Tampilkan postingan dengan label horor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label horor. Tampilkan semua postingan

9 Juli 2021

Sambutan Fajar dalam Keputusasaan

11:09 PM 0 Comments
[CERPEN FIKSI] 

Sore itu, langit menyemburatkan cahaya jingga yang terang. Mesin berderu dan roda besi terus berputar menyongsong ke arah barat daya sebuah gunung tertinggi di negeri ini. Matahari senja mengikutiku sepanjang perjalanan itu. Seri menyelimuti wajahku bak topeng yang sangat damai dan menenangkan. Sudah kupikirkan hal ini beberapa saat di dalam kesunyianku, namun keadaan tak cukup sunyi untuk mengambil keputusan itu.

Sepanjang perjalanan singkat itu, mendung terbit meriak pada air mukanya saat kusebut tujuan terakhirku kepada seorang wanita tua yang tengah duduk di sampingku. 

"Kau benar-benar akan pergi ke sana?" tanya ia dengan wajah yang tampak cemas.

"Tak apa, aku hanya mengunjungi kawanku," ucapku menutup percakapan itu dengan senyum yang damai. Aku sudah mempersiapkan alasan itu. Sedetik berlalu, gemuruh guntur yang hampir menurunkan hujan lebat dari pelupuk matanya terseka oleh satu helaan napas dalam. Namun, keadaan itu tak pernah mengubah niatku kala itu.

Satu pesan yang ia bisikkan kepadaku sebelum aku turun di titik perhentianku, "Berhati-hatilah dengan roh jahat."

Kakiku menapak di atas tanah yang keras setelah beberapa langkah kaki membawaku pergi dari tempat perhentianku. Dengan sebuah tas ransel di punggungku, aku melangkah masuk ke dalamnya sembari membawa tekad yang terkumpul di dalam dada. Aku berjalan perlahan menyongsong jurang kekosongan. Sebuah peringatan abai untuk kuperhatikan.

"Anugerah?" Aku tertawa kecut. Bahkan di dalam hidupku, tak pernah aku menemukannya. Omong kosong yang tak berarti.

Lautan pepohonan ini meredam semua kebisingan, termasuk kebisingan yang selalu terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Matahari yang sejak tadi mengikutiku, mulai meredup disaring dedaunan. Membawaku terkungkung di dalam sebuah kesunyian dan kegelapan.

Kerasnya tanah yang kupijak sekeras tekadku hari itu. Tingginya pepohonan menghalangiku untuk kembali. Lubang-lubang besar di tanah ini terlihat persis seperti masalah-masalah yang selalu mengiringi langkah kehidupanku. Saat ini, lubang-lubang itu adalah rintangan dalam perjalanan terakhirku. Kesiur angin meniupkan beban-beban di bahuku. 

Sepanjang perjalanan, aku menemukan mereka yang mendahuluiku. Sekali sempat aku bertegur sapa dengan salah satu di antara mereka. Aku merasakan lelahnya perjuangan mereka untuk tiba pada titik ini.

"Kau pasti sangat lelah, semoga perjalananmu menyenangkan," tegurku pada salah satu di antara orang-orang yang aku temui. Aku tidak ragu sedikit pun untuk menegurnya. Meskipun aku tidak mengenalnya sama sekali tetapi aku tahu persis bagaimana rasa lelah yang mereka rasakan.

Lantas, aku kembali melanjutkan langkahku. Menelusuri rute terlarang hingga aku menemukan sebuah pohon besar dan permukaan tanah yang rata. Tempat yang sangat strategis untuk bermalam. Duduk di bawah pohon besar, cukuplah menjadi sandaran lelahku seperti tertidur di pangkuan ibunda. 

Sepotong ingatan kehangatan sang ibunda terlintas sejenak saat aku memejamkan mata. Sepersekian detik kemudian, potongan itu berganti dengan celaan dan hinaan. Aku segera mengalihkan pikiranku dari hal menyakitkan itu. Sepotong kenangan masa kecil yang indah kembali terlintas sejenak, namun tak lama kemudian teriakan kasar dan cacian yang memekakkan telinga mulai mencabik ingatanku. 

Matahari semakin meredup ditelan malam. Hari mulai gelap, aku bahkan tidak bisa melihat apa pun di sekelilingku. Aku juga tak bisa menemukan jalan pulang. Lautan pepohonan ini benar-benar senyap. Tak ada kor jangkrik yang bernyanyi dan menyapa. Tak ada pula monyet-monyet yang bersahutan memanggil sesamanya dari satu pohon ke pohon lainnya. Benar-benar tempat yang sangat tenang. Tempat ini sangat menjanjikan untuk dijadikan tempat peristirahatan yang penuh dengan kedamaian. Aku bisa beristirahat dengan damai di sini.

Dinginnya angin berbisik membelai bulu kudukku. Aku merapatkan jaket yang melekat di tubuhku. Sedikitnya, ia memberi kehangatan saat perasaanku justru membeku. Bisikan dari kepalaku mulai menjalari pikiranku. 

Aku manusia gagal. Aku tidak bisa memenuhi keinginan orang-orang terdekatku. Aku lahir membawa kekecewaan. Tak pernah sekalipun mereka bangga kepadaku. Aku adalah kesialan yang dilahirkan tanpa kesengajaan. Selama ini aku hanya membawa kesulitan dan masalah di dalam keluargaku. Tak sedikitpun kebahagiaan kuberikan kepada mereka yang membawaku ke dunia ini. Aku bukan anugerah. Aku adalah sebuah kutukan. 

Kedua tanganku memeluk ransel yang ada di pangkuanku lebih erat. Tanpa sadar, bulir air menyembul di ujung netra dan jatuh membentuk parit kecil di pipiku. Dada terasa sesak hingga tenggorokanku terbakar. Ujung jari-jariku membeku dalam bentuk kepalan tangan. Teriakan itu hanya bisa kuredam. Sekali pun aku meneriakkannya, tak akan ada yang bisa memahami rasa sakitnya.

Entah berapa menit sudah berlalu, entah berapa jam terlewati. Sudahkah lewat tengah malam atau masih sekitar pukul sepuluh malam, aku tidak yakin. Namun, yang paling jelas aku rasakan adalah udara semakin dingin hingga menyelinap ke dalam pakaianku dan menusukkan jarum-jarum beku ke tulang-tulang tubuhku. 

Pikiranku terlalu sibuk mempertimbangkan keadaan. Carut-marut di dalam benakku membawa kegelisahan. Rasa jijik dengan kehadiran diriku sendiri semakin menyelimutiku. Hingga sebuah bisikan berkelebat di telingaku. 

"Kau ingin bergabung dalam kedamaian?" 

Suara itu terasa dekat, berbisik tepat di telinga. Namun, aku tak yakin dengan wujudnya. Suara itu terus terngiang di telingaku seperti alunan musik yang menggoda. Berulang kali bisikan itu terdengar di telingaku. Rasa penasaranku mendorongku untuk membuka mata. Lantas kudapati seorang wanita berpakaian kain putih dengan rambut panjangnya tersenyum di hadapanku sambil berkata, "Kau mau bergabung bersama kami?"

Aku tak bisa berucap sedikit pun. Lidahku benar-benar kelu saat mendapati kehadirannya. Roh yang berkeliaran di hutan ini benar-benar ada. Padahal, kisahnya hanyalah sebuah kisah turun temurun yang masih dianggap mitos belaka. 

"Tempat ini menjanjikan kedamaian untukmu. Tak ada lagi rasa sakit, hanya ketenangan jiwa yang akan kau bawa."

Bisikan itu menggetarkan jiwaku. Sekian detik aku bergeming, lalu hatiku menyetujuinya. Kekalutan yang sejak tadi tak kunjung berakhir membalut perasaanku, mulai menemukan titik terangnya. Simpul tali kekacauan yang kusut perlahan menemukan cara untuk melepas ikatan kusutnya. 

"Jika kau ingin bergabung, kami akan menunggumu."

Sosok itu pergi dan menghilang di balik batang pohon yang berjajar rapat. Langit yang semula dikungkung kegelapan mulai bersambut fajar. Semburat jingga menerangi langit yang memberi sedikit penerangan untuk penglihatanku. Fajar menyambutku dalam keputusasaan. Aku telah mengambil keputusan itu.

Lembayung fajar yang bersemburat di cakrawala dengan indah memanjakan mataku. Kesunyian sungguh membawa kedamaian hingga merasuk ke dalam jiwa. Sunyi. Senyap. Tenang. Tak pernah aku rasakan ketenangan semacam ini sebelum aku datang ke sini. Suara alam dan angin yang berkesiur bersahutan merdu membelai telingaku. Cahaya matahari malu-malu mengintip dari dedaunan yang rimbun. Setidaknya, jika aku tak pernah menemukan keindahan di dalam kehidupanku, pemandangan ini adalah hal terindah yang pernah kulihat di akhir hayatku. Maafkan aku dan terima kasih banyak.

Angin memeluk tubuhku. Aliran napasku tersendat. Air mataku menetes begitu derasnya. Pohon ini mendekapku untuk beristirahat di dalam pangkuannya. 

Aku berharap bisa melindungi mereka yang kutinggalkan. Setidaknya, kehadiranku di sini akan menjadi berkat bagi mereka yang masih menjalani kehidupannya. Aku tidak sendirian di sini. Mereka menantiku di depan gerbang, menyambutku dengan senyuman. 

Wahai keluarga baruku, terimalah aku sebagai bagian dari kehidupanmu yang baru.

***

Baca juga cerita pendek lainnya di sini

Ilustrasi: Hutan Aokigahara

Ditulis oleh Michiko

Picture by Akira.t on Pixta

14 Januari 2021

Tendas Pasukan Berkuda

8:30 PM 0 Comments

Lampu berpendar mengedar pada pandangan seperti seekor kunang-kunang raksasa. Kunang-kunang tak lagi terlihat berterbangan menghiasi langit malam. Kilauan bokongnya kalah dengan lampu-lampu yang jauh lebih luas cakupan cahayanya. Langkah kaki seorang pria menelusuri jalan menanjak beraspal yang kian larut kian lengang. Hentakan sepatunya terdengar berderap saat bertembung dengan bebatuan halus itu. 


Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Lampu lalu lintas sudah berkedip-kedip berwarna oranye di jalan utama yang biasa dilalui kendaraan. Seharusnya, dia sudah sampai di rumah setengah jam yang lalu. Namun, sopir angkot yang aneh itu tiba-tiba menyuruhnya turun di tengah jalan yang gelap dan sepi. Sopir itu dianggapnya aneh karena tidak berbicara sedikit pun sejak ia menaiki angkot itu. Berbagai pertanyaan basa-basi yang diucapkannya sama sekali tak ada yang dijawabnya, seperti mengobrol dengan bongkahan batu besar. 


"Pak, ini bisa dibelokin ke perumahan nggak?" Pertanyaan itu berulang kali ditanyakannya. Namun, ucapan si pemuda itu seperti angin lalu. Sopir angkot itu tak menjawab iya ataupun tidak. Padahal sopir angkot itu menilik pemuda itu dari kaca spion. Lengang, tidak ada percakapan di antara keduanya. Hanya suara mesin angkot butut tua yang mengoceh sejak melesat dari tempat pemuda itu mencegatnya. Setelah beberapa lama, angkot itu berhenti di perempatan jalan utama tepat di bawah lampu lalu lintas yang berkedip. 


"Maaf, Mas. Cuma bisa sampai sini." Akhirnya, sopir angkot itu berbicara setelah sekian lama menyembunyikan suara di bokongnya. 


Pemuda yang baru saja pulang dari kantornya itu menghela napas setelah mendengar ucapan sopir angkot itu. Sepanjang perjalanan, tiada henti ia berdoa kepada Tuhan sebab ia mengira angkot yang dinaikinya adalah angkot ghaib yang disopiri oleh hantu. Bayangannya saja. Sebab, sudah banyak kisah-kisah seperti itu bertebaran, kisah orang-orang yang pernah menumpang angkutan ghaib bersama penumpang ghaib yang diam saja sepanjang perjalanan. Sedikit membuat bulu kuduknya meremang, apalagi ketika membayangkan jika ia benar-benar mengalami kejadian itu secara langsung.


Lantas, angkot itu melesat pergi beberapa detik setelah pemuda itu turun. Belum sempat menyodorkan ongkos, angkot itu sudah menghilang dari pandangannya dan menghilang di perempatan jalan. Terpaksa, malam ini, di tengah jalanan yang begitu sepi dengan pepohonan yang tinggi berdiri kokoh sepanjang jalan, ia harus berjalan kaki sekitar satu kilometer untuk sampai ke rumahnya. Perumahan itu baru saja diresmikan beberapa tahun silam, lahan perumahannya mengambil lahan hutan dataran tinggi. Beberapa rumah masih berupa lahan kosong yang belum dibangun rumah. Bahkan di ujung perumahan, bisa terlihat jurang yang curam sebagai ujung dari jalan buntu. Sedikit saja kehilangan fokus saat mengendarai mobil ke sana, mobil bisa saja terjun bebas dan hanyut terbawa aliran sungai deras yang berada jauh beberapa puluh meter di bawah sana. 


Baru setengah jalan yang ia tempuh dari gerbang perumahan menuju ke rumahnya, ia masih harus berjalan lebih jauh untuk sampai di rumahnya melewati jalanan sepi yang dipagari pepohonan tinggi di kanan dan kiri. Lampu jalanan tidak cukup terang untuk menerangi setiap sudut pepohonan yang gelap. Bisa saja ada begal bersembunyi di balik pohon itu. Pemukiman masih beberapa ratus meter lagi. Tata letak perumahan ini terlalu mengutamakan keasrian dataran tinggi tetapi tidak mempertimbangkan kemudahan akses angkutan umum. Mungkin, konsep perumahan ini adalah harta karun di tengah hutan belantara sehingga dari jalanan utama yang biasa dilalui kendaraan, perumahan itu hanya terlihat seperti alas yang diberi gerbang.


Jalan aspal yang semula mulus pun berakhir di gerbang perumahan. Jalanan menjadi tidak mulus, penuh dengan kerikil kecil yang menelusuri sepanjang jalan. Kerikil kecil terdengar mengisi lengang bersama dengan derap langkah pemuda itu. Pemuda itu melangkah mantap, tak mengacuhkan rasa takutnya. Ia mengalahkah gentar, menerobos kegelapan. Rasa lelah sudah mengungkungnya sejak meninggalkan kursi kantor yang nyaman sehingga rasa takut pun tak bisa mengambil alih posisinya.


Derap langkah kaki terdengar lebih nyaring meningkahi langkah kaki pemuda itu. Suara itu familiar, derap langkah hewan berkaki empat yang bersepatu. Pemuda itu menghentikan langkahnya, ia merasa janggal ketika mendengar suara ringkikan kuda yang berjalan jauh di belakangnya. Bukan, itu bukan sebuah delman yang membawa penumpang tetapi seseorang yang menunggangi kudanya. Dalam pikirnya, untuk apa orang berkuda tengah malam di jalan perumahan yang menanjak seperti itu. Pemuda itu menoleh untuk memeriksanya lebih jelas.


Penunggang kuda itu membelakangi cahaya lampu yang berpendar sehingga membentuk bayangan hitam yang tidak bisa diidentifikasi siapa penunggang kuda itu, barangkali tetangga si pemuda. Tudung menutupi kepala penunggang kuda sehingga sulit untuk mengidentifikasi siapa dia. Jubah besar menjuntai sampai ke betisnya dan sepatu bot sampai ke lutut membungkus kakinya. Derap langkah kaki kuda semakin nyaring terdengar saat mendekat ke arahnya. Kuda itu terus berjalan lurus, melewati pemuda yang sedari tadi sedang memperhatikan kedatangannya. 


Pemuda itu semakin bingung, penunggang itu sama sekali tak berhenti atau menyapanya. Mungkin, dia bukanlah tetangganya sehingga untuk apa menyapa orang yang tidak dikenal. Pemuda itu kembali melangkahkan kakinya saat penunggang kuda itu sudah beberapa meter di depannya. Bau menguar ketika penunggang kuda itu melewatinya. Baunya amis bercampur dengan bau busuk, seperti ikan yang sudah tidak segar dibiarkan dalam suhu ruangan selama berhari-hari. 


Pemuda itu mengusap hidungnya, bau itu semakin menusuk indera penciumannya dan pemuda itu merasa mual saat menciumnya. Langkah kakinya terhenti saat ia mendapati kuda itu berhenti berlari. Penunggang kuda itu juga bergeming di atas punggung kudanya, tidak turun dan tidak juga menoleh ke arah pemuda itu. Hanya diam begitu saja, tidak bergerak seperti beku seketika. Pemuda itu tak mengindahkan si penunggang kuda, lagipula dia tidak mengenalnya. Ia kembali melangkahkan kakinya. 


Namun, belum kakinya menginjakkan kaki ke tanah saat mengambil langkah pertama, sebuah benda bulat menggelinding ke arah kakinya. Sepertinya sebuah benda milik si penunggang itu terjatuh. Pemuda itu membungkuk dan meraih benda yang baru saja menabrak kakinya. Namun, urung. Benda itu menguarkan bau lebih tajam daripada bau yang ia cium sebelumnya. Benda itu juga basah dan berbulu. Pemuda itu semakin menutup hidung dengan tangannya. Bau yang menusuk hidungnya membuat air matanya menggenang di pelupuk matanya. Aroma busuk yang amat dahsyat. 


"Gila, bau banget. Apaan sih ini?" Pemuda itu mencoba mengintip dari berbagai sisi untuk memastikan benda apa yang baru saja menggelinding ke arahnya. Namun, cahaya lampu yang redup tidak cukup membantu penglihatannya. 


Penunggang kuda itu turun dari kudanya. Ia mendekat ke arah pemuda yang sedang berusaha memeriksa benda yang baru saja menggelinding ke arah kakinya. Tangan seseorang terulur mengambil benda yang tergeletak di tanah. Pemuda itu mengangkat wajahnya dan kakinya seketika gemetar. Lemas. Pemuda itu tak sanggup berdiri di atas tumpuan kedua kakinya. Tangannya seketika berkeringat dan dingin seperti sebuah es balok. Matanya terpaku melihat sosok yang hanya berjarak beberapa puluh sentimeter di depannya. Napasnya tercekat di tenggorokan. Kesadarannya terasa seperti sudah berada di ubun-ubun kepalanya dan bersiap untuk menghilang.


Benda bulat itu diletakkannya dalam pangkuan lengan si penunggang kuda. Cairan merah pekat melumuri benda itu, melintas dari pusatnya di puncak dan mengalir seperti lahar melintasi kening dan berpisah membentuk cabang di lekukan hidungnya. Benda itu melotot ke arah pemuda itu, tatapannya kosong tidak mengancam tetapi tetap menyeramkan. Penunggang kuda itu berbalik badan seolah tidak melihat kehadiran pemuda yang ada di depannya. Ia kembali menunggangi kudanya dan langkah kaki kuda itu kembali berderap.


Lemas. Sudah tak sanggup lagi pemuda itu melanjutkan perjalanan, padahal letak rumahnya hanya tinggal beberapa ratus meter. Namun, nyalinya sudah ciut setelah mengetahui penunggang kuda itu pergi ke arah yang sama dengannya. Saat itu pula, pemuda itu memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Ia berbalik badan dengan segera, memutar arah. Belum sempat melangkah, beberapa penunggang kuda lain telah mengepungnya seperti sebuah pasukan yang siap menyerang lawan. 


Suara ringkikan kuda menggema mengisi langit malam bersamaan. Namun, suara itu sama sekali tidak membangunkan warga sekitar. Derap langkah kuda bergemuruh dengan serentak berlari ke arahnya. Pemuda itu bercangkung ketakutan saat pasukan kuda itu berlari ke arahnya. Kedua lengannya berusaha melindungi kepalanya dan wajahnya ia sembunyikan di lututnya. Kuda-kuda itu berbondong-bondong berlarian ke arah jalan berujung jurang di ujung perumahan. Bau busuk menyengat hidung tak lagi dihiraukannya sebab yang ia pedulikan hanyalah kegentarannya. Suara derap langkah kaki kuda pun perlahan menghilang semakin menjauhinya.


Suara gemeletuk terdengar seperti suara es batu yang satu per satu berjatuhan ke lantai. Pemuda itu mengangkat wajah. Beberapa benda bulat menggelinding ke arahnya dan beberapa menumbuk kakinya lagi. Pemuda itu semakin lemas, kepalanya pusing. Ia berusaha melangkahkan kakinya, mencari celah untuk menapakkan kakinya. Langkahnya gontai dan tangannya berusaha meraih pagar rumah warga untuk bertumpu. Pemuda itu berjalan dengan tuntunan pagar rumah warga yang beruntun sampai ke depan rumahnya. 


Tangan pemuda itu bergetar hebat membuat suara besi yang nyaring bertumbukan saat membuka kunci pagar rumahnya. Kakinya tak sanggup lagi melangkah. Badannya terhuyung dan tersungkur ke tanah. Semuanya menghitam.

***


Garis polisi terbentang di sepanjang jalan, mengelilingi tempat kejadian perkara. Mobil taktis polisi dan ambulan juga mengepung jalan. Beberapa petugas sibuk dengan tanggung jawabnya. Wartawan sibuk berdesakan berlomba-lomba mengulik informasi tentang kejadian yang terjadi semalam. Warga sekitar juga turut berkerumun penasaran dengan apa yang sedang petugas lakukan. Beberapa petugas bekerja sama mengangkut kantung jenazah dan memasukkannya ke dalam ambulan. 


"Astaga, Tuhan. Kenapa bisa begini, Nak?" Isak tangis keluarga menggema di sepanjang koridor rumah sakit.  Langkah kaki yang tergesa-gesa bergemuruh berlarian ke ruangan di mana seorang pria muda terbaring kaku. Air mata pilu berjatuhan, kesedihan tak terelakkan melihat kondisi jenazah anggota keluarganya. "Nggak nyangka, kamu bisa meninggal dengan tragis seperti ini."


Kasus tabrak lari itu telah merenggut nyawa seorang pemuda yang baru saja pulang setelah mencari nafkah pada pukul setengah satu malam. 


— T A M A T 


Baca juga kisah horor lainnya di sini

Cerita Horor: Tendas Pasukan Berkuda

Ditulis oleh:



Michiko


Picture source on Google

19 November 2020

Gadis Bak Mandi

9:02 PM 0 Comments
Setelah bergulat dengan tugas dan ujian, hari libur datang menghampiri jiwa seseorang yang kelewat stres dan nyaris depresi ini. Selain bermalas-malasan, tugas setiap liburan semester adalah menjenguk Nenek di desa. Rutinitas yang tidak boleh terlupakan, sebab Mama selalu bilang, "Mumpung Nenek masih ada, kalau Nenek sudah engga ada, nanti menyesal engga pernah jenguk Nenek." Begitulah kalimat andalan Mama, senjata yang paling ampuh untuk mengusir anaknya dari rumah.

Aku, si Bujang Lapuk, begitu panggilan yang disematkan orang-orang di sekitarku, pergi mengajak salah satu sepupuku, Iwan. Sebab, status jomblo yang terus melekat dan tak pernah mau pergi ini, tidak mengizinkan aku untuk pergi mengunjungi nenek bersama seorang wanita yang menjadi kekasihku. Iya, aku memang tak laku-laku. Puas?

Seperti biasa, aku mengendarai motor untuk menempuh perjalanan dari Bogor ke Sukabumi. Terkadang, aku bergantian posisi dengan Iwan yang sejak tadi menumpang dan duduk manis di jok belakang, kala kedua tangan tak sanggup lagi memegangi setang. Perjalanan kurang lebih tiga jam, akan terasa kurang afdol jika tidak disertai badan pegal sebagai hidangan penutup saat perjalan. 

Rumah Nenek terletak di pedalaman, jalur aspal yang berlubang sudah akrab menjadi kawan perjalanan, pemandangan pohon-pohon tinggi dan sawah di kanan kiri menjadi pajangan yang indah untuk sekadar cuci mata. Tidak lupa, silau cahaya matahari yang menyilaukan dan panas terik matahari juga setia menemani kami sepanjang perjalanan. 

Rumah Nenek letaknya di tengah desa yang dikelilingi oleh hutan bambu. Sebelum sampai ke sana, kami harus melewati jalan kecil yang diapit dengan bambu-bambu tinggi yang berjajar seperti pagar yang menuntun jalan ke arah sebuah desa kecil. Terik matahari yang semula menyengat kulit dan membakar ubun-ubun, mulai diredam dedaunan pohon bambu, semilir angin sejuk membelai kulit, panas matahari tidak lagi seterik sebelumnya. Suara batu kerikil yang tergilas ban, terdengar lebih nyaring sebab keadaan jalanan yang sepi tanpa orang yang lewat. 

"Punten," ucap Iwan yang tiba-tiba bergumam sendiri.

"Ngapain lo?" Pandanganku yang semula beredar menikmati pemandangan, teralihkan pada Iwan yang masih berhati-hati mengendarai motor di atas jalanan penuh kerikil.

"Numpang lewat sama penunggu sini."

"Ya elah, Nyet! Hari gini, masih percaya begituan?" aku menyergah. Ya iya lah, penunggu apaan? Peduli setan.

"Sompral banget lo kalau ngomong," protes Iwan.

"Heh, mereka itu cuma makhluk ghaib. Engga bisa ngapa-ngapain, paling cuma bisa menakut-nakuti doang!"

Iwan terdiam, entah karena dia tidak mau merespon ucapanku untuk menghindari perdebatan, atau dia diam karena takut "si penunggu" marah. 

Perjalanan tetap berlanjut, kami berdua saling terdiam tak berucap. Suara knalpot mesin mengisi lengang hutan bambu yang lebat. Cahaya matahari kembali terasa menyilaukan pandangan mata saat kami keluar dari hutan bambu. Perjalanan yang semula sepi, kini semakin ramai dengan sapaan, setiap kali kami berpapasan dengan warga desa yang tak pernah lupa dengan wujud kami. Sapaan mereka yang ramah seolah rindu, mengalihkan perhatian kami.

Roda motor terus berputar membawa kami ke sebuah halaman rumah yang luas. Pohon-pohon cengkih yang besar menjulang tinggi bagai payung yang melindungi kepala kala terik kemarau. Tanah yang kering dan debu yang berterbangan setiap kali angin berembus adalah suasana yang sering dirindukan. Liburan semester kali ini, bertepatan dengan musim kemarau. 

Nenek yang sedang duduk sambil mengunyah sepah di atas dipan yang terletak di teras, tersenyum melihat kedatangan kedua cucunya yang sudah semakin beranjak dewasa. Sambil mencangklong tas ransel, kami bersalaman secara bergantian.

"Aduh, cucu Nenek datang. Dari Bogor jam berapa?"

"Jam 12, Nek."

"Capek, ya? Sok atuh, gih pada mandi dulu."

"Nanti aja ah, Nek. Indra mah masih capek," ucapku sambil meletakkan tas ransel dan merebahkan tubuh di atas dipan, bersantai.

Nenek tak berkomentar, melihat aku yang rebah-rebahan beralas ransel gendut di punggung. "Oh ya sudah, sok atuh, Iwan dulu aja yang mandi."

"Iya, Nek," jawab Iwan, manut. 

Tangan Nenek yang kurus menyentuh betisku, memijat kaki dari ujung sampai ke paha. "Cucu Nenek sudah gede begini. Gimana kuliahnya?"

Refleks tanganku menepis tangan Nenek yang memijat kaki, terkejut, sekaligus risih. Secara etika, rasanya seperti tidak sopan membiarkan orang tua memijati anaknya, apalagi di bagian kaki. 

"Ih, jangan dipijitin gitu ah, Nek!" aku protes. "Iya, pokoknya kuliahnya gitu-gitu aja, Nek."

Nenek berhenti memijat kakiku. "Mana pacar kamu?"

Aku mendengus, dongkol. 

"Jangan tanya pacar ah, Indra mah enggak punya pacar!" Aku bangkit dari aktivitas rebah-rebahan, lalu mencangklong tas dan beranjak dari dipan. "Indra mau tidur aja lah, Nenek mah tanyanya pucar pacar pucar pacar melulu!"

"Iya maaf atuh, Kasep." Nenek menyengir sambil melontarkan kosa kata andalannya jika cucu-cucunya kesal, geram atau badung. "Tapi mandi dulu, hei! Itu bajunya kotor, habis itu baru tidur."

Aku sudah masuk ke dalam rumah sebelum Nenek menyelesaikan kalimatnya. Dengan satu lambaian tangan, sudah cukup mengisyaratkan bahwa aku menolak, tidak mau mendengarkan, akan tetap tidur saat itu juga. 

Aku meletakkan tas ransel di atas lantai setibanya di kamar, lalu tanpa keraguan melompat ke atas ranjang. Beberapa menit kemudian, aku terlelap.

***

Risih dan gatal, aku menggaruk lengan sambil memejamkan mata. Salahku juga, tadi sebelum tidur tidak membersihkan diri terlebih dahulu. Akan tetapi, saat ini pun aku belum mau bangun dari tidur yang menenangkan otot dan pikiran. Tubuhku berbalik, terlentang, masih terlarut dalam tidur yang nyenyak.

Beberapa saat, napas terasa lebih berat. Aku tersengal, dada dan perutku nyeri seperti ada benda berat yang menindih tubuhku. Lama kelamaan, napas makin menderu. Dengan mata yang masih terpejam, aku berusaha membalikkan tubuh untuk mengganti posisi tidur, siapa tahu sirkulasi udara menuju paru-paru akan lebih baik. Akan tetapi, aku tidak bisa melakukannya. Berat, tubuhku kaku dan lumpuh seketika. 

Iwan! 

Iwan! 

Iwan!

Aku berteriak memanggil nama Iwan dalam hati. Tenggorokanku tercekat, tak bisa menyebut namanya lebih keras lagi. 
Panik. Jangan-jangan ini saat-saat terakhirku. Apakah aku sedang meregang nyawa?

Aku membuka mata, ruangan remang. Lampu kamar belum dinyalakan, sepertinya hari sudah gelap—entah baru saja menyudahi petang atau sudah memasuki tengah malam. Hanya ada pendar cahaya lampu yang menyalip dari kisi-kisi pintu, membuat ruangan kamar tidak terlalu gelap gulita. Aku masih bisa melirik ke arah badan yang kaku, walaupun tubuhku tak bisa bergerak. Aku termangu saat sudut mata menangkap bayangan hitam dalam kegelapan. Seseorang duduk persis di sebelah tubuhku, seorang perempuan berambut panjang. 

Nenek, tolong bantuin Indra, ucapku dalam hati.

Aku berusaha menggerakkan tangan untuk menepuk bahu atau lengannya, sekadar meminta bantuan untuk membangunkan aku yang tidak bisa bergerak. Jika saja tanganku bisa bergerak, mulutku bisa berucap, mungkin Nenek sudah menbantuku sedari tadi, tetapi hingga aku menyadari kehadirannya, tanganku tak kunjung bergerak juga. Sampai akhirnya, sosok perempuan di sampingku itu menoleh dengan sendirinya.

Mataku membeliak. Perutku mencelos, jantungku seolah pindah ke lambung. Seperti ada ledakan granat yang dahsyat di dalam tubuhku.

Bukan. Itu bukan Nenek. 

Mataku terpaku menatap ke arah sosok itu. Bodohnya, mengapa aku harus menatap tepat ke arah kedua matanya yang hitam cekung di dalam balutan kegelapan. Tenggorokanku tercekat, tak bisa berteriak. Tubuhku kaku, tak bisa bergerak, apalagi lari. Jantungku berdegup kencang nyaris berhenti, pertama karena terkejut, selanjutnya karena rasa takut. Rasanya, seperti simulasi sakaratul maut.

Sosok itu hanya memandangiku, tidak mendekati atau menyakiti, tapi tubuhku rasanya dingin sekujur tubuh diguyur rasa takut setengah mati. 

Iwan! Nenek! 

Aku berteriak meminta tolong tetapi suara itu cuma bisa terdengar dalam benak sendiri. Tatapan mata sosok itu tajam, seperti pisau yang mampu menikam jantung hingga bisa membuatnya berhenti mendadak. Aku memejamkan mata dengan kuat, menghindari tatapannya sambil memendam rasa takut yang makin menjalar. 

Beberapa saat memejamkan mata, aku merasakan sentuhan lembut—mirip seperti dengus napas atau belaian rambut halus yang membelai wajahku. Suaranya menderu seperti angin yang berembus. Aku makin memejamkan mata, berdoa dalam hati, berharap sosok itu segera pergi. Aku yang tak taat beragama, seketika mengingat Tuhan saat itu juga, bahkan berulang kali menyebut namaNya sambil merangkai doa.

Suara deru napas—suaranya seperti orang yang napasnya tersengal jadi kuanggap itu adalah suara embusan napas—yang terdengar di telingaku, perlahan menjauh dan menghilang. Jantungku yang seolah beku selama beberapa detik, tiba-tiba bergerak lagi setelah (kuanggap) sosok itu pergi. 

Aku membuka mata perlahan, penasaran. Mata yang terbuka, disambut langit-langit yang kosong. Kepalaku terangkat, aku melirik ke tepi kasur yang barusan diduduki oleh sesosok perempuan yang mengerikan. Aku bangkit, duduk di atas kasur sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, pandanganku beredar memeriksa situasi dalam remang. Tanganku terulur jauh mencari stop kontak untuk menyalakan lampu. Cahaya terang benderang, menyilaukan mata, pupil mataku beradaptasi dengan cepat menerima cahayanya. Pandanganku beredar, kembali memastikan tak ada siapa pun di sana. Aku termenung sejenak, lalu menghela napas lega. Ternyata, cuma mimpi. 

Aku berjalan keluar dari kamar. Sambil menoleh ke kanan dan kiri, aku mencari Iwan dan Nenek, sebab rumah terlihat sepi. Seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, aku telusuri, tak ada tanda-tanda kehadiran manusia di sana. Aku memanggil orang-orang yang kucari sambil mengitari seisi rumah, terus memanggil berulang kali walaupun tak kunjung disahuti.

"Iwan? Nek?"

Di bawah pohon cengkih, Iwan berdiri sambil meletakkan handphone pada telinganya. Ia berdiri menghadap ke arah jalan, sehingga aku hanya bisa mengenali punggungnya dari baju yang masih ia kenakan sejak tadi siang. Dia sedang menelepon dengan seseorang di ujung telepon. Pasti sedang melepas rindu dengan kekasihnya yang manja.

Dasar bucin, batinku setengah iri sambil beranjak pergi ke kamar mandi.

Sandal lengkap berjajar di rak yang terletak dekat pintu dapur, kamar mandi rumah Nenek memang terletak agak jauh dari bangunan utama, dekat sumur yang sudah tidak terpakai lagi, jaraknya dengan bangunan utama disekat oleh kebun cabai dan tomat, alasannya agar aroma masakan tidak bercampur bau kamar mandi. Menurutku, itu alasan yang konyol. 

Aku bergegas menggantung handuk dan pakaian bersih, lalu mandi, tidak lupa sikat gigi, dan berdandan rapi. Kemudian, mengeringkan rambut yang basah kuyup karena guyuran air dengan handuk yang digantung tadi. Dingin. Aku tidak tahu, kalau mandi pada malam hari di desa akan sedingin ini. 

Pakaian satu per satu aku kenakan, lalu aku berhenti sejenak saat mengambil kaus yang tergantung di belakang pintu. Rasanya seperti ada seseorang yang menyelinap dalam kamar mandi, sebab aku merasa risih seolah ada yang memperhatikan gerak-gerik aku sedari tadi. Aku menoleh perlahan, kemudian pandanganku beredar ke setiap sudut kamar mandi yang luasnya hampir setara luas kamar. Tidak ada apa pun, aku langsung mengenakan kaus dan keluar dari kamar mandi. 

"Ya ampun, Indra!" 

Aku terperangah, terkejut karena dua hal. Satu, saat aku baru saja menyadari kehadiran Nenek yang tiba-tiba berada di belakangku saat menutup akses ke dapur. Dua, saat Nenek berseru cenderung membentak.

"Kamu mandi pas maghrib begini?" omel Nenek, belum menurunkan intonasi suaranya.

"Iya, emang kenapa? Biasanya juga, Indra mah mandi jam segini."

"Pamali, hei! Jangan mandi maghrib maghrib!" ucap Nenek sambil meletakkan sebuah keresek hitam di atas meja makan.

"Lebay ah, Nenek mah. Pamali, pamali, pamalinya teh kenapa coba? Sok jelasin, biasanya juga enggak apa-apa," jawabku santai, berjalan ke ruang tengah sambil mengeringkan rambut yang setengah kering. 

"Kamu ya, dikasih tahu teh malah gitu. Sok we, nanti kalau ada yang ganggu mah, kapok!" omel Nenek, terdengar sampai ke ruang tengah.

Aku melirik Iwan yang baru masuk ke dalam rumah dan menyambutnya, "Eh, si Bucin. Sudah kelar pacarannya?"

"Pacaran apaan?" tanya Iwan datar lalu meletakkan kunci motor di atas meja.

"Barusan, lo telponan sama pacar lo, kan?" Aku masih menggodanya.

"Apaan sih, orang gue habis antar Nenek ke rumah Uwak."

"Yang bener aja, terus tadi yang teleponan di bawah pohon itu siapa? Jurig?" Aku tak percaya dengan alibinya, menyikut pinggangnya pelan.

"Mana gue tahu," jawab Iwan datar lalu melewatiku. 

Aku menatap punggung Iwan saat ia berjalan ke dapur. Seperti ada yang aneh, aku berpikir sejenak. Beberapa saat memikirkannya, malah membuatku bingung. Aku mengangkat bahu tak peduli.

***

"Wan, lo masih bangun?" Iwan tak menjawab, dia tidur menghadap dinding. Aku tak tahu pasti dia sudah terlelap atau belum, aku kembali memanggilnya lebih tegas untuk memastikan. "Wan?"

"Hm?"

"Wan," aku masih memanggilnya tanpa menyampaikan maksudku setelah memanggil namanya. 

"Apaan sih, Ndra? Gue baru mau tidur, lo ganggu mulu," protes Iwan sambil menoleh, tubuhnya berbalik. 

Aku melihat wajahnya samar yang hanya tersorot pendar cahaya dari kisi-kisi pintu, tersirat kekesalan di wajahnya.

"Beneran, lo tadi enggak teleponan di bawah pohon?"

"Apaan dah, telepan telepon melulu pembahasan lo dari tadi," jawabnya ketus. Ia kembali menghadap dinding.

"Soalnya tadi pas maghrib gue lihat lo di bawah pohon cengkih, lagi teleponan."

Iwan mendengus. "Setan kali," celetuk Iwan sembarangan.

"Setan, setan! Setan, kepala lo pitak!" aku menyergah. 

Lagi-lagi pembahasan si Iwan tentang setan. Aku terus mengelak pembahasan itu. Padahal, aslinya, aku memang kepikiran.

"Berisik lo, gue mau tidur." 

Senyap. Sesekali aku melirik punggung Iwan, berharap ucapannya hanya main-main saja, tapi kenyataannya, Iwan benar-benar sudah terlelap. Aku memandang lurus ke atas langit-langit yang gelap.

Udara malam di desa pada musim kemarau terasa begitu dingin sampai menusuk tulang. Aku berjalan menelusuri kebun belakang, sekalian menatap cakrawala menyaksikan gemerlap konstelasi bintang. Daun-daun kering di tanah menggerisik dalam senyap setiap kali aku mengambil langkah. Sumur tua yang sudah tidak terpakai dan terbengkalai berada di ujung sana. Lubang sumur itu tidak tertutup, membuat penasaran apakah sumur itu masih berisi sumber air atau sudah benar-benar tak berguna. 

Beberapa langkah aku ambil, aku sudah berdiri di tepi sumur. Sebelum mengintip ke lubang sumur, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa situasi. Entah apa yang aku periksa, padahal aku tidak sedang merencanakan kejahatan. 

Aku mengintip ke dalam sumur itu, masih tergenang air di dalamnya. Timba diturunkan, aku mengulur tali timba karena terlalu penasaran, sebanyak apa air di dalam sana sehingga sumurnya tak lagi digunakan. Aku terus mengulur tali sampai timba menyentuh permukaan air. Air sudah terciduk, siap ditarik kembali. Dengan mengerahkan seluruh tenaga ke lengan, aku menarik timba yang penuh dengan air. 

Mengapa sumur ini harus ditutup kalau masih bisa digunakan? Aku membatin sambil menarik timba yang semakin lama, semakin berat—mungkin karena berlawanan dengan arah gravitasi bumi. Katrol yang berkarat pun berdecit menahan dua beban di kedua sisi, aku seolah sedang berpartisipasi lomba tarik tambang melawan gravitasi bumi. Tidak kuat menahannya lagi, aku berhenti menimba. Sambil menahan tali timba, aku mengintip ke lubang sumur. Seberapa besar beban yang aku angkat, sampai pemuda yang masih perkasa pun tak bisa menimba air dari sumur. Pantas saja Nenek menutup sumur itu. Sebab, Nenek sudah tua dan bisa saja mencederai punggungnya hanya karena menimba seember air yang begitu berat beban massanya.

Permukaan air meriak, gemercik air menggema sepanjang dalamnya sumur. Tidak terlalu jelas apa yang ada di dalam sana, tapi yang jelas ada sesuatu bergerak keluar dari dalam air. Bentuknya seperti laba-laba, ia merangkak dari dalam sana dengan cepat. Namun, ini bukan laba-laba biasa, ini beribu-ribu kali lebih besar daripada tarantula, besarnya setara manusia. 

Sosok itu merayap dengan sangat cepat, memanjat galian sumur. Kuku-kukunya tajam, mencengkeram erat dinding sumur yang berlumut. Aku berdiri kaku memperhatikan sosok itu merayap ke arahku. Tanganku melepas genggaman tali timba, membuat ember berisi penuh dengan air jatuh lagi ke permukaan. Suara gemerciknya nyaring menggema sampai ke bibir sumur. Napasku tersengal, takut dan ingin kabur. Akan tetapi, kaki terlalu kaku untuk bergerak.

Sosok itu makin mendekat, ia merayap makin cepat sampai tiba di bibir sumur. Kemudian, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahku, dengan sigap menerkam tubuhku. Dorongannya sangat kuat, membuatku terpelanting jauh dari bibir sumur dan tersungkur di tanah. Sosok itu menindih tubuhku sehingga aku tak bisa melarikan diri. Tangannya mengayun brutal, dengan kukunya yang tajam ia berusaha mencabik wajahku yang berusaha aku lindungi dengan lengan.

"Iwan! Nenek! Tolong!" Aku berteriak sekencang yang aku bisa sampai tenggorokanku kering dan sakit dibuatnya. Kalau sampai tetangga mendengar, itu jauh lebih bagus. 

Sosok itu terus mengayunkan cakarnya seperti seekor harimau yang sedang mencabik mangsa. Aku terus berteriak, meminta tolong sekeras mungkin pada siapa pun yang mungkin mendengarnya. 

Serangan itu seketika berhenti, tapi tetap saja, sama sekali tidak menenangkanku yang sudah basah kuyup bermandikan peluh rasa takut. Sebab, tangannya yang semula berayun sembarangan arah, kini mencengkeram pergelangan tanganku.  Napasku tersengal, tenggorokanku kering, jantungku seperti berhenti sesaat. Bola mataku bergerak perlahan, melirik ke arah tangan yang melingkar dengan kuat yang mencengkeram pergelangan tanganku. Wajah sosok itu bisa aku lihat dengan jelas, begitu dekat dan amat lekat terpampang di depan mata, ia menyeringai seram. Aku teriak sekencang-kencangnya.

Aku membuka mata. Mataku melotot dan pandangan mengedar ke seluruh sudut ruangan. Dadaku naik turun dengan cepat, napasku tersengal, dan keringat mengalir dari pelipisku. Pergelangan tanganku dicengkeram oleh Iwan, ia menatapku bingung.

"Heboh banget tidur lo," komentar Iwan seraya melepaskan pergelangan tanganku. 

Aku masih mengatur napas dengan posisi duduk. Mimpi buruk lagi. Aku meremas rambutku yang basah karena peluh. Kaus yang kupakai juga basah karena mengeluarkan keringat. 

"Kenapa sih lo? Ngigau sampai segitunya."

Aku menelan ludah, rongga mulutku terasa kering. Aku memandang Iwan lamat-lamat sambil menghela napas. Aku menceritakan mimpi yang aku alami di hari sebelumnya. Mimpi yang begitu terasa nyata, bahkan membuat diriku trauma. 

"Ini pasti gara-gara lo ngomong sompral di hutan, kan?" tuduh Iwan sebelum aku menyelesaikan kalimat penutup cerita.

Aku mengernyitkan alis, lalu mengangkat bahu. "Hidup lo mistis mulu, Wan."

Aku melewati Iwan, menubruknya bahunya dengan bahuku saat keluar kamar.

Aku meraup air, membasuh wajahku. Butiran air yang tersisa mengalir di wajahku. Tetesan air terjun bebas dari daguku, menghantam genangan air yang menciptakan suara gemercik. Aku memandang pantulan bayangan wajahku pada permukaan air yang beriak. Sekelebat bayangan mimpi yang kualami kemarin, kembali menari-nari di bayanganku. 

Dua kali aku bertemu dengan sosok wanita yang sama. Siapa dia? Mengapa bentuknya begitu menyeramkan?

Aku menggoyangkan tanganku, memercik sisa air yang masih membasahi telapak tanganku. Aku menggelengkan kepalaku dan melupakan mimpi itu, lalu keluar dari kamar mandi.

***

Seharian kami menghabiskan waktu di sawah, menemani Nenek untuk memantau pekerja tani yang menggiling padi dan gabah. Pukul 05.00 sore, kami baru menginjakkan kaki di rumah. Aku merebahkan tubuhku di atas dipan, memandang langit-langit teras. 

"Indra, Iwan, langsung mandi! Bersih-bersih, badan pada kotor semua." Seperti biasanya, omelan Nenek tentang kebersihan selalu menggema di telinga, terutama setelah menerjang lumpur atau tanah di sawah.

"Wan, lo duluan!" 

Iwan, anak yang penurut, yang bahkan bisa menuruti perintah sepupunya ini karena kelewat manut, langsung bergegas mengambil handuk dan membersihkan diri. Sambil menunggu, aku mengeluarkan handphone, memainkan permainan online yang beberapa hari ini belum aku mainkan. 

Iwan kembali, lalu menyabetkan handuk ke tubuhku. "Sana lo, mandi!"

Aku yang masih asik dengan permainanku, melambaikan tanganku menyuruhnya pergi. "Bentar, bentar!"

"Diomelin Nenek lo, Ndra, mandi maghrib lagi."

Aku tak menggubris ucapannya. Mataku masih fokus pada layar handphone dan kedua tanganku sibuk mengontrol permainan pada layar. Selain penurut, Iwan orang yang tidak suka berdebat dan mudah menyerah. Jadi, ia pergi meninggalkan aku yang masih asik bermain sendirian. 

Tak terasa, aku sudah main beberapa putaran hingga semburat jingga yang semula menyala di kaki langit pada ufuk barat sudah tergantikan dengan warna biru keunguan cakrawala. 

"Ya ampun, Indra, belum mandi juga?" Omelan Nenek kembali memekak telinga. Mukena putih yang masih Nenek kenakan saat Nenek menyalakan lampu teras, membuat aku agak terkejut. Nenek menyabetku dengan sajadah di tangannya. "Mandi malam lagi kamu, hah?"

Aku sudah menyulut emosi Nenek. Daripada aku terkena omelan yang bertubi-tubi, lebih baik aku mengalah saja untuk pergi mandi saat itu juga.

Handuk aku sampirkan pada bahu. Aku terperanjat melihat seseorang berdiri di kebun belakang saat membuka pintu dapur. Ia berdiri membelakangiku sambil meletakkan handphone pada telinganya. 

Iwan, bukan? Atau sosok yang menyerupai Iwan?

Aku tidak bergerak, masih termangu memperhatikan gerak-geriknya. Ia menoleh ke arahku yang masih mematung di ambang pintu. 

"Ngapain lo di situ?" tanyanya tanpa menurunkan handphone yang ia letakkan pada telinganya. Obrolannya dengan seseorang di ujung telepon belum berakhir.

Oh, Iwan sungguhan. Aku menghela napas lega lalu berlenggang ke arah kamar mandi melintasi kebun belakang sambil bersiul. 

Aku mandi seperti biasa, membersihkan badanku dari debu-debu yang melekat di tubuh. Aku membersihkan wajah, mengusapkan busa-busa berlimpah pada seluruh bagian wajah. Mataku terpejam sebab akan perih jika sabunnya masuk ke mata. Aku menggosok wajah sambil bersiul santai menikmati usapan busa lembut di wajah. 

Sekelebat bayangan melintas pada pikiranku, seolah ada sesosok wajah yang terpampang di depan wajahku. Entah mengapa aku tiba-tiba membayangkan hal itu. Aku berhenti menggosok wajah, tanganku dengan sigap meraba-raba gayung yang berisi air, membilas wajah yang berbusa. Aku membuka satu mata, sial, perih sekali saat sisa sabun mengalir bersama air melewati mataku. Dengan cepat, aku mengusap sisa busa dan membasuhnya. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, menyapu kamar mandi yang hanya diterangi oleh cahaya lampu bohlam kuning yang redup. 

Bayangan gila, menakut-nakuti saja, padahal tidak ada apa-apa. 

Setelah menuntaskan aktivitas, aku berbalik hendak mengambil pakaian dan handuk. Sial, aku lupa membawa pakaian ganti. Aku mengeringkan tubuhku dengan handuk dari ujung kaki ke ujung kepala.

Suara gemericik air, menghentikanku saat aku melilit handuk di pinggangku. Aku menahan napas membuat kamar mandi senyap agar tidak terganggu deru napasku sendiri, berusaha memastikan apa yang baru saja kudengar. Suara seperti air bak mandi yang beriak diaduk dengan ciduk terdengar mengisi senyap. Aku menoleh cepat, lalu mengernyitkan alis saat kudapati permukaan air yang tenang dan gayung masih dalam posisi semula. Lalu dari mana asal suara air yang aku dengar? Aku kembali berbalik, tak peduli, mengikat handuk di pinggangku agar melilit dengan kuat.

Geli, sesuatu membelai tengkuk, membuat aku bergidik. Aku mengusap tengkuk, menyambar sesuatu yang menggelitik, entah serangga atau apa pun itu. Mataku terbelalak saat melirik jariku yang menarik sesuatu dari tengkuk. Aku menelan ludah dengan gugup. Entah rambut milik siapa yang bertengger di bahuku, panjang menjuntai dari tengkuk sampai ke pinggang. Jelas, itu bukan rambutku. 

Belum tuntas rasa penasaran atas rambut misterius itu, tetesan air yang menetes dari atap mengalihkan perhatianku. Tetesannya jatuh membasahi hidungku. Aku mengusap hidungku dengan jari, jariku berwarna merah setelah mengusapnya. Aku mengangkat wajahku perlahan, takut tapi penasaran. Jantungku nyaris berhenti seketika saat mengetahui dari mana tetesan darah itu berasal. Kakiku gemetar, begitu juga tanganku yang tremor ketika berusaha membuka selot. Kali ini aku harus kabur, sebab aku yakin ini bukan lagi mimpi. 

Aku mendorong pintu tetapi pintu tak juga terbuka, seperti terkunci dari luar. Berulang kali aku mendobraknya dengan bahu, pintu tak kunjung terbuka. Aku menggebrak pintu dari dalam sambil memanggil Iwan yang beberapa saat lalu masih berada di kebun, menelepon seseorang di ujung telepon.

"Iwan! Iwan! Buka pintunya, Wan!"

Leherku tiba-tiba terlilit rambut panjang yang tersampir di bahuku hingga mencekikku. Aku gelagapan berusaha melepas lilitannya. Telapak kakiku terangkat, menyisakan tumit yang menapak pada tanah. Tubuhku miring hampir 45 derajat ke belakang, diseret rambut itu ke arah bak mandi di ujung ruangan dengan paksa. Aku hampir kehabisan napas. Punggungku membentur tepian bak mandi yang terbuat dari semen, pinggang bagian belakangku ngilu saat tergores permukaan semen pada ujung sisi bak mandi yang tajam karena tak rata. Kakiku terangkat, aku mengapung di udara karena lilitan rambut yang menarik leherku ke atas. 

"I... Wan!" Aku mengulurkan satu tangan, berusaha meraih gagang pintu dari kejauhan sambil terbata-bata menyebut nama Iwan. 

Lilitan rambut di leherku terlepas seketika, menjatuhkan tubuhku ke tanah hingga tersungkur. Aku mendarat dengan kedua lutut, terbatuk-batuk saat tenggorokanku tak lagi terlilit dengan kuat. Sadar bahwa aku harus melarikan diri, aku langsung bangkit dan mengabaikan rasa sakit yang menjalar pada seluruh tubuhku. Belum sempat meraih gagang pintu, suara gemericik air dan tawa menggema di langit-langit kamar mandi. Permukaan air pada bak mandi kini beriak hebat, membuat gayung yang bertengger di tepi bak mandi jatuh ke lantai. 

Jari-jari terbit dari permukaan air, membuat kakiku gemetar. Aku tersengal, napasku tak beraturan dilanda ketakutan. Jari-jari itu berkuku tajam, makin jelas terlihat saat mencengkeram dinding bak mandi, persis seperti ia mencengkeram dinding sumur dalam mimpiku tadi malam. Aku bangkit, berlari tunggang-langgang ke arah pintu. Aku mendorong pintu dengan satu kali dobrakan, membuatku terjerembab ke tanah dengan handuk yang masih melilit pinggangku. Dengan cepat aku bangkit dan lari terbirit-birit sambil berteriak ke dalam rumah.

***

"Ada apa, Ndra?" Iwan turut panik saat ia menyusul beberapa waktu setelah aku duduk sambil ngos-ngosan di atas kasur. 

"Kenapa lo enggak bukain pintunya?" bentakku dengan emosi yang masih tidak stabil.

"Eh?"

Aku mendorong bahu Iwan, membuat dia tersudut. "Gue teriak-teriak di dalam sana, hampir mati. Bajingan lo!"

"Maksud lo apa?" Iwan masih tak paham.

"Gue panggil-panggil lo ya, Bangsat. Masih banyak tanya!"

"Gue gak dengar apa-apa, Ndra! Gue berani sumpah!" 

Aku meliriknya, menilik wajahnya. Napasku masih tersengal seperti banteng yang mengamuk saat mengolah emosi yang membuncah.

"Gue juga bingung, kenapa lo lari sampai terbirit-birit gitu waktu keluar kamar mandi."

Aku mengusap wajahku, lalu meremas rambutku. Pasti cuma halusinasi. Aku tak ingin menceritakannya, bisa-bisa dianggap gila. "Enggak apa-apa, kayaknya gue halusinasi lagi."

Aku berusaha melupakannya. Aku merogoh tas ranselku, mengambil kaus yang terlipat di dalam sana.

"Ndra," panggil Iwan.

"Hm?" Aku menyahuti tanpa mengalihkan pandanganku saat sibuk mengeluarkan pakaian dari dalam ransel.

"Punggung lo memar," ucap Indra terdengar khawatir.

Aku menoleh ke arahnya, menatapnya bingung. Aku melirik ke arah punggungku tetapi tak terlihat begitu jelas. Aku berjalan ke depan lemari yang terdapat cermin besar pada pintunya, berdiri membelakangi cermin, dan memperhatikan pantulan bayangan pada cermin. Lebam kebiruan dan lecet berwarna kemerahan membekas pada punggungku. Aku merabanya, terasa amat perih dan ngilu. 

Sebenarnya, yang aku alami ini, hanya sekadar halusinasi atau teror gila dari gadis bak mandi?

***
Ditulis oleh:

Michiko

Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini

19 Desember 2019

Teror Hantu Blogger

9:59 PM 0 Comments


Gue adalah seorang admin sebuah blog misteri yang terkenal. Gue suka banget membuat kisah-kisah horor dan menantang diri sendiri untuk uji nyali di tempat yang katanya angker dan berhantu. Menurut gue, semua urban legend dan kisah misteri yang meluas di masyarakat itu hanya desas-desus warga sekitar saja, semacam isapan jempol belaka. Walaupun gue adalah seorang pemilik blog misteri yang suka dengan konten horor dan semacamnya, sebenarnya gue gak percaya kalau hantu itu benar-benar ada. Gue yakin bahwa hantu-hantu yang mereka semua sebut menyeramkan, berbahaya, dan mengerikan itu sebenarnya adalah fantasi dan ketakutan mereka yang berlebihan sehingga mereka dapat menciptakan sosok bayangan dari pikiran mereka sendiri, kemudian "sosok ciptaan" itu mereka anggap sebagai hantu. Menurut gue, percaya pada hantu adalah pemikiran yang gak banget untuk manusia yang hidup di zaman yang sudah benar-benar maju dan mengedepankan rasionalitas.

Malam ini, gue belum tidur. Jarum jam menunjukkan pukul dua dan jarum detiknya bergerak dalam kegelapan. Ruangan kamar menerima sedikit cahaya remang dari lampu di teras yang menerobos tirai jendela kamar. Hening. Suara detik jarum jam terdengar lebih nyaring dari biasanya, bahkan gue bisa mendengar napas gue sendiri. Di tengah kesunyian malam ini gue masih terjaga, kebiasaan begadang ini sudah gak ada obatnya lagi. Padahal, terkadang gue butuh waktu lebih lama untuk tidur ketika gue kelelahan tetapi ujungnya tetap sama--gue hanya bisa tidur setelah jam tiga.

Belakangan ini, gue sibuk dengan pekerjaan di kantor sampai gue gak sempat untuk memeriksa komentar dari penggemar setia blog gue. Gue juga beberapa hari belakangan gak mempublikasikan postingan yang baru karena memang belum ada waktu. Bukan masalah gue gak bisa menyempatkan diri untuk mengurus blog, tetapi tanggung jawab gue gak hanya mengurus blog saja, gue juga punya pekerjaan yang gue prioritaskan yang mana pekerjaan itu memakan waktu sangat banyak dan terkadang saat pekerjaan sudah selesai pun energi gue justru sudah habis terkuras. Malam ini, gue menyempatkan diri untuk memeriksa keadaan blog gue saat ini, lumayan kerjaan untuk mengisi waktu luang gue karena kebetulan malam ini mata gue masih kuat untuk melek beberapa jam ke depan.

Sebelumnya, gak afdol kalau gue memantau blog tanpa ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok. Gue bangun dari tempat tidur lalu berjalan ke arah pintu. Tangan gue terulur untuk menarik gagang pintu kamar lalu menariknya sampai daun pintu terbuka perlahan. Sedikit demi sedikit daun pintu menampilkan keadaan ruang tengah yang kosong, sepi, dan hanya diterangi dengan cahaya remang-remang yang menerobos tirai jendela. Biasanya, gue mematikan seluruh lampu kalau gue akan pergi tidur dan hanya lampu kamar mandi yang gue biarkan menyala. Tetapi, malam ini keadaan ruang tengah yang cukup gelap agak membuat gue merinding. Sejujurnya, gue gak terlalu suka dengan kegelapan, apalagi kesepian tanpa sang kekasih. Halah.

Gue melangkah keluar dari kamar yang nyaman, di depan pintu gue bisa melihat bayangan diri gue sendiri pada layar televisi selebar 21 inch. Kemudian, gue berjalan melintasi ruang tengah yang sepi tanpa menyalakan lampu karena letak saklar begitu jauh dari tempat gue berdiri. Sunyi. Derap langkah kaki terdengar di telinga gue sendiri. Gue berjalan melewati sofa panjang yang membelakangi pintu kamar lalu berbelok ke arah pintu dapur yang menyekat antara dapur dan ruang tengah. Cahaya di dapur lebih terang daripada ruang tengah, walaupun masih tetap remang-remang cahayanya. Sisa cahaya dari lampu kamar mandi yang terletak di ujung ruang dapur memberikan penerangan yang cukup untuk dapur seukuran 2x2 meter ini sehingga gue gak perlu untuk menyalakan lampu dapur.

Gue membuka pintu lemari penyimpanan makanan, suaranya berderit dan mengisi kesunyian malam. Lalu tangan gue terulur untuk mengambil sebungkus kopi dari dalamnya. Kemudian, gue meraih sebuah gelas mug kesayangan gue yang merupakan hadiah dari penggemar blog gue. Gelas mug itu adalah gelas mug berwarna putih dengan gambar logo blog pada kedua sisi di sebelah gagangnya. Gue suka banget dengan mug itu, walaupun ada banyak mug berjajar di rak tetapi gue pasti akan mengambil mug putih itu. Suara keresek terdengar nyaring saat gue membuka bungkusan kopi, suaranya agak mengganggu sebab gue jadi tahu betapa sunyi keadaan malam ini dan gue benar-benar sendirian tanpa kawan. Gue berdeham untuk memecah keheningan kemudian bersenandung kecil untuk meredam kesunyian. Gua tuangkan bubuk kopi ke dalam gelas mug. Dapur tiba-tiba gelap gulita selama satu per sekian detik, bahkan gelapnya hanya mirip seperti satu kedipan mata. Gue terkejut. Dengan cepat, gue menoleh ke samping kiri tepat ke arah pintu kamar mandi yang terbuka. Lampu kamar mandi masih menyala saat gue melirik ke arah kamar mandi. Gue termenung sejenak. Beberapa pikiran datang sesaat sebelum gue menyimpulkan apa yang terjadi. Untuk memastikannya, gue melangkah ke arah kamar mandi. Gue julurkan kepala gue melewati kusen pintu dan melirik ke arah langit-langit kamar mandi, cahayanya lebih redup dari biasanya. Mungkin, ini saatnya untuk mengganti lampu kamar mandi.

Gue kembali ke pantri dan melanjutkan kegiatan gue yang baru saja diinterupsi. Kali ini, gue gak terlalu santai dan lebih terburu-buru. Gue menyambar gagang mug lalu menempatkannya di bawah keran dispenser berwarna merah. Bunyi suara gelembung air di dalam galon memecah keheningan beberapa saat. Gue bersiul sambil memperhatikan gelembung air di dalam galon bergerak ke atas. Permukaan air panas perlahan-lahan mulai naik memenuhi gelas mug.

Tiba-tiba, panci berjatuhan dari tumpukannya. Keras suara dentingannya membuat gue terperanjat. Jantung gue terasa seperti mau loncat dan keluar dari mulut gue. Gue langsung menolehkan kepala ke ke arah panci yang berserakan di atas lantai dekat pintu yang menyekat antara ruang tengah dan dapur.

"Goblok!" umpat gue entah pada siapa. "Anjir, bikin kaget aja lu."

Dengan segera, gue letakkan gelas mug di atas pantri sambil mengelus dada dan mengatur ritme napas gue yang tersengal karena kaget. Gue berjalan ke arah panci-panci yang berserakan dan memungutnya satu per satu. Saat gue mencondongkan badan gue ke depan untuk meraih panci di lantai, sekelebat bayangan muncul di sudut kanan pandangan gue. Bayangan itu muncul dengan singkat, bergerak dari arah kamar gue melintasi ruang tengah kemudian bergerak menuju ke arah televisi di seberang pintu kamar. Mata gue mengikuti pergerakan bayangan itu, kemudian bayangan itu menghilang saat menembus dinding ruang tengah. Gue mengucek kedua mata gue dengan punggung tangan untuk memastikan apa yang barusan gue lihat. Namun,  hanya ruang tengah yang gelap dan kosong tanpa ada jejak apa pun yang bisa gue lihat. Bergegas, gue pungut semua panci dan gue rapikan di tempat semula. Tanpa pikir panjang, gue langsung berdiri dan menyambar sendok kecil dan mug berisi kopi yang belum diaduk. Gue melangkahkan kaki meninggalkan dapur sambil memutar kepala sendok searah dengan arah gerakan jarum jam. Ketika gue melintasi ruang tengah, mata gue menelusuri setiap sudut ruangan untuk mencari sosok bayangan yang tadi gue lihat. Gue memandang ke arah dinding yang berada di belakang televisi sejenak.

Apa yang barusan gue lihat? Apakah itu hantu? Mana mungkin, gak ada yang namanya hantu. Pasti itu hanya imajinasi gue saja, gue hanya kelelahan karena kurang istirahat. Gue berbalik badan kembali melangkahkan kaki menuju ke kamar dan gue menutup pintu kamar dengan rapat tanpa menguncinya.

Gue meletakkan segelas kopi di atas meja. Meja itu terletak di dekat jendela nako yang tertutup tirai. Gue sengaja meletakkan meja di dekat jendela karena gue terbiasa merokok sambil bekerja atau sekadar berselancar di dunia maya. Gue geser sebagian tirai yang menutupi jendela lalu menarik tuas besi pada jendela untuk membuka jendela. Kaca dan besi yang bersinggungan terbuka dan menciptakan suara "krepyak". Udara malam yang dingin semilir menembus celah jendela mengisi sirkulasi udara di kamar gue. Gue menyalakan laptop berwarna silver lalu duduk sambil mengangkat satu kaki untuk bertumpu di atas kursi. Layar laptop menyorotkan cahaya di tengah kegelapan kamar. Silau. Gue sulut satu batang rokok yang gue jepit di antara kedua bibir sampai kepulan asap menyembur dari celah mulut dan lubang hidung. Gue hisap ujung batang rokok. Mouse kecil hilang dalam genggaman tangan besar gue saat gue mengarahkan kursor di layar. Sambil menjepit batang rokok di mulut, gue mengetik alamat domain blog gue. Beberapa detik kemudian, halaman blog pun muncul. Gue baca satu per satu komentar dari pembaca setia blog gue. Sesekali gue hisap ujung rokok setiap kali mulut gue terasa asam. 

Kak, bahas tentang hantu blogger dong:D

Kak.. katanya hantu blogger nyata?? Bahas kuy..

Min pernah denger hantu blogger kagak? Katanya dia bakal teror orang yang bahas tentang dia di blog.. Berani kagak lw? :P

Gan , elu suka uji nyali kan ? Bahas hantu blogger kek , kalo elu beneran diganggu sama hantu blogger , ceritain di mari yak ...

Gue memegang gagang gelas mug lalu menyesap kopi yang sudah gak terlalu panas. Jujur, gue terlalu lama gak berselancar di dunia maya dan gue belum pernah mendengar tentang kisah Hantu Blogger. Rasa penasaran gue mulai terpancing. Gue mencari tahu siapa itu Hantu Blogger setelah membaca segala kisah yang diceritakan oleh blogger lainnya. Menarik. Mereka bercerita tentang semua teror atau bahkan kesan saat mencoba mengorek cerita tentang Hantu Blogger. Gue bisa memanfaatkan keyword ini untuk menaikkan jumlah pengunjung blog gue dengan sedikit dramatisir. Sebelum gue mulai mengulas Hantu Blogger, gue harus mencari sumber terpercaya agar informasi yang gue sampaikan kepada pembaca bukan hoax. Walaupun nantinya gue akan sedikit memberi bumbu dramatisir, setidaknya gue harus bermain sedikit lebih rapi.

Gue langsung membuka tab baru dan mencari kisah-kisah tentang Hantu Blogger dari berbagai sumber. Beberapa situs muncul dalam mesin penelusuran, sebagian besar menceritakan tentang pengalamannya saat diganggu Hantu Blogger ketika sedang menulis kisah tentangnya. Namun, semua kisah itu gak cukup buat gue. Gue perlu banyak informasi tentang Hantu Blogger--dari mana asal mula kisah ini berawal, siapa dia, dan mengapa dia bisa disebut sebagai Hantu Blogger. Gue menghabiskan beberapa puluh menit untuk menelusuri tentang Hantu Blogger dan membaca berbagai situs yang membahas Hantu Blogger. Penelusuran gue terhenti saat gue menemukan alamat domain blog yang katanya adalah blog milik si Hantu Blogger. Awalnya, gue gak langsung percaya dengan link itu, karena gue takut kalau ternyata link itu adalah link virus atau click bait dan semacamnya. Tetapi, setelah menelusuri web itu gue semakin yakin kalau link yang tertera di sana bukanlah link hacker atau semacamnya. Jadi, gue memberanikan diri untuk membuka link yang tertera pada postingannya. Tab baru terbuka mengarah pada sebuah situs blog yang terlihat sederhana dan penuh dengan postingan cerita sehari-hari, mirip seperti sebuah buku harian yang dapat diakses oleh peselancar dunia maya.

Beberapa postingan pada blog milik "Hantu Blogger" gue baca satu per satu dari postingan yang terlama. Tulisannya mirip seperti seorang yang sudah ahli dalam permainan seni bahasa. Gue juga beberapa kali tercengang setiap membaca tulisannya. Gaya bahasanya tingkat tinggi seperti seorang sastrawan. Gue menghisap batang rokok yang semakin lama semakin pendek sambil membaca seluruh isi tulisannya di blog. Ada hal yang mengganjal dari seluruh postingan yang gue baca, isi dari seluruh postingannya kebanyakan adalah kesedihan dan keputusasaan. Gue gak tahu seberat apa beban hidup yang dia rasakan, tetapi kalau saat itu gue ada di sana bersama dia, gue ingin memeluknya. Sejauh yang gue pahami dari isi blognya, gue menyimpulkan bahwa Hantu Blogger memiliki kisah hidup yang amat menyedihkan.

Gue menyesap lagi kopi yang masih tersisa setengahnya di dalam mug. Gue membuka laman entri untuk menuliskan kisah Hantu Blogger. Mata gue  mulai terfokus pada layar laptop dan jari-jari gue mulai bergerak menari-nari di atas tombol keyboard. Beberapa saat kemudian, angin berhembus cukup kencang, angin dingin menyeruak masuk ke dalam kamar sehingga tirai jendela melambai-lambai. Gue bangkit dari tempat duduk untuk menutup jendela. Sesaat sebelum mendorong tuas besi untuk menutup jendela, gue berhenti untuk mengintip pada celah jendela. Samar-samar, terlihat seorang perempuan berdiri seorang diri di tepi jalan yang disinari cahaya temaram. Apakah itu tetangga sebelah yang baru pulang lembur? Gue pikir begitu. Gue tak acuh. Gue dorong tuas besi dan jendela pun tertutup rapat.

Gue kembali duduk tanpa menutup tirai jendela. Gue bersiap untuk melanjutkan tulisan gue. Sial. Gue menatap layar laptop dengan penuh umpatan keluar dari mulut gue. Tulisan gue tiba-tiba berantakan karena disisipi banyak huruf f. Mengapa keyboard harus eror di saat seperti ini? Merepotkan. Gue menghela napas lalu menyesap kopi hingga hanya tersisa ampasnya saja. Gue rapikan tulisan gue dengan penuh kesabaran. Setelah tulisan gue kembali rapi, gue melanjutkan tulisan gue. Jemari gue kembali menari di atas keyboard. Sampai beberapa saat kemudian, mata gue mulai terasa berat dan jari-jari gue juga mulai terasa lelah. Gue menoleh ke arah  jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul tiga dan menitnya menunjuk pada angka dua. Gue meregangkan sendi-sendi jari gue lalu kembali terfokus pada laptop di depan gue guna melanjutkan tulisan gue. Gue tetap memaksakan diri walaupun beberapa kali mulut gue terbuka lebar karena mulai mengantuk. Gue tambahkan kecepatan jari-jari untuk mengetik tulisan gue agar cepat selesai. 

Mata gue tiba-tiba terbelalak saat sebuah tangan terulur dari belakang melewati bahu gue. Jarinya yang panjang dan kukunya yang tajam menunjuk pada sebuah kata. Sebuah bisikan terdengar di telinga gue membuat bulu kuduk meremang, "Typo, Bang."

Napas gue tertahan. Jari-jari gue beku seketika dan perut gue terasa tegang. Mata gue tetap terpaku ke arah layar laptop, gak sedikit pun ada keinginan untuk berbalik. Gue terlalu takut untuk menoleh ke belakang karena gue yakin itu bukan manusia. Rumah ini hanya dihuni oleh gue. Sendirian. Gak ada orang lain. Gue pun menelan ludah dengan bersusah payah guna membasahi tenggorokan gue yang kering. Setelah gue bergelut dengan segala ketegangan, tangan itu bergerak mundur dan menghilang dari pandangan gue. Gue gak tahu pasti apakah dia sudah pergi atau belum, tetapi tangan itu sudah menghilang. Gue memang takut, tapi rasa penasaran gue lebih besar. Gue kembali menelan ludah dan mengumpulkan nyali gue untuk memeriksanya. Sumpah ini pertama kalinya gue percaya kalau hantu itu ada. Gue memutar kepala ke belakang perlahan-lahan. Perut gue mencelus. Bola mata gue bergerak memutar untuk memeriksa setiap sudut ruangan. Kosong, gak ada apa pun atau siapa pun. 

Gue bernapas lega. Rupanya, semua itu hanya halusinasi gue karena terbawa suasana saat sedang memanipulasi kisah Hantu Blogger. Gue pun memutar kepala gue untuk kembali menatap layar laptop. Sesaat sebelum memandang ke layar laptop, sekelebat bayangan menarik perhatian gue. Gue pun mengalihkan pandangan ke arah jendela yang gak tertutup tirai. Dua buah telapak tangan menempel di jendela dan di antara kedua telapak tangan itu terdapat wajah menyeramkan yang menyeringai. Gue terperanjat sampai kursi yang gue duduki terpental ke belakang. Gue terjengkang dari kursi. Dengan tergesa-gesa gue bangkit dan berlari tunggang langgang ke arah pintu untuk menyambar gagang pintu. Setelah gagang pintu gue pegang dengan erat, gue tarik gagang pintu berulang kali sekuat tenaga, tetapi pintu sama sekali gak terbuka seolah terkunci. Tangan gue berkeringat dingin saat memegang gagang pintu. Kaki gue gemetaran dan lemas untuk berdiri. Sosok itu masih menyeringai seram di depan jendela. Keringat dingin bercucuran membasahi pelipis gue. Jantung berdebar kencang seolah mau loncat. Kaki gue lemas dan gue gak sanggup lagi untuk berdiri. Dengan penuh ketakutan, gue hilang kesadaran di dalam kegelapan.
 ****


Kelopak mata terbuka. Gue mengedipkan kelopak mata gue untuk menstabilkan cahaya yang masuk ke mata. Kamar gak segelap tadi malam, cahaya matahari menembus tirai hijau yang menutupi jendela. Hari sudah pagi, gue bangkit dari tempat tidur gue. Gue merenung sejenak sambil duduk di tepian kasur, gue mencoba mengingat kejadian semalam. Bola mata gue bergerak memutar untuk memastikan semua posisi barang-barang di kamar gue tetap pada posisi sebelumnya. Kamar gue rapi, gak berantakan seperti tadi malam. Gue rasa kejadian itu hanya sebuah mimpi dan semua itu gak nyata. Hantu memang benar-benar gak ada. 

Gue bangkit dari tempat tidur lalu berjalan ke arah jendela untuk membuka tirai. Namun, langkah gue tiba-tiba terhenti saat melihat layar laptop menyala dan menampilkan sebuah halaman blog yang tidak asing bagi gue. Sebuah laman postingan dengan judul "Meet and Greet Present" terpampang pada layar laptop. Gue mengira mungkin itu adalah hasil penulusuran gue semalam yang belum selesai saat gue sedang mengulik kisah Hantu Blogger. Gue mengurungkan niat untuk membuka tirai jendela lalu duduk di kursi. Gue baca perlahan-lahan seluruh isi postingan dari judul sampai isinya. Gue baca dengan teliti. Paragraf demi paragraf. Kalimat demi kalimat. Kata demi kata. Rupanya, dia pernah memberi sebuah hadiah berupa mug putih kepada idolanya dan dia menyampaikan bahwa dia ingin mempunyai blog yang terkenal seperti milik idolanya. Pada postingannya, tertulis:

"Aku ingin bertemu dengan Radit Wijaya suatu saat nanti walaupun aku sudah mati."
Gue terkejut saat nama lengkap gue tertulis di sana. Berulang kali gue baca kalimat itu untuk memastikan kembali bahwa gue gak salah baca. Apakah nama idolanya sama dengan nama gue? Gue penasaran. Gue menebak kalau dia menulis postingan itu setelah berlangsungnya acara "Meet and Greet". Gue kembali menggeser laman ke bagian tanggal postingan ini dipublikasikan. God damn! Tanggal postingan itu bersamaan dengan digelarnya acara "Meet and Greet" bersama Sobat Kemenyan. Mungkinkah Hantu Blogger ini adalah penggemar gue?

 Gak mungkin. Ini gak mungkin. Pasti kebetulan.

Gue menutup laptop gue tanpa mematikan mesinnya terlebih dahulu. Kedua tangan gue berusaha memijat pelipis gue. Gue pun menggelengkan kepala gue dengan cepat untuk melupakan apa yang baru saja gue baca. Gue bangkit dari tempat duduk gue lalu tangan gue mencengkeram tirai hijau dengan kuat. Gue perlu udara segar untuk menenangkan pikiran gue sendiri. Gue tarik tirai sampai terbuka dengan cepat.

Gue terperanjat saat gue mendapati noda bekas telapak tangan tercetak pada kaca jendela kamar.

***

Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah horor lainnya di sini

17 Desember 2015

Vila Kematian Bagian 3

3:01 PM 0 Comments
“Keni!” Aku meneteskan air mata tiada henti. Bahuku terasa berat. Bulu kudukku meremang, ada tangan yang menyentuh bahuku. Aku menoleh ke belakang, “Aaa!”

***

Cerita Pendek: Villa Kematian


Aku terbangun mengakhiri seluruh mimpi buruk ini. Nafasku tersengal ketika aku membuka mataku dan melihat sekelilingku baik-baik saja. Aku melihat ke dalam pelukanku, novel yang tadi kubaca masih berada dalam genggaman. Rupanya tadi hanya sebuah mimpi buruk. 

Aku beranjak dari tempat tidur, kepalaku terasa berat. Keadaan sama persis di dalam mimpi. Indra sedang memainkan PSP-nya dan Rangga berdiri di ambang pintu. Aku memutar kepalaku, Keni persis berada di dapur.

“Kevin sama Shera mana?” tanyaku.

“Lagi di luar, beresin barang.”

Suara ketukan pintu itu terdengar dan mengejutkanku. Keni yang sedang berada di dapur langsung berjalan keluar untuk memastikan.

“Keni! Jangan!” cegahku.

“Lu kenapa sih, Nes? Gue hanya mau memastikan saja.” Keni kembali melangkah. Aku langsung menerkamnya dan menghalangi langkahnya.

“Jangan! Abaikan saja, itu hanya tikus.”

Suara ketukan itu semakin keras. Suara erangan Indra menggema mengisi ruangan. “Arrgh! Jadi kalah. Suara apa sih itu? Jadi bete gue!”

Indra beranjak dari sofa dan keluar villa. Langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan Kevin yang membawa barang dari bagasi mobil. Indra melewatinya, suasana hatinya mulai kacau karena suara ketukan yang semakin nyaring. Kevin yang penasaran menghampiri pintu itu.

“Kevin, jangan!”

Kevin berdiri di depan pintu yang tertutup rapat. Ia memandangi kunci yang menggantung. “Ruangan apa nih? Ada kuncinya tapi gak pernah dibuka.”

“Jangan dibuka!” seruku.

Kevin tidak menghiraukanku, ia membuka pintu itu. Ia tersentak melihat ke dalam, “Wow, gudang ternyata.”

Keni melepaskan cengkraman tanganku. Ia berjalan mendekati Kevin, “Jadi ada gudang di sini? Barangnya banyak banget.”

Keni dan Kevin masuk ke dalam gudang tersebut, aku tidak berani untuk ikut masuk. Mimpi tadi, bukan sekedar mimpi tetapi seperti kenyataan. Aku terpaku di luar ruangan, menunggu Kevin dan Keni puas memandangi seisi gudang. Namun, beberapa langkah mereka menginjakkan kaki di dalam pintu gudang langsung tertutup rapat. Lamunanku langsung buyar ketika mendengar nyaringnya suara pintu gudang.

“Kevin! Keni!” Aku segera menarik gagang pintu itu, tetapi tidak terbuka seolah pintu itu terkunci dari dalam ruangan. “Rangga! Indra! Shera! Bantu gue!”

Rangga langsung menghampiriku. Ia langsung mendesak dan berusaha membuka gagang pintu.

“Woy! Keluarin gue dari sini!” teriak Kevin dari dalam.

Jeritan melengking seorang perempuan terdengar dari dalam. Keni memekik meminta pertolongan. “Kevin tolong! Aaa!”

Suara Kevin juga terdengar jelas berteriak bersamaan dengan Keni. Rangga masih berusaha mendobrak pintu. “Keni! Keni! Sayang?!”

Sunyi dan hening, suara dari dalam gudang tidak terdengar lagi. Rangga terus berusaha mendobrak pintu dan akhirnya ia berhasil menerobos masuk. Tubuhnya langsung kaku dan tersentak, kekecewaan, penyesalan, dan amarah menjalan di tubuhnya. Urat kemarahannya tampak jelas di wajahnya. Aku masuk ke dalam untuk memastikan keadaan. Tubuh bersimbah darah membuat lidahku kelu. Marah pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak bisa mencegah Keni dan Kevin untuk tidak masuk ke dalam ruangan terkutuk ini? Aku jatuh terduduk penuh penyesalan, meratapi kepergian Keni yang tewas secara tragis. Air mata jatuh membasahi pipi, aliran deras di ujung mata ini menahan sakit pelepasan yang tidak wajar ini.

Kami memanggil polisi untuk datang mengidentifikasi Keni yang tewas secara tragis. Kevin dimintai keterangan tentang hal itu, karena ialah satu-satunya saksi yang berada pada lokasi kejadian. Setelah beberapa jam menunggu, Kevin selesai diinterogasi. Kami masih duduk di ruang tunggu untuk mendiskusikannya.

“Lu semua sekarang percaya apa yang gue katakan tadi pagi kan? Semakin lama kita tinggal di villa itu, semuanya semakin gak beres.”

“Nes, lu hanya terpukul tentang kejadian ini,” sahut Indra.

“Dra! Di situasi begini lu masih bisa bilang gue terpukul? Teman kita hilang satu, Dra! Lu gak pantas bilang begitu.”

“Sudahlah, jangan buat Rangga semakin sedih. Dia sudah kehilangan Keni, sekarang kalian malah ribut begini,” celetuk Kevin.

“Gue gak percaya, ini bisa terjadi sama kita.” Rangga menggelengkan kepalanya.

“Hari sudah mulai gelap, lebih baik kita balik ke villa dan istirahat. Setelah itu, besok pagi kita pulang.”

“Gue gak ikut pulang sama kalian, gue mau balikin jenazah Keni ke orangtuanya. Gue mau menghadiri pemakamannya.”

“Lu mau pulang naik apa, Ga?” tanya Shera.

“Dari sini gak terlalu jauh dari kota, gue bisa naik bis atau taksi buat balik.”

“Ya sudah, lu hati-hati di jalan.”

Rangga beranjak dari tempat duduknya. Ia keluar dari kantor. Kami kembali berunding lagi. Suara klakson terdengar nyaring di depan kantor polisi. Kami langsung beranjak dari tempat duduk dan melihat situasi di luar. Sontak saja aku menutup mulut dan membendung air mata. Satu temanku kembali tewas secara tragis. Ia tertabrak mobil truk yang melintas ketika hendak menyebrang. Pikiranku semakin berkecamuk dalam kekalutan.

“Kita gak bisa diam, kita harus cari sumber masalah ini. Gue gak mau kehilangan kalian,” tegasku.

“Tapi kita mau cari ke mana, Nes? Mereka semua sudah memperingati kita tapi kita saja yang gak percaya bahkan menertawakan mereka. Lalu sekarang kita mau memohon mereka buka mulut?” desak Indra.

“Dra! Gue gak mengerti sama jalan pikiran lu. Kenapa lu berlagak seperti orang yang tahu segalanya. Seolah lu gak mau tahu tentang kejadian aneh yang menimpa kita semua.”

“Bukan begitu, gue hanya...”

“Apa lu rencana di balik semua ini?” tuduh Kevin.

Pandangan kami pun langsung tertuju pada Kevin dan Indra. Mata Kevin menyorot tajam seolah menyudutkannya.
Indra tampak gelisah. “Lu ngomong apaan sih, Kev?”

“Kalau begitu kita harus cari kebenarannya,” tegas Kevin.

Kami pun segera memasuki mobil. Kami menelusuri jalanan berkabut awan menuju ke arah villa. Target pertama kami adalah penjaga villa, Kang Ujang.

“Kang, saya boleh tanya, villa ini dulunya dihuni siapa ya?”

“Memangnya kenapa?” tanya Kang Ujang dengan logat sundanya.

“Kami merasa villa itu janggal,” celetuk Kevin.

“Kang Ujang teh memang sudah lama kerja di sini, mungkin sekitar sepuluh tahun. Tapi, semenjak Kang Ujang kerja di sini, villa ini sudah kosong tidak ada yang menempati.”

“Terus Kang Ujang pernah merasa ada kejanggalan di villa ini?”

“Oh, kalau kejanggalan mah Kang Ujang sudah biasa. Kang Ujang teh kalau lagi patroli malam suka mendengar suara bayi menangis. Di ujung sana itu tuh, yang deket ayunan, Kang Ujang juga lihat perempuan duduk di ayunan. Kadang malah lihat lelaki bawa-bawa sirah­ di tangannya. Hiyy, jadi merinding kalau mengingat kejadian itu teh.

“Siapa yang memperkerjakan Kang Ujang di sini?”

“Ibu Eli, kenapa gitu?”

“Siapa Ibu Eli?”

“Yang punya villa ini, Kang.”

“Boleh minta alamatnya? Kami mau bertemu dengan orangnya.”

“Ibu Eli rumahnya jauh, di Bandung. Yakin kalian mau ketemu?”

“Iya, Kang, gak apa-apa. Yang penting kami tahu apa sebabnya kami bisa dihantui begini.”

“Ya sudah, kalau begitu,” Kang Ujang mengambilkan sepotong kertas bertuliskan nama dan alamat. Ia memberikan kartu nama itu kepada kami.

Kami pun pergi menuju alamat yang dituju. Beberapa jam dalam perjalanan, akhirnya kami sampai pada tempat tujuan. Sebenarnya, tidak sopan bertamu malam-malam begini. Tapi apa boleh buat, jika tidak segera bertindak semua akan semakin berantakan. Kami turun dari mobil dan mengetuk pintu.

“Maaf, adik-adik ini siapa?” tanya seorang perempuan paruh baya yang membukakan pintu.

“Kami yang menyewa villa,” jawab Shera.

Perempuan itu tampak kaget ketika kami menjawabnya, ia tampak menyembunyikan sesuatu. Ia segera menarik gagang pintu untuk menutupnya kembali. “Ada apa? Saya tidak menerima tamu malam-malam seperti ini.”

Aku mencegahnya untuk menutup pintu. “Bu, tolong kami. Beri kami informasi tentang villa itu, kami sudah kehilangan dua teman kami. Kami mohon.”

Perempuan itu berpikir sejenak sambil bergantian memandang kami. Tatapan nanar kami membuatnya terenyuh dan mempersilakan kami untuk masuk. Kami pun mengikuti Ibu Eli masuk ke dalam rumahnya, terkecuali Indra. Ia terlelap di dalam mobil.

“Apa yang ingin kalian ketahui tentang villa itu?” tanyanya waswas.

“Kami ingin mengetahui sejarah villa tersebut, bagaimana mungkin orang-orang bisa menyebutnya villa kematian?”

“Waktu itu...”

~Flashback~

Ketika itu, saya merupakan pembantu rumah yang sekarang sudah menjadi villa itu. Saya bekerja pada seorang ibu rumah tangga yang cantik dan baru selesai melahirkan. Suaminya juga tampan dan mereka memiliki dua anak. Anak pertama, masih umur sembilan tahun, mungkin saat ini ia sudah seumuran dengan kalian. Anak yang kedua, masih bayi dan baru saja dilahirkan.

Dahulu, mereka keluarga yang harmonis. Bahkan saya, dianggap menjadi bagian keluarga oleh mereka. Namun, hidup kadang tidak selalu berada di atas. Sang kepala keluarga jatuh miskin, ia harus beralih profesi menjadi tukang bakso.

Sampai pada saatnya, ia putus asa dengan nasibnya. Ia jadi sering mabuk-mabukan dan menyewakan istrinya pada lelaki kesepian. Terpaksa, istrinya yang menggantikannya untuk berjualan. Setiap istrinya menolak, ia akan disiksa oleh kepala keluarga itu. Akhirnya, istrinya putus asa dengan perlakuan suaminya yang keji.

Istrinya menyimpan amarah dan dendam di dalam dirinya. Ketika suatu malam, suaminya baru pulang setelah ia mabuk-mabukan dan tertidur pulas. Ia mengendap-endap masuk ke dalam kamar dan menebas kepala suaminya. Saya merasa takut, menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Saat ia keluar kamar, ia membawa kepala suaminya ke dapur dan memasukkannya ke dalam panci bakso yang akan ia jajakan esok harinya.

Bayinya menangis mendengar keributan itu, saya tidak tega mendengar tangisan bayi yang tidak berdosa itu. Namun, saya takut. Saya tidak berani mengamankan bayi itu karena majikan saya sudah menjadi gila dengan pisau di genggamannya. Tangisan bayi itu semakin menjadi, pisau pun sudah mengambil nyawanya. Hati, jantung, usus dari bayi mungil itu sudah ia keluarkan dan ia masukkan ke dalam panci itu lagi.

“Aaaa!”

Suara teriakan dari luar menghentikan cerita dari Ibu Eli. Perhatian kami pula teralihkan, bisa jadi itu suara Indra. Kevin beranjak dari tempat duduknya.

“Biar aku yang mengecek,” Kevin berjalan keluar untuk memantau situasi. Beberapa menit kemudian, ia masuk ke dalam.

“Indra hanya mengigau, dia sedang tidur.”

~Flashback continue~
Melihatnya saya semakin tidak tega. Anak pertama pun terbangun dan memanggil ibunya, tapi saya langsung menutup mulutnya agar tidak berkata apa pun pada situasi itu. Saya menyuruhnya untuk pergi sejauh-jauhnya, saya menyuruhnya untuk kabur lewat gudang. Di gudang itu, ada dua pintu. Satu pintu berada di dalam rumah dan satu pintu lagi ada di belakang rumah.

Saya ikut masuk untuk mengantarkannya keluar, ia berlari dengan kencang menjauhi villa. Saya berusaha untuk bersembunyi dari intaian majikan saya. Namun, rupanya ketika saya mencoba bersembunyi, majikan saya sudah berada di belakang saya. Saya menjerit meminta tolong tetapi tidak ada yang membantu saya.


Ia menusukkan pisau di genggamannya ke punggung saya dan menariknya ke bawah sampai ia meninggalkan luka yang dalam dan mengambil jantung saya.
***
Ikuti kelanjutan kisahnya: Vila Kematian

Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini