Vila Kematian Bagian 3
Michiko
3:01 PM
0 Comments
“Keni!” Aku meneteskan air mata tiada henti. Bahuku terasa berat. Bulu
kudukku meremang, ada tangan yang menyentuh bahuku. Aku menoleh ke belakang,
“Aaa!”
***
Cerita Pendek: Villa Kematian |
Aku terbangun mengakhiri seluruh mimpi buruk ini. Nafasku tersengal
ketika aku membuka mataku dan melihat sekelilingku baik-baik saja. Aku melihat
ke dalam pelukanku, novel yang tadi kubaca masih berada dalam genggaman.
Rupanya tadi hanya sebuah mimpi buruk.
Aku beranjak dari tempat tidur, kepalaku terasa berat. Keadaan sama
persis di dalam mimpi. Indra sedang memainkan PSP-nya dan Rangga berdiri di
ambang pintu. Aku memutar kepalaku, Keni persis berada di dapur.
“Kevin sama Shera mana?” tanyaku.
“Lagi di luar, beresin barang.”
Suara ketukan pintu itu terdengar dan mengejutkanku. Keni yang sedang
berada di dapur langsung berjalan keluar untuk memastikan.
“Keni! Jangan!” cegahku.
“Lu kenapa sih, Nes? Gue hanya mau memastikan saja.” Keni kembali
melangkah. Aku langsung menerkamnya dan menghalangi langkahnya.
“Jangan! Abaikan saja, itu hanya tikus.”
Suara ketukan itu semakin keras. Suara erangan Indra menggema mengisi
ruangan. “Arrgh! Jadi kalah. Suara apa sih itu? Jadi bete gue!”
Indra beranjak dari sofa dan keluar villa. Langkahnya terhenti ketika
berpapasan dengan Kevin yang membawa barang dari bagasi mobil. Indra
melewatinya, suasana hatinya mulai kacau karena suara ketukan yang semakin
nyaring. Kevin yang penasaran menghampiri pintu itu.
“Kevin, jangan!”
Kevin berdiri di depan pintu yang tertutup rapat. Ia memandangi kunci
yang menggantung. “Ruangan apa nih? Ada kuncinya tapi gak pernah dibuka.”
“Jangan dibuka!” seruku.
Kevin tidak menghiraukanku, ia membuka pintu itu. Ia tersentak melihat
ke dalam, “Wow, gudang ternyata.”
Keni melepaskan cengkraman tanganku. Ia berjalan mendekati Kevin, “Jadi
ada gudang di sini? Barangnya banyak banget.”
Keni dan Kevin masuk ke dalam gudang tersebut, aku tidak berani untuk
ikut masuk. Mimpi tadi, bukan sekedar mimpi tetapi seperti kenyataan. Aku
terpaku di luar ruangan, menunggu Kevin dan Keni puas memandangi seisi gudang.
Namun, beberapa langkah mereka menginjakkan kaki di dalam pintu gudang langsung
tertutup rapat. Lamunanku langsung buyar ketika mendengar nyaringnya suara
pintu gudang.
“Kevin! Keni!” Aku segera menarik gagang pintu itu, tetapi tidak terbuka
seolah pintu itu terkunci dari dalam ruangan. “Rangga! Indra! Shera! Bantu
gue!”
Rangga langsung menghampiriku. Ia langsung mendesak dan berusaha membuka
gagang pintu.
“Woy! Keluarin gue dari sini!” teriak Kevin dari dalam.
Jeritan melengking seorang perempuan terdengar dari dalam. Keni memekik
meminta pertolongan. “Kevin tolong! Aaa!”
Suara Kevin juga terdengar jelas berteriak bersamaan dengan Keni. Rangga
masih berusaha mendobrak pintu. “Keni! Keni! Sayang?!”
Sunyi dan hening, suara dari dalam gudang tidak terdengar lagi. Rangga
terus berusaha mendobrak pintu dan akhirnya ia berhasil menerobos masuk.
Tubuhnya langsung kaku dan tersentak, kekecewaan, penyesalan, dan amarah
menjalan di tubuhnya. Urat kemarahannya tampak jelas di wajahnya. Aku masuk ke
dalam untuk memastikan keadaan. Tubuh bersimbah darah membuat lidahku kelu.
Marah pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak bisa mencegah Keni dan Kevin untuk
tidak masuk ke dalam ruangan terkutuk ini? Aku jatuh terduduk penuh penyesalan,
meratapi kepergian Keni yang tewas secara tragis. Air mata jatuh membasahi pipi,
aliran deras di ujung mata ini menahan sakit pelepasan yang tidak wajar ini.
Kami memanggil polisi untuk datang
mengidentifikasi Keni yang tewas secara tragis. Kevin dimintai keterangan
tentang hal itu, karena ialah satu-satunya saksi yang berada pada lokasi
kejadian. Setelah beberapa jam menunggu, Kevin selesai diinterogasi. Kami masih
duduk di ruang tunggu untuk mendiskusikannya.
“Lu semua sekarang percaya apa yang
gue katakan tadi pagi kan? Semakin lama kita tinggal di villa itu, semuanya
semakin gak beres.”
“Nes, lu hanya terpukul tentang
kejadian ini,” sahut Indra.
“Dra! Di situasi begini lu masih bisa
bilang gue terpukul? Teman kita hilang satu, Dra! Lu gak pantas bilang begitu.”
“Sudahlah, jangan buat Rangga semakin
sedih. Dia sudah kehilangan Keni, sekarang kalian malah ribut begini,” celetuk
Kevin.
“Gue gak percaya, ini bisa terjadi
sama kita.” Rangga menggelengkan kepalanya.
“Hari sudah mulai gelap, lebih baik
kita balik ke villa dan istirahat. Setelah itu, besok pagi kita pulang.”
“Gue gak ikut pulang sama kalian, gue
mau balikin jenazah Keni ke orangtuanya. Gue mau menghadiri pemakamannya.”
“Lu mau pulang naik apa, Ga?” tanya
Shera.
“Dari sini gak terlalu jauh dari kota,
gue bisa naik bis atau taksi buat balik.”
“Ya sudah, lu hati-hati di jalan.”
Rangga beranjak dari tempat duduknya.
Ia keluar dari kantor. Kami kembali berunding lagi. Suara klakson terdengar
nyaring di depan kantor polisi. Kami langsung beranjak dari tempat duduk dan
melihat situasi di luar. Sontak saja aku menutup mulut dan membendung air mata.
Satu temanku kembali tewas secara tragis. Ia tertabrak mobil truk yang melintas
ketika hendak menyebrang. Pikiranku semakin berkecamuk dalam kekalutan.
“Kita gak bisa diam, kita harus cari
sumber masalah ini. Gue gak mau kehilangan kalian,” tegasku.
“Tapi kita mau cari ke mana, Nes?
Mereka semua sudah memperingati kita tapi kita saja yang gak percaya bahkan
menertawakan mereka. Lalu sekarang kita mau memohon mereka buka mulut?” desak
Indra.
“Dra! Gue gak mengerti sama jalan
pikiran lu. Kenapa lu berlagak seperti orang yang tahu segalanya. Seolah lu gak
mau tahu tentang kejadian aneh yang menimpa kita semua.”
“Bukan begitu, gue hanya...”
“Apa lu rencana di balik semua ini?”
tuduh Kevin.
Pandangan kami pun langsung tertuju
pada Kevin dan Indra. Mata Kevin menyorot tajam seolah menyudutkannya.
Indra tampak gelisah. “Lu ngomong
apaan sih, Kev?”
“Kalau begitu kita harus cari
kebenarannya,” tegas Kevin.
Kami pun segera memasuki mobil. Kami
menelusuri jalanan berkabut awan menuju ke arah villa. Target pertama kami
adalah penjaga villa, Kang Ujang.
“Kang, saya boleh tanya, villa ini
dulunya dihuni siapa ya?”
“Memangnya kenapa?” tanya Kang Ujang
dengan logat sundanya.
“Kami merasa villa itu janggal,”
celetuk Kevin.
“Kang Ujang teh memang sudah lama kerja di sini, mungkin sekitar sepuluh tahun.
Tapi, semenjak Kang Ujang kerja di sini, villa ini sudah kosong tidak ada yang
menempati.”
“Terus Kang Ujang pernah merasa ada
kejanggalan di villa ini?”
“Oh, kalau kejanggalan mah Kang Ujang sudah biasa. Kang Ujang teh kalau lagi patroli malam suka
mendengar suara bayi menangis. Di ujung sana itu tuh, yang deket ayunan, Kang
Ujang juga lihat perempuan duduk di ayunan. Kadang malah lihat lelaki bawa-bawa
sirah di tangannya. Hiyy, jadi
merinding kalau mengingat kejadian itu teh.”
“Siapa yang memperkerjakan Kang Ujang
di sini?”
“Ibu Eli, kenapa gitu?”
“Siapa Ibu Eli?”
“Yang punya villa ini, Kang.”
“Boleh minta alamatnya? Kami mau
bertemu dengan orangnya.”
“Ibu Eli rumahnya jauh, di Bandung.
Yakin kalian mau ketemu?”
“Iya, Kang, gak apa-apa. Yang penting
kami tahu apa sebabnya kami bisa dihantui begini.”
“Ya sudah, kalau begitu,” Kang Ujang
mengambilkan sepotong kertas bertuliskan nama dan alamat. Ia memberikan kartu
nama itu kepada kami.
Kami pun pergi menuju alamat yang
dituju. Beberapa jam dalam perjalanan, akhirnya kami sampai pada tempat tujuan.
Sebenarnya, tidak sopan bertamu malam-malam begini. Tapi apa boleh buat, jika
tidak segera bertindak semua akan semakin berantakan. Kami turun dari mobil dan
mengetuk pintu.
“Maaf, adik-adik ini siapa?” tanya
seorang perempuan paruh baya yang membukakan pintu.
“Kami yang menyewa villa,” jawab
Shera.
Perempuan itu tampak kaget ketika kami
menjawabnya, ia tampak menyembunyikan sesuatu. Ia segera menarik gagang pintu
untuk menutupnya kembali. “Ada apa? Saya tidak menerima tamu malam-malam
seperti ini.”
Aku mencegahnya untuk menutup pintu. “Bu,
tolong kami. Beri kami informasi tentang villa itu, kami sudah kehilangan dua
teman kami. Kami mohon.”
Perempuan itu berpikir sejenak sambil
bergantian memandang kami. Tatapan nanar kami membuatnya terenyuh dan
mempersilakan kami untuk masuk. Kami pun mengikuti Ibu Eli masuk ke dalam
rumahnya, terkecuali Indra. Ia terlelap di dalam mobil.
“Apa yang ingin kalian ketahui tentang
villa itu?” tanyanya waswas.
“Kami ingin mengetahui sejarah villa
tersebut, bagaimana mungkin orang-orang bisa menyebutnya villa kematian?”
“Waktu itu...”
~Flashback~
Ketika
itu, saya merupakan pembantu rumah yang sekarang sudah menjadi villa itu. Saya
bekerja pada seorang ibu rumah tangga yang cantik dan baru selesai melahirkan.
Suaminya juga tampan dan mereka memiliki dua anak. Anak pertama, masih umur
sembilan tahun, mungkin saat ini ia sudah seumuran dengan kalian. Anak yang
kedua, masih bayi dan baru saja dilahirkan.
Dahulu,
mereka keluarga yang harmonis. Bahkan saya, dianggap menjadi bagian keluarga
oleh mereka. Namun, hidup kadang tidak selalu berada di atas. Sang kepala
keluarga jatuh miskin, ia harus beralih profesi menjadi tukang bakso.
Sampai
pada saatnya, ia putus asa dengan nasibnya. Ia jadi sering mabuk-mabukan dan
menyewakan istrinya pada lelaki kesepian. Terpaksa, istrinya yang
menggantikannya untuk berjualan. Setiap istrinya menolak, ia akan disiksa oleh
kepala keluarga itu. Akhirnya, istrinya putus asa dengan perlakuan suaminya
yang keji.
Istrinya
menyimpan amarah dan dendam di dalam dirinya. Ketika suatu malam, suaminya baru
pulang setelah ia mabuk-mabukan dan tertidur pulas. Ia mengendap-endap masuk ke
dalam kamar dan menebas kepala suaminya. Saya merasa takut, menyaksikan dengan
mata kepala sendiri. Saat ia keluar kamar, ia membawa kepala suaminya ke dapur
dan memasukkannya ke dalam panci bakso yang akan ia jajakan esok harinya.
Bayinya
menangis mendengar keributan itu, saya tidak tega mendengar tangisan bayi yang
tidak berdosa itu. Namun, saya takut. Saya tidak berani mengamankan bayi itu
karena majikan saya sudah menjadi gila dengan pisau di genggamannya. Tangisan
bayi itu semakin menjadi, pisau pun sudah mengambil nyawanya. Hati, jantung,
usus dari bayi mungil itu sudah ia keluarkan dan ia masukkan ke dalam panci itu
lagi.
“Aaaa!”
Suara teriakan dari luar menghentikan
cerita dari Ibu Eli. Perhatian kami pula teralihkan, bisa jadi itu suara Indra.
Kevin beranjak dari tempat duduknya.
“Biar aku yang mengecek,” Kevin
berjalan keluar untuk memantau situasi. Beberapa menit kemudian, ia masuk ke
dalam.
“Indra hanya mengigau, dia sedang
tidur.”
~Flashback continue~
Melihatnya
saya semakin tidak tega. Anak pertama pun terbangun dan memanggil ibunya, tapi
saya langsung menutup mulutnya agar tidak berkata apa pun pada situasi itu. Saya
menyuruhnya untuk pergi sejauh-jauhnya, saya menyuruhnya untuk kabur lewat gudang.
Di gudang itu, ada dua pintu. Satu pintu berada di dalam rumah dan satu pintu
lagi ada di belakang rumah.
Saya
ikut masuk untuk mengantarkannya keluar, ia berlari dengan kencang menjauhi
villa. Saya berusaha untuk bersembunyi dari intaian majikan saya. Namun,
rupanya ketika saya mencoba bersembunyi, majikan saya sudah berada di
belakang saya. Saya menjerit meminta tolong tetapi tidak ada yang membantu
saya.
Ia
menusukkan pisau di genggamannya ke punggung saya dan menariknya ke bawah
sampai ia meninggalkan luka yang dalam dan mengambil jantung saya.
***
Ikuti kelanjutan kisahnya: Vila Kematian
Ditulis oleh:
Michiko
Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini