. "Nona Kim, apa kau bisa menyambungkanku dengan Tuan Ray?"

Nona Kim menatap Grace. Cengkeraman tangannya pada ujung meja Grace melonggar. "Untuk apa?"

Grace menggigit bibirnya sambil memainkan pulpen pada jarinya. Ia sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan Nona Kim. "Tentu saja untuk berbicara dengannya."

Wajah Nona Kim tampak kecut. Lantas, ia kembali ke meja kerjanya sambil berkata dengan dingin, "Tuan Ray sedang tidak ada di kantor untuk dua hari ke depan." 

"Ke mana dia?"

Nona Kim duduk di kursi sambil menatap layar komputernya. Ia menjawab dengan ketus. "Kau tidak tahu pekerjaan presiden direktur ya? Dia sibuk, tidak sepertimu yang kerjaannya hanya melamun dan pacaran."

Grace menyergah, "Aku tidak pacaran melulu!"

Nona Kim sama sekali tak peduli apa pun kata-kata yang diucapkan oleh Grace. Sebaliknya, Grace justru kepikiran dengan ucapan terakhir Nona Kim. Sedikitnya, ia terusik dengan ucapan Nona Kim. Sibuk? Kalau sibuk, kenapa dia selalu membuntutiku?

***

Waktu yang Jo miliki untuk beristirahat ia gunakan untuk pergi ke pantri dekat dengan ruangan Grace bekerja. Ia sengaja pergi ke sana untuk menemui Grace. Sejak tadi pagi, Jo merasa resah. Entah apa yang mengganjal tapi perasaannya semakin tidak enak setelah melihat telepon masuk ke ponsel Grace dan perubahan sikap Grace yang berubah hanya dalam semalam. Jo tiba di sana untuk memastikan keadaan Grace.

Jo masuk ke ruang pantri. Namun, yang ia dapati hanya seorang office boy yang cekatan menggerakkan gagang pel sambil berjalan mundur. 

"Tom, kau melihat Nona Grace?" tanya Jo pada Tommy seorang office boy yang lihai menggerakkan gagang pelnya. 

"Nona Grace?" Tommy berhenti menggerakkan gagang pel. Ia mengerling ke arah atas berusaha mengingat rupa pemilik nama itu. Namun, ia tak dapat menemukan rupa wajahnya. "Nona Grace itu yang mana, Jo?" 

"Itu... yang sering pakai blazer dan celana panjang. Rambutnya dikucir satu dan tingginya kurang lebih segini." Jo mengukur tinggi badan Grace kira-kira dengan tangannya. Ia meletakkan ujung jarinya dekat tulang pipinya. 

"Oh, yang sering pakai sepatu sneakers putih ke kantor itu?" Tommy berusaha menebak.

"Nah iya, itu!" Jo mengangguk setuju dengan identifikasi yang disebutkan Tommy. Pertemuan pertamanya dengan Grace adalah kali terakhir Jo melihat gadis itu mengenakan sepatu hak tinggi. Setelahnya, penampilan Grace berubah total, Grace tak pernah lagi menggunakan sepatu hak tinggi.

"Wah, aku belum melihatnya sejak tadi pagi, Jo. Biasanya, setiap pagi dia membuat kopi dulu ke sini, tapi sepertinya tadi pagi aku tak melihatnya datang ke sini."

"Oh, ya sudah kalau begitu. Terima kasih, Tom."

Tommy mengangguk. Ia melanjutkan pekerjaannya sambil menyeret kotoran debu keluar dari ruang pantri. 

Kini, Jo berada di pantri sendirian. Pria itu mondar-mandir menanti kehadiran Grace di sana. Pantri adalah tempat satu-satunya yang paling aman untuk bertemu dengan Grace. Sebab, hanya di tempat itulah mereka bisa mengobrol sejenak tanpa terkena omelan atau bisikan karyawan-karyawan lain yang menduga-duga mereka berpacaran pada jam kerja. Maka dari itu, Jo menetap di sana sampai ada panggilan yang berbunyi dari portofon yang menggantung di pinggangnya. 

Pintu pantri yang terbuka membuat Jo berbalik badan. Dugaannya terjungkir, bukan Grace yang hadir melainkan seorang wanita dengan riasan wajah yang tebal dan tubuh yang kurus seperti tulang belulang hadir di sana.

"Kau menunggu Grace?" tanya Nona Kim seraya memasuki pantri. Derap langkah sepatu hak terdengar khidmat.

"Iya, di mana dia?" tanya Jo. Ia berharap Nona Kim tahu, sebab wanita itu bekerja satu divisi dengan gadis yang ia tunggu.

"Dia ada di meja kerjanya. Tidak bergerak sedikit pun dari sana." Nona Kim meraih gelas lalu menuangkan air ke dalamnya.

"Sejak tadi pagi?"

Nona Kim membalik badan sambil meneguk air di dalam gelasnya. "Iya, kerjaannya hanya melamun sampai pekerjaannya pun tidak disentuh."

"Dia baik-baik saja?"

"Kenapa kau bertanya tentang itu kepadaku? Apa aku terlihat tahu segalanya tentang dia?"

"Setidaknya, tadi kau bersamanya." Tatapan Jo mengawang. Ia terpagut ke dalam ruang memori di hari sebelumnya, saat telepon masuk ke ponsel Grace, raut muka Grace yang berubah saat melihat riwayat panggilan, ditambah lagi perubahan sikap Grace yang drastis. Semua membuat kekhawatiran Jo akan hal yang terjadi pada Grace mengusik pikirannya. 

Nona Kim mengedikkan bahu. "Aku tak tahu. Kau mengkhawatirkannya?"

"Iya, aku mengkhawatirkannya dan aku mulai gelisah sekarang."

Nona Kim terkekeh ringan, merasa menang. Ia menyeringai di saat bibirnya bersentuhan dengan bibir gelas. "Sekarang, kau percaya dengan ucapanku tentang dia, kan?"

Jo melirik Nona Kim dengan tatapannya yang tajam. Wajahnya berubah masam. "Percaya atau tidak, itu tak akan mengubah keadaan saat ini."

Nona Kim mendengus. Jelas ia merasa kesal, Jo tak mengakui kekalahannya. Ia meneguk air lagi di dalam gelas. "Informasi tambahan untukmu, sepertinya Grace akan meneken kontraknya."

"Apa?" tanya Jo. Ia bukan tidak mendengar ucapan Nona Kim, tapi ia berharap kalau ia tidak salah mendengar informasi itu. 

"Dia akan mengambil posisiku."

"Posisimu yang mana?" Jo bertanya ragu. Perasaannya waswas manakala pikirannya melayang bahwa Grace akan menjadi mainan presiden direktur.

"Sekretaris...." Nona Kim meneguk sisa air yang tersisa. Kemudian, ia menambahkan, "Sekretaris pribadi. Kau tahu sendiri apa yang akan menjadi tanggungjawabnya nanti."

Jo benar-benar ditampar kenyataan. Ia menggelengkan kepalanya. "Sinting. Tidak, itu tidak boleh terjadi."

"Kau pikir aku berharap kalau itu akan terjadi, Jo? Aku sudah nyaman dengan posisiku itu! Bisa-bisanya dia dengan mudah mendapatkan posisi itu."

"Katakan apa yang harus aku lakukan?" Jo menggigit bibirnya.

"Kau pahlawan kesiangan, Jo." Nona Kim meletakkan gelas kosong di atas permukaan meja. "Kau hanya punya dua hari untuk mencegah Grace sebelum Tuan Ray kembali."

***

Petang telah mengintip di balik awan yang memancarkan rona kemerahan. Jo berdiri di depan posnya menanti Grace keluar dari gedung kantor. Namun, sudah beberapa jam berlalu gadis itu tak kunjung keluar dari gedung tinggi itu. Jo mulai resah, kesabarannya mulai menipis dijejak kegelisahan. 

Tak lama berselang, akhirnya gadis yang ia tunggu keluar dari gedung. Tatapan matanya kosong. Ia mengawang entah ke mana, hanya saja tubuhnya bekerja seperti robot yang diarahkan oleh sebuah remote control. Grace melangkah tanpa tujuan yang jelas. Wajahnya benar-benar suram bak mentari telah kehilangan sinarnya.

"Grace!" Jo memanggilnya saat Grace melewati gerbang.

Namun, Grace tidak mendengarnya. Pikirannya entah tertinggal di mana. Raga Grace terlihat tak berisi semangat sama sekali. Ia terus melangkahkan kakinya semakin jauh dari area perkantoran. 

Jo memutuskan untuk menyusul Grace. Ia khawatir, sesuatu akan membisikkan hal-hal aneh di telinganya. Terlebih setelah melihat gelagat Grace layaknya mayat hidup yang dipaksa untuk tetap bekerja membuat kegelisahannya semakin berkecamuk.

Jo berjalan di belakang Grace. Ia mengawasi Grace dari belakang. Biasanya, sepulang dari kantor, Grace selalu pulang menggunakan taksi. Namun, malam ini, gadis itu tetap menekuri jalan seraya melangkah gontai. 

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Hanya tinggal enam hari, pikir Grace.

Jo menatap gadis itu iba. Tak pernah sekali pun ia melihat gadis pemarah itu murung hingga kehilangan sinarnya. Tak tahan melihatnya, Jo berlari menyusul langkah gadis itu. Ia merengkuh bahu gadis itu saat langkahnya sejajar dengan Grace.

Terkejut dengan rengkuhan yang ia kira orang asing, Grace menarik tangan yang menggantung di bahunya lantas memilin tangan seorang pria yang baru saja merengkuhnya. Tangan itu terlipat di belakang punggung pemiliknya hingga membuat Jo mengaduh. Tangkas, Grace mengentakkan lututnya pada kaki pria itu hingga membuatnya tersungkur.

Tak berdaya menahan ngilu pada bagian bahunya, Jo pun menyerah. "Ini aku, Grace! Ini aku!"

Grace melepaskan tangan Jo begitu menyadari pria yang baru saja dihantamnya. "Apa yang kau lakukan? Kau mengejutkanku, Jo! Maaf aku menyakitimu, aku kira kau orang mesum."

Jo meringis saat merasakan sisa-sisa ngilu di bahu dan lututnya yang bertumbuk pada permukaan paving. Lantas ia berdiri perlahan sambil menepuk debu pasir yang menempel pada celananya.

"Bisa-bisanya kau tak menyadari aku berjalan di belakangmu," gumam Jo.

"Iya, begitulah. Aku sedang memikirkan hal lain. Kenapa kau ada di sini?"

"Motorku kemarin mogok. Jadi, aku menitipkannya di bengkel."

"Kenapa kau tidak naik taksi saja?" Grace menyampirkan tas di bahunya dan kembali melangkah.

Jo ikut melangkah di samping Grace. "Ah, tempatnya dekat. Lagipula, aku melihatmu jalan sendirian. Jadi, kupikir akan lebih baik aku berjalan bersamamu. Berdua!" seru Jo sambil menyembulkan senyum.

"Kau tidak harus melakukannya, Jo." Grace memutar bola matanya.

"Omong-omong, kau tadi tidak pergi makan siang?"

Grace menggelengkan kepalanya. Ia menunduk, tak ingin bertemu pandang dengan Jo yang kini berada di samping kanannya.

"Padahal tadi aku menunggumu di pantri."

Grace melirik ke arah Jo ragu. Ia penasaran untuk apa pria itu menantinya di sana, tetapi ia urung bertanya. Alih-alih bertanya kenapa, Grace justru bergumam, "Aku tidak lapar, Jo."

"Kau mau makan bersamaku? Aku yang traktir!" Jo tersenyum. Matanya menatap gadis itu penuh harap agar Grace setuju.

Namun, harapan itu tidak menjadi kenyataan. Grace justru tertunduk dan menggelengkan kepalanya. Tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan Grace.

Senyum yang semula mengembang, perlahan memudar dari seri wajah Jo yang berbinar. Jo ikut diam. Sorot matanya tak mampu ia alihkan dari Grace yang tertunduk murung sejak awal. Ingin Jo memeluknya dan mendengarkan keluh kesah Grace. Ia ingin sekali mengusap punggung Grace dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Akan tetapi, Jo urung melakukannya. Sepanjang perjalanan, mereka terpisahkan sekat keheningan.

Mereka sudah dekat dengan bengkel yang ada perempatan jalan tempat motor Jo mogok pada hari sebelumnya. Jo mendapatkan ide lain untuk menghibur Grace tanpa harus memeluknya. "Grace, tunggu di sini!" Segera, Jo berlari ke arah bengkel tempat motornya menginap, mendahului langkah Grace.

Grace mengangkat wajahnya. Ia berhenti melangkah tepat di dekat tiang rambu lalu lintas. Entah apa yang ia pikirkan, ia mengikuti permintaan Jo. Padahal sejak awal, ia ingin menghindari pria itu bahkan memutuskan hubungan dengannya. Namun, rasa itu tak ingin melepaskannya dari Jo. Takdir seolah berkata sebaliknya, Jo tetap harus berada di sisi Grace.

Jo menggiring sepeda motornya keluar dari bangunan bengkel yang menguarkan aroma minyak, mesin berkarat, dan oli serta campuran karbon monoksida yang menggumpal menjadi satu di udara. Ia memosisikan sepeda motornya di bahu jalan dan mengeluarkan sebuah helm dari bawah jok motornya. 

Helm itu sengaja Jo bawa sejak pertama kali bertemu dengan Grace sebagai bentuk persiapan jika suatu hari ia akan berboncengan bersama Grace naik motor bututnya. Maka, inilah hari yang sudah dibayangkannya sejak lama. Jo memberikan helm yang ia simpan di bagasi motornya kepada Grace. "Pakailah."

Grace tidak segera mengambilnya. "Aku sudah bilang, aku tidak lapar, Jo."

"Siapa yang mau mengajakmu makan? Cepat pakai!" seru Jo. "Kau mau memakai helm ini sendiri atau aku yang memakaikannya padamu?"

Jo mengulurkan tangannya, berniat untuk memakaikan helm itu di kepala Grace. Namun, Grace segera menyambar helm itu agar tidak diambil alih oleh Jo. Grace mengenakan helm itu di kepalanya dengan terpaksa.

Jo telah bersiap menghidupkan mesinnya. Gumpalan asap berwarna abu-abu tersembur dari pipa knalpot. Mesin menderu menyabur suara Jo yang berucap, "Naiklah!"

Grace masih terpaku di tempatnya berdiri. Ia ragu, haruskah ia mengikuti permintaan Jo? Namun, belum sempat hatinya memutuskan, Jo sudah menarik lengan Grace dan membuat gadis itu menaiki motor itu.

"Kita mau ke mana, Jo?" tanya Grace setelah keheningan bertahan selama beberapa menit. Motor Jo sudah bergerak dan membawa mereka mengembara beberapa kilometer dari perempatan jalan. Suaranya tersabur deru angin yang menampar wajahnya. Kecepatan motor Jo yang tinggi membuat angin menerbangkan kegelisahan keduanya. 

"Jalan-jalan saja. Kau pasti butuh hiburan." Jo setengah berteriak sambil menekuri jalanan yang padat dengan mobil dan motor pada jam pulang kerja.

Waktu yang memburu Grace terasa lenyap dalam sekejap. Semua kegelisahan tentang sisa waktu yang dimilikinya terasa bukan apa-apa lagi. Ia hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang dimilikinya bersama Jo. Sebelum dirinya tak bisa bertemu lagi dengan pria itu. Untuk selamanya.

Gesit, Jo mengarahkan kemudi untuk menyalip celah-celah sempit di antara kedua mobil yang berimpitan. Tangan kiri Jo meraih pergelangan tangan Grace agar melingkar di pinggangnya, tanda Jo akan membawanya berlari sejauh mungkin dari masalah yang sedang berkecamuk di dalam benaknya. Jo menambah kecepatan laju motornya hingga wajah keduanya terasa tertampar angin dari arah berlawanan. Klakson kendaraan di sekitarnya juga berbunyi nyaring sebagai bentuk protes motor Jo yang mengebut tanpa melihat keadaan. Helm yang dipakai Grace nyaris terbang tertiup angin, membuat satu tangan Grace yang lain menahan helmnya agar tidak terbang dan hilang di tengah jalan.

Matahari senja mengikuti perjalanan mereka berdua hingga benda bercahaya itu berpamitan dengan waktu petang. Posisinya digantikan dengan bintang-bintang yang berkelip indah. Jalanan kian lengang setelah semakin jauh mereka berlari. Jalanan menanjak membawa keduanya berada di ketinggian yang cukup jauh dari perkotaan. 

Semakin jauh berlari, motor Jo batuk-batuk lagi. Kali ini, bukan karena mesinnya yang bermasalah tetapi jarum penunjuk bahan bakar menunjuk ke arah huruf E. Setelah membawa motornya mengebut kemarin, ia buru-buru membawa ke bengkel dan sekarang ia terbuai dalam momen yang ia nantikan selama ini sampai melupakan tugasnya untuk memberi minum kuda besinya.

***

Kedua pasang langkah kaki mengalun merdu menapaki jalan layang. Kerlip lampu-lampu rumah di kota bak bintang-bintang yang berserakan. Bulan purnama sempurna menampakkan wajahnya yang bercahaya dengan sedikit serabut awan tipis mengawal di sisinya. 

Kedua tangan Jo memegang kemudi, ia menggiring motornya untuk sampai ke puncak. Grace setia menemani di sampingnya. Tawa mereka pecah sepanjang jalan, mengingat detik-detik kejadian mogoknya Dodo, nama motor butut milik Jo. 

"Kau terlalu gila, Jo. Sekarang Dodo marah." Grace pecah dalam tawa.

Jo ikut tertawa. "Karena kau yang membuatku melakukan hal segila itu."

"Aku?" Grace menunjuk dirinya sendiri lalu tertawa. "Bagaimana mungkin? Lihatlah sekarang kita terdampar di mana? Bagaimana cara kita untuk pulang, Jo?"

"Mungkin, aku akan menggendongmu. Entahlah." Jo mengedikkan bahunya. 

Grace tertawa lepas sambil menepuk lengan Jo. "Sinting!"

Jo tidak keberatan dengan reaksi itu walaupun ia yakin lengannya akan memerah setelah itu. Ia jauh merasa lebih lega setelah melihat Grace tertawa. Kemudian, ia berhenti menggiring motornya dan membiarkannya bertengger di tepi jalan. Helm yang sejak tadi melekat di kepala, ia lepaskan.

"Kita istirahat sejenak, Grace." Jo mengawang jauh ke arah kota yang terlihat jauh lebih kecil. Jo menatap ke lampu yang berkumpul bagai konstelasi bintang. Ia memejamkan mata dan menghirup udara malam sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya. "Biarpun kita terdampar jauh dari kota, setidaknya kita tak merasakan beban lagi, Grace." 

Grace meletakkan helm di atas kaca spion, berjalan mendekati Jo yang berdiri di belakang pagar pembatas beton pada jembatan layang. Grace meletakkan tangannya di atas pagar pembatas, turut mengawang entah ke mana. "Sayangnya, kita tak pernah bisa lari dari kenyataan."

Jo manggut-manggut. "Iya, aku tahu. Ke mana pun kita berlari, kenyataan akan selalu mengikuti. Namun, setidaknya kita bisa melupakannya sejenak hingga kita siap menghadapinya."

Grace tersenyum kecut. Namun, aku tak akan bisa dan tak akan pernah siap.

"Grace," ucap Jo yang kemudian diikuti hening. Jo membalik badan, matanya memandang Grace. Ia menggamit tangan Grace. "Jika kau ingin bercerita, katakanlah padaku."

Grace menatap kedua mata Jo yang menatapnya begitu dalam. Jantungnya terasa berdebar kencang. Hatinya mendebat, ia tak boleh menatap pria itu lebih lama. Lantas, Grace membuang muka. Grace menarik tangannya yang berada pada genggaman tangan Jo. "Kau bicara apa sih, Jo?" 

Jo tidak ingin melepaskannya. Ia kembali menggamit tangan Grace dan menahannya dengan kedua tangannya. "Grace, lihat aku!"

"Jo—"

"Lihat aku!"

Kedua bola mata Grace bertemu dengan tatapan Jo. Tatapan keduanya bak dua kutub magnet yang tarik-menarik dengan kuat. Dunia terasa lebih luas dan lengang. Hanya ada mereka berdua di dalamnya.

"Jika kau ingin bercerita, katakanlah kepadaku. Jika kau ingin menangis, menangislah bersamaku. Jika kau ingin berlari, berlarilah bersamaku. Jangan pernah kau lakukan itu semua sendirian."

Pandangan Grace mengembun. Tatapannya redup. Ucapan Jo membangkitkan kecamuk huru-hara antara rasa dan logika. 

Logika meminta Grace untuk menjauhi pria itu atau semua rencana akan berantakan dan gadis itu akan kehilangan segalanya termasuk Jo. Namun, rasa meminta Grace untuk berada di bawah lindungan Jo. Kembang cinta yang semula kuncup kini mengembang sempurna setelah dipupuk. Sekalipun hayatnya terampas, setidaknya ia pernah tahu rasanya mencintai dan dicintai.

Jo menatap bola mata cokelat yang memantulkan cahaya itu. Perlahan tetesan embun menggenangi pelupuk mata kemudian terjun membentuk parit kecil di pipi gadis yang tengah ditatapnya. Jo pun mengusap air mata itu. Namun, tetesan air itu satu per satu mengalir membasahi pipinya tiada henti. Jo menarik tubuh Grace ke dalam pelukannya. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan dan katakan, selain menenangkan gadis itu dengan tepukan pelan di punggungnya.

Beberapa lama Grace puas meluapkan emosinya yang bercampur menjadi satu, Jo mulai mengajaknya kembali berbicara sembari mengusap sisa-sisa air mata yang meninggalkan bekas di pipinya. Bahu Jo basah dengan air mata tetapi Jo tak peduli dengan itu. 

"Grace, kau bisa berhenti kapan pun kau mau. Aku akan melindungimu dari siapa pun yang mau menyakitimu. Aku janji." 

Grace membuang muka. Ia tak bisa lagi menguras air matanya di hadapan pria itu. Grace melepaskan tangan Jo yang memegangi kedua pipinya. "Terima kasih atas ketersediaanmu, Jo. Aku mohon, jangan mengatakan hal ini lagi kepadaku. Kau membuatku berada dalam dilema yang tak berujung."

***

Baca keseluruhan kisah Reverse (Klik di sini)

Cerita bersambung: Reverse [Bagian 8 - Dilema Tak Berujung] 

Ditulis oleh: Michiko