12 Februari 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 4: Patroli Malam]

Harga dirinya seketika terinjak oleh ucapan gadis itu. Ray tertawa hambar seraya bergumam, “Kau terlihat murah tapi sok jual mahal, Grace.”
***
Dahi Grace seketika mengerut. Wajahnya bak abstrak yang terlukis pada sebuah kanvas. Tidak terdefinisikan emosi apa yang terpatri di wajahnya antara marah, bingung, jijik, atau semacamnya. “Mustahil, tak ada yang perlu aku banggakan tentang hal ini. Justru sebaliknya, aku sudah muak bertemu dengannya. Beribu alasan aku berikan untuk menghindari pria itu tapi dia tidak juga berhenti. Aku sampai rela menahan perut keronconganku hanya demi menolak ajakannya.”

Senyum kecil mengembang perlahan di bibir Jo. Setelah mendengar ucapan gadis yang begitu geram digoda oleh atasannya, perasaannya jauh terasa lebih lega dari sebelumnya. Setidaknya, ia tahu bahwa gadis itu tak menyukai bosnya apalagi memiliki perasaan pribadi terhadap bosnya itu. Jo menyeringai seraya menyeruput kopinya. “Sebaiknya, kau hindari saja dia. Dia orang yang tak bisa ditebak.”

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 3 - Target Utama

Bagian 4: Patroli Malam

Jingga mengungkung langit petang. Langit bersemburat cahaya kemerah-merahan membingkai awan. Sedikit redum menghalangi surya yang bersembunyi di kaki langit. Tampaknya nanti malam hujan meskipun sebagian langit di ufuk lain terlihat terang dengan kemilauan senja yang indah.

Gedung perkantoran juga tampak sunyi dan redup, minim dengan cahaya lampu. Sinar matahari tak lagi menerangi keseluruhan lobi berdinding kaca raksasa. Beberapa karyawan yang pulang terlambat juga sudah mulai meninggalkan area perkantoran saat seorang pria berseragam hitam baru saja datang dan memarkirkan motornya di bawah naungan pohon yang rimbun.

“Jo, apa jadwal kerjamu masih di malam hari?”

Suara itu sudah familiar di telinganya. Suara seorang gadis pemarah yang suka bercerita panjang lebar tentang kehidupan pekerjaannya yang sangat sulit, apalagi setelah digoda oleh atasannya. Benar saja, saat Jo menoleh sembari melepaskan jaketnya, seorang gadis dengan rambut panjang dikucir kuda menjulurkan kepalanya dari balik pintu pos yang terbuka.

“Iya, untuk beberapa hari ini.” Jo menggantungkan jaketnya. “Hari ini istri Ed melahirkan. Setelah Ed selesai cuti, aku punya jadwal normal lagi. Kecuali, jika aku mendapatkan giliran untuk berjaga malam. Kau belum pulang, Grace?”

“Oh, bagus kalau begitu. Aku mau ikut jaga malam bersamamu.”

Jo mengerutkan dahi saat mendapati Grace tiba-tiba menyelonong ke posnya. Kemudian, Jo mendorong bahu gadis itu agar segera menyingkir. “Mengapa kau selalu membuntutiku? Minggir!”

“Ah, kau ini kenapa kasar sekali dengan wanita?” Grace tak ingin kalah. Ia balas mendorong Jo. Kekuatan gadis itu rupanya tak kalah dengan kekuatan satpam muda itu sehingga dorongannya membuat Jo yang tak siap menjejakkan kakinya di lantai doyong. Grace tak peduli Jo jatuh atau tidak, ia langsung membuang muka ke arah gedung bertingkat yang kokoh berdiri dari balik jendela pos satpam. “Siapa yang ingin membuntutimu? Aku ingin menelusuri gedung bertingkat itu, Jo. Ini kesempatanku untuk mengetahui lebih jauh tentang perusahaan ini.”

“Lantas, kau mau apa setelah tahu semuanya? Menjilat Tuan Ray?”

Grace menoleh. Sepersekian detik ia menatap wajah Jo lalu ia tertawa. “Konyol, apakah dengan mengetahui segalanya tentang perusahaan ini aku akan naik pangkat?”

Jo mengangkat bahu. “Bisa saja, kalau kau bisa menggunakan otakmu.”

“Jadi, menurutmu aku bodoh?” Kedua mata Grace menyipit. Bola matanya mengacungkan ujung tombak saat menatap Jo dengan tajam.

“Bagus, kalau kau sadar.” Jo menyeringai melihat air muka gadis itu. Ia tahu bahwa singa yang tidur dalam diri gadis itu mulai terbangun. “Sekarang, pergilah!”

“Sialan!” Grace menendang betis Jo yang kaku dengan ujung kakinya. Grace mengetuk meja dengan ujung telunjuknya. “Pokoknya, aku akan tetap di sini. Ikut bersamamu setiap malam!”

“Merepotkan saja. Banyak tugas yang harus aku kerjakan. Jadi, untuk apa membuntutiku setiap malam?”

Grace mengibaskan tangannya menepis ucapan Jo agar tak masuk ke dalam gendang telinganya. “Kerjakan saja tugasmu, aku tak akan mengganggu.”

“Kenapa kau tidak menelusuri kantor ini esok hari sendirian?” Jo mulai merasa kesal. Wanita itu benar-benar keras kepala dan tidak pernah mau mendengarkan alasan ataupun sarannya.

Grace mengibaskan kucir rambutnya lalu menyampirkannya ke bahu. Sambil menyisir rambutnya dengan jari, Grace menatap Jo. Mata Grace seketika berbinar melemparkan cahaya yang lebih indah daripada bintang kejora. Tatapan gadis itu seolah menutup mulut Jo secara perlahan. Senyuman Grace merekah di bibirnya bak bunga indah yang bersemi. “Karena aku mau menghabiskan waktu bersamamu sepanjang malam.”

Jo terpaku. Lidahnya kelu. Jantungnya nyaris berhenti saat kedua tatapan mereka saling beradu. Jo memutar bola matanya seolah meminta bantuan kepada orang di sekitarnya untuk membawanya pergi dari situasi ini. Bulu-bulu di lengannya pun meremang. “A-apa kau sedang menggodaku sekarang?”

Grace menyeringai lalu mengalihkan pandangannya pada bulu halus di lengan Jo yang mulai berdiri. “Iya. Kenapa? Kau tergoda, ya? Tampaknya, kau merinding.”

Jo melirik lengannya yang berbulu lebat. Dengan cepat ia mengusap lengannya untuk menidurkan bulu-bulu yang berdiri. “Mana mungkin aku tergoda dengan wanita Hulk macam kau! Membayangkan Nona Hulk melakukan hal seperti itu saja… ih, lihat! Aku benar-benar merinding sekarang.” Jo mengulurkan kedua lengannya untuk menunjukkan bulu-bulu halus di lengannya yang berdiri. Setidaknya, Jo tidak perlu menutupi bulunya lagi sebab ia sudah menemukan alasan untuk menyangkal ucapan Grace.

Nona Hulk?” Suara Grace meninggi. Wajahnya seketika memerah mendengar julukan itu juga diucapkan oleh Jo. Jelas saja ia merasa malu sekaligus marah, julukan itu menyebar dengan cepat saat ia membanting Ray di depan para karyawan. Grace menepuk lengan Jo sampai bunyi kulit yang bertumbukan itu terdengar nyaring. Dari suaranya, sudah pasti tamparan Grace sangat dahsyat, apalagi setelahnya lengan Jo berangsur memerah. Grace menatap Jo tajam bak harimau yang siap menerkam lawan. “Tarik ucapanmu, Pria Berbulu!”

Jo seketika menyambar lampu senter yang tergeletak di atas meja setelah menyulut amarah gadis itu. Tanpa menjawab ucapan Grace, Jo langsung mengacir keluar dari pos satpam.

Grace berdiri dari tempat duduknya. Kedua telapak tangannya menggebrak meja seraya berteriak dari balik kaca. “Mau ke mana kau?”

“Kabur dari amukan Nona Hulk!” Jo berteriak sembari berlari menuju gedung perkantoran. Suaranya merebak ke langit petang sehingga tak begitu nyaring terdengar.
***
Senja larut dalam kegelapan malam. Cahaya redup lampu taman berpendar menerangi sebagian area perkantoran. Langit malam makin berselimut awan yang kian sabak. Bintang-bintang yang malu menampakkan kilauannya bersembunyi di balik awan.

Jo yang telah kembali ke pos setelah menjalankan tugas pertamanya, kini harus memulai tugas kedua. Dua jam telah berlalu setelah sesi istirahatnya, pria itu masih duduk ditemani gadis yang tadi sore mengamuk karena disebut Nona Hulk.

Sejak beberapa menit yang lalu, pertanyaan gadis itu tiada henti mengganggu ketenangan istirahat Jo. “Jo, kapan kita patroli malam?”

“Satu jam lagi.”

“Sekarang saja, Jo!” Grace tetap memaksa, padahal Jo baru saja duduk di kursinya setelah mengelilingi area perkantoran untuk menyalakan lampu.

“Kalau kau mau patroli sekarang, pergi saja sendiri.” Jo menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.

Grace menutup mulutnya. Ia melemparkan pandangannya ke arah gedung tinggi dan tak lagi berbicara kepada Jo.

Jo merasa bersalah setelah mengucapkan hal itu. Ia melirik Grace yang seketika merenung hanya dalam hitungan beberapa detik setelah mendengar jawabannya. Saat itu pula ia berubah pikiran, gadis itu pasti lelah setelah bekerja pada siang hari sedangkan ia harus menunggu selama satu jam lagi hanya untuk ikut berpatroli. Namun, Jo terlanjur berkata tidak, ia gengsi untuk mengatakan kalau ia berubah pikiran.

Kilatan petir membelah horizon secara vertikal. Rinai hujan berjatuhan menyerbu bumi. Kesempatan baik untuk mengubah keputusan. Jo pun menyambar lampu senter yang diletakkannya di atas meja.

“Ayo pergi sekarang!” Jo berjalan keluar dari posnya.

Grace yang semula menatap gedung perkantoran, menoleh ke arah Jo yang berdiri di ambang pintu. “Tadi kau bilang satu jam lagi.”

“Hujan,” singkat Jo. Ia tak ingin menjelaskan lebih banyak lagi tentang alasan utamanya untuk berubah pikiran.

Senyuman seketika merekah pada bibir merah gadis itu. Dengan sigap, ia langsung berdiri dan berlari kecil menghampiri Jo. Grace dan Jo berjalan beriringan memasuki gedung perkantoran. Lampu yang ada di lobi berpendar menembus jendela raksasa hingga cahayanya turut menerangi teras gedung perkantoran yang kurang penerangan.

Derap langkah kaki keduanya terdengar menggema di sepanjang koridor lantai dua. Grace membuntuti Jo dari belakang saat pria itu memasuki ruangan. Ruangan dengan dinding bercat biru muda menyambutnya. Cat biru langit memberikan kesan luas terhadap ruangan itu. Meja-meja kayu yang dipernis ditata sedemikian rupa hingga menciptakan ruang kerja yang begitu nyaman.

Satu meja besar diletakkan di tengah ruangan dengan sepuluh kursi yang melingkarinya. Sepuluh meja menghadap ke dinding dengan komputer yang bertengger di atasnya. Di bagian kanan ruangan dari pintu masuk terdapat sofa panjang yang diletakkan persis berdempetan dengan jendela raksasa yang menghadap ke arah barat. Pada sore hari, jendela raksasa itu membingkai pemandangan senja yang indah. Namun, malam ini, awan hitam yang menggumpal terpampang bak lukisan kelam pada kanvas raksasa.

Beberapa meja tertata dengan rapi, tak ada kertas-kertas berserakan. Figura kecil dengan foto keluarga dipajang di atasnya. Beberapa ada yang meletakkan tanaman hias kecil di mejanya. Sebaliknya, beberapa meja lainnya justru berantakan, berserakan kertas-kertas yang entah penting atau tidak bagi pemiliknya, sepertinya pemilik meja itu sudah dikejar waktu untuk kembali ke rumah dan merebahkan tubuhnya.

Setelah memeriksa seisi ruangan yang luas itu, Jo mematikan lampu ruangan. Gelap seketika menyelimuti ruangan. Setelah itu, Jo berbelok ke ujung lorong dari pintu masuk untuk mematikan lampu toilet dan pantri lantai dua.

“Di lantai dua juga ada pantri?” Grace mengintip ruangan pantri yang tak jauh berbeda tata letaknya dengan ruang pantri di dekat ruang kerjanya.

Jo menutup pintu pantri dan mematikan lampu yang menerangi lantai dua. Ia berjalan menuruni tangga darurat yang terletak di sebelahnya. “Menurutmu, hanya departemenmu saja yang butuh makan?”

Grace menoleh ke belakang setelah lantai dua benar-benar gelap gulita. Cahaya merah menyala di sudut lorong. Jo dan Grace mulai menaiki anak tangga satu per satu. Jo melangkahkan kakinya terlebih dahulu dan Grace mengikutinya dari belakang. Tangga itu tidak diterangi oleh pencahayaan yang cukup sebab lampu-lampu lantai sebelumnya sudah dimatikan.

“Lalu, mengapa kau selalu datang ke pantri di lantai atas? Padahal kau hanya perlu naik satu lantai untuk menyeduh kopi.”

Jo terdiam. Kakinya seketika berhenti, membuat gadis itu juga turut berhenti.

“Ada apa?” Grace bertanya karena langkahnya terhambat.

Jo menoleh ke belakang guna melirik gadis yang berjalan di belakangnya. Ia merapatkan diri ke dinding. “Kau jalan duluan saja.”

“Aku baik-baik saja di belakangmu, Jo.”

“Kalau kau jatuh, kau bisa menghancurkan gedung ini.”

Alis Grace mencureng. “Hey! Memangnya aku apa?”

“Nona Hulk.”

Kepalan tinju menghantam pipi Jo seketika. Grace pun melangkahkan kakinya sambil menghentakkan kakinya dengan kedua tinju yang mengepal. “Berhenti menyebutku dengan julukan itu!”

Hantaman tinju Grace di pipinya benar-benar kuat. Rahangnya terasa ngilu setelah mendapatkan pukulan di pipinya. Beruntung, rahangnya tidak bergeser. Jo memegang pipinya sambil sedikit meregangkan rahangnya. Ia meringis pelan saat memandang Grace yang kian jauh darinya.

“Tak akan lagi aku berurusan dengan Nona Ekstra Hulk.” Jo pun turut melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga.

Kali ini, Grace hanya berdiri di sepanjang lorong menunggu Jo selesai berpatroli di dalam ruang kerja lantai tiga. Bagi Grace, itu bukanlah hal yang penting, tujuannya yang sebenarnya hanyalah ruangan kerja Ray sehingga ia seharusnya ikut dengan Jo hanya jika Jo berpatroli di lantai tertinggi. Namun, ia tak bisa melakukannya begitu saja, karena hal itu akan sangat mencurigakan jika Grace hanya ikut dengan Jo untuk mengunjungi ruangan kerja Ray.

“Jo, kau masih lama?” Grace menjulurkan kepalanya di ambang pintu.

“Kau sudah lelah?” jawab Jo yang entah ada di mana tetapi suaranya jelas terdengar.

“Iya, begitulah.”

“Kau kembali duluan saja, aku akan kembali ke pos satpam secepatnya. Sebentar, kau bisa bawa senterku.” Jo muncul dari balik bilik yang menyekat ruangan luas itu. Entah apa kegunaannya, Grace tak begitu memedulikannya.

“Tidak perlu, aku punya mata kucing. Aku pergi duluan. Dah!”

Belum sempat Jo menghampirinya, gadis itu sudah pergi menuruni tangga dan meninggalkan gedung.
***
“Di mana monitor pengawasnya?”

Grace membuka beberapa petak loker yang ada di pos satpam. Televisi sudah dinyalakan tetapi televisi itu hanya terhubung dengan antena untuk mengusir kebosanan. Ide gila terlintas, mungkin monitor itu disembunyikan sehingga saat ini Grace sedang mencari monitor pengawas yang terhubung dengan CCTV di dalam gedung kantor. Namun, beberapa loker yang terbuka sama sekali tak menunjukkan alat elektronik apa pun.

Grace yang tak kunjung menemukan monitor pengawas itu merasa keheranan. Grace menggigit kuku jempolnya. Matanya bak mata burung elang menyelisik setiap sudut ruangan dengan hati-hati. “Tak mungkin tidak ada, lalu apa gunanya CCTV yang terpasang di sana?”

Sorot lampu membias dari balik jendela. Grace segera menutup seluruh pintu loker yang terbuka. Ia duduk di kursinya sambil melipat kedua tangannya di atas meja dan menyembunyikan wajah di balik dekapannya. Jo telah kembali dari patroli malamnya.

Hujan semakin deras menghujam alam. Cahaya kilat menerangi langit sepersekian detik disusul petir yang mengakar di kaki langit. Jo yang baru keluar dari gedung seketika tersabur derai hujan saat berlari ke pos satpam. Bajunya basah kuyup diterpa bulir air hujan yang menyerbu. Langkahnya terhenti saat mendapati Grace yang tertunduk di balik dekapan lengannya. Ia tersenyum kecil, sedikit geli mengingat ucapan Grace petang itu.

“Kau bilang mau menghabiskan waktu bersamaku sepanjang malam, nyatanya kau selelah itu untuk melakukannya.” Jo meraih jaketnya yang menggantung lalu menyampirkannya pada bahu gadis itu agar ia merasa hangat.

Entah beberapa menit atau beberapa jam berlalu hingga hujan mulai mereda dan menyisakan bulir hujan yang lebih tipis dari sebelumnya. Jo masih setia duduk di kursinya tepat di samping Grace. Suara rintikan hujan terdengar bagai lagu nina bobo di telinga Grace sehingga ia tertidur sejenak.

Klakson berbunyi, sebuah mobil hitam merapat di gerbang depan. Jo yang semula duduk di kursinya, dengan sigap berlari kecil menembus rintik hujan yang lebih kalem menghujam tubuhnya. Ia membukakan pintu gerbang yang tertutup.

Sementara itu, Grace yang baru saja terbangun dari tidurnya mengintip dari balik jendela pos satpam. Mobil hitam itu asing baginya, ia tak pernah mengingat siapa pemiliknya. Namun, ada hal menarik yang ia temukan di dalamnya. Pria yang selama ini menggodanya, ada di dalam mobil itu bersama seorang wanita.

Grace mencoba mencari tahu siapa wanita yang ada di dalam mobil bersama pria itu. Akan tetapi, mobil hitam itu terlanjur melesat pergi setelah pintu gerbang terbuka lebar. Grace kembali menyembunyikan wajahnya saat Jo menutup gerbang dan kembali duduk di sampingnya.

Waktu kerja Jo sudah selesai tepat pada pukul tiga malam. Saatnya berganti shift dengan rekannya yang baru saja datang, seorang pria yang memiliki perut buncit dan jari yang penuh dengan cincin batu akik, namanya Andi. Pria itu melepaskan jaketnya sambil menilik seseorang yang asing baginya.

Pria itu tidak terlalu dekat dengan Jo, hubungan keduanya agak canggung. Mereka hanya mengobrol seadanya dan seperlunya. Jo tidak pernah bercerita tentang kehidupan pribadinya kepada pria itu. Begitu juga sebaliknya, pria itu juga tidak pernah bercerita tentang kehidupan pribadinya kepada Jo. Sebatas yang Jo tahu, dari hasil menguping pembicaraan rekan kerjanya saat sedang merokok bersama dengan seorang sopir taksi, teman tongkrongan Andi di warung kopi yang kebetulan sedang mampir di posnya, rekan kerjanya yang satu ini punya dua orang anak gadis yang menginjak usia remaja dan salah satunya minta dibelikan telepon genggam yang canggih. Namun, saat pria itu datang dan melihat wajah baru di posnya, baru kali ini lah, pria itu penasaran soal kehidupan pribadi Jo.

“Pacarmu, Jo?”

Jo melirik ke arah gadis yang terlelap di sampingnya. “Bukan, ini Nona Hulk.”

Grace menguping pembicaraan kedua pria yang tak bisa ia lihat wajahnya. Ia seketika mengepalkan tinju, ingin sekali menonjok wajah kedua pria yang sedang berbincang itu.

“Iya, aku tahu. Aku bisa melihatnya dari postur tubuh yang tidak seperti wanita pada umumnya. Aku hanya penasaran, apa dia pacarmu?”

Jo menggelengkan kepalanya. Ia tak ingin menjawab sehingga sedikit berharap bahasa tubuhnya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan rekan kerjanya itu.

Pria itu ber-oh pelan, tidak melanjutkan pertanyaan yang sejak tadi sudah berputar-putar di kepalanya. Pria itu urung untuk bertanya, sebab kehadiran gadis itu di pos satpam biarlah menjadi urusan Jo. Toh, dia tidak tahu apa-apa jika ada sesuatu hal yang terjadi.
***
Matahari telah kembali menyambut cakrawala. Kegelapan memudar perlahan bersamaan dengan lelah yang mendekap. Grace terbangun dari tidurnya, entah sejak kapan ia tertidur. Hanya saja, hal terakhir yang ia ingat adalah perbincangan kedua pria yang membicarakannya tadi malam.

Kuciran rambutnya melonggar, rambut cokelatnya juga berantakan, tidak rapi seperti saat ia pergi ke kantor di pagi hari yang biasanya. Anak rambutnya berdiri, membuat keningnya yang lebar terlihat lebih jelas. Grace mengusap poninya yang menghalangi pandangannya, sesekali mengucek matanya yang masih terasa berat.

“Kau sudah selesai mengobrol denganku di dalam mimpimu?” ucap seorang pria yang duduk di sampingnya semalaman.

Pria berseragam itu belum tidur sama sekali. Ia hanya duduk memandang ke luar jendela pos satpam sambil mengawasi area perkantoran—dan menunggu Grace bangun. Namun, gadis itu justru tertidur sangat lelap. Rekan kerjanya juga tidak kembali. Setelah pamitan untuk bertugas, pria itu merasa lega ada Jo yang mengawasi gedung kantor di pos satpam dan tak kunjung kembali hingga pagi.

“Ah, maaf, aku ketiduran,” ucap Grace sambil merapikan rambutnya. Grace meraba bahunya saat ia akan duduk tegak, khawatir jaket Jo yang tersampir di bahunya jatuh. Akan tetapi, jaket itu sudah tidak lagi ada di bahunya, jaket itu menggantung di lengan Jo.

Sebelum Grace bangun, Jo mengambil jaket itu. Ia enggan untuk bersikap hangat kepada wanita, apalagi kalau bersikap hangat kepada Grace, bisa-bisa menjadi bahan bulan-bulanan gadis itu. Terlebih lagi, mereka masih sering bertemu setiap hari.

“Kukira kau sudah pulang.” Grace mengucir rambutnya.

“Tadinya aku ingin meninggalkanmu di pos satpam sendiri.”

“Lalu?”

Jo menutup mulut. Segera, ia bangkit dari tempat duduknya. Tangannya menyambar kunci motor yang diletakkannya di atas meja. “Kau mau pulang tidak?”

“Apa menurutmu aku akan menginap di pos satpam selamanya?” Grace meraih tas tangannya. Ia turut bangkit dari tempat duduknya.

“Di mana tempat tinggalmu?”

“Kau akan mengantarku pulang?” Grace berjalan keluar pos satpam setelah Jo menghampiri motornya yang terparkir di bawah pohon.

Butiran air membasahi jok motor Jo yang kehujanan sepanjang malam. Tanpa melirik ke arah Grace, ia berkata, “Aku seorang gentle man.”

Grace tertawa geli. “Jo, apakah kau sadar saat bicara begitu?”

Jo menoleh ke arah Grace. Ia mengangguk mantap. “Seratus persen sadar. Jadi, kau mau kuantar atau tidak?”

“Aku ada urusan lain, kau pulanglah terlebih dahulu.”

Jo pun menunggangi kuda besinya. Mesin menderu dan kepulan asap menggumpal dihembuskan lubang knalpot.

“Jo!” Grace memanggil Jo yang sedang sibuk menyiapkan mesin motornya.

Jo yang semula sibuk dengan motornya, melirik ke arah gadis yang berdiri di depan pos satpam. Pria itu menyahut, “Apa?”

“Besok aku ikut patroli malam lagi!”

Pria itu mengacungkan jempol ke udara. Jo pergi meninggalkan area perkantoran seraya berteriak, “Selasa dan Jumat!”

Kuda besi pun berlari melintasi gadis itu. Grace memandang kepergian Jo yang mengendarai motornya. Ia turut melangkahkan kaki meninggalkan pos satpam.

Seorang satpam berperut buncit dengan cincin batu akik itu kembali dari patroli malam di warung kopi. Ia berpapasan dengan Grace saat gadis itu melangkah keluar gerbang. Saat melihat Grace pulang sendiri, pria itu mengerutkan alisnya. “Wah, biasanya kalau pulang sendiri sih, sudah bisa dipastikan kalau mereka bertengkar.”

Pria itu pun masuk ke pos satpam setelah mendapatkan gosip terhangat.

— B E R S A M B U N G —

Baca kelanjutan kisahnya: Reverse

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 4: Patroli Malam]

Ditulis oleh: Michiko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar