Bulu kudukku semakin meremang, tubuhku kaku tak bisa digerakkan, lidahku
kelu tak bisa berteriak. Kakiku semakin membeku dan terus merambat sampai
otakku hingga aku hilang kesadaran.
***
Cerita Pendek: Vila Kematian |
Kubuka mataku perlahan, meremang beralih terang. Tempat ini berbeda dari
tempat semalam, aku sudah berada di bawah naungan atap. Kupandang sekelilingku
untuk memastikan, semakin meyakinkanku aku sudah berada di villa. Kevin
tertidur dengan posisi duduk di lantai. Tak ingin membangunkannya, aku bergerak
perlahan. Namun, usahaku sia-sia. Ia akhirnya membuka mata karena gerakan kecil
dariku.
“Nes, tadi malam lu kenapa?” tanyanya penasaran ketika matanya baru saja
terbuka. Tampaknya, ia mengkhawatirkanku semalaman.
“Gue? Memangnya gue kenapa?” Aku bingung dengan apa yang dia tanyakan
secara tiba-tiba. Aku berpikir dia hanya mengigau. Aku benarkan posisi dudukku,
ia pun berdiri dan duduk di sebelahku.
“Tadi malam, lu buru-buru suruh gue pergi. Dan lu tiba-tiba pingsan di
sana. Gue gak mengerti, lu kenapa?”
Aku tersentak mendengar pernyataannya. Dia tidak melihatnya? Lalu kenapa
itu—harus—terjadi padaku saja sedangkan yang lain tidak. Aku berkecamuk dalam
pikiran yang semakin membuatku kalut. Kevin masih menunggu jawabanku. “Lu gak
lihat itu, Kev?”
“Lihat apa?” jawabnya polos.
Aku memandang Kevin sejenak. “Kep...”
“Nes, tadi malam lu tidur di sini?” Shera memotong perkataanku secara
tiba-tiba membuat aku dan Kevin terkejut.
Kevin memutar kepalanya, sedangkan aku sama sekali tak bisa mengalihkan
pikiranku dari hal yang terjadi tadi malam. Aku menghentikan pembicaraanku.
“Pintu kamar cewek lu kunci, kan?” tanya Kevin.
Shera menggaruk tengkuknya seolah sedang mengingat kejadian semalam. Ia
menepuk dahi. “Aduh! Iya, gue lupa masih ada Vanes di luar. Sorry ya, Nes.”
Pintu kamar sebelah pun terbuka. Rangga keluar dari kamar sambil
meregangkan ototnya. Wajahnya yang berantakan terlihat kusam dan matanya masih
berkedip-kedip seolah harus memilih tidur atau bangun.
“Kev, lu gak tidur di kamar? Kamar gak dikunci juga.”
Shera beralih pandang ke arah Kevin, “Lu habis ngapain sama Vanes tadi
malam, Kev?”
Kevin mendecakkan lidahnya. “Eh, pikiran lu pada kotor semua ya. Tadi
malam gue jalan keluar cari angin sama Vanes tiba-tiba dia pingsan tanpa
alasan. Gue bawa ke villa, mau gue bawa ke kamar cewek eh malah di kunci. Ya
gue baringin si Vanes di sofa lah. Masa di kamar mandi.”
“Terus kenapa lu gak tidur di kamar?” selidik Rangga.
“Lu kira cewek tidur di ruang tamu aman apa? Kalau ada yang perkosa
gimana? Nanti malah gue yang disalahin, ninggalin anak orang sendirian di ruang
tamu.”
“Tapi lu gak apa-apain Vanes, kan?” selidik Shera.
“Sumpah, demi Tuhan gue gak apa-apain Vanes! Vanes pingsan, mana mungkin
gue apa-apain dia. Gue gak sebejat itu lah,” tegas Kevin.
“Ada apa sih, pagi-pagi sudah ribut aja!” protes Keni.
Perdebatan ini semakin membuatku pusing. Kupingku semakin panas karena
kesalahpahaman ini.
“Sudah cukup!” bentakku. Semua tiba-tiba hening dan mengalihkan
perhatiannya padaku. “Gue gak melakukan apa pun sama Kevin, oke? Tadi malam gue
pingsan dan Kevin bawa gue ke Villa. Gue bangun dan melihat Kevin tidur
terduduk di lantai. Cukup?”
“Lu pingsan kenapa, Nes?” tanya Keni penasaran.
“Lu merasa ada yang aneh gak sih
sama villa ini?” Aku memegang dahiku mengingat semuanya. Semua masih terdiam
memperhatikanku. Aku menggigit bibirku ragu. “Tadi malam gue lihat hal yang gak
biasa.”
“Lu lihat apa sih, Nes?” desak Kevin.
“Serius lu gak lihat apa-apa, Kev?” desakku pada Kevin. Kevin menggelengkan
kepalanya pertanda ia benar-benar tidak tahu. “Lu percaya gak sih, tadi malam
gue lihat kepala yang terpisah sama badannya?”
Hening sejenak, mereka masih mencerna perkataanku. Shera tertawa, “Nes,
jadi lu sekarang kemakan omongan orang-orang?”
“Sher, please, gue melihat
dengan mata kepala gue. Cewek yang tadi malam beli bakso itu makan kepala
manusia!” tegasku.
“Bercanda lu gak lucu, Nes.
Sudahlah!” Shera menggelengkan kepalanya tidak percaya. Ia berjalan ke dapur
meninggalkan kami.
“Lu serius, Nes?” Kevin tak yakin.
“Ya ampun, Kev, serius! Gue gak bohong sama sekali!” tegasku berusaha
meyakinkan Kevin.
Kevin mengusap punggungku. “Sudah, lupakan aja. Mungkin tadi malam lu
berhalusinasi.”
“Tapi Kev...”
“Aaaa...!” jerit seseorang menghentikan perkataanku. Pikiranku langsung
tertuju pada Shera yang ada di kamar mandi. Dengan terburu-buru kami beranjak
ke dapur untuk menghampirinya.
“Sher! Sher!” Rangga mengetuk pintu kamar mandi. Kamar mandinya terkunci
tapi Shera tidak keluar juga. Rangga mencoba mendobrak pintu dan akhirnya ia
sanggup menerobosnya.
Shera berjongkok di sudut kamar mandi, ketakutan akan sesuatu. Aku
membantunya bangkit, tubuhnya benar-benar lemas. “Sher, lu kenapa?”
Air matanya terus menetes dan memandangku dengan tatapan kosong. “Gue
takut, gue takut.”
Aku menoleh memandang setiap sudut kamar mandi. Kevin mengecek setiap
sudut kamar mandi, tidak ditemukan jejak apa pun kecuali keran wastafel yang
menyala.
“Keran itu... keran itu, mengeluarkan darah,” jawab shera terbata sambil
menunjuk ke arah keran yang menyala.
“Hanya air,” Kevin menyentuh air yang mengalir deras dari keran itu.
Aku mengusap punggung Shera dan merangkulnya keluar kamar mandi. Kubawa
ia kembali ke ruang depan untuk duduk dan menenangkan diri. Keni membawakan air
minum untuknya. Wajah Shera tampak pucat dan tidak bersemangat. Keni mengusap
punggungnya lembut untuk menenangkannya. “Mungkin lu hanya berhalusinasi, Sher.
Gue tahu lu gak suka cerita yang berbau mistis, jadi lu kepikiran deh.”
Shera masih bungkam. Ia terus meneteskan air mata walau pandangannya
menandakan pikirannya kosong. Indra keluar dari kamar dan mendapati Shera
meneteskan air matanya. Indra menghampirinya, “Sayang, kamu kenapa?”
Tangisan Shera semakin menjadi. Indra berusaha menenangkannya dengan
sebuah pelukan dan belaian lembut di rambutnya. Ia memandang kami yang sedang
berdiri menyaksikannya seolah melemparkan pertanyaan, “Dia kenapa?”
Kami tetap terdiam dalam suasana seperti ini. Indra menghapus air
matanya, “Sudah, sepertinya ada masalah yang membebani kamu. Kita main keluar
ya, biar kamu lupa.”
Shera mengangguk pelan pertanda menyetujuinya.
Kami bersiap. Tidak perlu mandi, karena kabut tebal yang dingin akan
membasuh kulit kami. Kami pun meninggalkan villa dan pergi ke tempat rekreasi
di puncak. Kami bermain di lapangan dan berfoto di gazebo yang kami sewa. Cuaca
yang dingin mendukung kami untuk memesan cokelat panas. Pemandangan yang unik,
lapangan dikelilingi pepohonan yang hijau. Tempat strategis untuk meletakkan
kafe di sana.
Untuk mengabadikan momen yang jarang terjadi ini, kami berfoto. Dengan
latar gazebo dan lapangan yang hijau, aku memotret momen ini. Saat aku memotret
mereka dan melihat hasilnya, ada asap putih yang menghalangi wajah mereka.
Mungkin efek cahaya yang berlebihan atau kabut awan yang semakin menebal.
Aku mencoba untuk memotretnya lagi. Hasilnya, kulihat lebih
janggal dari sebelumnya. Seorang wanita berdiri
dibelakang Rangga. Ia cantik dan persis dengan wanita yang aku lihat tadi malam. Pose yang
anggun, wajah yang cantik, dan senyum yang manis,
membuatku tidak bisa mengalihkan perhatian dari foto itu. Foto itu
semacam menyuruhku untuk tetap memandanginya sampai aku akhirnya aku tersadar
wanita itu berada di dimensi yang berbeda.
Aku menghapus foto itu, tetapi tidak bisa. Berulang kali aku mencoba
menghapusnya, tetap tidak bisa.
“Kenapa Nes?” tanya Keni.
“Mending ganti latar deh, suasananya gak mendukung.”
“Padahal gazebonya bagus,” ucap Keni kecewa. Akhirnya, kami berpindah
tempat untuk mengganti latar. Setelah berfoto, aku lihat hasilnya. Semuanya
bagus, wanita itu tidak ikut narsis dengan kami.
Setelah puas bersenang-senang, kami pun kembali ke villa. Terlalu
lelah dan butuh istirahat setelah bermain seharian. Tapi, aku tidak bisa
melewatkan buku novelku. Akhirnya, aku mengambil buku novel dan membacanya
sejenak. Dengan asyiknya aku
membaca novel, aku mendengar
suara pintu
yang dibanting.
Aku kira ada yang kesal dan membanting pintu. Biasanya, itu Indra, karena
ia orang yang sensitif dan emosian. Aku keluar dari kamar, melihat
Indra sedang duduk di sofa ruang depan sambil asyik memainkan PSP-nya. Aku beralih
pandang pada Rangga yang berdiri di ambang pintu.
“Ga, tadi lu banting pintu ya? Berisik tau!” tuduhku.
“Kok lu
jadi salahin gue? Gue baru saja mau masuk ke dalam villa.”
Suara ketukan pintu terdengar. Aku yakin itu bukan Rangga, karena
tangannya aman di dalam saku celana. Aku berjalan mengikuti sumber suara yang
semakin lama semakin nyaring saat aku mendekat.
“Vanes, mau ke mana?” tanya Keni yang baru saja berjalan dari dapur.
Aku tetap berjalan dan Keni tetap mengikutiku. “Gue
penasaran sama ruangan ini. Semenjak kita datang ke sini, ruangan
ini belum pernah terbuka, kan?”
Keni mengangguk setuju, “Iya, padahal kuncinya menggantung di sini.”
Rasa penasaranku semakin menggebu. Aku mengikuti hasratku untuk membuka
pintu ruangan yang sama sekali belum pernah kami buka selama berada di Villa. Pintu
ruangan terbuka secara
perlahan, sedikit
demi sedikit menampakkan banyak barang yang masih
bisa dipakai tetapi sudah berdebu, ruangan ini semacam
gudang. Langkah
kakiku memasuki ruangan itu, Keni tetap mengikutiku.
BRAKK! Pintu ruangan tertutup dengan sendirinya,
membuat kami melompat karena terkejut. Aku kembali ke daun pintu, berusaha
membuka pintu itu. Tetapi, pintu itu terkunci. Aku menggedor pintu itu keras
dengan harapan ada yang mendengar dan membantu kami membukakan pintu. Tapi berulang
kali kami meminta tolong, tidak ada yang mendengar ataupun membukakan pintu
untuk kami.
Keni menjerit dan menghilang dari sisiku. Aku melihat sekelilingku dan
suara Keni tetap memekik keras bergema di dalam ruangan. “Ken?!”
Keni menarik kakiku seolah memohon pertolongan padaku. Namun, kakinya
terseret lebih kuat daripada tenaganya untuk mempertahankan diri dengan
memegang kakiku. Tangannya pun terlepas, Keni menghilang dari pandanganku. Jerit
histerisnya membuatku takut. Aku berusaha membuka pintu dan akhirnya pintu
terbuka, dengan cepat aku keluar dari sana dan pintu gudang itu kembali
terkunci rapat.
Aku menggedor pintu itu lagi. “Ken! Keni!”
Suara jeritan Keni menggema di telingaku, aku menangis histeris
mendengar jeritannya yang terus memanggil namaku. Aku heran, mengapa tidak ada
yang mendengar teriakanku yang bergitu nyaring. Ke mana teman-temanku? Kenapa
mereka tidak datang saat aku membutuhkan mereka? Aku menangis histeris,
penyesalan dan amarah berkecamuk di dalam jiwaku.
“Keni!” Aku meneteskan air mata tiada henti. Bahuku terasa berat. Bulu
kudukku meremang, ada tangan yang menyentuh bahuku. Aku menoleh ke belakang, “Aaa!”
***
Ikuti kelanjutan kisahnya: Vila Kematian
Ditulis oleh:
Michiko
Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar