29 Januari 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 2: Kamuflase]

“Tiga bulan. Jika kau tak bisa membawa berita itu, wajah cantikmu ini yang akan kucabik.” Jun melepaskan cengkeraman tangannya pada pipi gadis itu dengan kasar. Ia kembali duduk di singgasananya.

Terlilit utang dan ikatan dengan seorang pedagang wanita penghibur mulanya terlihat sangat mengerikan baginya. Seolah itu adalah jalan kehidupannya yang kekal walaupun ia sudah berada pada titik keputusasaan. Namun, Jun tiba-tiba datang bak malaikat yang mengembangkan sayapnya untuk menyelamatkan Grace dari keterpurukannya. Ia datang demi menjanjikan kepastian atas segala harapannya, memperlihatkan titik terang untuk merangkak ke arah lubang putih tanpa dosa.

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 1 (Sarang Buaya)

Bagian 2: Kamuflase

Tiga minggu berlalu. Seluruh keperluan dan prosedur “mutasi” ke tempat yang menjadi tujuannya sudah dilaluinya. Berhari-hari, siang dan malam tiada henti, gadis itu mencari seluk-beluk perusahaan yang ia tuju. Di sanalah targetnya bersarang, di sebuah cabang perusahaan yang menggurita. Pewaris keluarga satu-satunya itu benar adanya, juga telah diumumkan di berbagai media cetak dan televisi bahwa ia akan menjadi seorang pewaris tunggal.

Seorang pebisnis yang tua dan ringkih itu pernah bekerja keras membangun bisnisnya hingga meneteskan peluh sebesar biji jagung. Kini, biji jagung itu sudah membuahkan hasil yang sangat memuaskan, membuat makmur siapa pun yang meladang di perusahaannya. Namun, taipan tua itu beberapa tahun belakangan sudah tak berdaya lagi, tak ada lagi hal yang bisa dilakukannya selain berbaring dan berdoa—bahkan membuka mata pun ia tak bisa. Ia hanya tinggal menanti jalan menuju surga dibuka.

Setelah melakukan berbagai riset dan bermacam-macam hal yang harus dilaluinya, Grace berhasil menginjakkan kaki di tempat yang menjadi tujuannya. Gedung perkantoran menjulang tinggi nan kokoh di hadapannya. Cahaya matahari di siang hari tak begitu menyengat sebab dedaunan pohon-pohon yang rimbun memayungi halaman perkantoran yang cukup luas. Grace mendongakkan kepalanya untuk menatap sebuah jendela yang amat besar pada gedung itu. Lantai teratas, ruangan paling besar untuk seseorang yang paling penting dalam struktur organisasi perusahaan.

Penampilannya saat ini berbeda dengan penampilan biasanya, walaupun dia masih tetap menggunakan blazer hitam yang sama tetapi kali ini ia harus mengganti alas kakinya dan celana panjang hitamnya dengan sepatu hak tinggi dan rok ketat. Pakaian barunya membuat gadis itu lebih anggun dan feminim. Akan tetapi, keanggunan dan kegemulaian seorang wanita bukanlah gayanya. Ia sangat kesulitan beradaptasi dengan sepatu hak tinggi yang harus dikenakannya. Langkahnya tak sebebas saat ia melangkah dengan sepatu sneaker putih kesayangannya. Rok pendek yang ketat juga menghambat langkahnya yang semula leluasa.

Saat keluar dari lift, Grace melepaskan sepatu hak yang dikenakannya. Ia berjalan dengan kaki telanjang sambil menjinjing sepatu tingginya. Gadis itu berlari kecil, berusaha mengabaikan keadaan sekitar walaupun beberapa karyawan yang berada di sekitarnya memperhatikannya. Mereka tidak menegur gadis berpenampilan aneh yang berlari-lari kecil ke arah toilet, mereka hanya berbisik-bisik dengan rekan yang ada di sebelahnya. Enggan menegur gadis itu sebab mereka sebenarnya tak terlalu peduli.

“Kau akan pergi ke kantor dengan penampilan seperti itu?” tegur seseorang yang membuat langkah kaki Grace terhenti.

Sial. Seseorang menegurnya saat gadis itu mati-matian memasang muka tembok di hadapan karyawan lainnya. Gadis itu meremas pelindung tumit pada sepatu yang ada di genggamannya. Gemas. Lebih baik orang-orang membicarakannya dari belakang daripada harus menegur penampilannya secara terang-terangan. Itu jauh membuatnya merasa lebih malu. Grace menoleh dan tersenyum kikuk.

“Kakiku agak sakit karena memakai ini,” ucap Grace sambil melirik sepasang sepatu yang dijinjingnya.

“Mau kubantu untuk mengobatinya?” Tawaran itu membuat Grace terbelalak. Apa dia tidak salah mendengarnya? Pria ini sungguh berani sekali. Bahkan mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Saling menyebutkan nama satu sama lain pun tidak. Belum sempat Grace menjawab pertanyaannya, seorang pria berbadan tegap itu sudah membuka pintu ruangan yang terletak di seberang toilet. “Masuklah.”

Gadis itu terpekur sejenak. Bingung dan kikuk. Namun, ia tetap menuruti perintah laki-laki itu. Mata Grace terbelalak lagi untuk kedua kalinya. Sofa empuk berwarna hijau muda membentang di dalam ruangan itu, ruangannya begitu luas, lengkap dengan kompor dan dispenser. Nuansa hijau terang dalam ruangan itu benar-benar menyegarkan mata dan memberikan rasa nyaman. Peralatan dapur juga tertata dengan rapi sesuai dengan tata letak yang seharusnya. Pria itu membongkar kotak obat yang menempel pada dinding sementara Grace hanya bisa termangu menelusuri seluruh sudut ruangan dengan pandangannya.

Pria itu kembali dengan obat merah dan plester di kedua tangannya. Tubuhnya yang tinggi kini menjadi lebih rendah saat ia berjongkok di hadapan gadis itu untuk menetesi lukanya dengan obat merah.

“Tumitmu lecet. Kau tidak biasa mengenakan sepatu tinggi, ya?”

“Eh? Iya, aku tak biasa mengenakannya.” Grace melirik ke arah tumitnya untuk memeriksa keadaannya.

“Padahal, kukira kau sudah terbiasa dengan sepatu tinggi. Sebab, perusahaan lain yang merekomendasikanmu untuk bekerja di sini.”

“Oh… iya, um, aku, aku hanya sedikit….”

“Kalau kau kesulitan dengan sepatu itu, bekerjalah dengan sepatu yang membuatmu lebih nyaman. Formalitas berpakaian tak terlalu diutamakan di sini.”

“I-iya.” 

Grace kehilangan kata-kata. Lidahnya kelu karena dua alasan. Alasan yang pertama, dia terkesima dengan perangai pria ini, terlalu rendah hati. Bagaimana mungkin laki-laki ini bisa berkeliaran seperti seorang karyawan biasa dan bersikap manis kepada karyawan lainnya. Amat jauh berbeda dengan atasan lamanya, Jun, seorang bos yang suka mengintimidasi karyawannya dan berlaku seenaknya. Alasan yang kedua, budaya pekerjaan yang benar-benar baru untuknya. Biasanya, formalitas dan sistem hirarki amat penting dalam sebuah perusahaan, apalagi perusahaan yang sangat besar seperti perusahaan ini. Namun, ekspektasinya berbanding terbalik dengan realitanya.

“Kau bisa menempelkan plester ini sendiri?” Pria itu menyodorkan plester tumit kepadanya. Ucapannya memecahkan lamunan Grace.

“Oh, iya, aku bisa.” Grace menerima plester itu. 

“Aku akan pergi sekarang. Selamat datang di perusahaan kami. Lain kali, pasangkan plester itu di tumitmu agar kakimu tidak terluka oleh sepatu lagi.” 

“Terima kasih,” ucap Grace sambil tersenyum, sedikit tersipu.

Lantas, pria itu pun pergi. Saat pria itu membuka pintu, seorang pria berseragam hitam berpapasan dengannya. Pria yang baru saja mengobati kaki Grace berhenti sejenak, ia menoleh ke arah Grace sambil menunjuk pria berseragam yang turut menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan pria itu. “Oh iya, ini Jo. Kau bisa tanyakan apa pun kepadanya.” 

“Baik, terima kasih atas bantuannya,” sahut Grace.

Pria itu mengangguk pelan. Ia mengalihkan pandangannya pada pria berseragam itu. “Jo, tolong bantu nona itu, dia karyawan baru di sini.”

“Siap, Tuan!” Jo meletakkan ujung jari-jarinya di ujung alisnya seperti menghormati bendera. 

Pria itu pun benar-benar menghilang dari pandangan Grace. Hanya tersisa satu laki-laki berseragam dengan pentungan di pinggangnya. Ia tersenyum ke arah gadis itu lalu berjalan memasuki ruang pantri. 

“Siapa dia?” Grace melemparkan pertanyaan basa-basi walaupun dia sudah tahu siapa pria itu. 

Jelas Grace sudah mengetahuinya. Bagaimana tidak, hampir sebulan lamanya dia melakukan riset dan mempelajari latar belakang targetnya. Tugasnya tidak hanya menjalankan misi dari Jun tetapi juga mencari informasi terkait targetnya. Oleh karena itu, penawaran Jun tidak main-main kepada Grace saat gadis itu berada di ambang keputusasaan karena terlilit hutang yang mencekiknya hingga tak mampu lagi bernapas. 

Jun tidak pernah memberikan informasi rinci terkait target yang ingin ia habisi. Ia hanya menunjukkan nama dan foto saja lalu sisanya Grace yang mengeksekusi. Tak peduli bagaimana caranya, saat Grace kembali, ia harus membawa kabar bahwa targetnya sudah mati. 

“Tuan Ray, orang paling rendah hati yang pernah aku temui. Dia pemimpin perusahaan ini,” jawab Jo.

“Oh, ya?” Grace memandang ke arah pintu pantri yang tertutup. Sedikitnya, berharap laki-laki yang telah pergi itu akan kembali. “Apakah ruang kerjanya ada di lantai ini?”

“Tidak. Ruangannya ada di lantai teratas.”

“Apa aku bisa menghampiri dia ke ruangannya?” Grace menatap ke arah satpam muda itu.

“Untuk apa?” Jo menyeduh kopi dan mengaduknya. Kepulan asap kopi panas itu menguar dari mulut cangkir.

“Setidaknya, mengucapkan terima kasih untuk hari ini atau ada kepentingan lain terkait urusan kantor, mungkin.”

“Terkait urusan pribadi?” Jo menggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin bisa. Hanya orang tertentu saja yang bisa masuk ke ruangannya. Bahkan, sekretarisnya sendiri pun tidak bisa sembarang masuk ke sana.”

Apa maksud ucapan Jo? Lalu apa fungsinya sekretaris jika orang terpercayanya pun tak bisa memasuki ruangannya. Budaya pekerjaan yang baru benar-benar mengejutkan Grace. Grace mengernyitkan dahi, memandang Jo dengan tatapan penuh tanya. “Lalu bagaimana jika ada keperluan tanda tangan dan lainnya?”

“Sekretarisnya yang akan menelepon Tuan Ray dan beliau akan berjalan sendiri ke ruangan khusus pertemuan karyawan dan direktur. Jadi, jika kau memanggilnya untuk sekadar mengucapkan terima kasih… kau pikirkan saja, apa perlu untuk melakukannya?”

Aneh. Grace termenung saat mendengarnya. Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh pria itu? Apakah dia sengaja membuat ruangan pribadi yang tak bisa diakses siapa pun? Jo memberikan secangkir kopi buatannya kepada Grace. Pandangan Jo tak terlepas dari dada Grace. “Ini untukmu, Nona… anu….”

“Terima ka—“ Grace mengulurkan tangannya untuk menerima secangkir kopi dari pria berseragam itu. Namun, ia tiba-tiba terhenti dan melirik ke arah dadanya yang dipandangi oleh Jo. Dengan cepat, kedua lengannya bersedekap menutupi dadanya. Suara Grace meninggi karena tersulut kemarahannya. “Hey! Apa yang kau lihat?”

Jo melirik wajah Grace. “Eh? Maaf, aku hanya ingin melihat tanda pengenalmu.” 

Grace menilik Jo dengan tatapan galak. Satu tangan Grace terulur menerima secangkir kopi panas itu. “Kau bisa menanyakannya kepadaku, alih-alih melihat dadaku seperti itu. Dasar mesum!”

Jo menyeruput kopinya lalu meletakkan cangkir itu di atas meja. “Lagipula, tak ada yang bisa kulihat dari dadamu. Kau seperti papan triplek.”

“Kurang ajar!” Sepersekian detik, tas gadis itu melambung ke arah pria berseragam hitam itu hingga benda itu menampar tepat di wajahnya. Tas itu mewakili tangan Grace yang sejak tadi ingin dilepaskanya untuk menampar pipi satpam itu. 

Alih-alih meminta maaf, Jo hanya tertawa saat menangkap tas gadis itu. “Apa ini sapaan pertama yang kau berikan kepada seniormu wahai Nona Karyawan Baru?”

“Senior? Mana mungkin, kau seorang satpam.”

“Apa posisi seorang satpam lebih rendah daripada seorang karyawan? Lagipula, aku sudah bekerja di sini selama tiga tahun lebih lama darimu.”

Suara puh pelan terdengar dari mulut Grace. Gadis itu menyesap kopinya tanpa membalas ucapan pria yang kebanyakan mengucapkan omong kosong itu. Senyap sejenak, adu argumen itu terhenti. 

“Omong-omong soal Tuan Ray, kau pernah melihat ruang kerjanya?”

Jo menilik gadis itu dengan tatapannya yang tajam. “Kenapa kau begitu penasaran soal itu, Nona?”

Grace menggeleng cepat. “Ah, tidak, bukan begitu. Maksudku, aku hanya merasa heran dengan budaya kantor yang sangat berbeda dengan perusahaan biasanya.”

“Perusahaan biasanya?” 

“Ayolah, Jo, kau tahu kan budaya perusahaan lainnya lebih mengutamakan sistem hirarki tapi melihat ini semuanya… seperti berbeda.”

Mata Jo tidak beralih mengamati Grace yang gelagapan. Ia menyeruput kopinya dengan tenang. “Oh. Jika kau penasaran tentang budaya kantor ini, kau bisa tanyakan hal itu padaku.”

“Apa aku bisa bertanya tentang ruangan direktur juga?”

“Mustahil.” Jo menyeringai sambil menyesap kopinya.

*** 

Hari pertama bekerja di perusahaan itu cukup mudah dilalui Grace. Terlebih lagi ia mendapatkan uluran tangan langsung dari sang pemimpin perusahaan yang mengobati tumit kakinya beberapa hari silam. Penampilannya juga kembali seperti dahulu kala, blazer hitam dan celana panjang hitam serta sepatu sneaker putih yang membuatnya lebih nyaman daripada penampilan di hari pertama.

Pendampingan dari direktur perusahaan dalam beradaptasi juga diterima Grace sehingga ia menjadi lebih cakap dengan tugasnya. Ia juga belajar budaya pekerjaan yang baru bahwa pemimpin yang baik akan membantu timnya untuk berkembang, bukan hanya menyuruh timnya melakukan suatu hal atau memarahi karyawannya habis-habisan saat pekerjaannya tak sesuai harapan. Dalam hitungan hari, Grace sudah mampu beradaptasi dengan ruang kerjanya, rekan timnya, suasana pekerjaannya, juga beradaptasi dengan perangai sekretaris yang hobi mengomel. 

Seorang wanita yang menjadi sekretaris direktur perusahaan itu terlihat masih muda tapi sikap dan sifatnya persis seperti nenek-nenek cerewet yang tiada henti mengomel kepada cucu-cucunya. Sekali saja ia melihat rekan kerjanya bersantai sedikit untuk beristirahat dari kepenatan pekerjaan, pasti wanita itu akan berbicara sendiri dengan nada bicara yang tidak mengenakkan hati. Sebab perangainya itu, Grace juga seringkali mendengarkan bisikan-bisikan tak mengenakkan dari karyawan lain yang membicarakan wanita itu di belakangnya. 

“Hanya karena posisi dia paling dekat dengan Tuan Ray, dia jadi sok berkuasa.” 

“Dia hanya sebatas sekretaris, bukan istri konglomerat itu tapi sudah merasa memiliki segalanya.” 

Begitulah kurang lebih bisikan-bisikan rekan kerjanya yang membicarakan wanita cerewet itu. Orang-orang yang bekerja di kantor itu biasa memanggilnya Nona Kim. Jika karyawan lain membicarakan dia tanpa sepengetahuannya, biasanya mereka memanggilnya dengan sebutan Nenek Sihir. Selain itu, Grace juga tahu beberapa informasi tentangnya dari Jo. Beberapa kali Jo bercerita tentang Nona Kim, Grace selalu melihat bulu-bulu lebat di lengan Jo berdiri setiap kali menceritakannya. 

Saat jam makan siang, Nona Kim menghampiri Grace di meja kerjanya. Wanita itu menumpu kedua tangannya pada meja Grace seperti sedang menginterogasinya. 

“Apa kau punya koneksi dengan Tuan Ray?” 

Grace mengerutkan dahi, bingung atas pertanyaan Nona Kim. “Tidak, kenapa kau tiba-tiba bertanya soal itu?” 

“Lalu mengapa kau bisa secepat itu bekerja di perusahaan ini?” 

“Entah, mungkin bosku sebelumnya yang memiliki koneksi dengan Tuan Ray,” ucap Grace sambil merapikan berkas-berkas pekerjaannya yang berserakan di atas meja. 

“Apa nama perusahaan lamamu?” tanya Nona Kim penasaran. 

Tangan Grace berhenti bergerak. Ia melirik wajah Nona Kim. “Apa itu penting bagimu? Sekarang, aku sudah menjadi bagian dari perusahaan ini. Jika itu saja yang ingin kau tanyakan, aku permisi.” 

Lantas, Grace pergi dari meja kerjanya untuk menikmati waktu istirahat makan siangnya. Nona Kim masih terpaku di tempatnya berdiri saat Grace pergi, ia memandang punggung Grace yang pergi menjauh dan menghilang di balik pintu. Rasa penasaran kini mengungkung kepalanya, jawaban itu harus didapatkannya. 

— B E R S A M B U N G —

Baca kelanjutan kisah Reverse

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 2: Kamuflase]

Ditulis oleh: Michiko

2 komentar:

  1. Makin menarik nih ceritanya, apakah tuan Ray itu yang akan menjadi target Grace, tapi tuan Ray baik banget kepadanya.

    Lihat seting ceritanya seperti di Korea ya, ada nama Jun, Jo, Kim.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Psst, jangan judge a book by a cover, Kak. Nanti kecewa kalau lihat sifat yang sebenarnya kalau gak sesuai ekspektasi hehe

      Soal setting, biar pada tebak sendiri deh ya wkwk

      Terima kasih komentarnya, selamat menikmati kisah selanjutnya.

      Hapus