Cerita Pendek: Villa Kematian |
Aku
adalah Vanesa. Aku seorang mahasiswa semester tiga. Di hari libur semester ini,
aku memutuskan untuk pergi berlibur. Pikiranku terlalu berat karena tugas-tugas
yang mencekik keseharianku. Bahkan ketika aku tertidur pun rasanya tetap
dihantui oleh tugas-tugas yang belum aku selesaikan.
Aku
menghubungi teman-teman dekatku untuk mengajaknya mereka berlibur ke puncak.
Beruntung, mereka setuju untuk ikut walaupun mereka lebih memilih tinggal di villa
daripada mendirikan tenda. Tidak apa, aku yakin mereka khawatir dengan binatang
buas yang berkeliaran di musim hujan ini.
Uang
saku sudah aku kumpulkan sejak liburan belum dimulai karena aku tahu liburan
kali ini aku membutuhkan banyak uang untuk menyewa villa dan jalan-jalan di
puncak. Setelah uang yang aku kumpulkan mencukupi, inilah saatnya aku dan
teman-temanku –Shera, Keni, Rangga, Kevin, dan Indra pergi ke tempat tujuan.
Kami berhenti di sebuah villa, villa yang cukup bagus. Dengan latar
pemandangan yang menyegarkan pikiran. Namun, ada satu yang janggal. Orang-orang
menyebutnya villa kematian. Mereka percaya, villa itu tidak aman. Setiap orang
yang datang ke sana tidak akan pernah tenang semasa hidupnya. Bahkan, penjaga
dan pengurus villa itu pun tak pernah berani menginap satu malam di sana.
Hah. Mitos murahan. Kami tidak pernah percaya hal yang seperti itu.
Memangnya, apa sih yang membuat mereka berkata kalau villa itu merupakan villa
kematian? Menurutku, itu hanyalah urban legend belaka karena villa ini memang
letaknya agak jauh dan sepi sehingga jarang orang yang mau menginap di sini.
Kami masuk ke dalam villa. Villa yang awalnya sunyi kini terhiasi suara
kami yang rusuh ketika memindahkan barang-barang kami dari bagasi mobil ke
dalam villa. Kepalaku terus berputar, mataku menyapu setiap sudut ruangan. Villa
ini tidak sama seperti apa yang mereka katakan. Dindingnya yang masih bersih
tidak menandakan kalau villa ini sudah tua, langit-langit dan kusen yang masih
mulus pun tidak menandakan kalau ini villa yang lapuk. Sepertinya orang-orang
hanya termakan oleh cerita-cerita yang disebarkan dari mulut ke mulut.
Villa ini memang nyaman. Namun, ada satu yang membuat tidak nyaman. Di
dalam villa ini udaranya sangat panas, baru saja menginjakkan kaki beberapa
menit sudah bisa mengucurkan keringat dari tubuh. Tidak tahan dengan udara yang
seperti ini, aku pun ingin mandi. Padahal udara di luar sangatlah dingin,
bahkan aku sampai berpikir tidak akan menyentuh air selama berada di tempat
ini.
Teman-temanku membenahi barang-barangnya. Aku mengambil handuk dan bersiap
untuk mandi. Aku berjalan beberapa langkah dan menemukan dapur, ada sebuah
pintu berwarna cokelat terbuat dari kayu di ujung sana. Aku berjalan mendekat
dan membuka.
Wow.
Kamar mandi yang cukup mewah. Rasanya tidak sia-sia menyewa villa ini,
fasilitas yang memuaskan bahkan ini terasa berlebihan. Aku masuk ke dalam kamar
mandi dan membuka keran di wastafel. Ah, percuma saja berfasilitas mewah tapi
tidak ada airnya. Aku keluar lagi dari kamar mandi dan menghampiri Kevin yang
kebetulan dia sedang mengagumi bagian dapur.
“Kev, gue mau mandi nih.”
“Terus kenapa? Tinggal mandi saja sih. Emang lu kira gue mau mengintip
lu?”
“Yeee...bukan
begitu, kerannya mati. Tolong benerin dong,” pintaku.
Kevin mendecak pelan. Aku yakin dari mimik wajahnya ia malas untuk
membantuku, tapi ya sudahlah terima saja. Ia masuk ke dalam kamar mandi,
aku menunggunya di ambang pintu.
Kevin membuka keran, air mengalir dengan derasnya. “Nes, ini nyala. Lu
bohongin gue ya?”
“Tapi tadi itu kerannya mati, Kev!” kataku ragu. Mana bisa secepat itu?
Bahkan tidak ada satu menit yang lalu keran ini mati.
“Bilang saja mau modusin gue, biar bisa lebih lama sama gue.”
“What?! Mana ada? Buat apa gue
modusin lu.”
“Kali aja, lu naksir sama gue gitu. Hahaha.” Tawanya lepas seolah puas
menertawakanku.
PRANG! Seperti suara tutup panci jatuh dari ketinggian. Suara itu
menghentikan tawa Kevin.
“Suara apa itu?” Kevin waswas.
Mata kami berdua langsung tersorot ke rak piring. Tidak ada apa pun yang
jatuh di sana. Lalu suara apa itu? Mungkin suara itu di tempat lain.
“Sudahlah, katanya lu mau mandi itu airnya sudah keluar.” Kevin keluar
kamar mandi dan membiarkanku untuk melakukan rencanaku sebelumnya.
Aku terpaku sejenak masih memikirkan hal yang baru saja terjadi. Tiba-tiba
udara disana jadi dingin. Aku mengurungkan niatku untuk mandi.
“Gak jadi,” gumamku pelan dan mengikuti Kevin di belakangnya untuk
meninggalkan dapur.
“Jorok,” gumamnya.
Aku tidak menanggapi apa yang ia katakan. Pikiranku semakin berkecamuk
dalam kekalutan. Apa yang terjadi padaku hari ini sungguh tidak biasa atau
memang ini hanya sebuah kebetulan saja.
Malam ini kami tidak keluar dari villa, terlalu sibuk di dalam dan cuaca
pun mendukung kami untuk terlelap dan tidur di bawah selimut karena dinginnya
malam. Memang, malam ini tidak dimeriahkan dengan api unggun atau pun lagu yang
menemani keheningan malam. Tapi suara kami cukup memecah kesunyian karena
beberapa lelucon Indra yang cukup menggelitik perut dan membuat kami tergelak
sampai sakit perut.
“Sstt...,” suara
desis menghentikan gelak tawa kami. Kami saling melempar pandangan seolah
menuduh orang yang mendesis.
“Kok
hening?” tanya Rangga.
Kami pun tertawa karena kecanggungan itu. Indra kembali menggelitik
perut dengan beberapa leluconnya. Bahana tawa pun membunuh kesunyian malam.
Kali ini kami digertak dengan suara tangisan bayi yang terdengar nyaring di
sekitar kami. Kami terdiam dan suara itu perlahan semakin melemah. Suasana
lebih hening dari sebelumnya.
Suara ketukan pintu mengejutkan kami. Dengan suara teriak dari beberapa
temanku, kami langsung beralih pada pintu yang tertutup di dekat sofa tempat
kami berkumpul. Kevin berdiri dan memberanikan diri untuk membukakan pintu.
Seorang wanita berdiri dengan pakaian putihnya, senyuman dari tetangga
sebelah menenangkan detak jantung Kevin yang awalnya berdendang seperti
genderang.
“Maaf mengganggu malamnya, Nak. Ini ada sekaleng biskuit untuk kalian,
soalnya di sini tidak ada warung jadi agak susah untuk mencari cemilan,”
ucapnya lembut.
Kevin menerimanya, “Terima kasih, Bu. Maaf merepotkan, maaf juga kami
berisik sampai anak ibu menangis.”
“Anak saya? Anak saya sudah besar semua, Nak.”
Kevin agak terkejut dengan pernyataan itu. “Emm, lalu siapa yang
menangis ya? Tadi suara tangisannya terdengar nyaring sekali.”
Ibu Lina tampak gelisah. “Emm,
saya kurang tahu, Nak. Saya pamit pulang ya.”
Kevin mengangguk dan Ibu Lina beranjak pergi dengan tergesa-gesa. Kevin
masih terdiam di ambang pintu menatap kepergian Ibu Lina.
“Woy! Jangan bengong disitu, Kev!” seru Rangga.Kevin memutar kepalanya
dan menutup pintu.
“Kata orang Sunda itu ya, bisi nongtot jodo,” celetuk Indra.
“Hah?” seru kami bersamaan dan melemparkan tatapan bingung kami pada
Indra.
“Katanya sih kalau mau punya jodoh jadi susah.”
“Bisa kayak begitu ya?” Kevin tertawa.
“Wah, berarti nanti lu diputusin pacar lu.” Shera
tertawa.
“Halah, percaya amat sama yang begituan.”
“Ken, Nes, kita tidur yuk! Gue ngantuk nih.” Shera menguap dan meregangkan tubuhnya.
“Benar juga, tidur yuk!” Rangga ikut menguap setelah melihat Shera
menguap.
“Tidur duluan saja,” jawabku dan Kevin bersamaan. Hening sejenak, aku
dan Kevin saling pandang.
“Ciee...” sahut mereka yang mendengar aku dan Kevin bicara bersamaan.
“Gue udah punya cewek, woy!”
“Masih bisa putus,” Keni tertawa.
“Eh lagian enak di dia, rugi di gue.”
Mendengar perkataan Kevin barusan membuatku naik pitam. “Eh, emangnya
gue mau ama lu?”
Kevin memandangiku tanpa kata yang terlontar. Seolah sorotan matanya
mengatakan, “Siapa lu?”
Satu per satu temanku masuk ke dalam kamar. Sedangkan aku dan Kevin masih
beradu pandang. Aku menghindari tatapannya dan baru menyadari teman-temanku
sudah masuk kamar. Aku hanya duduk terdiam dan menunggu sampai aku mengantuk di
sebelah Kevin.
Kevin mulai jenuh berada di sisiku tanpa bicara apa pun. Ia beranjak dari
tempat duduknya dan meregangkan tubuhnya. “Nes, mau ikut gak?”
“Ke mana?” tanyaku.
“Keluar, cari angin. Di sini suntuk.”
“Heleh, curi-curi kesempatan ya lu gak ada si Alya di sini.”
Kevin mendelikkan pandangannya dan membuka pintu. “Terserah lu. Kalau
gak mau ikut jagain villa ya, takut ada yang...”
“Iya, iya gue ikut!” Aku memotong pembicaraannya dan beranjak dari sofa.
Apa yang Kevin bicarakan aku tidak mau mendengarnya. Yang penting saat
ini aku aman dan tidak sendirian. Kondisi villa itu semakin membuatku tidak
nyaman dan semakin meningkatkan kepercayaanku pada urban legend yang belum
terbukti itu.
“Alya gak lu ajak sekalian, Kev?”
“Lagi sibuk, bilangnya sih mau nyusul tapi entahlah jadi atau gak.”
Bulu kudukku semakin meremang disapu angin malam. Aku memeluk tubuhku
sendiri dan mengusap tengkuk berulang kali untuk mencari kehangatan.
“Lu kenapa? Kedinginan?” tanya Kevin. Aku mengangguk tanpa jawaban yang
terlontar dari mulutku. Kevin melepaskan jaketnya dan menggantungkannya di
bahuku seolah ia sedang menyelimutiku. “Lagian lu pake jaket tipis.”
“Thanks,” gumamku. Kevin tak
menjawab dan kami masih berjalan menelusuri jalanan yang basah karena hujan
tadi siang. Tubuhku sudah merasa lebih baik, aku melepaskan jaket Kevin yang
terbalut. Kukembalikan jaket itu padanya.
“Lu pakai saja. Gue sudah nyaman begini,” kata Kevin menolak. Aku tahu
Kevin berbohong, bibir pucatnya terlihat jelas di bawah sinar lampu jalan yang
meremang.
Trang~Trang~! Suara ketukan mangkok terdengar beberapa kali. Aku
menoleh ke sumber suara, ada gerobak lewat di depan kami.
“Tengah malam begini ada
tukang bakso?”
“Namanya juga cari nafkah, lu mau?”
Aku menggelengkan kepalaku. Tukang bakso itu berhenti tepat beberapa
langkah di depan kami. Seorang perempuan menghampiri tukang bakso tersebut. Entah
kapan perempuan itu sudah berada di sekitar sini, padahal tadi hanya kami
berdua yang ada di sini. Entah kapan perempuan itu memanggil tukang bakso
sehingga ia berhenti. Aku penasaran, bagaimana mungkin
tukang bakso tengah malam begini masih berkeliaran dan melayani pelanggan.
Bakso itu juga cukup besar, apa perempuan itu sanggup makan bakso sebesar itu? Pikiranku
terlarut sampai aku menyadarinya.
“Kev, ayo kita pergi dari sini,” aku menyeret lengan Kevin. Kevin
menyelaraskan langkah kakinya dengan langkah kakiku yang tergesa-gesa.
“Nes, lu kenapa sih? Santai aja kenapa?” protesnya.
Aku tetap melangkah dengan tergesa-gesa sambil menyeret Kevin yang
berada di belakangku tanpa mengucapkan satu pun kata untuk menjelaskan.
Langkahku tiba-tiba terhenti ketika sesuatu menghalangi jalanku.
Bulu kudukku semakin meremang, tubuhku kaku tak bisa digerakkan, lidahku
kelu tak bisa berteriak. Kakiku semakin membeku dan terus merambat sampai
otakku hingga aku hilang kesadaran.
***
Ikuti kelanjutan kisahnya: Vila Kematian
Ditulis oleh:
Michiko
Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar