Cover: Baby Dolly Ding Dong |
Aku berjalan di sepanjang koridor apartemen. Kutelusuri lorong-lorong gelap di sana. Aku baru saja pulang dari kampus. Kau bisa memanggilku Stella.
Aku memasuki ruangan gelap itu. Terdengar suara percikan air. Aku mengikuti suara aliran air itu. Semakin dekat, semakin jelas. Jelas terdengar, bukan aliran air tetapi sebuah bisikan kecil yang membuatku merinding. Bisikan menggelikan di telinga dan jelas terdengar. “Kau akan pergi bersamaku.”
Aku tak mengerti itu bisikan apa. Hantu? Aku tak percaya! Atau mungkin halusinasi? Mungkin saja, akhir-akhir ini aku kurang istirahat. Bulu kudukku berdiri. Aku tak berani melihat sekelilingku. Aku melanjutkan langkahku yang tertuju pada kamar mandi,. Kubuka pintu kamar mandi perlahan. Aku terkejut melihat shower yang menyala sendiri. Aku mematikan shower itu.
Malamnya, kubuka buku pelajaranku. satu per satu lembar kertas aku bolak-balik. Tangan kiriku menumpu dagu di atas meja. Kulihat sudah pukul 22.23, aku mulai mengantuk. Sesekali aku menguap untuk mendapat asupan oksigen yang mampu menyegarkan otakku. Kudengar suara seperti kotak musik yang mengalun melodi Fur Elise. Larut malam begini siapa yang menyetel musik? Alunan melodi itu terdengar semakin jelas melewati depan kamarku. Aku beranjak dari kursi. Kulangkahkan kakiku mendekati pintu.
Suara alunan musik itu menetap di depan pintu kamarku. Aku ingin memastikannya. Kubuka pintu perlahan. BRAKK!!! Suara pintu dibanting. Pemabuk? Aku mendengus kesal. Aku terkejut melihat sebuah boneka perempuan kecil yang biasa dimainkan anak kecil. Boneka itu tampak masih bagus walau kotor. Aku mengambil boneka itu dan memperhatikannya. Tatapan mata boneka itu seolah hidup. Lucu tetapi bernoda. Kuperhatikan noda itu, sepertinya darah. Kuraba noda itu, kuperhatikan perlahan. Itu memang darah, dan... masih basah.
Aku mengabaikannya. Aku membawa boneka itu dan meletakkannya di atas meja rias. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang dan perlahan mataku terpejam untuk terlelap tidur.
Pagi hari, aku meraba kasur ada sesuatu di sampingku. Aku membuka mataku perlahan sambil mengerjap. Aku berpikir itu hanya guling. Tapi, aku baru ingat aku tak punya guling. Mataku terbuka sepenuhnya secara tiba-tiba. Benda itu hilang dari genggaman tanganku.
Aku berniat untuk mencari sosok yang kuraba itu. Kulihat boneka itu tergeletak jauh dari meja rias. Perhatianku teralihkan ketika menangkap bayangan cermin yang ternodai. Aku baca tulisan itu. “MATI” dengan warna merah pekat. Kugoreskan tanganku untuk mengambil sampel warna tulisan.
Aku berbalik badan membelakangi cermin. Aku mulai berpikir macam-macam. Aku membalikkan tubuhku untuk memastikan tulisan itu tetapi kudapati cermin itu sudah bersih kembali. Kemana tulisan merah di cermin itu? Aku melupakannya sejenak. Aku berjalan ke kamar mandi. Kemudian menggantungkan handuk dan menyalakan shower. Ketika aku mencuci muka, aku merasakan sesuatu yang lebih kental di wajahku. Kubuka mataku pelan, “AAA!!!” Aku menjerit. Aku menjauhi shower itu, kuraih handuk yang menggantung. Shower yang kupakai untuk mandi itu bukan mengeluarkan air, tapi darah. Mataku membendung air mata. Aku takut.
Lembar kertas terbang dan tergeletak di lantai kamar mandi. Sebuah foto gadis remaja yang tinggal di kamar sebelah. Gadis tetangga itu tak pernah kelihatan seminggu ini. Walau mentalnya sedikit terganggu, tapi ia selalu berbicara sendiri.
Kulihat senyuman bahagianya sambil memeluk sebuah boneka. Boneka yang tak asing di mataku. Aku bergegas mengalihkan pandanganku. Shower berdarah itu kembali mengeluarkan air bersih. Aku membersihkan wajahku dari darah yang menempel di wajahku.
Saat aku mau berangkat, aku lihat boneka itu tergeletak di lantai. Aku berpikir boneka membawa petaka. Aku memasukkannya ke tas dan berniat untuk membuangnya.
Aku berjalan ke tempat pembuangan sampah. “Stella!” panggil seseorang di belakangku.
Langkahku terhenti. Aku memutar kepalaku untuk mencari sumber suara. Kudapati Kevin berjalan ke arahku hendak mendekatiku. Aku segera melemparkan boneka itu ke tempat sampah. Selamat tinggal pembawa sial, batinku. Kevin telah ada dihadapanku, “Stell, lu ngapain disini?”
“Gue cuma mau buang sampah. Oh iya, sekarang ada jadwal autopsy ya?”
“Iya, nanti malem kita lembur deh buat praktek autopsy.”
“Terus nunggu malam ini, kita ngapain?”
“Gimana kalo jalan-jalan aja?” usul Kevin dengan senyuman yang tersungging di bibirnya.
“Brilliant!” pujiku.
Kevin berpikir sejenak, “Nggak seru juga sih kalo misalnya cuma berdua. Gimana kalo lu ajak Sheryl, gue ajak Pablo?”
“Ide cemerlang!” aku merogoh tasku dan mengambil ponsel. “Sher, ayo jalan... sama Kevin sama Pablo juga... Sampe sore lah, sekalian nunggu malem... Yah, masa lupa? Nanti malem ada jadwal praktek autopsy... Oke, gue tunggu di tempat biasa.” Klik! Aku menutup ponselku.
“Gimana?” tanya Kevin.
“Oke aja sih,” jawabku terdiam sejenak. “Pablo gimana?”
“Dia ada keperluan, gak jadi ikut.Ayo berangkat!”
Kevin memboncengku ke kedai dekat kampus. Aku memesan jus dan Kevin memesan mie bakso. Sheryl datang. “Sher, mau pesan apa?”
“Minum deh, sumpah gue haus banget. Panasnya kelewatan!”
Aku berjalan ke arah penjual jus. “Mbak, jus strawberry satu lagi!” sahutku.
“Tunggu sebentar ya.” Penjual jus itu mengambil sesuatu dari etalase. Mataku terbelalak. Astaga! Apa itu? Aku menelan ludahku tetapi tenggorokanku terasa kering, aku ingin menjerit. Kulihat hati manusia digenggam oleh penjual jus itu. Aku hampir jatuh. Namun, Kevin menahan tubuhku. “Stel, kenapa sih?”
“Kev, itu hati...” jawabku tergagap.
“Hati apa? Hati aku buat kamu? Haha...”
“Kev, serius... itu hati manusia!” jawabku tergagap sambil menunjuk benda yang penjual itu pegang.
“Lu sakit ya Stel? Itu strawberry.”
Aku mengucek mataku berulang kali. Itu memang strawberry. Napasku lega. “Kev, lu mau apa?”
“Pesan bakso jumbo, lama banget.”
Kevin membelakangiku, ia bercakap dengan penjual bakso yang bertetangga dengan penjual jus.
Kulihat bakso yang diangkat dari panci. KEPALA MANUSIA?! Aku berpikir itu hanya halusinasiku lagi. Aku mengucek mataku berulang kali. Bayangan itu tetaplah kepala manusia. Aku mengalihkan pandanganku, kulihat bakso di dalam mangkuk. Apalagi ini?! MATA MANUSIA?! Dadaku terasa sesak. Bumi terasa berguncang, aku kehilangan keseimbangan. Semua gelap.
Samar titik cahaya terlihat. Sekejap meremang dan beralih terang. Kevin dan Sheryl menatapku.
“Stel, are you okay?” tanya Sheryl.
“Ada apa?” tanyaku tak tahu apapun.
“Lu pingsan di kedai, kayak sesak napas gitu. Gue kaget barusan lu tiba-tiba jatuh disana. Gue bawa lu ke klinik depan kampus dan lu baru sadar sekarang.”
Aku memasang raut wajah tak percaya. Jadi, yang tadi terjadi itu bukan mimpi? Padahal aku berharap itu mimpi buruk yang pernah dialami.
“Lu sakit stel?” tanya Sheryl. Aku menggelengkan kepalaku. “Kalau sakit, nanti kita antar pulang.” Aku bangkit dan keluar klinik.
Sore hari, aku berjalan ke arah ruang autopsy bersama Kevin, Sheryl, dan mahasiswa yang lainnya. Aku melewati ruangan kosong. Aku melihat ke dalamnya, “Ha!” Mataku terbelalak melihat seseorang dengan wajah rusak menatap dendam ke arahku. Aku mengalihkan pandanganku lagi. Petaka apa lagi ini? Batinku. Aku menggigit bibirku, keringat dingin terasa menyelimuti tubuhku.
Hari ini, materi tentang mengidentifikasi fisik. Aku memperhatikan dengan saksama. Pulpen aku gunakan untuk menunjuk bagian-bagian tubuh mayat itu. Dosen bilang, mayat yang digunakan untuk autopsy itu mayat tak dikenal. Tapi, rasanya aku mengenal mayat yang sedang diidentifikasi ini.
Penjelasan sudah cukup. Mahasiswa diminta keluar ruangan. Aku, Kevin, Sheryl berjalan paling belakang. Pukul 20.22, aku rasa ada yang hilang. Aku baru teringat pulpenku hilang. Mungkin ketinggalan di ruang autopsy? Aku berbalik arah, Kevin menahanku. “Lu mau kemana?”
“Pulpen gue ketinggalan!” ucapku.
“Pulpen tinggal beli lagi elah.”
“Itu pulpen bulu dari nenek gue! Pulpen kesayangan gue!” aku tetap memberontak. Dan menembus Kevin yang menghalangi.
Aku membuka pintu ruang autopsy. Melangkah walau sedikit takut. Aku berjalan kearah mayat yang usai diidentifikasi. Aku mengambil pulpen di sebelahnya. Deg! Kakiku kaku tak bisa digerakkan. Aku berusaha melepas kakiku. Lampu meremang, berkedap-kedip seperti konslet. Aku mulai ketakutan. Aku berlari ke pintu tapi terkunci. Napasku tersengal. “Kevin! Sheryl!” aku menjerit meminta pertolongan mereka.
Aku menghimpit tembok dan bersandar dengan keadaan yang tegang. Lampu terus berkedip, keringatku terus menetes. Mataku tak henti menyorot setiap ruangan. Aku mengeluarkan ponselku. Dengan panik, aku menekan nomor Sheryl dan menelponnya. “Sher, tolongin gue... Gue terkunci di ruang autopsy..” aku berbicara tergagap.
“Stel, lu tunggu disana... Gue sama Kevin bakal bantuin lu keluar dari sana.”
Aku menunggu beberapa saat. Napasku tak normal, aku ketakutan. Tempat penyimpanan mayat terbuka satu per satu. Aku benar-benar takut. Mayat wanita yang baru saja aku identifikasi tadi bersin. Aku terkejut. “Kev... Sher... aku mohon...” Mayat wanita itu membuka matanya dan bangkit dari tidurnya. “Kev... Sher... Aku mohon!!” Aku berteriak semampuku. Air mata tak henti mengalir di sudut mataku. Wanita itu mendekatiku. Aku semakin panik, dengan sepenuh tenaga aku menarik gagang pintu.
“Stel!! Lu di dalam?!” teriakan dari luar terdengar seperti suara Kevin.
“Kevin! Keluarin gue dari sini Kev! Gue takut!” Aku menarik gagang pintu itu. Wanita itu semakin mendekat. Ia menggenggam tanganku. Aku memejamkan mataku begitu dalam. Tubuhku berbalik dengan sendirinya. Aku merasakan sentuhannya, dingin, kaku, lengket karena darah. Wanita itu menyentuh leherku dan mengelus pipiku. Aku tak berani melihatnya.
“Di mana bonekaku?” tanyanya.
Aku terdiam. Aku berpikir, Boneka? Boneka tadi malam? Dimana dia?Di tempat sampah. Siapa dia? Pemilik boneka itu?
Suaranya semakin marah, “Dimana boneka milikku?!”
“Aku... aku... membuangnya.”
“Kembalikan padaku!” wanita itu mengguncang tubuhku.
Aku menangis dengan mata terpejam. “Ampuni aku... Beri aku waktu untuk mengambilnya.”
“Cepat kembalikan padaku!” sentaknya dengan nada suara yang tak aku inginkan.
Aku mendengar suara melodi Fur Elise. Genggaman tangan, suhu dingin tak terasa. Aku membuka mataku. Lampu kembali menyala, wanita tadi menghilang. Aku membuka pintu ruangan dengan tenaga yang aku punya. Pintu terbuka, aku memandang Kevin yang berdiri di depan pintu. Aku memeluknya erat. Air mataku mengalir membasahi bahunya. Kevin mengusap rambutku dan menenangkanku.
“Kev, bantu aku mencari boneka itu!” Aku menyeret tangan Kevin menuju tempat sampah pertama kali kita bertemu. Aku mengorek-ngorek tempat sampah dengan sibuk.
Kevin memakaikan sebuah kalung di leherku, “Gue sayang lu.”
Aku menoleh padanya, “Ini bukan saatnya lu bilang itu!”
“Kenapa?” ia bertanya tanpa dosa.
“Gue harus cari boneka itu!”
“Boneka apa?!” tanya Kevin kesal.
“Boneka yang tadi pagi gue buang!”
“Boneka anak perempuan?”
Kepalaku menoleh padanya seketika. “Kok lu tahu? Dimana boneka itu? Kembaliin!” Kevin mengeluarkan boneka itu dari tasnya. “Ya, itu! Kembaliin Kev!”
“Nggak! Gue nggak akan kembaliin! Boneka itu buat adik gue di rumah sakit jiwa!”
“Kev! Balikin boneka itu!” Aku menarik kerah baju Kevin sambil berteriak di wajahnya. “Kev, gue mohon! Kalau lu nggak balikin boneka itu, kita bakal dapat petaka!”
“Gak!!” Seketika tubuh Kevin menjauh dari genggamanku. Ia seperti ditarik oleh seseorang dan diseret ke jalan beraspal. Teriakannya merasuk gendang telingaku, ia meraung kesakitan. Tubuhnya terseret begitu cepat ke arah barat. Aku mengejarnya dengan secepat yang aku bisa. Namun, Kevin terseret lebih cepat dari kecepatan aku berlari. Aku memilih kembali ke kampus untuk memasuki ruang autopsy. Ruangan itu terkunci, “Kev! Kevin!” Aku berteriak memanggil nama Kevin.
Suara raungan kesakitan Kevin terdengar dari dalam. “KEVIN! GUE TAU LU DIDALAM, KELUAR!” Aku berteriak sambil berusaha mendobrak pintu itu. Suara jeritan Kevin masih terdengar. Air mataku menetes begitu saja. “KEV!”
Suara itu telah menghilang. Aku mendobrak pintu ruangan. Pintu tak terkunci, aku terjatuh tepat di ambang pintu. Tubuh Kevin luka tercabik-cabik di hadapanku. Aku tak mampu berkata apapun melihat keadaan Kevin mati dengan tragis tepat di hadapanku. Mulutnya terbuka, matanya melotot dan merah, air matanya terbendung di bola matanya. Aku menelpon Pablo walau hanya suara isak tangisku yang terdengar tapi Pablo tahu aku memintanya datang.
Aku menangis di hadapan tubuh Kevin. Kutarik kalung yang digantung Kevin beberapa saat lalu. Aku memandang sudut ruangan, arwah gadis membawa boneka yang kutemukan tersenyum. Ia menghilang begitu saja. Aku baru mengerti, seorang gadis yang ditabrak truk pada malam hari di jalan kemangi seminggu lalu dan boneka sebagai barang bukti itu adalah gadis tetanggaku yang terkena gangguan mental dan ia belum bisa istirahat dengan tenang tanpa bonekanya.
***
Ditulis oleh:
Michiko
Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar