Tampilkan postingan dengan label Reverse. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Reverse. Tampilkan semua postingan

3 April 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 8: Dilema Tak Berujung]

11:04 PM 0 Comments
Ingatan masa lalunya itu membawanya pada ekor perjalanan hidupnya. Lambat laun seiring berjalannya waktu, Grace semakin didera penderitaan yang semakin mendalam. Ia mungkin bisa bebas dari kehidupan yang dipenuhi oleh hasrat yang sebenarnya tak ia inginkan, tapi ia tidak bisa terlepas dari jeratan kehidupan hitam yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Grace memejamkan mata saat itu pula ia tak sadar di ujung pelupuk matanya mengalir embun yang membentuk sungai kecil di wajahnya. Mungkin ini adalah tugas terakhirnya.

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 7 - Rekam Memori yang Terkenang

Bagian 8: Dilema Tak Berujung

Mentari kembali menyeruak di kaki langit. Kelemayar lembayung kemerahan mewarnai cakrawala berhias bingkaian awan tipis. Semakin tinggi sang surya di langit, sinarnya semakin menyala dan membawa kehangatan bagi jiwa-jiwa yang menjalani aktivitasnya di atas pijakan bumi. 

Namun, seri mentari tak cukup membawa kebahagiaan bagi seorang gadis yang baru saja tiba di depan kantornya. Senyumannya pudar tak lagi memperlihatkan keelokannya. Matanya sembab dengan kantung mata yang lebih besar seperti kantung semar. Matanya yang bening dan kerapkali memancarkan kebahagiaan pun kini kuyu dalam balutan warna merah. Penampilannya pun amat berbeda dari biasanya, riasan di wajah tidak cukup mampu menyembunyikan kegelisahan pada wajahnya.

Terlalu banyak hal yang ia pikirkan semalam, salah satu dari jutaan hal yang mengusiknya adalah seorang pria yang sejak Grace turun dari taksi sudah terlihat memandang sekitarnya sambil menyapa karyawan-karyawan yang melintas di hadapannya dengan ramah. Grace menunduk, sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya. Ia menghindari temu pandang dengan pria itu dan berharap pria itu meluputkan perhatiannya. 

Namun, justru gadis itulah yang pria itu tunggu dari sekian banyak karyawan yang sudah ia sapa. "Grace!" Jo berlari kecil menghampiri Grace seperti tidak mau tertinggal langkahnya dari Grace. 

Grace mengangkat wajahnya. Ia memandang Jo dengan tatapan matanya yang sejak awal sudah terlihat kuyu. Sebisa mungkin ia mengembangkan senyumnya saat menyambut kedatangan pria itu. 

Langkah Jo memelan begitu melihat keadaan Grace. Gadis itu berpenampilan tidak serapi biasanya seperti ia sedang berada dalam kekacauan yang meluputkannya dari rutinitas pagi hari. Rambut gadis itu tampak tidak tersisir dengan rapi, beberapa anak rambut berdiri. Gadis itu juga sepertinya lupa menyemprotkan minyak wangi sebab aroma tubuh Grace saat ini berbeda dari aroma yang biasanya tercium. Serta riasan wajahnya tak mampu menyembunyikan wajah bengkak akibat menangis semalaman.

"Kau baik-baik saja, Grace?" tanya Jo.

"Iya, aku baik-baik saja, Jo," jawab Grace sambil mengembangkan senyumannya begitu mendengar pertanyaan Jo, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia mengangguk sambil menyisir rambutnya yang terkucir dengan jari. 

Namun, gerakan itu tampak mencurigakan bagi Jo sehingga Jo kembali bertanya, "Kau yakin baik-baik saja?" 

"Aku seratus persen yakin, Jo." Grace menghela napasnya, jemu akan pertanyaan berulang itu. Selain diburu waktu, ia ingin segera meninggalkan pria itu. Rasa bersalah terasa berkabut melapisi seisi benaknya, terlebih setelah Jo terlibat dalam konflik hidupnya. 

"Yang benar?" Jo kurang puas dengan jawaban Grace.

Grace melirik pergelangan tangannya. Namun, ia terkejut saat jam tangan silver yang biasa dikenakannya tak ada di sana. Grace menyembunyikan tangan ke belakang punggungnya. "Sudahlah, Jo, aku pergi ya? Nona Kim bisa mengomel jika aku terlambat."

Jo tak ingin segera melepaskan gadis itu. Ia belum yakin bahwa Grace baik-baik saja. Maka, ia mencoba mengulur waktu sambil menyelidiki raut wajah Grace. Jo meraih pergelangan tangan Grace saat gadis itu beranjak pergi.

Jo memandang wajah Grace, menyelidiki perubahan ekspresi gadis itu. "Uhm... Grace, kau membaca pesanku?"

Grace menghentikan langkahnya. Ia teringat akan dua pesan Jo. Setelah bertanya, Jo kembali mengirimkan pesan untuk mengajaknya patroli malam bersama lagi. Ia mengangguk. "Iya, aku baru membacanya tadi pagi. Jadi, aku tak sempat membalasnya."

Jo ber-oh pelan. "Jadi, kau mau mulai kapan? Aku ada jadwal berjaga malam—"

"Maaf, Jo. Aku buru-buru sekarang," sela Grace. Raut wajah Grace yang semula menyembulkan sebuah senyuman berubah serius. Senyuman itu pudar berganti kegelisahan yang terbit pada guratan wajahnya. Grace melepaskan tangan Jo yang menggenggam pergelangan tangannya. "Bisa kita bicara nanti?"

Reaksi itu benar-benar di luar dugaan Jo. Grace berubah dalam semalam. Grace membalik badan dan buru-buru melangkah pergi. Ia seperti menghindari Jo pagi itu.

Jo terpaku menatap kepergiannya. Apa yang sebenarnya terjadi kemarin hingga membuatnya menjadi seperti itu?

***

Gertakan Jun kemarin membuat Grace terlalu banyak menghabiskan energi untuk memikirkan strategi selanjutnya. Ia sudah mantap mendekati target lewat jalur belakang. Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya ia sangat tidak menginginkan untuk kembali ke masa lalu yang amat dibencinya. 

Baru kali ini, ia merasa bodoh. Ia tidak seperti sebelum-sebelumnya, yang berhasil menjalankan tugasnya dengan rapi tanpa jejak apa pun. Ia tahu muara kegelisahan ini berasal dari dilema yang tak berujung. Pilihan antara hidup atau mati. Berhenti atau lanjut. Patuh atau bebas. Baik atau jahat. Jo atau Ray.

Grace mengetuk keningnya dengan ujung pulpen. Kepalanya berasap memikirkan hal yang sama sekali tak ada ujungnya sampai kertas-kertas pekerjaan di hadapannya terbengkalai. Hal itu menarik perhatian Nona Kim yang meja kerjanya terletak di seberang meja kerja Grace. Tidak tahan melihat Grace yang justru sibuk dengan pikirannya, Nona Kim menghampiri Grace.

Kehadiran Nona Kim yang diam-diam ada di depannya membuat Grace terperanjat. "Astaga! Kau membuatku terkejut."

"Grace, ini bukan waktunya melamun. Kau tahu ini pukul berapa?" Nona Kim menunjuk jam dinding yang terpampang di atas pintu ganda berwarna cokelat. Ia menekankan, "Dan kau, sama sekali belum menyentuh pekerjaanmu." 

Grace terbelalak melihat setumpuk kertas yang sama sekali belum terjamah. Waktu bergulir begitu cepat hingga membuat gadis itu tak menyadari tugasnya kian menumpuk. Ia berharap tugas itu selesai dengan sendirinya. "Oh, iya. Maafkan aku, Nona Kim."

"Jangan menghabiskan waktu bekerja dengan pikiran kosongmu itu. Kau mau performa kerjamu aku laporkan kepada Tuan Ray?" 

Mendengar nama itu membuat Grace teringat sesuatu. "Nona Kim, apa kau bisa menyambungkanku dengan Tuan Ray?"

Nona Kim menatap Grace. Cengkeraman tangannya pada ujung meja Grace melonggar. "Untuk apa?"

Grace menggigit bibirnya sambil memainkan pulpen pada jarinya. Ia sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan Nona Kim. "Tentu saja untuk berbicara dengannya."

Wajah Nona Kim tampak kecut. Lantas, ia kembali ke meja kerjanya sambil berkata dengan dingin, "Tuan Ray sedang tidak ada di kantor untuk dua hari ke depan." 

"Ke mana dia?"

Nona Kim duduk di kursi sambil menatap layar komputernya. Ia menjawab dengan ketus. "Kau tidak tahu pekerjaan presiden direktur ya? Dia sibuk, tidak sepertimu yang kerjaannya hanya melamun dan pacaran."

Grace menyergah, "Aku tidak pacaran melulu!"

Nona Kim sama sekali tak peduli apa pun kata-kata yang diucapkan oleh Grace. Sebaliknya, Grace justru kepikiran dengan ucapan terakhir Nona Kim. Sedikitnya, ia terusik dengan ucapan Nona Kim. Sibuk? Kalau sibuk, kenapa dia selalu membuntutiku?

***

Waktu yang Jo miliki untuk beristirahat ia gunakan untuk pergi ke pantri dekat dengan ruangan Grace bekerja. Ia sengaja pergi ke sana untuk menemui Grace. Sejak tadi pagi, Jo merasa resah. Entah apa yang mengganjal tapi perasaannya semakin tidak enak setelah melihat telepon masuk ke ponsel Grace dan perubahan sikap Grace yang berubah hanya dalam semalam. Jo tiba di sana untuk memastikan keadaan Grace.

Jo masuk ke ruang pantri. Namun, yang ia dapati hanya seorang office boy yang cekatan menggerakkan gagang pel sambil berjalan mundur. 

"Tom, kau melihat Nona Grace?" tanya Jo pada Tommy seorang office boy yang lihai menggerakkan gagang pelnya. 

"Nona Grace?" Tommy berhenti menggerakkan gagang pel. Ia mengerling ke arah atas berusaha mengingat rupa pemilik nama itu. Namun, ia tak dapat menemukan rupa wajahnya. "Nona Grace itu yang mana, Jo?" 

"Itu... yang sering pakai blazer dan celana panjang. Rambutnya dikucir satu dan tingginya kurang lebih segini." Jo mengukur tinggi badan Grace kira-kira dengan tangannya. Ia meletakkan ujung jarinya dekat tulang pipinya. 

"Oh, yang sering pakai sepatu sneakers putih ke kantor itu?" Tommy berusaha menebak.

"Nah iya, itu!" Jo mengangguk setuju dengan identifikasi yang disebutkan Tommy. Pertemuan pertamanya dengan Grace adalah kali terakhir Jo melihat gadis itu mengenakan sepatu hak tinggi. Setelahnya, penampilan Grace berubah total, Grace tak pernah lagi menggunakan sepatu hak tinggi.

"Wah, aku belum melihatnya sejak tadi pagi, Jo. Biasanya, setiap pagi dia membuat kopi dulu ke sini, tapi sepertinya tadi pagi aku tak melihatnya datang ke sini."

"Oh, ya sudah kalau begitu. Terima kasih, Tom."

Tommy mengangguk. Ia melanjutkan pekerjaannya sambil menyeret kotoran debu keluar dari ruang pantri. 

Kini, Jo berada di pantri sendirian. Pria itu mondar-mandir menanti kehadiran Grace di sana. Pantri adalah tempat satu-satunya yang paling aman untuk bertemu dengan Grace. Sebab, hanya di tempat itulah mereka bisa mengobrol sejenak tanpa terkena omelan atau bisikan karyawan-karyawan lain yang menduga-duga mereka berpacaran pada jam kerja. Maka dari itu, Jo menetap di sana sampai ada panggilan yang berbunyi dari portofon yang menggantung di pinggangnya. 

Pintu pantri yang terbuka membuat Jo berbalik badan. Dugaannya terjungkir, bukan Grace yang hadir melainkan seorang wanita dengan riasan wajah yang tebal dan tubuh yang kurus seperti tulang belulang hadir di sana.

"Kau menunggu Grace?" tanya Nona Kim seraya memasuki pantri. Derap langkah sepatu hak terdengar khidmat.

"Iya, di mana dia?" tanya Jo. Ia berharap Nona Kim tahu, sebab wanita itu bekerja satu divisi dengan gadis yang ia tunggu.

"Dia ada di meja kerjanya. Tidak bergerak sedikit pun dari sana." Nona Kim meraih gelas lalu menuangkan air ke dalamnya.

"Sejak tadi pagi?"

Nona Kim membalik badan sambil meneguk air di dalam gelasnya. "Iya, kerjaannya hanya melamun sampai pekerjaannya pun tidak disentuh."

"Dia baik-baik saja?"

"Kenapa kau bertanya tentang itu kepadaku? Apa aku terlihat tahu segalanya tentang dia?"

"Setidaknya, tadi kau bersamanya." Tatapan Jo mengawang. Ia terpagut ke dalam ruang memori di hari sebelumnya, saat telepon masuk ke ponsel Grace, raut muka Grace yang berubah saat melihat riwayat panggilan, ditambah lagi perubahan sikap Grace yang drastis. Semua membuat kekhawatiran Jo akan hal yang terjadi pada Grace mengusik pikirannya. 

Nona Kim mengedikkan bahu. "Aku tak tahu. Kau mengkhawatirkannya?"

"Iya, aku mengkhawatirkannya dan aku mulai gelisah sekarang."

Nona Kim terkekeh ringan, merasa menang. Ia menyeringai di saat bibirnya bersentuhan dengan bibir gelas. "Sekarang, kau percaya dengan ucapanku tentang dia, kan?"

Jo melirik Nona Kim dengan tatapannya yang tajam. Wajahnya berubah masam. "Percaya atau tidak, itu tak akan mengubah keadaan saat ini."

Nona Kim mendengus. Jelas ia merasa kesal, Jo tak mengakui kekalahannya. Ia meneguk air lagi di dalam gelas. "Informasi tambahan untukmu, sepertinya Grace akan meneken kontraknya."

"Apa?" tanya Jo. Ia bukan tidak mendengar ucapan Nona Kim, tapi ia berharap kalau ia tidak salah mendengar informasi itu. 

"Dia akan mengambil posisiku."

"Posisimu yang mana?" Jo bertanya ragu. Perasaannya waswas manakala pikirannya melayang bahwa Grace akan menjadi mainan presiden direktur.

"Sekretaris...." Nona Kim meneguk sisa air yang tersisa. Kemudian, ia menambahkan, "Sekretaris pribadi. Kau tahu sendiri apa yang akan menjadi tanggungjawabnya nanti."

Jo benar-benar ditampar kenyataan. Ia menggelengkan kepalanya. "Sinting. Tidak, itu tidak boleh terjadi."

"Kau pikir aku berharap kalau itu akan terjadi, Jo? Aku sudah nyaman dengan posisiku itu! Bisa-bisanya dia dengan mudah mendapatkan posisi itu."

"Katakan apa yang harus aku lakukan?" Jo menggigit bibirnya.

"Kau pahlawan kesiangan, Jo." Nona Kim meletakkan gelas kosong di atas permukaan meja. "Kau hanya punya dua hari untuk mencegah Grace sebelum Tuan Ray kembali."

***

Petang telah mengintip di balik awan yang memancarkan rona kemerahan. Jo berdiri di depan posnya menanti Grace keluar dari gedung kantor. Namun, sudah beberapa jam berlalu gadis itu tak kunjung keluar dari gedung tinggi itu. Jo mulai resah, kesabarannya mulai menipis dijejak kegelisahan. 

Tak lama berselang, akhirnya gadis yang ia tunggu keluar dari gedung. Tatapan matanya kosong. Ia mengawang entah ke mana, hanya saja tubuhnya bekerja seperti robot yang diarahkan oleh sebuah remote control. Grace melangkah tanpa tujuan yang jelas. Wajahnya benar-benar suram bak mentari telah kehilangan sinarnya.

"Grace!" Jo memanggilnya saat Grace melewati gerbang.

Namun, Grace tidak mendengarnya. Pikirannya entah tertinggal di mana. Raga Grace terlihat tak berisi semangat sama sekali. Ia terus melangkahkan kakinya semakin jauh dari area perkantoran. 

Jo memutuskan untuk menyusul Grace. Ia khawatir, sesuatu akan membisikkan hal-hal aneh di telinganya. Terlebih setelah melihat gelagat Grace layaknya mayat hidup yang dipaksa untuk tetap bekerja membuat kegelisahannya semakin berkecamuk.

Jo berjalan di belakang Grace. Ia mengawasi Grace dari belakang. Biasanya, sepulang dari kantor, Grace selalu pulang menggunakan taksi. Namun, malam ini, gadis itu tetap menekuri jalan seraya melangkah gontai. 

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Hanya tinggal enam hari, pikir Grace.

Jo menatap gadis itu iba. Tak pernah sekali pun ia melihat gadis pemarah itu murung hingga kehilangan sinarnya. Tak tahan melihatnya, Jo berlari menyusul langkah gadis itu. Ia merengkuh bahu gadis itu saat langkahnya sejajar dengan Grace.

Terkejut dengan rengkuhan yang ia kira orang asing, Grace menarik tangan yang menggantung di bahunya lantas memilin tangan seorang pria yang baru saja merengkuhnya. Tangan itu terlipat di belakang punggung pemiliknya hingga membuat Jo mengaduh. Tangkas, Grace mengentakkan lututnya pada kaki pria itu hingga membuatnya tersungkur.

Tak berdaya menahan ngilu pada bagian bahunya, Jo pun menyerah. "Ini aku, Grace! Ini aku!"

Grace melepaskan tangan Jo begitu menyadari pria yang baru saja dihantamnya. "Apa yang kau lakukan? Kau mengejutkanku, Jo! Maaf aku menyakitimu, aku kira kau orang mesum."

Jo meringis saat merasakan sisa-sisa ngilu di bahu dan lututnya yang bertumbuk pada permukaan paving. Lantas ia berdiri perlahan sambil menepuk debu pasir yang menempel pada celananya.

"Bisa-bisanya kau tak menyadari aku berjalan di belakangmu," gumam Jo.

"Iya, begitulah. Aku sedang memikirkan hal lain. Kenapa kau ada di sini?"

"Motorku kemarin mogok. Jadi, aku menitipkannya di bengkel."

"Kenapa kau tidak naik taksi saja?" Grace menyampirkan tas di bahunya dan kembali melangkah.

Jo ikut melangkah di samping Grace. "Ah, tempatnya dekat. Lagipula, aku melihatmu jalan sendirian. Jadi, kupikir akan lebih baik aku berjalan bersamamu. Berdua!" seru Jo sambil menyembulkan senyum.

"Kau tidak harus melakukannya, Jo." Grace memutar bola matanya.

"Omong-omong, kau tadi tidak pergi makan siang?"

Grace menggelengkan kepalanya. Ia menunduk, tak ingin bertemu pandang dengan Jo yang kini berada di samping kanannya.

"Padahal tadi aku menunggumu di pantri."

Grace melirik ke arah Jo ragu. Ia penasaran untuk apa pria itu menantinya di sana, tetapi ia urung bertanya. Alih-alih bertanya kenapa, Grace justru bergumam, "Aku tidak lapar, Jo."

"Kau mau makan bersamaku? Aku yang traktir!" Jo tersenyum. Matanya menatap gadis itu penuh harap agar Grace setuju.

Namun, harapan itu tidak menjadi kenyataan. Grace justru tertunduk dan menggelengkan kepalanya. Tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan Grace.

Senyum yang semula mengembang, perlahan memudar dari seri wajah Jo yang berbinar. Jo ikut diam. Sorot matanya tak mampu ia alihkan dari Grace yang tertunduk murung sejak awal. Ingin Jo memeluknya dan mendengarkan keluh kesah Grace. Ia ingin sekali mengusap punggung Grace dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Akan tetapi, Jo urung melakukannya. Sepanjang perjalanan, mereka terpisahkan sekat keheningan.

Mereka sudah dekat dengan bengkel yang ada perempatan jalan tempat motor Jo mogok pada hari sebelumnya. Jo mendapatkan ide lain untuk menghibur Grace tanpa harus memeluknya. "Grace, tunggu di sini!" Segera, Jo berlari ke arah bengkel tempat motornya menginap, mendahului langkah Grace.

Grace mengangkat wajahnya. Ia berhenti melangkah tepat di dekat tiang rambu lalu lintas. Entah apa yang ia pikirkan, ia mengikuti permintaan Jo. Padahal sejak awal, ia ingin menghindari pria itu bahkan memutuskan hubungan dengannya. Namun, rasa itu tak ingin melepaskannya dari Jo. Takdir seolah berkata sebaliknya, Jo tetap harus berada di sisi Grace.

Jo menggiring sepeda motornya keluar dari bangunan bengkel yang menguarkan aroma minyak, mesin berkarat, dan oli serta campuran karbon monoksida yang menggumpal menjadi satu di udara. Ia memosisikan sepeda motornya di bahu jalan dan mengeluarkan sebuah helm dari bawah jok motornya. 

Helm itu sengaja Jo bawa sejak pertama kali bertemu dengan Grace sebagai bentuk persiapan jika suatu hari ia akan berboncengan bersama Grace naik motor bututnya. Maka, inilah hari yang sudah dibayangkannya sejak lama. Jo memberikan helm yang ia simpan di bagasi motornya kepada Grace. "Pakailah."

Grace tidak segera mengambilnya. "Aku sudah bilang, aku tidak lapar, Jo."

"Siapa yang mau mengajakmu makan? Cepat pakai!" seru Jo. "Kau mau memakai helm ini sendiri atau aku yang memakaikannya padamu?"

Jo mengulurkan tangannya, berniat untuk memakaikan helm itu di kepala Grace. Namun, Grace segera menyambar helm itu agar tidak diambil alih oleh Jo. Grace mengenakan helm itu di kepalanya dengan terpaksa.

Jo telah bersiap menghidupkan mesinnya. Gumpalan asap berwarna abu-abu tersembur dari pipa knalpot. Mesin menderu menyabur suara Jo yang berucap, "Naiklah!"

Grace masih terpaku di tempatnya berdiri. Ia ragu, haruskah ia mengikuti permintaan Jo? Namun, belum sempat hatinya memutuskan, Jo sudah menarik lengan Grace dan membuat gadis itu menaiki motor itu.

"Kita mau ke mana, Jo?" tanya Grace setelah keheningan bertahan selama beberapa menit. Motor Jo sudah bergerak dan membawa mereka mengembara beberapa kilometer dari perempatan jalan. Suaranya tersabur deru angin yang menampar wajahnya. Kecepatan motor Jo yang tinggi membuat angin menerbangkan kegelisahan keduanya. 

"Jalan-jalan saja. Kau pasti butuh hiburan." Jo setengah berteriak sambil menekuri jalanan yang padat dengan mobil dan motor pada jam pulang kerja.

Waktu yang memburu Grace terasa lenyap dalam sekejap. Semua kegelisahan tentang sisa waktu yang dimilikinya terasa bukan apa-apa lagi. Ia hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang dimilikinya bersama Jo. Sebelum dirinya tak bisa bertemu lagi dengan pria itu. Untuk selamanya.

Gesit, Jo mengarahkan kemudi untuk menyalip celah-celah sempit di antara kedua mobil yang berimpitan. Tangan kiri Jo meraih pergelangan tangan Grace agar melingkar di pinggangnya, tanda Jo akan membawanya berlari sejauh mungkin dari masalah yang sedang berkecamuk di dalam benaknya. Jo menambah kecepatan laju motornya hingga wajah keduanya terasa tertampar angin dari arah berlawanan. Klakson kendaraan di sekitarnya juga berbunyi nyaring sebagai bentuk protes motor Jo yang mengebut tanpa melihat keadaan. Helm yang dipakai Grace nyaris terbang tertiup angin, membuat satu tangan Grace yang lain menahan helmnya agar tidak terbang dan hilang di tengah jalan.

Matahari senja mengikuti perjalanan mereka berdua hingga benda bercahaya itu berpamitan dengan waktu petang. Posisinya digantikan dengan bintang-bintang yang berkelip indah. Jalanan kian lengang setelah semakin jauh mereka berlari. Jalanan menanjak membawa keduanya berada di ketinggian yang cukup jauh dari perkotaan. 

Semakin jauh berlari, motor Jo batuk-batuk lagi. Kali ini, bukan karena mesinnya yang bermasalah tetapi jarum penunjuk bahan bakar menunjuk ke arah huruf E. Setelah membawa motornya mengebut kemarin, ia buru-buru membawa ke bengkel dan sekarang ia terbuai dalam momen yang ia nantikan selama ini sampai melupakan tugasnya untuk memberi minum kuda besinya.

***

Kedua pasang langkah kaki mengalun merdu menapaki jalan layang. Kerlip lampu-lampu rumah di kota bak bintang-bintang yang berserakan. Bulan purnama sempurna menampakkan wajahnya yang bercahaya dengan sedikit serabut awan tipis mengawal di sisinya. 

Kedua tangan Jo memegang kemudi, ia menggiring motornya untuk sampai ke puncak. Grace setia menemani di sampingnya. Tawa mereka pecah sepanjang jalan, mengingat detik-detik kejadian mogoknya Dodo, nama motor butut milik Jo. 

"Kau terlalu gila, Jo. Sekarang Dodo marah." Grace pecah dalam tawa.

Jo ikut tertawa. "Karena kau yang membuatku melakukan hal segila itu."

"Aku?" Grace menunjuk dirinya sendiri lalu tertawa. "Bagaimana mungkin? Lihatlah sekarang kita terdampar di mana? Bagaimana cara kita untuk pulang, Jo?"

"Mungkin, aku akan menggendongmu. Entahlah." Jo mengedikkan bahunya. 

Grace tertawa lepas sambil menepuk lengan Jo. "Sinting!"

Jo tidak keberatan dengan reaksi itu walaupun ia yakin lengannya akan memerah setelah itu. Ia jauh merasa lebih lega setelah melihat Grace tertawa. Kemudian, ia berhenti menggiring motornya dan membiarkannya bertengger di tepi jalan. Helm yang sejak tadi melekat di kepala, ia lepaskan.

"Kita istirahat sejenak, Grace." Jo mengawang jauh ke arah kota yang terlihat jauh lebih kecil. Jo menatap ke lampu yang berkumpul bagai konstelasi bintang. Ia memejamkan mata dan menghirup udara malam sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya. "Biarpun kita terdampar jauh dari kota, setidaknya kita tak merasakan beban lagi, Grace." 

Grace meletakkan helm di atas kaca spion, berjalan mendekati Jo yang berdiri di belakang pagar pembatas beton pada jembatan layang. Grace meletakkan tangannya di atas pagar pembatas, turut mengawang entah ke mana. "Sayangnya, kita tak pernah bisa lari dari kenyataan."

Jo manggut-manggut. "Iya, aku tahu. Ke mana pun kita berlari, kenyataan akan selalu mengikuti. Namun, setidaknya kita bisa melupakannya sejenak hingga kita siap menghadapinya."

Grace tersenyum kecut. Namun, aku tak akan bisa dan tak akan pernah siap.

"Grace," ucap Jo yang kemudian diikuti hening. Jo membalik badan, matanya memandang Grace. Ia menggamit tangan Grace. "Jika kau ingin bercerita, katakanlah padaku."

Grace menatap kedua mata Jo yang menatapnya begitu dalam. Jantungnya terasa berdebar kencang. Hatinya mendebat, ia tak boleh menatap pria itu lebih lama. Lantas, Grace membuang muka. Grace menarik tangannya yang berada pada genggaman tangan Jo. "Kau bicara apa sih, Jo?" 

Jo tidak ingin melepaskannya. Ia kembali menggamit tangan Grace dan menahannya dengan kedua tangannya. "Grace, lihat aku!"

"Jo—"

"Lihat aku!"

Kedua bola mata Grace bertemu dengan tatapan Jo. Tatapan keduanya bak dua kutub magnet yang tarik-menarik dengan kuat. Dunia terasa lebih luas dan lengang. Hanya ada mereka berdua di dalamnya.

"Jika kau ingin bercerita, katakanlah kepadaku. Jika kau ingin menangis, menangislah bersamaku. Jika kau ingin berlari, berlarilah bersamaku. Jangan pernah kau lakukan itu semua sendirian."

Pandangan Grace mengembun. Tatapannya redup. Ucapan Jo membangkitkan kecamuk huru-hara antara rasa dan logika. 

Logika meminta Grace untuk menjauhi pria itu atau semua rencana akan berantakan dan gadis itu akan kehilangan segalanya termasuk Jo. Namun, rasa meminta Grace untuk berada di bawah lindungan Jo. Kembang cinta yang semula kuncup kini mengembang sempurna setelah dipupuk. Sekalipun hayatnya terampas, setidaknya ia pernah tahu rasanya mencintai dan dicintai.

Jo menatap bola mata cokelat yang memantulkan cahaya itu. Perlahan tetesan embun menggenangi pelupuk mata kemudian terjun membentuk parit kecil di pipi gadis yang tengah ditatapnya. Jo pun mengusap air mata itu. Namun, tetesan air itu satu per satu mengalir membasahi pipinya tiada henti. Jo menarik tubuh Grace ke dalam pelukannya. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan dan katakan, selain menenangkan gadis itu dengan tepukan pelan di punggungnya.

Beberapa lama Grace puas meluapkan emosinya yang bercampur menjadi satu, Jo mulai mengajaknya kembali berbicara sembari mengusap sisa-sisa air mata yang meninggalkan bekas di pipinya. Bahu Jo basah dengan air mata tetapi Jo tak peduli dengan itu. 

"Grace, kau bisa berhenti kapan pun kau mau. Aku akan melindungimu dari siapa pun yang mau menyakitimu. Aku janji." 

Grace membuang muka. Ia tak bisa lagi menguras air matanya di hadapan pria itu. Grace melepaskan tangan Jo yang memegangi kedua pipinya. "Terima kasih atas ketersediaanmu, Jo. Aku mohon, jangan mengatakan hal ini lagi kepadaku. Kau membuatku berada dalam dilema yang tak berujung."

***

Baca keseluruhan kisah Reverse (Klik di sini)

Cerita bersambung: Reverse [Bagian 8 - Dilema Tak Berujung] 

Ditulis oleh: Michiko

12 Maret 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 7: Rekam Memori yang Terkenang]

6:31 PM 0 Comments
“Kau harus berhati-hati dengan gadis itu. Aku tidak menggiring opinimu, Jo. Aku hanya ingin membeberkan fakta bahwa… kemarilah.” Nona kim melambaikan tangannya agar Jo mendekat. Kemudian, ia berbisik sepelan mungkin hingga suaranya tak terdengar siapa pun kecuali telinga kiri Jo dan dirinya sendiri. “Aku yakin kau punya kenangan kelam dengan perusahaan itu.”

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 6 - Aroma Bangkai

Bagian 7: Rekam Memori yang Terkenang

Jo berdiri di depan posnya sambil menggenggam ponsel milik Grace yang beberapa kali bergetar. Sejenak ia berpikir jika ia tidak segera mengembalikannya, mungkin Grace akan bertanya mengapa ponsel itu tidak segera kembali ke tuannya. Maka, Jo pun berniat menghampiri Grace untuk mengembalikannya.

Namun, gadis itu rupanya mendengar panggilan hatinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, gadis itu bak sebuah berlian yang bersinar keluar dari dalam etalase kaca, berjalan keluar dari gedung kantor sambil menjinjing tas hitam di tangannya. Wajah gadis itu masih tetap berseri seperti tadi pagi, sama sekali tak menyiratkan wajah kelelahan apalagi setelah tugas lemburnya perlahan mulai dipangkas karena obrolannya dengan Ray di ruang pertemuan.

Jo terpasak di tanah bagai rambu stop yang bersiap menghalangi langkah gadis itu. Lantas ia mengangkat tangannya untuk menyetop Grace. “Grace, kau mau ke mana?”

Grace berhenti melangkah. Ia memandang telapak tangan Jo sejenak kemudian mengerutkan dahi. “Pulang. Pertanyaanmu aneh sekali, Jo.”

“Langsung pulang?” Jo memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. Ia menggenggam ponsel milik Grace di dalam saku celananya.

Grace mengangguk. “Iya, kenapa?”

“Kau merasa melupakan sesuatu tidak?”

“Melupakan sesuatu?” Ucapan Jo bagai panah yang seketika menancap pada lapisan dinding otaknya, saat itu pula lah Grace langsung merogoh tasnya. Tangannya menyingkirkan barang-barang yang mengisi penuh tasnya sambil memeriksa barang yang dibawanya satu per satu. Sebuah barang tak ia temukan dari radar indera perabanya. Wajahnya yang semula berseri berubah serius, matanya membulat hingga menyamarkan sisa-sisa senyuman yang menyembul. “Mana ponselku?”

Grace seketika dilanda kepanikan. Satu barang itu cukup berharga baginya dan ia harus menemukannya hari itu juga. Ia pun segera menepi sambil meraba kantong celana dan blazer abu-abu yang ia kenakan, sedikitnya berharap benda itu ada di sana. Semua kantong yang diraba rata. Tidak ada tanda-tanda kehadiran benda itu. Tanpa ragu, Grace membuang isi tasnya di teras pos satpam.

Barang-barang berserakan seperti obralan barang loak. Kabel USB, bedak padat, beberapa tabung berwarna yang berisi lipstik dan semacamnya, dompet serta perangkat pengisi daya berjatuhan dari dalam tas. Dengan teliti, ia mencari benda yang hilang dari celah benda yang saling bertumpuk. “Ponselku… Jo, bisakah kau menelepon ponselku?”

Jo yang berdiri di dekatnya tidak berbicara sedikit pun sejak gadis itu sibuk mencari ponselnya. Dengan tenang ia berkata, “Berapa nomor ponselmu?”

Grace menyebutkan nomor ponselnya sambil meraba-raba barangnya walaupun sudah jelas ponselnya tak ada di sana. Ponsel hitam berukuran 5,5 inci bergetar di tangan Jo. Jo mengarahkan layar ponsel hitam yang menampilkan tulisan “Jo” di depan wajah Grace. “Ponselmu di sini, Bodoh.”

Grace menyambar ponsel yang ada di genggaman Jo. Ia menggerutu sambil memasukkan kembali benda-benda yang berserakan ke dalam tasnya. “Kenapa kau tidak memberitahuku dari tadi? Aku sudah panik setengah mati.”

Jo tertawa. “Kau tidak bertanya kepadaku sih.”

Grace melirik Jo dengan sinis setelah barang-barang yang semula berjajar tak beraturan di teras pos satpam sudah terbungkus rapi kembali di tasnya. “Kalau kau tidak memberitahuku, mana bisa aku tahu kalau aku kehilangan sesuatu?”

“Tapi akhirnya kau menemukannya, kan?”

Grace menghela napasnya. “Iya, sih. Tapi… kenapa ponselku ada padamu?”

Jo mengerutkan dahi. “Kau lupa? Tadi siang, kau menitipkannya padaku.”

“Oh iya!” Grace menepuk jidatnya. “Tadi aku berniat mengambilnya sepulang kerja, eh, sekarang malah lupa.”

“Dasar pelupa.”

“Tadi aku mau mengambilnya setelah kembali dari ruangan Tuan Ray tapi kau tampak terburu-buru meninggalkan pantri. Ada sesuatu yang mendesak, ya?”

Pertanyaan Grace seperti sebuah petir yang menyambar tubuh Jo. Jo menelan ludah, sebisa mungkin mengukir senyum di wajahnya. “Um… ti, tidak ada. Semuanya aman. Aku hanya… kebelet, iya, kebelet.”

Grace manggut-manggut sambil ber-oh pelan. “Apa ada yang meneleponku?”

Jo mengangguk. “Ada.”

“Dari siapa?”

“Aku, baru saja aku menelepon ponselmu.” Jo menunjuk wajahnya sendiri.

“Kau bercanda?” Grace melipat tangannya di depan dada. Ia menghela napas. “Bukan yang itu, sebelum kau.”

Jo menggaruk pelipisnya, mengerling ke sembarang arah berpura-pura sedang mengingat sesuatu. “Oh, ada, beberapa kali ponselmu bergetar.”

“Oh iya?” Grace menyalakan layar ponselnya, memeriksa daftar riwayat panggilan masuk. Dua belas panggilan tidak terjawab muncul. Wajah Grace berubah serius.

Jo melirik air muka Grace yang berubah hanya dalam hitungan detik. “Ada apa? Itu telepon penting, ya? Panggilan itu masuk saat aku sedang bekerja, jadi tidak sempat aku angkat. Seharusnya tadi aku mengembalikannya segera—”

“Tidak!” Grace menyergah. Ia mengatupkan bibirnya sesaat setelah menyadari ucapannya membuat Jo terkejut. Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Bukan telepon yang amat penting. Tadi ibuku yang menelepon, aku lupa menyimpan nomor teleponnya.”

“Oh iya?” Jo melirik ponsel Grace yang terburu-buru dijejalkan ke dalam saku. “Padahal, tadi ponselmu bergetar berulang kali. Mungkin kebutuhan mendesak, sebaiknya kau telepon balik.”

“Iya, aku akan meneleponnya kembali. Terima kasih, Jo. Uhm… tapi sepertinya aku harus pergi sekarang. Dah!” Grace menyandang tas di bahunya kemudian melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa.

Baru beberapa langkah, Jo meraih tangan Grace sehingga membuat langkah gadis itu terhambat. “Eh, Grace!”

Grace berhenti melangkah. Ia menoleh. “Ada apa, Jo?”

Jo melonggarkan genggaman tangannya pada pergelangan tangan gadis itu. “Kau mau patroli malam bersama lagi?”

“Kapan?” tanya Grace.

“Kalau bisa mulai malam ini.”

Grace melirik ke arah saku blazer-nya. Ia menggigit bibirnya. “Um… Jo, aku akan mengabarimu nanti. Sekarang...,” Grace melirik ke sekitar seolah alasan yang di carinya berada di sekitarnya, “aku baru ingat, aku ada janji.”

“Oh, baiklah.” Jo melepaskan tangan Grace dan membiarkannya untuk melangkah pergi.

Desah kecewa terdengar dari bibirnya. Ia tidak berhasil menghentikan gadis itu. Jo memandang kepergian Grace yang menghilang setelah gadis itu memasuki taksi yang berhenti. Beberapa saat setelah taksi itu pergi, Jo segera berlari ke dalam pos dan menyambar jaket yang tergantung di posnya. Jadwal kerjanya sudah berakhir beberapa jam yang lalu. Akan tetapi, ia rela menanti berjam-jam menunggu Grace keluar dari gedung untuk menghentikan gadis itu. Ia tidak akan membiarkan gadis itu lolos begitu saja. Lantas, Jo melesat bersama motornya menyusul taksi yang membawa Grace pergi.

***

Tidak lebih dari setengah jam Grace menginjakkan kaki di rumahnya, ia melangkah keluar dengan terburu-buru. Ia berjalan beberapa meter dari pintu depan rumah hingga ke gerbang sembari melambaikan tangannya pada setiap taksi yang lewat, tidak peduli apakah taksi itu berisi penumpang atau tidak.

Begitu Grace menumpangi taksi yang berhenti, Jo yang sedari tadi mengawasi beberapa meter dari kediaman Grace langsung memasangkan helm di kepalanya. Ia menancap gas guna mengikuti taksi yang sudah melesat jauh di depannya. Sebisa mungkin, Jo menyusul taksi itu walaupun motornya sudah batuk-batuk saat berusaha mengejar kecepatan laju taksi di depannya.

“Kenapa dia mengebut?” gumam Jo.

Asap knalpot motornya menghitam begitu Jo menambah kecepatan. Dengan gesit ia menyalip mobil-mobil yang mengapit di kanan dan kiri. Klakson berulang kali berbunyi sebagai bentuk protes dari mobil-mobil yang disalipnya. Namun, Jo tidak menggubrisnya, ia tetap melanjutkan aksinya yang ugal-ugalan di jalan.

Motor Jo asma, terlalu keras dipaksa berlari. Mesinnya mati dan rodanya tak berputar lagi. Berulang kali Jo menyalakannya kembali, motor itu menyisakan suara batuk motor tua yang ringkih. Alamat, motornya akan berakhir di bengkel lagi.

“Sial!” Jo memukul motornya saat mesinnya mati total di perempatan jalan. Taksi yang ia incar pun sudah jauh dan hilang dari pengawasan Jo. Ia kehilangan jejak Grace.

Pintu gerbang terbuka begitu Grace tiba dengan taksinya. Bergegas, gadis itu memasuki area gedung yang tampak sudah tutup jam operasinya. Sudah beberapa bulan ia tidak mengunjungi gedung itu, dengan mengenakan blazer hitam yang sering ia gunakan untuk bertemu dengan bosnya, Grace berjalan menuju ruangan yang dijaga oleh dua orang berbadan besar. Otot-otot lencir mereka tampak terbingkai sempurna oleh kemeja ketat yang membalutnya. Sudah lama pula, ia tak mencium bau keringat dan bau pengharum ruangan yang saling berebut tahta.

Ruangan luas menyambut Grace ketika ia membuka pintu. Seorang pria duduk sambil menautkan jari-jarinya di atas meja. Sudah lama Grace tidak melihat wajah itu. Wajahnya tetap sama, hanya saja rambut pria itu tampak lebih panjang dari terakhir kali ia melihatnya. Sisanya tak ada yang berubah, masih tetap Jun yang tak terlihat menyenangkan.

Dua orang pria yang berdiri di sampingnya, entah apa gunanya, kedua pria itu bagai dua patung yang menghias kedua sudut ruangan. Grace masih terbiasa dengan pemandangan itu, dengan percaya diri ia memasuki ruangan, mendekati meja kerja seorang pria yang telah menanti kehadirannya.

Pria itu mengacungkan dua jari ke arah pintu tanpa kata. Namun, kedua pria berbadan besar itu paham apa yang dimaksud oleh Jun, mereka mengangguk paham kemudian pergi meninggalkan Jun dan Grace berdua di dalam ruangan. Deritan pintu terdengar dalam keheningan saat pintu tertutup.

Enggan terbalut kecanggungan dalam hening, Grace mulai berbicara. “Aku belum membawa berita yang kau inginkan.”

“Aku ingin mendengar laporan. Bagaimana progresnya?”

“Kau tidak pernah peduli soal itu, mengapa sekarang bertanya—“

“Katakan saja, bagaimana progresnya?” sela Jun. Ia tak ingin mendengar ucapan Grace yang bertele-tele.

Grace menghela napas. “Aku sudah melakukan survei lokasi.”

“Pendekatan dengan target?” Jun bertanya lagi. Tatapannya pada Grace begitu runcing menusuk bola mata Grace.

Grace menelan ludah. Ragu, ia menjawab, “Empat puluh persen.”

Jawaban itu bukanlah jawaban yang ingin ia dengar. Lantas, Jun menggebrak meja saat mendengar jawaban Grace yang tidak memuaskan telinganya. Murka. “Selama ini apa saja yang kau lakukan? Aku membayarmu bukan untuk bermain-main, Grace!”

Grace terkesiap dengan suara gebrakan meja yang mengejutkannya. “A-aku masih membidik targetnya.”

Jun menekuri meja yang seolah menertawakannya. Rahangnya mengeras, tangannya meremas sembarang kertas yang tergeletak di atas meja, ia benar-benar kesal. “Kapan kau akan menarik pelatuknya?”

“Apakah kau tidak mempercayaiku, Jun?” Grace menatap wajah Jun yang tergurat urat-urat kemarahan yang menyembul dari kening hingga lehernya.

“Waktumu tinggal seminggu. Apa saja yang kau lakukan selama ini? Kau membuang waktumu hanya untuk bersenang-senang dengan satpam itu. Apa aku bisa tenang melihat kenyataan itu?” Jun melangkah mendekati Grace.

Grace mengepalkan tinju. Ia menatap Jun dengan tatapan menyelidik. “Kau mengawasiku?”

Jun kini sudah berada di hadapan Grace. Kedua tangannya terulur menepuk bahu Grace. Kemudian, ia melangkahkan kakinya dengan santai mengitari tubuh Grace yang terpaku. “Aku tidak ingin umpanku yang paling berharga terbuang sia-sia. Kau mengerti, Grace?”

“Apa maksudmu?” Grace mengawasi pergerakan Jun yang mengusap pundaknya dengan meremas belikat hingga membuatnya meringis pelan. “Aku tidak ada kaitannya dengan pria itu.”

Jun menyeringai begitu mendengar ucapan Grace. “Grace, Grace, apa yang kau tahu, huh?” Jun kembali berada di hadapan Grace. Kedua tangannya menepuk bahu Grace seolah membersihkan debu halus tak terlihat di pundaknya. Urat-urat yang tergurat di wajah Jun menjadi samar, air muka Jun begitu tenang. “Kau pikir aku menyelamatkanmu tanpa suatu alasan, Grace?”

Sementara itu, Grace menatap pria yang gelagatnya mencurigakan itu. Perubahan ekspresi yang singkat membuat Grace bergidik ngeri. Ia tahu ada sesuatu yang Jun rencanakan setelah ini, entah menyakitinya atau bahkan lebih dari itu. Perasaan waswas menguasainya, ditepisnya tangan Jun dari pundaknya. “Kau memanfaatkanku, huh?”

“Kita sedang bermitra, Grace!” desis Jun seraya menyambar kedua pipi Grace dengan satu cengkeraman tangan. Ia menyeringai saat menatap wajah Grace dari dekat. Grace berusaha melepaskan tangan Jun dengan menarik pergelangan tangan pria itu tetapi cengkeraman tangan Jun justru bertambah lebih kuat. “Kita seharusnya saling menguntungkan. Kau bebas dari hidupmu yang kelam dan aku bisa menyelamatkan harta keluargaku dari keparat itu. Impas, bukan?”

Grace mengerang saat cengkeraman Jun menjepit rahangnya lebih kuat. Ia menggeretakkan giginya. Ia menatap Jun dengan tatapan yang tajam dengan api yang membara di bola matanya. “Aku tidak ada kaitannya dengan pria itu! Aku juga tak ada kaitannya dengan keluargamu!”

Jun tertawa dengan keras seperti seseorang yang kesetanan, entah apa yang ia tertawakan. Ia mendelik dan mencengkeram rahang Grace semakin kuat sehingga membuat Grace terkesiap dan menepuk tangan kekar pria itu. Jun mendesis, “Apa kau tidak mengingat pelanggan terakhirmu?”

Grace berhenti memberontak. Dalam ruang memorinya, ia mencari berkas-berkas ingatan yang bertumpuk di dalam otaknya. Sebuah pesan singkat yang dikirim oleh Madam, wajah pria yang ada di foto, seorang pria yang muncul di hotel, semuanya terbesit secara singkat dalam rekam memorinya. Lengang sejenak saat Grace berusaha menelusuri jejak masa lalunya kembali.

“Sepertinya kau sudah ingat sekarang, Nona Manis.” Jun menyeringai. Jun mempererat cengkeramannya pada rahang Grace sehingga membuat gadis itu mengerang dan tersadar dari layang pikirnya. “Dengar! Aku mengirimmu ke sana bukan tanpa alasan. Kau adalah umpan yang pasti dilahapnya. Namun, mengapa kau malah menghindar setiap kali ia akan melahap umpannya? Apakah kau sedang bermain-main denganku, Grace? Atau… haruskah aku mematahkan rahangmu saat ini juga?”

Grace mencengkeram pergelangan tangan Jun saat rahangnya terasa seperti diremukkan. Kuku-kukunya menancap pada pergelangan tangan pria itu. Namun, urat-urat yang timbul pada pergelangan tangan pria itu bagai karet elastis yang sama sekali tidak terpengaruh oleh cakaran kukunya. Grace meringis, “Sakit, Jun. Tolong, beri aku waktu.”

Jun mengempaskan wajah Grace dengan kasar. “Waktu? Tidak ada waktu lagi, Grace! Pria tua itu sudah sekarat! Tiga bulan seharusnya cukup untukmu, Grace, tapi kau lebih memilih jalan lambat dengan memanfaatkan satpam yang sama sekali tidak berguna.“

Grace mengusap rahangnya yang terasa ngilu. “Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Baru kali ini kau memberikan pertanyaan bodoh kepadaku, Grace!” Jun benar-benar naik darah, wajahnya merah.

“Haruskah aku membuka masa laluku lagi?” Grace bertanya ragu. Kepalanya benar-benar diselimuti kabut hitam yang membuatnya tak bisa berpikir jernih.

“Jika kau tak ingin mati di tanganku, lakukan tugasmu dengan tepat waktu.” Jun mengusap telapak tangan pada kemeja yang ia kenakan seolah ia baru saja memegang benda kotor yang menjijikan.

***

Malam itu, Grace benar-benar tidak bisa tidur. Rekam memori terus berputar-putar bagai layar yang memutar film kehidupannya berulang-ulang. Getaran ponsel menyadarkan ia dari lamunannya. Sebuah pesan singkat masuk ke kotak pesan.

Kau sudah tidur?

Pesan itu singkat tetapi membuat hatinya justru semakin tidak tenang. Kekacauan ini bersumber dari kesalahannya mengambil strategi yang melibatkan orang ini. Grace tak ingin membalas pesan itu. Ia kembali meletakkan ponselnya. Dengan berbantal lengan, ia kembali menyusuri jejak-jejak masa lalunya yang terbingkai dalam benaknya.

Sepulang berkeliling kota menjajakan sebungkus rokok dengan rok pendek yang membuatnya tidak nyaman, Grace melihat keadaan rumah yang membuatnya tambah tidak nyaman. Seorang pria dengan kaos lusuh dan rambut berantakan tertidur telungkup di atas meja dengan keadaan rumah yang kacau seperti kapal pecah. Bau alkohol merebak di seluruh penjuru ruangan begitu gadis itu memasukinya. Biasanya, gadis itu tak peduli dengan keadaan ini. Namun, kekesalan yang sudah dibawanya sejak siang tadi karena mendapatkan perlakuan kurang ajar dari sopir bus di terminal, membuatnya ingin meledakkan amarah yang menggumpal dalam dadanya.

“Mabuk lagi?” Grace melirik pria itu.

Pria itu mengangkat wajahnya. Ia menatap Grace dengan tatapan sayu dan mata yang merah. “Bukan urusanmu.”

Grace menghela napasnya dalam. Rutinitas itu benar-benar melelahkannya secara fisik dan mental. Ia mengulurkan tangannya dan membopong tubuh pria gempal berusia empat puluh tahunan itu ke kamarnya. “Aku harap kau berhenti mabuk dan berjudi. Aku sudah kehabisan uang.”

Sayup-sayup protes Grace yang terbilang lembut itu bagai ucapan yang memekak telinga dan menyinggung perasaannya. Pria itu mendorong tubuh Grace hingga tubuh kurus yang ringan itu terpental hingga punggung gadis itu terbentur tepi meja. Berdebam tubuh dan meja yang saling bertembung. Grace meringis kesakitan, sudah dipastikan punggungnya akan tersisa luka memar.

“Siapa kau beraninya mengaturku?” bentak pria itu sambil mendelik. “Sejak kau lahir, hidupku selalu sengsara!”

Ucapan itu benar-benar melemparkan Grace pada lubang hitam tak berujung yang membuatnya terbalut dalam kehampaan. Dada Grace terasa sesak, sesal dan amarah mengepul membentuk uap bola raksasa yang menghitam di dalam rongga dadanya. Pandangan Grace kabur, matanya mengembun, tenggorokannya tersekat seperti dicekik realita, sebisa mungkin ia menahan tangisnya. Dengan suara yang bergetar, gadis itu bergumam pelan, “Aku sudah kehabisan uang, Ayah.”

Muak dengan ucapan Grace yang sama sekali tidak mengubah nasibnya, pria itu menarik kerah baju kerja Grace, dicengkeramnya wajah gadis itu dengan tangannya hingga wajah gadis itu melengak. “Makanya, cari uang yang banyak! Kau tidak berguna. Hidup tapi tak bisa menghasilkan banyak uang!”

Kegentaran menyelimuti tubuh kurus gadis itu. Matanya menyorotkan tatapan takut, berharap ada orang yang menyelamatkannya dari situasi itu. “Gajiku belum turun.”

Pria itu mengempaskan wajah Grace dengan kasar membuat kepala Grace sekali lagi terbentur pada tepi kursi. “Persetan dengan gaji belum turun atau apalah itu! Aku hanya peduli jika kau membawa uang yang banyak!”

“Kumohon, Ayah, hentikan kegilaan ini.” Grace tidak kuasa membendung air matanya yang sudah mendesak untuk terjun dari pelupuk matanya. Butiran air meluncur membentuk parit kecil pada pipi gadis itu.

Belum puas memakinya, pria itu lantas menarik kerah Grace lagi dan menampar wajahnya hingga kulit wajah Grace terasa memanas akibat tamparannya. “Kau bilang ayahmu ini gila, hah?”

Grace terisak setelah menyadari kehadirannya tak berarti di mata ayahnya.

Tidak puas menampar gadis itu, pria itu menarik rambut Grace yang dicepol. Gadis itu melengak dan meringis kesakitan. Wajahnya banjir dengan air mata, tangannya meremas pergelangan tangan ayahnya, berharap pria itu akan melepaskan jambakan di rambutnya.

Pria itu mendekat. Wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Grace. “Aku menyesal telah membesarkanmu. Kau yang membuat ibumu meninggal. Kau yang membuat aku sengsara. Semua sumber masalah adalah kau! Kau harus membayar semua penderitaanku!” Pria itu menarik rambut Grace hingga membuat gadis itu berteriak kesakitan. Kemudian, ia melepaskannya dan beranjak pergi entah ke mana.

Berdebam. Pintu terbanting dengan kuat. Grace meratap sendirian, menjatuhkan bulir air mata yang berjatuhan membentuk tempias pada rok yang ia kenakan. Sepanjang malam, hanya sepi yang menemaninya dalam kesendirian.

Menangis semalaman membuat Grace kelelahan. Ia bangun tidak sepagi sebelumnya. Dengan baju kerja yang masih melekat di badannya sejak semalam, ia bangun dari tidurnya. Suara orang bercakap di depan pintu kamarnya terdengar. Suara seorang laki-laki dan perempuan. Rasa penasaran membawa Grace melangkah ke belakang pintu kamarnya, ia mendekatkan telinga di daun pintu.

“Kalau bisa semua penghasilannya kau kirimkan kepadaku saja,” ucap seorang pria yang sangat Grace kenal suaranya. Semalam, suara pria itu meninggi. Namun, sekarang pria itu berbicara dengan tenang.

“Lalu dengan anakmu?” sahut seorang wanita dengan suara yang rendah, suaranya mirip seperti seorang laki-laki. Di lingkungan rumah Grace, wanita itu terkenal dengan sebutan Madam. Namanya sudah mentereng di semua kalangan, mulai dari sopir bus hingga pejabat. Semua gadis muda seumuran Grace, bernaung di bawah agensinya.

“Kau hanya perlu mengurusnya, tunjang saja kebutuhan hidupnya. Dikasih makan seadanya juga tidak apa-apa.”

“Kalau begitu, honornya aku potong sepuluh persen untuk biaya hidupnya.”

Pria itu mengambil sebatang rokok dan menjepit rokok itu di bibirnya. Ia menyulutnya sambil bergumam, “Iya, kau atur saja masalah itu.”

“Sekarang, mana anaknya?”

Pria itu melirik ke arah pintu yang masih tertutup. Ia memanggil Grace dengan nada tinggi, “Grace! Grace!”

Grace terperanjat mendengar suara panggilan itu. Dengan ragu ia membuka pintu dan mengintip. Penampilannya benar-benar berantakan, seragam kerja yang ia kenakan semalam masih melekat di tubuhnya, rambutnya berantakan dan sebagian anak rambutnya yang berdiri belum disisir rapi.

“Kau baru bangun, hah?” bentak pria itu saat melihat penampilan Grace yang lusuh. “Kau tahu, kita sedang kedatangan tamu!”

Madam mengecak pelan. “Sudah, sudah. Kau memarahi anakmu terus.”

“Kau lihat sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa tahan membesarkan anak dengan kelakuan seperti ini.”

Madam menyeringai. Sesekali, ia melirik ke arah Grace yang berdiri di dekat dinding. Wanita gemuk itu menyelidiki postur tubuh Grace, ia memandang penampilan Grace dari ujung kaki ke ujung kepala. “Wah, biarpun begitu, dengan melihat penampilan yang seperti ini, para pejabat pasti mau.”

Mendengar kata pejabat, mata pria itu membelalak seolah kata pejabat adalah kotak harta karun berisi tumpukan uang. “Berapa yang bisa dia hasilkan?”

Madam berdecak kagum. Ia tersenyum. “Yang pasti, dia akan mendapat tawaran mahal.”

“Ayah, apa maksudnya?” Grace mendelik saat mendengar ucapan Madam.

Pria itu tersenyum lebar. Ia tak mengindahkan pertanyaan Grace. Kehadiran gadis itu antara ada dan tiada baginya. Rokok yang terjepit di bibirnya ia letakkan. Kemudian, pria itu mengulurkan tangannya. “Wah, kalau begitu, bawa saja dia sekarang. Kau bisa mengabariku kapan pun.”

Madam menyambut tangan pria itu. Sambil tersenyum, ia menjabatnya. “Iya, itu bisa diatur.”

Grace terkejut dengan ucapan ayahnya. “Ayah, kau menjualku? Aku tidak mau!”

Madam tidak berurusan dengan keretakan hubungan keluarga antara ayah dan anak itu. Ia keluar dari rumah kecil itu dan kembali dengan dua orang pria berbadan besar. Kedua pria itu menyeret tubuh Grace dengan paksa. Grace memberontak, tidak ingin pergi apalagi dijual ke orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Namun, apalah daya wanita bertubuh kurus itu jika dibandingkan dengan dua pria berbadan besar yang tengah menyeretnya dan memaksa gadis itu masuk ke dalam mobil.

Ingatan awal penderitaan itu berakhir di sana. Grace memejamkan matanya sambil menghela napas dalam. Ia membalik badan dan tidur terlentang. Ia ingin mengakhiri ingatan pahit ketika hidup selama enam tahun bersama Madam. Setelah mengakhiri kenangan itu, sekelebat ingatan lain memburunya. Rekam memori itu terulang dalam benaknya.

Di sebuah hotel berbintang, Grace berdiri di balkon lantai tiga puluh. Silir angin berbisik dan menyelisik anak rambut Grace yang terurai. Dengan berbalut rompi handuk, Grace memandang bangunan-bangunan kecil sejauh mata memandang sambil meneguk segelas anggur merah. Ia berulang kali menjulurkan kepalanya guna melirik ke bawah gedung. Adrenalin terpacu dan jantungnya berdebar kencang. Sebuah bayangan terlintas, jika ia melompat dari sana, kemungkinan semua penderitaan itu akan lenyap bersamanya.

Namun, suara bel kamar yang berbunyi menghentikan pikirannya yang sedang jauh mengembara. Ia meletakkan segelas anggur merah di atas meja, berjalan ke arah pintu dan membukanya.

“Tuan Ray?” Grace ragu menyapa.

Seorang pria dengan mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata hitam menutupi wajahnya berdiri di depan pintu. Ia menerobos masuk tanpa mengindahkan sapaan Grace. Ia melewati Grace lalu mematikan televisi. Pria itu duduk di tepi kasur.

“Apa yang kau butuhkan, Tuan?” Dengan cekatan, Grace menghampiri pria itu. Ia duduk di belakang pria itu dan kedua tangannya dengan lembut memegang pundak pria itu. “Apakah kau butuh kupijat?”

Pria itu menoleh sambil melepaskan kacamata hitamnya. Ia melirik Grace yang sebisa mungkin menahan senyum ramahnya. “Aku bukan Ray.”

Grace melepaskan kedua tangannya dari pundak pria itu. Ia beringsut mundur dan menatap pria itu waswas. Kedua tangan Grace terlipat menutup dadanya. Tatapan Grace tajam menyelidik.

Pria di depannya itu memiliki karakter wajah yang sama dengan foto pria bernama Ray yang dikirimkan oleh Madam. Rahangnya tajam membingkai wajahnya yang kotak, cambang halus di dekat telinganya sama persis bentuknya, bibir atas yang tipis dan bibir bawah yang setengah penuh. Di foto, Ray memiliki lesung pipit tetapi pria ini tak tersenyum sama sekali sejak ia datang sehingga Grace kesulitan mengidentifikasi wajah pelanggannya. Nyaris tak ada perbedaan antara keduanya jika pria itu tidak membuka kacamatanya. Hanya satu hal yang berbeda, pria itu memiliki mata yang lebih kecil dan cekung ke dalam serta alis yang menukik. 

“Siapa kau?” tanya Grace.

“Aku pelanggan yang menyela. Apakah Madam tidak memberitahumu?”

“Oh?” Grace kikuk. Ia meraih ponsel yang terletak di nakas. Ia baca sebuah pesan masuk dari Madam. Pria itu bernama Jun, seorang pria yang menyela antrian demi mendapatkan Grace. Grace gelagapan, “Oh, maafkan aku, Tuan… Jun. Aku salah menyapamu. Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan itu?”

Pria itu membalik badan. Kini, ia duduk di samping Grace. “Kau mau bekerja denganku?”

Grace heran. Belum pernah dia mendapatkan tawaran kerja saat sedang melayani seorang pelanggan. “Maksudnya?”

Pria itu melirik Grace dengan rompi handuk yang membalut tubuhnya sembari melindungi tubuhnya dengan kedua tangan. “Kelihatannya kau tidak nyaman melakukan pekerjaan ini.”

Grace tersenyum kikuk. “Ah, tidak… maksudku, ini memang pekerjaanku. Aku harus melakukannya.”

“Mau pekerjaan yang lebih baik? Aku bisa membayarmu sepuluh kali lipat dari ini.”

Grace tidak tertarik dengan penawaran itu. Sebab, uang bukanlah tujuannya. Lagipula, ia juga sudah tidak peduli dengan nasib ayahnya setelah mereka terpisah. Grace yakin tawaran pria itu tidak akan jauh dari pelayanan sebagai budak pemuas nafsunya. Ia menunduk, menyembunyikan air muka yang menyiratkan kesedihannya selama ini. “Maaf, tuan, tapi aku…”

“Aku tidak akan menyuruhmu melakukan hal yang seperti ini.”

Grace mengangkat wajahnya. Dalam waktu sekejap, tawaran pria itu terdengar menarik untuknya.

“Kau hanya perlu melakukan pekerjaanmu sesuai kontrak. Kau tertarik?”

Sejak saat itu, Grace menemukan sebuah titik terang dalam kegelapan yang selama ini mengungkung hidupnya. Badai yang kian menghitam mulai menunjukkan bias pelangi yang membelah awan hitam. Sejak saat itu pula, Grace tidak lagi bekerja sebagai seorang wanita penghibur.

Ingatan masa lalunya itu membawanya pada ekor perjalanan hidupnya. Lambat laun seiring berjalannya waktu, Grace semakin didera penderitaan yang semakin mendalam. Ia mungkin bisa bebas dari kehidupan yang dipenuhi oleh hasrat yang sebenarnya tak ia inginkan, tapi ia tidak bisa terlepas dari jeratan kehidupan hitam yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Grace memejamkan mata saat itu pula ia tak sadar di ujung pelupuk matanya mengalir embun yang membentuk sungai kecil di wajahnya. Mungkin ini adalah tugas terakhirnya.

— B E R S A M B U N G —

Baca keseluruhan kisah Reverse (Klik di sini)

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 7: Rekam Memori yang Terkenang]

Ditulis oleh: Michiko

26 Februari 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 6: Aroma Bangkai]

6:30 PM 0 Comments
Setelah menanti hampir satu jam lamanya, Jo melihat mobil hitam yang tak asing untuknya sedang melintasi gerbang kantor. Jo sudah biasa melihat mobil itu pulang selarut ini, biasanya pemiliknya selalu pergi bersama seorang wanita di sisinya.

Mobil hitam itu melesat pergi dari kantor melewati Jo yang sedang menanti seseorang. Jo mungkin tak ada urusan apa pun dengan pemilik mobil itu tetapi mata Jo tak bisa teralihkan dari mobil yang kian jauh darinya. Sebab, seseorang yang dia tunggu justru pergi bersama si pemilik mobil hitam.

Dada Jo terasa sesak saat melihat seseorang yang ia tunggu justru duduk bersebelahan dengan sang pemimpin perusahaan pada hari kencan pertamanya. Sungguh, ia berharap agar gadis itu tidak melakukan hal yang bahkan tidak sanggup ia bayangkan.

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 5 - Janji

Bagian 6: Aroma Bangkai

“Jo, aku mint—“

“Kau mencari Jo, Grace?”

“Di mana dia?” Grace melirik ke sekeliling ruangan pos satpam.

“Aku juga belum melihatnya.”

Sejak pagi, Grace menanti kehadiran Jo. Ia tak menemukan pria itu di mana pun. Ia telah mencarinya di pos satpam tetapi hanya Ed yang dilihatnya. Sedikitnya, dia berharap Jo sudah berada di pantri sambil menelan seduhan biji kopi. Namun, tak ada juga pria itu di sana, yang ada hanyalah kerumunan beberapa karyawan yang mengantre untuk bergantian menyeduh kopi.

Grace melangkah gontai meninggalkan ruangan pantri dengan rasa bersalah yang terbendung dalam dada. Kata maaf yang belum sempat ia katakan, menjadi beban pikiran untuknya. Bodohnya, ia tak pernah meminta nomor telepon Jo. Tak pernah terpikirkan olehnya untuk mengabari Jo tentang hal yang pentiing seperti itu. Sebab, tak pernah ada niatan dalam benaknya untuk mengecewakan pria itu dan membuatnya berlama-lama menunggu.

Dengan pikirannya yang kelut-melut, Grace masih harus menanggung pekerjaan yang menggunung. Kali ini, dia benar-benar merasa terbebani dengan pekerjaannya yang baru saja berjalan kurang lebih sepuluh minggu. Sebelumnya, misi dari Jun tak pernah terasa seberat ini. Bahkan, ia tak pernah memikirkan pekerjaannya sampai selarut ini. Misi kali ini benar-benar membuatnya tertekan. Waktu memburu. Pekerjaan kantor menunggu. Perasaan pribadi membelenggu. Sulit untuk memadu satu semua itu dalam satu waktu.

Waktu bergerak lambat. Berulang kali, Grace melirik jam tangan silver kecil di pergelangan tangannya. Pekerjaannya tetap harus digarap tapi ia kini jauh lebih hati-hati, tak mau kehilangan momen itu lagi. Jo pasti akan pergi ke pantri pada siang hari dan ia harus menemuinya segera di pantri.

Tergesa-gesa gadis itu melangkah meninggalkan meja kerjanya. Nona Kim yang hendak mengomel pun bahkan tak dihiraukannya. Hanya satu tujuannya, menemui pria yang semalam ditinggalkannya. Ia harus meminta maaf dan memperbaiki segalanya.

Grace mendorong pintu pantri. Matanya menelusuri seisi ruangan tetapi pria yang dicarinya tak ada di sana. Hanya ada seorang OB yang sedang sibuk mengepel lantai dan pergi beberapa menit setelah Grace duduk termenung di meja makan.

Resah. Beberapa menit menunggu, ia tak kunjung datang. Apakah pria itu benar-benar marah kepadanya sampai tak mau menemuinya?

Akhirnya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Pria itu muncul begitu pintu pantri terbuka. Kali ini ia berbeda, tanpa sapaan hangat, ia berjalan lurus melewati Grace seolah kehadiran gadis itu bagai angin yang tak dilihatnya. Ia meraih teko dan menuangkan air ke dalam gelas.

Air muka Grace terlihat senang melihat pria itu. Namun, ia urung menyapa pria yang sejak tadi dinantinya. Wajah Jo terlihat kusut dan tak menyenangkan. Senyap beberapa saat. Keduanya saling diam, tak ada yang berbicara.

“Kukira kau sungguh-sungguh mengajakku berpatroli tadi malam.” Akhirnya, Jo berbicara walaupun nada bicaranya begitu dingin. Ia juga tidak memandang Grace sama sekali yang terpekur di tempat duduknya.

Grace mengangkat wajahnya. Ia memandang punggung Jo yang seolah sedang berbicara kepadanya. “Jo, maaf….”

“Padahal kau sudah mengambil jatah istirahatku,” tambah Jo sambil berbalik badan.

“Jo, aku minta maaf soal itu. Aku ada pekerjaan tambahan dan—“

“Dan pergi bersama tuan Ray?” Celetukan Jo yang bernada tinggi membuat Grace berhenti berbicara. Jemari Jo menggenggam mug dengan cengkeraman yang kuat. Ucapannya mencekik leher Grace hingga gadis itu kehabisan kata. Jo menghela napas saat mendapati Grace yang menatapnya dengan kedua binar matanya. Lalu Jo berucap pelan dengan sedikit menurunkan nada bicaranya, “Apa kau membuatku menunggu tadi malam hanya untuk mempertontonkan kebersamaanmu dengan dia?”

“Jo, kau melihatnya?” Grace memandang wajah Jo.

“Apa itu hal yang penting untuk saat ini?”

“Jo, semua itu tak seperti yang kau lihat. Aku tidak bermaksud begitu. Aku tidak tahu kalau kau akan menungguku selama itu dan tuan Ray menyuruhku untuk berkemas lalu mengantarku pulang….” Grace berusaha menjelaskannya tapi ia sadar bahwa penjelasan itu hanya memperkeruh suasana. “Maksudku, semua itu tak seperti yang kau bayangkan.”

“Memangnya, menurutmu apa yang sedang aku bayangkan, Grace?”

Grace menggigit bibirnya. Ia berhenti berbicara saat menyadari bahwa ucapan itu tak seharusnya dilontarkannya. Grace berdiam diri dan tertunduk dalam karena dua alasan, malu dan menyesal. Pipinya merona dan terasa lebih hangat, malu karena telah mengucapkan hal itu kepada Jo. Juga menyesali perbuatannya karena ia tidak menunda pekerjaan dan menolak tawaran Ray yang banyak menyita waktunya.

“Kau tak akan melanjutkan ucapanmu, Grace?” Jo menekan Grace dengan tatapan dan nada bicara yang mencekik tenggorokan Grace. Grace tetap diam dan tertunduk menyembunyikan rona wajahnya. Jo meneguk segelas air di genggamannya dalam satu kali tegukan. “Kalau begitu, tak ada hal yang perlu aku dengar lagi.”

Jo meletakkan mug yang ada di genggamannya. Ia menatap mug itu sejenak. Pikirannya melayang beberapa saat, bukan ini yang ia mau. Rasa ingin menghancurkan mug dengan satu genggaman tangannya seketika menggebu. Namun, ia tak mungkin melakukannya. Bergegas, ia meninggalkan Grace di ruang pantri sendirian.

***

Sudah beberapa hari berlalu sejak pertemuan Jo dan Grace di pantri. Jo jarang muncul di hadapan Grace. Begitu pula Grace, enggan bertemu dengan Jo karena masih merasa malu dengan ucapannya beberapa hari silam.

Siang itu, Grace duduk di pantri sendirian kala karyawan lain sedang mencari asupan makan di kafetaria. Semenjak langkahnya dihambat oleh Ray, Grace tak pernah ingin lagi menginjakkan kaki di sana dan menjadi incaran pria itu. Apalagi di saat-saat seperti ini Jo sama sekali tak ada di sisinya untuk mendengarkan kisah harinya yang terasa berat.

Pikirannya semakin rumit belakangan ini. Belum lagi waktu telah memburunya, sedangkan pekerjaan kian menggunung tak sabaran untuk digarap. Sejak Grace diantar pulang malam itu, pekerjaan tambahan terus membanjirinya. Ray benar-benar tak mengizinkan Grace untuk memiliki waktu luang. Bahkan Grace tak punya waktu untuk berpikir bagaimana bisa menerobos ruangan itu dan menghabisi sang pemilik ruangan.

Pertanyaan tanpa jawaban terus berputar-putar di kepalanya. Pikiran Grace menjelajahi celah-celah sempit untuk menemukan jawabannya. Belum lagi benak dan kalbu yang tak bisa diajak bekerja sama. Ia harus melakukan hal yang sulit, memisahkan urusan pekerjaan dengan perasaan pribadi. Namun, perhatiannya teralihkan sejenak saat seorang pria datang.

Rindu. Hari-hari berlalu terasa semakin kelabu. Ketidakhadiran pria itu di sisinya membuat rasanya benar-benar terbelenggu. Hatinya terasa lebih pilu begitu melihat pria itu secara langsung.

Jo adalah kunci. Tanpa kehadirannya, ia tak bisa menjalankan misi. Kehilangan satpam itu sama saja dengan membuang kunci ruangan itu. Haruskah ia memperbaiki hubungan dengan Jo atau nekat menyelinap ke ruang kerja direktur secara diam-diam sendirian saja? Atau justru terang-terangan menerima tawaran sebagai sekretaris pribadi bosnya? Kini, Grace dikepung dilema.

Setelah beberapa saat berpikir, Grace pun angkat bicara. “Jo, apa kau sudah memaafkanku?”

Suara dentingan sendok dan gelas yang beradu berhenti. Senyap sejenak. Jo mulai bersuara, “Memaafkanmu untuk apa?”

“Menyita waktu istirahatmu hingga terbuang sia-sia.”

“Aku tak pernah marah kepadamu soal itu,” singkat Jo. Suara dentingan sendok dan gelas kembali terdengar.

“Lalu kenapa kau diam saja? Bicaralah kepadaku.” Grace menatap punggung Jo yang lebar. Jo tetap diam, tangannya tak lagi bergerak dan tubuhnya juga tak berpaling. Dia terpekur sejenak. Grace melanjutkan, “Apa kau tak pernah tahu, bagaimana tersiksanya aku kalau kau mengabaikanku seperti itu?”

“Aku tak mengabaikanmu.” Jo terdiam sejenak. Ia meletakkan sendok yang dipegangnya. “Kau yang selalu menghindar dariku. Jadi, aku pikir kau memang tak ingin lagi bertemu denganku.”

Penjelasan Jo membuat Grace mencurengkan alisnya. Alasan yang benar-benar tidak masuk di nalarnya. Sedangkan, selama ini dia ragu untuk berbicara dengan Jo karena mengira pria itu kecewa, walaupun tidak tahu pasti kecewa tentang hal yang mana.

“BODOH!” Grace mendorong kepala Jo dari belakang, membuat kepala Jo terangguk kasar. Kening Jo hampir membentur kabinet pantri yang menggantung di dinding. Grace mengepalkan tinju dan menggeretakkan giginya. Geram. Urat leher Grace terlihat jelas saat ia berteriak, “Aku kira kau marah padaku! Ternyata, kau menjauhiku karena pikiran sialan dari otak kosongmu saja, hah!”

Jo berbalik badan. Tinggi badannya beberapa puluh sentimeter melebihi tinggi badan Grace sehingga membuat Grace harus mendongak untuk memandang wajah satpam muda itu.

“Sudah aku bilang, aku tidak menjauhimu, Grace.”

Grace semakin geram. Ia merogoh saku dan menodong Jo dengan ponselnya seperti menodongkan pisau ke leher lawannya. “Berikan nomor ponselmu! Agar tak ada lagi kesalahpahaman seperti kemarin.”

Dengan ragu, Jo menerima ponsel yang ditodongkan Grace. Ia memandang Grace yang cemberut. Jari-jarinya mulai menekan angka-angka pada layar ponsel.

Grace melirik jari-jari Jo yang bergerak menekan angka. Nomor-nomor muncul berurutan pada layar ponsel Grace.

“Berpacaran di jam kerja lagi, huh?” Suara yang familiar di telinga mereka berdua terdengar. Bulu-bulu halus di lengan Jo berdiri. Nenek Sihir telah kembali memergoki mereka berduaan di pantri lagi.

“B-bukan begitu, Nona Kim. Aku… aku hanya teman…“

“I-iya, teman…,” tandas Jo.

“Apa aku terlihat peduli?” Nona Kim memandang Grace dengan tatapan yang tajam seperti elang. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.

Grace tersenyum kaku. Ekspresinya terlihat aneh, bibirnya tersenyum tapi matanya melotot seperti seorang yang menunjukkan keramahan sekaligus kekejian. Grace melangkahkan kakinya menuju pintu. “Kau pasti menyuruhku kembali bekerja, aku akan kembali segera.”

Nona kim mengangkat tangannya membuat Grace berhenti melangkah. Telapak tangannya bagai rambu stop yang terpasak di pinggir jalan.

“Sok tahu. Tuan Ray memintamu datang ke ruang pertemuan.” Nona Kim melipat jari-jarinya. Ia memandangi kilauan kuku berwarna kuning yang terpoles cat. “Jangan tanya kenapa, aku hanya burung pembawa pesan. Kau akan segera mengetahuinya jika kau datang ke sana.”

Grace melirik ke belakang. Wajah Jo sedikit terlihat muram, berbeda dengan air mukanya saat pertama kali melihat Nona Kim. Grace melambaikan tangannya sebagai tanda ia akan segera kembali. Lantas, Grace pergi meninggalkan ruang pantri.

Nona Kim tak ikut pergi bersama Grace, ia justru menutup pintu dan menghampiri Jo yang mematung sambil menatap kepergian Grace. Wanita itu menghampiri Jo, turut berdiri di sampingnya menduduki ujung permukaan pantri.

“Kau menyukai Grace?” tanya Nona Kim.

Perhatian Jo teralihkan ketika mendengar pertanyaan yang cukup mengejutkannya. “Apa maksudmu? Mana mungkin, maksudku, aku tidak menyukainya. Kau tukang gosip juga?”

Nona Kim menyeringai. Ia menoleh dan memandang wajah Jo. “Sedikitnya, bisa dibilang begitu. Sisanya, sorot matamu yang berbicara.”

Jo mengerutkan dahi. “Sorot mata atau apalah itu maksudmu, itu pasti hanya perasaanmu saja yang menduga-duga.”

“Kau yakin ini hanya perasaanku saja? Lalu mengapa kau datang ke sini hampir setiap hari?” Mata Nona Kim semakin menyipit. Tatapannya menyelidiki bola mata hitam pria itu. “Aku yakin kau punya maksud tersendiri untuk menemuinya, kan?”

“Apa saat ini kau sedang membicarakan urusan pribadi, Nona?” Jo mulai merasa tak nyaman dengan pertanyaan Nona Kim. Apalagi hubungannya dengan wanita itu tidak begitu dekat untuk membicarakan masalah personal.

“Sebenarnya, aku tak peduli dengan perasaanmu. Hanya saja, berhati-hati lah dengan gadis itu.”

Jo yang hendak melangkah pergi seketika terhenti. “Apa maksudmu?”

“Sepertinya dia punya orang dalam.”

“Beberapa karyawan yang bekerja di sini juga punya orang dalam. Apa masalahmu?”

“Data dirinya, semua palsu. Aneh sekali, jika departemen tenaga kerja meloloskannya.” Nona Kim mengerutkan dahi sambil mengusap dagunya.

“Nona Kim, aku hanya mau mendengar fakta.”

“Ini semua fakta, Jo.” Nona Kim meninggikan nada bicaranya sebelum Jo sempat melanjutkan ucapannya. “Aku mengatakan ini kepadamu karena aku sudah melakukan penelusuran. Merogoh tasnya, mencuri berkas, observasi. Kau masih mengira itu hanya gosip karena aku tak suka dengan dia?”

“Kau nekat melakukannya?”

“Iya. Sebab, aku merasa ia akan merebut posisiku sebagai sekretaris direktur.”

“Jangan menggiring opini orang lain untuk membenarkan perilakumu itu, Nona Kim.”

“Aku tidak menggiring opinimu, Jo. Aku hanya ingin membeberkan fakta bahwa… kemarilah.” Nona kim melambaikan tangannya agar Jo mendekat. Kemudian, ia berbisik sepelan mungkin hingga suaranya tak terdengar siapa pun kecuali telinga kiri Jo dan dirinya sendiri.

Wajah Jo seketika pucat begitu mendengar bisikan Nona Kim. Jari-jarinya membeku dari ujung kuku ke seluruh tubuh. Jantungnya berdebar kencang. “Tidak mungkin.”

“Aku yakin kau punya kenangan kelam dengan perusahaan itu.”

Jo menggigit bibirnya. Tangannya mencengkeram ponsel Grace yang tertinggal di genggamannya. Jo yakin, apa yang diucapkan wanita itu hanya hasutan untuk membenci Grace.

“Kau boleh membenci Grace. Akan tetapi, mengatakan fitnah ini… kau sudah kelewatan.”

Nona Kim memutar bola matanya. Sudah ia duga, mengatakan fakta kepada orang yang jatuh cinta sama saja seperti menceramahi bongkahan batu raksasa. “Cinta itu memang membutakan, ya. Setidaknya, aku sudah memperingatkanmu, Jo.”

Kepala Jo seketika terasa berat. Es merambat dari ujung kaki ke ujung kepala. Ucapan Nona Kim membuatnya pusing. Ia bahkan tak mendengar ucapan terakhir Nona Kim. Dengan segera, ia mengangkat kaki dari ruangan itu. “Aku permisi.”

Pintu berdebam. Jo melangkah secepat kilat meninggalkan ruang pantri.

***

“Kau memanggilku?”

Grace membuka pintu yang menyekat sebuah ruangan luas. Lebih mirip seperti ruang rapat dengan berpuluh-puluh kursi yang disusun melingkar di sekitar sebuah meja lingkaran besar. Ini adalah pertama kalinya Grace masuk ke ruang pertemuan. Ruangan ini biasanya digunakan untuk rapat eksternal dengan departemen lain, hanya saja perbedaannya ada akses khusus untuk memasukinya.

Seorang pria duduk di kursi direktur sambil memainkan pajangan-pajangan kecil yang disusun sedemikian rupa demi estetika. Ruangan itu terlalu luas untuk mereka berdua, ruangan kedap suara juga benar-benar membuat ruangan luas itu terasa lengang. Grace mendekat ke arah pria yang sudah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu. Posisi Grace dan Ray hanya dibatasi oleh satu buah kursi.

“Duduk!” perintah pria itu. Matanya tidak menyambut kehadiran Grace. Pria itu justru memperhatikan miniatur pajangan kecil berbentuk wanita dengan kimono merah yang membalutnya.

Grace menarik kursi dan duduk di atasnya. Baru kali ini, dia merasa takut menatap Ray. Sebab, beberapa waktu yang lalu, wajah pria itu sama sekali tak mengguratkan ekspresi pria dingin seperti yang ia lihat sekarang ini. Mungkinkah jika suasana hatinya sedang buruk?

“Bagaimana keputusanmu atas tawaranku malam itu?” Akhirnya, perhatian pria itu teralihkan. Ia memandang Grace yang duduk di atas kursinya dengan tegang. “Apakah kau sudah memutuskannya?”

Grace menghela napas. Ia berusaha menekankan dalam pikirannya bahwa pria itu adalah pria kurang ajar yang pernah menginjak harga dirinya. Grace mengangkat wajahnya, berharap harga dirinya tak terlihat lebih rendah di mata pria itu. “Aku belum memutuskannya.”

Pria itu merebahkan punggung pada sandaran kursi yang empuk. Wajahnya menyiratkan kekecewaan. Ia memijat keningnya. “Sudah tiga hari berlalu dan kau belum memikirkannya sama sekali?”

“Aku punya banyak pekerjaan menumpuk, bagaimana mungkin aku bisa mempertimbangkannya dengan cepat?”

“Bisakah setidaknya kau mempertimbangkan kenaikan jabatanmu dulu?”

“Posisi ini tidak sebanding dengan diriku. Mengapa kau harus menawarkan ini semua kepadaku? Bagaimana dengan karyawan-karyawan lain? Mereka jauh lebih kompeten daripa—”

“Aku menginginkanmu.” Ray menekankan nada bicaranya yang membuat Grace berhenti berbicara.

“Kau ingin aku menggantikan posisi Nona Kim?”

Tanpa ucapan sepatah kata pun, Ray mengangguk mantap. Ia mengiyakan dugaan Grace.

“Kenapa harus aku? Bagaimana dengan Nona Kim?”

“Aku ingin kau selalu berada di sisiku. Urusan tentang Nona Kim, aku yang akan mengurusnya. Kau tertarik?”

“Biarkan aku memikirkannya dan memberikan jawaban setelah pekerjaanku selesai.” Grace mengusap wajahnya. Pria itu benar-benar menambah beban pikirannya yang sudah dipenuh dengan kelut-melut pikiran yang amat rumit.

“Aku bisa memangkas tugas lemburmu asalkan kau memberikan jawabanmu secepatnya.”

Grace mengerutkan keningnya. Ia benar-benar heran dengan pola pikir Ray yang sama sekali tak bisa ia ikuti. “Aku hanya merasa ini semua tidak adil bagi mereka. Apakah kau tak memikirkan perasaan mereka sama sekali?”

“Ini dunia profesional, untuk apa memikirkan perasaan mereka jika tak memenuhi kualifikasi untuk menjadi sekretarisku?” Ray menatap Grace dengan seringai yang tersungging di bibirnya.

***

Perbincangan di ruang pertemuan telah usai. Grace keluar dari ruangan itu, berniat kembali ke pantri sesuai janjinya kepada Jo. Namun, ia mendapati Jo terburu-buru berjalan meninggalkan pantri. Grace pikir, ada hal yang mendesak sehingga membuat pria itu tergesa-gesa. Akhirnya, gadis itu memutuskan untuk kembali ke ruangannya.

Jo menuruni tangga dengan cepat tanpa keraguan. Tak ada rasa takut akan tersandung atau menggelinding ke bawah. Pikirannya kini sedang berkabut mengalahkan rasa takut yang sama sekali tidak penting baginya. Tenggorokannya tercekik jutaan tali rumit yang membelit pikirannya.

Jo berusaha menenangkan diri. Ia berdiri di belakang gedung perkantoran seorang diri. Rerumputan terlihat meninggi di depan pagar tembok yang mengelilingi perkantoran. Gerbang belakang kian terlahap lumut-lumut tebal karena tak pernah terjamah.

Ponsel Grace di genggamannya kembali bergetar. Sebuah panggilan telepon masuk. Jo menatap layar ponsel yang menyala. Nomor yang muncul pada layar itu tak asing baginya. Ia hafal betul siapa orang yang ada di ujung telepon sana.

— B E R S A M B U N G —

Baca kelanjutan kisah Reverse (Klik di sini)

Cerita bersambung: Reverse [Bagian 6] - Aroma Bangkai

Ditulis oleh: Michiko