16 Desember 2015

Vila Kematian Bagian 1

Cerita Pendek: Villa Kematian


Aku adalah Vanesa. Aku seorang mahasiswa semester tiga. Di hari libur semester ini, aku memutuskan untuk pergi berlibur. Pikiranku terlalu berat karena tugas-tugas yang mencekik keseharianku. Bahkan ketika aku tertidur pun rasanya tetap dihantui oleh tugas-tugas yang belum aku selesaikan.

Aku menghubungi teman-teman dekatku untuk mengajaknya mereka berlibur ke puncak. Beruntung, mereka setuju untuk ikut walaupun mereka lebih memilih tinggal di villa daripada mendirikan tenda. Tidak apa, aku yakin mereka khawatir dengan binatang buas yang berkeliaran di musim hujan ini.

Uang saku sudah aku kumpulkan sejak liburan belum dimulai karena aku tahu liburan kali ini aku membutuhkan banyak uang untuk menyewa villa dan jalan-jalan di puncak. Setelah uang yang aku kumpulkan mencukupi, inilah saatnya aku dan teman-temanku –Shera, Keni, Rangga, Kevin, dan Indra pergi ke tempat tujuan.

Kami berhenti di sebuah villa, villa yang cukup bagus. Dengan latar pemandangan yang menyegarkan pikiran. Namun, ada satu yang janggal. Orang-orang menyebutnya villa kematian. Mereka percaya, villa itu tidak aman. Setiap orang yang datang ke sana tidak akan pernah tenang semasa hidupnya. Bahkan, penjaga dan pengurus villa itu pun tak pernah berani menginap satu malam di sana.

Hah. Mitos murahan. Kami tidak pernah percaya hal yang seperti itu. Memangnya, apa sih yang membuat mereka berkata kalau villa itu merupakan villa kematian? Menurutku, itu hanyalah urban legend belaka karena villa ini memang letaknya agak jauh dan sepi sehingga jarang orang yang mau menginap di sini.

Kami masuk ke dalam villa. Villa yang awalnya sunyi kini terhiasi suara kami yang rusuh ketika memindahkan barang-barang kami dari bagasi mobil ke dalam villa. Kepalaku terus berputar, mataku menyapu setiap sudut ruangan. Villa ini tidak sama seperti apa yang mereka katakan. Dindingnya yang masih bersih tidak menandakan kalau villa ini sudah tua, langit-langit dan kusen yang masih mulus pun tidak menandakan kalau ini villa yang lapuk. Sepertinya orang-orang hanya termakan oleh cerita-cerita yang disebarkan dari mulut ke mulut.

Villa ini memang nyaman. Namun, ada satu yang membuat tidak nyaman. Di dalam villa ini udaranya sangat panas, baru saja menginjakkan kaki beberapa menit sudah bisa mengucurkan keringat dari tubuh. Tidak tahan dengan udara yang seperti ini, aku pun ingin mandi. Padahal udara di luar sangatlah dingin, bahkan aku sampai berpikir tidak akan menyentuh air selama berada di tempat ini.

Teman-temanku membenahi barang-barangnya. Aku mengambil handuk dan bersiap untuk mandi. Aku berjalan beberapa langkah dan menemukan dapur, ada sebuah pintu berwarna cokelat terbuat dari kayu di ujung sana. Aku berjalan mendekat dan membuka.

Wow.

Kamar mandi yang cukup mewah. Rasanya tidak sia-sia menyewa villa ini, fasilitas yang memuaskan bahkan ini terasa berlebihan. Aku masuk ke dalam kamar mandi dan membuka keran di wastafel. Ah, percuma saja berfasilitas mewah tapi tidak ada airnya. Aku keluar lagi dari kamar mandi dan menghampiri Kevin yang kebetulan dia sedang mengagumi bagian dapur.

“Kev, gue mau mandi nih.”

“Terus kenapa? Tinggal mandi saja sih. Emang lu kira gue mau mengintip lu?”  

Yeee...bukan begitu, kerannya mati. Tolong benerin dong, pintaku.

Kevin mendecak pelan. Aku yakin dari mimik wajahnya ia malas untuk membantuku, tapi ya sudahlah terima saja. Ia masuk ke dalam kamar mandi, aku menunggunya di ambang pintu.

Kevin membuka keran, air mengalir dengan derasnya. “Nes, ini nyala. Lu bohongin gue ya?”

“Tapi tadi itu kerannya mati, Kev!” kataku ragu. Mana bisa secepat itu? Bahkan tidak ada satu menit yang lalu keran ini mati.

“Bilang saja mau modusin gue, biar bisa lebih lama sama gue.”

What?! Mana ada? Buat apa gue modusin lu.”

“Kali aja, lu naksir sama gue gitu. Hahaha.” Tawanya lepas seolah puas menertawakanku.

PRANG! Seperti suara tutup panci jatuh dari ketinggian. Suara itu menghentikan tawa Kevin.

“Suara apa itu?” Kevin waswas.

Mata kami berdua langsung tersorot ke rak piring. Tidak ada apa pun yang jatuh di sana. Lalu suara apa itu? Mungkin suara itu di tempat lain.

“Sudahlah, katanya lu mau mandi itu airnya sudah keluar.” Kevin keluar kamar mandi dan membiarkanku untuk melakukan rencanaku sebelumnya.

Aku terpaku sejenak masih memikirkan hal yang baru saja terjadi. Tiba-tiba udara disana jadi dingin. Aku mengurungkan niatku untuk mandi.

“Gak jadi,” gumamku pelan dan mengikuti Kevin di belakangnya untuk meninggalkan dapur.

“Jorok,” gumamnya.

Aku tidak menanggapi apa yang ia katakan. Pikiranku semakin berkecamuk dalam kekalutan. Apa yang terjadi padaku hari ini sungguh tidak biasa atau memang ini hanya sebuah kebetulan saja.

Malam ini kami tidak keluar dari villa, terlalu sibuk di dalam dan cuaca pun mendukung kami untuk terlelap dan tidur di bawah selimut karena dinginnya malam. Memang, malam ini tidak dimeriahkan dengan api unggun atau pun lagu yang menemani keheningan malam. Tapi suara kami cukup memecah kesunyian karena beberapa lelucon Indra yang cukup menggelitik perut dan membuat kami tergelak sampai sakit perut.

“Sstt..., suara desis menghentikan gelak tawa kami. Kami saling melempar pandangan seolah menuduh orang yang mendesis.

Kok hening?” tanya Rangga.

Kami pun tertawa karena kecanggungan itu. Indra kembali menggelitik perut dengan beberapa leluconnya. Bahana tawa pun membunuh kesunyian malam. Kali ini kami digertak dengan suara tangisan bayi yang terdengar nyaring di sekitar kami. Kami terdiam dan suara itu perlahan semakin melemah. Suasana lebih hening dari sebelumnya.

Suara ketukan pintu mengejutkan kami. Dengan suara teriak dari beberapa temanku, kami langsung beralih pada pintu yang tertutup di dekat sofa tempat kami berkumpul. Kevin berdiri dan memberanikan diri untuk membukakan pintu.

Seorang wanita berdiri dengan pakaian putihnya, senyuman dari tetangga sebelah menenangkan detak jantung Kevin yang awalnya berdendang seperti genderang.

“Maaf mengganggu malamnya, Nak. Ini ada sekaleng biskuit untuk kalian, soalnya di sini tidak ada warung jadi agak susah untuk mencari cemilan,” ucapnya lembut.

Kevin menerimanya, “Terima kasih, Bu. Maaf merepotkan, maaf juga kami berisik sampai anak ibu menangis.”

“Anak saya? Anak saya sudah besar semua, Nak.”

Kevin agak terkejut dengan pernyataan itu. “Emm, lalu siapa yang menangis ya? Tadi suara tangisannya terdengar nyaring sekali.”

 Ibu Lina tampak gelisah. “Emm, saya kurang tahu, Nak. Saya pamit pulang ya.”

Kevin mengangguk dan Ibu Lina beranjak pergi dengan tergesa-gesa. Kevin masih terdiam di ambang pintu menatap kepergian Ibu Lina.

“Woy! Jangan bengong disitu, Kev!” seru Rangga.Kevin memutar kepalanya dan menutup pintu.

“Kata orang Sunda itu ya, bisi nongtot jodo,” celetuk Indra.

“Hah?” seru kami bersamaan dan melemparkan tatapan bingung kami pada Indra.

“Katanya sih kalau mau punya jodoh jadi susah.”

“Bisa kayak begitu ya?” Kevin tertawa.

“Wah, berarti nanti lu diputusin pacar lu.” Shera tertawa.

“Halah, percaya amat sama yang begituan.”

Ken, Nes, kita tidur yuk! Gue ngantuk nih.” Shera menguap dan meregangkan tubuhnya.

“Benar juga, tidur yuk!” Rangga ikut menguap setelah melihat Shera menguap.

“Tidur duluan saja,” jawabku dan Kevin bersamaan. Hening sejenak, aku dan Kevin saling pandang.

“Ciee...” sahut mereka yang mendengar aku dan Kevin bicara bersamaan.

“Gue udah punya cewek, woy!”

“Masih bisa putus,” Keni tertawa.
“Eh lagian enak di dia, rugi di gue.”

Mendengar perkataan Kevin barusan membuatku naik pitam. “Eh, emangnya gue mau ama lu?”

Kevin memandangiku tanpa kata yang terlontar. Seolah sorotan matanya mengatakan, “Siapa lu?”

Satu per satu temanku masuk ke dalam kamar. Sedangkan aku dan Kevin masih beradu pandang. Aku menghindari tatapannya dan baru menyadari teman-temanku sudah masuk kamar. Aku hanya duduk terdiam dan menunggu sampai aku mengantuk di sebelah Kevin.

Kevin mulai jenuh berada di sisiku tanpa bicara apa pun. Ia beranjak dari tempat duduknya dan meregangkan tubuhnya. “Nes, mau ikut gak?”

“Ke mana?” tanyaku.

“Keluar, cari angin. Di sini suntuk.”

“Heleh, curi-curi kesempatan ya lu gak ada si Alya di sini.”

Kevin mendelikkan pandangannya dan membuka pintu. “Terserah lu. Kalau gak mau ikut jagain villa ya, takut ada yang...”

“Iya, iya gue ikut!” Aku memotong pembicaraannya dan beranjak dari sofa.

Apa yang Kevin bicarakan aku tidak mau mendengarnya. Yang penting saat ini aku aman dan tidak sendirian. Kondisi villa itu semakin membuatku tidak nyaman dan semakin meningkatkan kepercayaanku pada urban legend yang belum terbukti itu.

“Alya gak lu ajak sekalian, Kev?”

“Lagi sibuk, bilangnya sih mau nyusul tapi entahlah jadi atau gak.”

Bulu kudukku semakin meremang disapu angin malam. Aku memeluk tubuhku sendiri dan mengusap tengkuk berulang kali untuk mencari kehangatan.

“Lu kenapa? Kedinginan?” tanya Kevin. Aku mengangguk tanpa jawaban yang terlontar dari mulutku. Kevin melepaskan jaketnya dan menggantungkannya di bahuku seolah ia sedang menyelimutiku. “Lagian lu pake jaket tipis.”

Thanks,” gumamku. Kevin tak menjawab dan kami masih berjalan menelusuri jalanan yang basah karena hujan tadi siang. Tubuhku sudah merasa lebih baik, aku melepaskan jaket Kevin yang terbalut. Kukembalikan jaket itu padanya.

“Lu pakai saja. Gue sudah nyaman begini,” kata Kevin menolak. Aku tahu Kevin berbohong, bibir pucatnya terlihat jelas di bawah sinar lampu jalan yang meremang.

Trang~Trang~! Suara ketukan mangkok terdengar beberapa kali. Aku menoleh ke sumber suara, ada gerobak lewat di depan kami.

Tengah malam begini ada tukang bakso?”

“Namanya juga cari nafkah, lu mau?”

Aku menggelengkan kepalaku. Tukang bakso itu berhenti tepat beberapa langkah di depan kami. Seorang perempuan menghampiri tukang bakso tersebut. Entah kapan perempuan itu sudah berada di sekitar sini, padahal tadi hanya kami berdua yang ada di sini. Entah kapan perempuan itu memanggil tukang bakso sehingga ia berhenti. Aku penasaran, bagaimana mungkin tukang bakso tengah malam begini masih berkeliaran dan melayani pelanggan. Bakso itu juga cukup besar, apa perempuan itu sanggup makan bakso sebesar itu? Pikiranku terlarut sampai aku menyadarinya.

“Kev, ayo kita pergi dari sini,” aku menyeret lengan Kevin. Kevin menyelaraskan langkah kakinya dengan langkah kakiku yang tergesa-gesa.

“Nes, lu kenapa sih? Santai aja kenapa?” protesnya.

Aku tetap melangkah dengan tergesa-gesa sambil menyeret Kevin yang berada di belakangku tanpa mengucapkan satu pun kata untuk menjelaskan. Langkahku tiba-tiba terhenti ketika sesuatu menghalangi jalanku.


Bulu kudukku semakin meremang, tubuhku kaku tak bisa digerakkan, lidahku kelu tak bisa berteriak. Kakiku semakin membeku dan terus merambat sampai otakku hingga aku hilang kesadaran.
***
Ikuti kelanjutan kisahnya: Vila Kematian

Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar