26 Februari 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 6: Aroma Bangkai]

Setelah menanti hampir satu jam lamanya, Jo melihat mobil hitam yang tak asing untuknya sedang melintasi gerbang kantor. Jo sudah biasa melihat mobil itu pulang selarut ini, biasanya pemiliknya selalu pergi bersama seorang wanita di sisinya.

Mobil hitam itu melesat pergi dari kantor melewati Jo yang sedang menanti seseorang. Jo mungkin tak ada urusan apa pun dengan pemilik mobil itu tetapi mata Jo tak bisa teralihkan dari mobil yang kian jauh darinya. Sebab, seseorang yang dia tunggu justru pergi bersama si pemilik mobil hitam.

Dada Jo terasa sesak saat melihat seseorang yang ia tunggu justru duduk bersebelahan dengan sang pemimpin perusahaan pada hari kencan pertamanya. Sungguh, ia berharap agar gadis itu tidak melakukan hal yang bahkan tidak sanggup ia bayangkan.

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 5 - Janji

Bagian 6: Aroma Bangkai

“Jo, aku mint—“

“Kau mencari Jo, Grace?”

“Di mana dia?” Grace melirik ke sekeliling ruangan pos satpam.

“Aku juga belum melihatnya.”

Sejak pagi, Grace menanti kehadiran Jo. Ia tak menemukan pria itu di mana pun. Ia telah mencarinya di pos satpam tetapi hanya Ed yang dilihatnya. Sedikitnya, dia berharap Jo sudah berada di pantri sambil menelan seduhan biji kopi. Namun, tak ada juga pria itu di sana, yang ada hanyalah kerumunan beberapa karyawan yang mengantre untuk bergantian menyeduh kopi.

Grace melangkah gontai meninggalkan ruangan pantri dengan rasa bersalah yang terbendung dalam dada. Kata maaf yang belum sempat ia katakan, menjadi beban pikiran untuknya. Bodohnya, ia tak pernah meminta nomor telepon Jo. Tak pernah terpikirkan olehnya untuk mengabari Jo tentang hal yang pentiing seperti itu. Sebab, tak pernah ada niatan dalam benaknya untuk mengecewakan pria itu dan membuatnya berlama-lama menunggu.

Dengan pikirannya yang kelut-melut, Grace masih harus menanggung pekerjaan yang menggunung. Kali ini, dia benar-benar merasa terbebani dengan pekerjaannya yang baru saja berjalan kurang lebih sepuluh minggu. Sebelumnya, misi dari Jun tak pernah terasa seberat ini. Bahkan, ia tak pernah memikirkan pekerjaannya sampai selarut ini. Misi kali ini benar-benar membuatnya tertekan. Waktu memburu. Pekerjaan kantor menunggu. Perasaan pribadi membelenggu. Sulit untuk memadu satu semua itu dalam satu waktu.

Waktu bergerak lambat. Berulang kali, Grace melirik jam tangan silver kecil di pergelangan tangannya. Pekerjaannya tetap harus digarap tapi ia kini jauh lebih hati-hati, tak mau kehilangan momen itu lagi. Jo pasti akan pergi ke pantri pada siang hari dan ia harus menemuinya segera di pantri.

Tergesa-gesa gadis itu melangkah meninggalkan meja kerjanya. Nona Kim yang hendak mengomel pun bahkan tak dihiraukannya. Hanya satu tujuannya, menemui pria yang semalam ditinggalkannya. Ia harus meminta maaf dan memperbaiki segalanya.

Grace mendorong pintu pantri. Matanya menelusuri seisi ruangan tetapi pria yang dicarinya tak ada di sana. Hanya ada seorang OB yang sedang sibuk mengepel lantai dan pergi beberapa menit setelah Grace duduk termenung di meja makan.

Resah. Beberapa menit menunggu, ia tak kunjung datang. Apakah pria itu benar-benar marah kepadanya sampai tak mau menemuinya?

Akhirnya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Pria itu muncul begitu pintu pantri terbuka. Kali ini ia berbeda, tanpa sapaan hangat, ia berjalan lurus melewati Grace seolah kehadiran gadis itu bagai angin yang tak dilihatnya. Ia meraih teko dan menuangkan air ke dalam gelas.

Air muka Grace terlihat senang melihat pria itu. Namun, ia urung menyapa pria yang sejak tadi dinantinya. Wajah Jo terlihat kusut dan tak menyenangkan. Senyap beberapa saat. Keduanya saling diam, tak ada yang berbicara.

“Kukira kau sungguh-sungguh mengajakku berpatroli tadi malam.” Akhirnya, Jo berbicara walaupun nada bicaranya begitu dingin. Ia juga tidak memandang Grace sama sekali yang terpekur di tempat duduknya.

Grace mengangkat wajahnya. Ia memandang punggung Jo yang seolah sedang berbicara kepadanya. “Jo, maaf….”

“Padahal kau sudah mengambil jatah istirahatku,” tambah Jo sambil berbalik badan.

“Jo, aku minta maaf soal itu. Aku ada pekerjaan tambahan dan—“

“Dan pergi bersama tuan Ray?” Celetukan Jo yang bernada tinggi membuat Grace berhenti berbicara. Jemari Jo menggenggam mug dengan cengkeraman yang kuat. Ucapannya mencekik leher Grace hingga gadis itu kehabisan kata. Jo menghela napas saat mendapati Grace yang menatapnya dengan kedua binar matanya. Lalu Jo berucap pelan dengan sedikit menurunkan nada bicaranya, “Apa kau membuatku menunggu tadi malam hanya untuk mempertontonkan kebersamaanmu dengan dia?”

“Jo, kau melihatnya?” Grace memandang wajah Jo.

“Apa itu hal yang penting untuk saat ini?”

“Jo, semua itu tak seperti yang kau lihat. Aku tidak bermaksud begitu. Aku tidak tahu kalau kau akan menungguku selama itu dan tuan Ray menyuruhku untuk berkemas lalu mengantarku pulang….” Grace berusaha menjelaskannya tapi ia sadar bahwa penjelasan itu hanya memperkeruh suasana. “Maksudku, semua itu tak seperti yang kau bayangkan.”

“Memangnya, menurutmu apa yang sedang aku bayangkan, Grace?”

Grace menggigit bibirnya. Ia berhenti berbicara saat menyadari bahwa ucapan itu tak seharusnya dilontarkannya. Grace berdiam diri dan tertunduk dalam karena dua alasan, malu dan menyesal. Pipinya merona dan terasa lebih hangat, malu karena telah mengucapkan hal itu kepada Jo. Juga menyesali perbuatannya karena ia tidak menunda pekerjaan dan menolak tawaran Ray yang banyak menyita waktunya.

“Kau tak akan melanjutkan ucapanmu, Grace?” Jo menekan Grace dengan tatapan dan nada bicara yang mencekik tenggorokan Grace. Grace tetap diam dan tertunduk menyembunyikan rona wajahnya. Jo meneguk segelas air di genggamannya dalam satu kali tegukan. “Kalau begitu, tak ada hal yang perlu aku dengar lagi.”

Jo meletakkan mug yang ada di genggamannya. Ia menatap mug itu sejenak. Pikirannya melayang beberapa saat, bukan ini yang ia mau. Rasa ingin menghancurkan mug dengan satu genggaman tangannya seketika menggebu. Namun, ia tak mungkin melakukannya. Bergegas, ia meninggalkan Grace di ruang pantri sendirian.

***

Sudah beberapa hari berlalu sejak pertemuan Jo dan Grace di pantri. Jo jarang muncul di hadapan Grace. Begitu pula Grace, enggan bertemu dengan Jo karena masih merasa malu dengan ucapannya beberapa hari silam.

Siang itu, Grace duduk di pantri sendirian kala karyawan lain sedang mencari asupan makan di kafetaria. Semenjak langkahnya dihambat oleh Ray, Grace tak pernah ingin lagi menginjakkan kaki di sana dan menjadi incaran pria itu. Apalagi di saat-saat seperti ini Jo sama sekali tak ada di sisinya untuk mendengarkan kisah harinya yang terasa berat.

Pikirannya semakin rumit belakangan ini. Belum lagi waktu telah memburunya, sedangkan pekerjaan kian menggunung tak sabaran untuk digarap. Sejak Grace diantar pulang malam itu, pekerjaan tambahan terus membanjirinya. Ray benar-benar tak mengizinkan Grace untuk memiliki waktu luang. Bahkan Grace tak punya waktu untuk berpikir bagaimana bisa menerobos ruangan itu dan menghabisi sang pemilik ruangan.

Pertanyaan tanpa jawaban terus berputar-putar di kepalanya. Pikiran Grace menjelajahi celah-celah sempit untuk menemukan jawabannya. Belum lagi benak dan kalbu yang tak bisa diajak bekerja sama. Ia harus melakukan hal yang sulit, memisahkan urusan pekerjaan dengan perasaan pribadi. Namun, perhatiannya teralihkan sejenak saat seorang pria datang.

Rindu. Hari-hari berlalu terasa semakin kelabu. Ketidakhadiran pria itu di sisinya membuat rasanya benar-benar terbelenggu. Hatinya terasa lebih pilu begitu melihat pria itu secara langsung.

Jo adalah kunci. Tanpa kehadirannya, ia tak bisa menjalankan misi. Kehilangan satpam itu sama saja dengan membuang kunci ruangan itu. Haruskah ia memperbaiki hubungan dengan Jo atau nekat menyelinap ke ruang kerja direktur secara diam-diam sendirian saja? Atau justru terang-terangan menerima tawaran sebagai sekretaris pribadi bosnya? Kini, Grace dikepung dilema.

Setelah beberapa saat berpikir, Grace pun angkat bicara. “Jo, apa kau sudah memaafkanku?”

Suara dentingan sendok dan gelas yang beradu berhenti. Senyap sejenak. Jo mulai bersuara, “Memaafkanmu untuk apa?”

“Menyita waktu istirahatmu hingga terbuang sia-sia.”

“Aku tak pernah marah kepadamu soal itu,” singkat Jo. Suara dentingan sendok dan gelas kembali terdengar.

“Lalu kenapa kau diam saja? Bicaralah kepadaku.” Grace menatap punggung Jo yang lebar. Jo tetap diam, tangannya tak lagi bergerak dan tubuhnya juga tak berpaling. Dia terpekur sejenak. Grace melanjutkan, “Apa kau tak pernah tahu, bagaimana tersiksanya aku kalau kau mengabaikanku seperti itu?”

“Aku tak mengabaikanmu.” Jo terdiam sejenak. Ia meletakkan sendok yang dipegangnya. “Kau yang selalu menghindar dariku. Jadi, aku pikir kau memang tak ingin lagi bertemu denganku.”

Penjelasan Jo membuat Grace mencurengkan alisnya. Alasan yang benar-benar tidak masuk di nalarnya. Sedangkan, selama ini dia ragu untuk berbicara dengan Jo karena mengira pria itu kecewa, walaupun tidak tahu pasti kecewa tentang hal yang mana.

“BODOH!” Grace mendorong kepala Jo dari belakang, membuat kepala Jo terangguk kasar. Kening Jo hampir membentur kabinet pantri yang menggantung di dinding. Grace mengepalkan tinju dan menggeretakkan giginya. Geram. Urat leher Grace terlihat jelas saat ia berteriak, “Aku kira kau marah padaku! Ternyata, kau menjauhiku karena pikiran sialan dari otak kosongmu saja, hah!”

Jo berbalik badan. Tinggi badannya beberapa puluh sentimeter melebihi tinggi badan Grace sehingga membuat Grace harus mendongak untuk memandang wajah satpam muda itu.

“Sudah aku bilang, aku tidak menjauhimu, Grace.”

Grace semakin geram. Ia merogoh saku dan menodong Jo dengan ponselnya seperti menodongkan pisau ke leher lawannya. “Berikan nomor ponselmu! Agar tak ada lagi kesalahpahaman seperti kemarin.”

Dengan ragu, Jo menerima ponsel yang ditodongkan Grace. Ia memandang Grace yang cemberut. Jari-jarinya mulai menekan angka-angka pada layar ponsel.

Grace melirik jari-jari Jo yang bergerak menekan angka. Nomor-nomor muncul berurutan pada layar ponsel Grace.

“Berpacaran di jam kerja lagi, huh?” Suara yang familiar di telinga mereka berdua terdengar. Bulu-bulu halus di lengan Jo berdiri. Nenek Sihir telah kembali memergoki mereka berduaan di pantri lagi.

“B-bukan begitu, Nona Kim. Aku… aku hanya teman…“

“I-iya, teman…,” tandas Jo.

“Apa aku terlihat peduli?” Nona Kim memandang Grace dengan tatapan yang tajam seperti elang. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.

Grace tersenyum kaku. Ekspresinya terlihat aneh, bibirnya tersenyum tapi matanya melotot seperti seorang yang menunjukkan keramahan sekaligus kekejian. Grace melangkahkan kakinya menuju pintu. “Kau pasti menyuruhku kembali bekerja, aku akan kembali segera.”

Nona kim mengangkat tangannya membuat Grace berhenti melangkah. Telapak tangannya bagai rambu stop yang terpasak di pinggir jalan.

“Sok tahu. Tuan Ray memintamu datang ke ruang pertemuan.” Nona Kim melipat jari-jarinya. Ia memandangi kilauan kuku berwarna kuning yang terpoles cat. “Jangan tanya kenapa, aku hanya burung pembawa pesan. Kau akan segera mengetahuinya jika kau datang ke sana.”

Grace melirik ke belakang. Wajah Jo sedikit terlihat muram, berbeda dengan air mukanya saat pertama kali melihat Nona Kim. Grace melambaikan tangannya sebagai tanda ia akan segera kembali. Lantas, Grace pergi meninggalkan ruang pantri.

Nona Kim tak ikut pergi bersama Grace, ia justru menutup pintu dan menghampiri Jo yang mematung sambil menatap kepergian Grace. Wanita itu menghampiri Jo, turut berdiri di sampingnya menduduki ujung permukaan pantri.

“Kau menyukai Grace?” tanya Nona Kim.

Perhatian Jo teralihkan ketika mendengar pertanyaan yang cukup mengejutkannya. “Apa maksudmu? Mana mungkin, maksudku, aku tidak menyukainya. Kau tukang gosip juga?”

Nona Kim menyeringai. Ia menoleh dan memandang wajah Jo. “Sedikitnya, bisa dibilang begitu. Sisanya, sorot matamu yang berbicara.”

Jo mengerutkan dahi. “Sorot mata atau apalah itu maksudmu, itu pasti hanya perasaanmu saja yang menduga-duga.”

“Kau yakin ini hanya perasaanku saja? Lalu mengapa kau datang ke sini hampir setiap hari?” Mata Nona Kim semakin menyipit. Tatapannya menyelidiki bola mata hitam pria itu. “Aku yakin kau punya maksud tersendiri untuk menemuinya, kan?”

“Apa saat ini kau sedang membicarakan urusan pribadi, Nona?” Jo mulai merasa tak nyaman dengan pertanyaan Nona Kim. Apalagi hubungannya dengan wanita itu tidak begitu dekat untuk membicarakan masalah personal.

“Sebenarnya, aku tak peduli dengan perasaanmu. Hanya saja, berhati-hati lah dengan gadis itu.”

Jo yang hendak melangkah pergi seketika terhenti. “Apa maksudmu?”

“Sepertinya dia punya orang dalam.”

“Beberapa karyawan yang bekerja di sini juga punya orang dalam. Apa masalahmu?”

“Data dirinya, semua palsu. Aneh sekali, jika departemen tenaga kerja meloloskannya.” Nona Kim mengerutkan dahi sambil mengusap dagunya.

“Nona Kim, aku hanya mau mendengar fakta.”

“Ini semua fakta, Jo.” Nona Kim meninggikan nada bicaranya sebelum Jo sempat melanjutkan ucapannya. “Aku mengatakan ini kepadamu karena aku sudah melakukan penelusuran. Merogoh tasnya, mencuri berkas, observasi. Kau masih mengira itu hanya gosip karena aku tak suka dengan dia?”

“Kau nekat melakukannya?”

“Iya. Sebab, aku merasa ia akan merebut posisiku sebagai sekretaris direktur.”

“Jangan menggiring opini orang lain untuk membenarkan perilakumu itu, Nona Kim.”

“Aku tidak menggiring opinimu, Jo. Aku hanya ingin membeberkan fakta bahwa… kemarilah.” Nona kim melambaikan tangannya agar Jo mendekat. Kemudian, ia berbisik sepelan mungkin hingga suaranya tak terdengar siapa pun kecuali telinga kiri Jo dan dirinya sendiri.

Wajah Jo seketika pucat begitu mendengar bisikan Nona Kim. Jari-jarinya membeku dari ujung kuku ke seluruh tubuh. Jantungnya berdebar kencang. “Tidak mungkin.”

“Aku yakin kau punya kenangan kelam dengan perusahaan itu.”

Jo menggigit bibirnya. Tangannya mencengkeram ponsel Grace yang tertinggal di genggamannya. Jo yakin, apa yang diucapkan wanita itu hanya hasutan untuk membenci Grace.

“Kau boleh membenci Grace. Akan tetapi, mengatakan fitnah ini… kau sudah kelewatan.”

Nona Kim memutar bola matanya. Sudah ia duga, mengatakan fakta kepada orang yang jatuh cinta sama saja seperti menceramahi bongkahan batu raksasa. “Cinta itu memang membutakan, ya. Setidaknya, aku sudah memperingatkanmu, Jo.”

Kepala Jo seketika terasa berat. Es merambat dari ujung kaki ke ujung kepala. Ucapan Nona Kim membuatnya pusing. Ia bahkan tak mendengar ucapan terakhir Nona Kim. Dengan segera, ia mengangkat kaki dari ruangan itu. “Aku permisi.”

Pintu berdebam. Jo melangkah secepat kilat meninggalkan ruang pantri.

***

“Kau memanggilku?”

Grace membuka pintu yang menyekat sebuah ruangan luas. Lebih mirip seperti ruang rapat dengan berpuluh-puluh kursi yang disusun melingkar di sekitar sebuah meja lingkaran besar. Ini adalah pertama kalinya Grace masuk ke ruang pertemuan. Ruangan ini biasanya digunakan untuk rapat eksternal dengan departemen lain, hanya saja perbedaannya ada akses khusus untuk memasukinya.

Seorang pria duduk di kursi direktur sambil memainkan pajangan-pajangan kecil yang disusun sedemikian rupa demi estetika. Ruangan itu terlalu luas untuk mereka berdua, ruangan kedap suara juga benar-benar membuat ruangan luas itu terasa lengang. Grace mendekat ke arah pria yang sudah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu. Posisi Grace dan Ray hanya dibatasi oleh satu buah kursi.

“Duduk!” perintah pria itu. Matanya tidak menyambut kehadiran Grace. Pria itu justru memperhatikan miniatur pajangan kecil berbentuk wanita dengan kimono merah yang membalutnya.

Grace menarik kursi dan duduk di atasnya. Baru kali ini, dia merasa takut menatap Ray. Sebab, beberapa waktu yang lalu, wajah pria itu sama sekali tak mengguratkan ekspresi pria dingin seperti yang ia lihat sekarang ini. Mungkinkah jika suasana hatinya sedang buruk?

“Bagaimana keputusanmu atas tawaranku malam itu?” Akhirnya, perhatian pria itu teralihkan. Ia memandang Grace yang duduk di atas kursinya dengan tegang. “Apakah kau sudah memutuskannya?”

Grace menghela napas. Ia berusaha menekankan dalam pikirannya bahwa pria itu adalah pria kurang ajar yang pernah menginjak harga dirinya. Grace mengangkat wajahnya, berharap harga dirinya tak terlihat lebih rendah di mata pria itu. “Aku belum memutuskannya.”

Pria itu merebahkan punggung pada sandaran kursi yang empuk. Wajahnya menyiratkan kekecewaan. Ia memijat keningnya. “Sudah tiga hari berlalu dan kau belum memikirkannya sama sekali?”

“Aku punya banyak pekerjaan menumpuk, bagaimana mungkin aku bisa mempertimbangkannya dengan cepat?”

“Bisakah setidaknya kau mempertimbangkan kenaikan jabatanmu dulu?”

“Posisi ini tidak sebanding dengan diriku. Mengapa kau harus menawarkan ini semua kepadaku? Bagaimana dengan karyawan-karyawan lain? Mereka jauh lebih kompeten daripa—”

“Aku menginginkanmu.” Ray menekankan nada bicaranya yang membuat Grace berhenti berbicara.

“Kau ingin aku menggantikan posisi Nona Kim?”

Tanpa ucapan sepatah kata pun, Ray mengangguk mantap. Ia mengiyakan dugaan Grace.

“Kenapa harus aku? Bagaimana dengan Nona Kim?”

“Aku ingin kau selalu berada di sisiku. Urusan tentang Nona Kim, aku yang akan mengurusnya. Kau tertarik?”

“Biarkan aku memikirkannya dan memberikan jawaban setelah pekerjaanku selesai.” Grace mengusap wajahnya. Pria itu benar-benar menambah beban pikirannya yang sudah dipenuh dengan kelut-melut pikiran yang amat rumit.

“Aku bisa memangkas tugas lemburmu asalkan kau memberikan jawabanmu secepatnya.”

Grace mengerutkan keningnya. Ia benar-benar heran dengan pola pikir Ray yang sama sekali tak bisa ia ikuti. “Aku hanya merasa ini semua tidak adil bagi mereka. Apakah kau tak memikirkan perasaan mereka sama sekali?”

“Ini dunia profesional, untuk apa memikirkan perasaan mereka jika tak memenuhi kualifikasi untuk menjadi sekretarisku?” Ray menatap Grace dengan seringai yang tersungging di bibirnya.

***

Perbincangan di ruang pertemuan telah usai. Grace keluar dari ruangan itu, berniat kembali ke pantri sesuai janjinya kepada Jo. Namun, ia mendapati Jo terburu-buru berjalan meninggalkan pantri. Grace pikir, ada hal yang mendesak sehingga membuat pria itu tergesa-gesa. Akhirnya, gadis itu memutuskan untuk kembali ke ruangannya.

Jo menuruni tangga dengan cepat tanpa keraguan. Tak ada rasa takut akan tersandung atau menggelinding ke bawah. Pikirannya kini sedang berkabut mengalahkan rasa takut yang sama sekali tidak penting baginya. Tenggorokannya tercekik jutaan tali rumit yang membelit pikirannya.

Jo berusaha menenangkan diri. Ia berdiri di belakang gedung perkantoran seorang diri. Rerumputan terlihat meninggi di depan pagar tembok yang mengelilingi perkantoran. Gerbang belakang kian terlahap lumut-lumut tebal karena tak pernah terjamah.

Ponsel Grace di genggamannya kembali bergetar. Sebuah panggilan telepon masuk. Jo menatap layar ponsel yang menyala. Nomor yang muncul pada layar itu tak asing baginya. Ia hafal betul siapa orang yang ada di ujung telepon sana.

— B E R S A M B U N G —

Baca kelanjutan kisah Reverse (Klik di sini)

Cerita bersambung: Reverse [Bagian 6] - Aroma Bangkai

Ditulis oleh: Michiko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar