6 Februari 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 3: Target Utama]

Tiga minggu berlalu. Seluruh keperluan dan prosedur “mutasi” ke tempat yang menjadi tujuannya sudah dilaluinya. Berhari-hari, siang dan malam tiada henti, gadis itu mencari seluk-beluk perusahaan yang ia tuju. Di sanalah targetnya bersarang, di sebuah cabang perusahaan yang menggurita. Pewaris keluarga satu-satunya itu benar adanya, juga telah diumumkan di berbagai media cetak dan televisi bahwa ia akan menjadi seorang pewaris tunggal.

Setelah melakukan berbagai riset dan bermacam-macam hal yang harus dilaluinya, Grace berhasil menginjakkan kaki di tempat yang menjadi tujuannya.

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 2 - Kamuflase

Bagian 3: Target Utama


Kemeja putih membungkus tubuh pria berusia kepala tiga yang memiliki perawakan tinggi. Kancing kemejanya saling bertautan dengan erat menahan tekanan dadanya yang bidang agar tak melompat sembarang arah. Celana panjang berwarna merah marun juga menyelimuti kedua kakinya yang jenjang, serta jas merah menutupi lekukan otot-ototnya yang terbalut kemeja. 

Pria itu melangkahkan kakinya begitu pintu lift terbuka, membelah kerumunan karyawan yang hendak menghabiskan waktu makan siangnya. Para karyawan yang berdiri di depan pintu lift memberikan jalan untuknya. Beberapa dari mereka terpanah dengan penampilannya hari ini, bisik-bisik terdengar antara mengagumi juga diam-diam menghakimi. Sebagian terpesona, sebagian lagi iri dengan gayanya yang gagah dan berwibawa.

Dengan sengaja, pria itu berhenti di lobi sambil bertanya kepada seorang wanita berbadan kurus dan kecil yang berdiri di meja resepsionis. “Karyawan baru itu sudah keluar dari ruangannya?”

“Nona Grace?” Wanita itu bertanya dengan ramah kepadanya untuk memastikan walaupun pertanyaan itu tak dibutuhkan. 

“Iya, siapa lagi kalau bukan dia?” Pria itu menumpu siku pada meja resepsionis sambil melepas dua buah kancing baju teratasnya yang mencekik lehernya hingga separuh dada bidangnya mengintip di balik celah kemeja.

“Belum, Tuan.” Wanita itu menjawab dengan senyumannya yang lembut walaupun hatinya bersungut-sungut dan ingin sekali ia merengut. Tak ada yang ingin diucapnya lagi kepada pria itu walaupun banyak pertanyaan di kepalanya: Mengapa orang nomor satu di perusahaan ingin bertemu dengan seorang karyawan biasa yang bahkan hanya seorang pegawai kontrak. 

Siang itu, sinar matahari menyeruak di balik awan. Cahayanya membias menerangi birunya payung cakrawala. Penerangan cahaya alami itu menembus dinding-dinding kaca, membuat lobi lantai satu menjadi terang benderang. Wajah-wajah letih pegawai yang berlalu-lalang mencari asupan energi pun sudah mulai terlihat. Pria itu memutuskan untuk duduk di sofa yang telah disediakan sambil menunggu seseorang datang. 

Beberapa menit menunggu, batang hidung wanita yang telah dinantinya pun muncul. Wajah gadis itu tak kalah kusut seperti pegawai lain yang terlihat kelelahan, belum lagi bibirnya berkomat-kamit seperti mengomel kepada angin. Pria itu lantas melompat dari tempat duduknya dan berjalan cepat untuk menyusul langkah kaki gadis itu. Napasnya tersengal saat menyusul gadis itu, belakangan ini dia tak berolahraga sehingga baru berjalan sedikit cepat pun membuat napasnya memburu. 

Pria itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu gadis itu. Sontak, lengannya itu dicengkeram dengan kuat dan tubuhnya melayang hanya dalam hitungan beberapa detik. Punggung dan bokongnya membentur lantai. Ia mengaduh saat tubuhnya yang terbanting terasa seperti tulang-tulangnya remuk bagai kaca yang pecah. 

“Astaga! Tuan Ray!” Mata gadis itu melotot seketika, terkejut saat melihat orang yang baru saja ia banting. Namun, ada satu hal baik yang tiba dari insiden itu, kekesalan yang ia rasa sudah sirna sepenuhnya. 

Perhatian orang-orang pun seketika memusat ke arah mereka berdua. Sebagian orang terkejut melihat seorang pria yang jatuh terbanting. Sebagian menatap penasaran dengan apa yang terjadi di antara mereka. Sebagian lainnya lagi menahan gelak tawanya saat melihat pria yang mengaduh karena dibanting oleh seorang wanita.

Grace mengulurkan tangannya, ia berniat untuk membantu pria itu berdiri sebagai bentuk rasa tanggung jawabnya. “Kau baik-baik saja?”

Pria itu meringis. Ia mengusap bokongnya yang menjadi landasan pendaratannya di lantai. Begitu menyadari orang-orang di sekelilingnya menatapnya iba tapi tak membantunya, ia pun berdiri dengan sendirinya. Satu tangannya meraih bahu Grace dan menyeret gadis itu meninggalkan panggung pertunjukan yang tak diinginkan. Sambil berjalan pincang, ia memaksakan diri untuk mengajak Grace pergi.

“Kau wanita yang kuat, Grace. Badanku masih sakit hingga saat ini, kau belajar bela diri di mana?” komentar pria yang sedang duduk di kursi kafetaria sambil memutar sendi lengannya perlahan. 

Tubuh pria itu memang besar dan kokoh seperti batu raksasa tetapi ia batu yang lunak. Tiada hentinya ia meringis sepanjang perjalanan dari gedung kantor ke kafetaria, antara itu benar-benar terasa sakit atau dia hanya mencari perhatian Grace. Kemejanya berantakan, begitu pula rambutnya yang semula disisir rapi kini terlihat lebih acak-acakan. 

Di seberangnya, Grace duduk sambil menatapnya dengan tatapan heran. Heran akan dua hal, yang pertama adalah alasan pria itu membawanya ke sini dan yang kedua adalah hidangan makanan sudah tersedia di hadapannya tanpa ia pesan. Pria itu telah memesankan dua porsi makanan, satu untuk gadis itu dan satu porsi untuknya sendiri. 

“Iya, aku belajar di suatu tempat untuk berjaga-jaga. Tapi sungguh, maafkan aku, Tuan Ray, tadi kau tiba-tiba menyentuhku. Jadi, aku refleks membantingmu seperti itu. Lalu ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu, ada perlu apa kau mencariku?” 

“Berjaga-jaga?” Ray menekankan pertanyaannya seolah tak percaya dengan ucapan Grace.

Grace mengangkat bahu. Rasanya terlalu canggung. Seketika kata-kata yang ada di kepalanya menghilang sehingga yang hanya bisa diucapkannya hanyalah, “Iya, begitulah.” 

Pandangan Grace menyusuri seisi ruangan. Kafetaria semula bukanlah tempat yang asing baginya tapi kali ini suasana kafetaria benar-benar berbeda. Atmosfer yang menjalar di punggungnya pun penuh dengan kecanggungan. Ditambah lagi, meja-meja yang ada di sekelilingnya kosong, tak seperti biasanya. Padahal antrean mengular panjang tetapi tak ada satu orang pun yang mengambil langkah untuk mengisi delapan meja kosong yang mengelilingi mejanya. Apakah itu disebabkan oleh kehadiran Ray yang kini duduk di seberangnya? 

“Makanlah! Aku sudah membayarnya.” 

Suara Ray memecah lamunan Grace. Grace mengangguk kaku, bibirnya masih bertaut satu sama lain. Sampai saat ini belum terucap sepatah kata pun. Semua pertanyaan terkait apa, siapa, di mana, mengapa, kapan, bagaimana, berputar-putar di kepalanya. Ia berniat untuk menundanya saja, daripada dianggap sebagai karyawan rendahan yang banyak tanya dan tidak tahu rasa terima kasih. 

“Terima kasih,” ucap Grace sembari meraih garpu dan sendok dengan ragu. Namun, selera makannya terhenti oleh kecanggungan walaupun makanan itu dengan seksi bertengger di atas piring hingga mampu mengunggah selera siapa pun yang melihatnya. 

“Kau tak akan memakan itu?” Ray kembali berbicara saat melihat Grace yang tak kunjung menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. “Aku tidak meracuninya.”

Grace ingin tertawa tapi kecanggungan yang mengepungnya itu membuat tawanya terdengar begitu hambar. “Iya, aku percaya. Hanya saja, aku kurang nyaman dengan keadaan seperti ini.”

Ray menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri, mendapati karyawan-karyawan lain yang berdiri menanti meja kosong yang lain selain di sekitarnya. Ray pun mengacungkan tangannya tinggi-tinggi agar dapat dilihat oleh mereka yang belum mendapatkan meja makan. Sambil mengangkat tangannya ke udara, Ray berkata dengan suara yang lantang, “Hey, kalian boleh mengisi meja ini! Jangan sungkan, makanlah bersamaku.”

Kemudian, para karyawan yang semula berdiri pun mengerumuni meja-meja yang kosong itu. Kecanggungan di antara keduanya perlahan sirna ditelan ucapan-ucapan yang saling tumpang-tindih. Setidaknya, kafetaria itu benar-benar memiliki suasana kafetaria, bukan rumah duka. 

Beribu pertanyaan kini mulai mengungkung kepala Grace. Mustahil untuk menanyakannya kepada pria itu, dia bahkan tak menjawab pertanyaan sederhana yang dilayangkannya. Kelak, ia akan menanyakan hal itu kepada Jo untuk memuaskan rasa penasarannya. 

Setengah porsi makanan sudah habis ditelan. Ray makan dalam keadaan senyap. Begitu pula Grace yang benar-benar canggung dan lebih banyak diam sejak ia diseret ke kafetaria itu tanpa persetujuannya. Gadis itu merasa serba salah dalam bertingkah, antara memilih santai atau formal. Berada di depan petinggi perusahaan membuatnya tak bisa berpikir jernih, dia pun tak tahu bagaimana harus menyikapi keadaan itu, apalagi selama bekerja dengan Jun, tak pernah ia mengalami hal serupa.

“Kalau bisa, setiap hari kau menemaniku makan siang.” Ray pun angkat bicara setelah beberapa menit yang terasa seperti beberapa jam terbalut kesenyapan berlalu.

Grace berhenti menyendok makanannya, seketika ia tak berselera mendengar ucapan itu. Alis Grace mencureng saat memandang Ray yang ada di hadapannya. Tubuh Grace yang semula bungkuk penuh rasa sungkan seketika terasa ringan. Ia menegakkan posisi tubuhnya untuk mengangkat harga dirinya yang terasa mulai diinjak pria di depannya. “Kenapa aku harus melakukannya?”

“Sebab, aku akan merasa senang jika selalu ditemani olehmu,” ucap pria itu begitu lancar tanpa ada rasa sungkan ataupun keraguan. 

“Apakah itu maksudmu untuk mengajakku ke sini? Untuk bersenang-senang?” Grace menatap mata pria itu dengan tatapan yang kalem, walaupun tersirat api yang membara di bola matanya.

“Iya, bukankah sudah tugasmu adalah membuat atasanmu merasa senang?” Ray menyeringai penuh kemenangan.

Kini, selera makan gadis itu benar-benar lenyap. Grace meletakkan sendok dan garpunya perlahan, sebisa mungkin tak terdengar dentingan saat piring dan sendoknya saling bertumbukan. Grace menggigit bibirnya, menahan diri agar tak menyembur wajah pria itu dengan ludahnya. Wajahnya terasa panas dan kepalanya pusing terasa seperti ditekan angin dari arah lehernya. Naik pitam. Ia meredam keinginan untuk menusuk mata pria itu dengan garpu. 

Kepalan tinju siap menghantam wajah pria di hadapan Grace tapi sebisa mungkin ia tahan. Setidaknya, ia tidak meninjunya di hadapan karyawan yang lain, apalagi melakukannya di depan makanan. Ekspektasinya yang naif benar-benar menghanyutkannya. Semua kesan pertama yang terpatri dalam benak gadis itu terlalu indah, sehingga membuat kenyataan ini cukup menamparnya. Semua orang yang memiliki kekuasaan tak mungkin akan bersikap rendah hati sekali pun dia amat disegani.

Grace menghela napasnya, lalu membuang seluruh amarahnya yang meluruh bersama udara. “Maaf, Tuan, tapi permintaanmu tak ada kaitannya dengan urusan pekerjaan.”

Ray berhenti mengunyah makanannya. Matanya mendelik terpaku pada gadis yang sedang berbicara kepadanya.

“Apa kau sudah selesai makan? Jika iya, aku akan pamit terlebih dahulu. Nona Kim akan mengomeliku lagi jika aku terlambat kembali ke mejaku,” sambung Grace sambil melirik jam tangan silver kecil di pergelangan tangannya. 

Ray menengadahkan tangannya untuk mempersilakan Grace pergi. Lantas, gadis itu membungkuk kecil dan pamit. Ray menatap kepergian Grace yang menghilang di balik kerumunan. 

Harga dirinya seketika terinjak oleh ucapan gadis itu. Ray tertawa hambar seraya bergumam, “Kau terlihat murah tapi sok jual mahal, Grace.” 

***

Uap mengepul di udara mengantarkan suhu panas yang menguar ke setiap sudut ruangan. Air mendidih dituangkan ke dalam mangkuk hingga menyiram segumpal tepung keriting yang sudah ditata sedemikian rupa. Hari ini, telah diputuskan ia akan menyantap mie instan saja ketimbang harus menerima tawaran makan siang bersama lagi. 

Pria yang beberapa hari silam melontarkan ucapan yang dianggapnya kurang ajar itu tiada henti mendekatinya. Setiap ada kesempatan, pasti pria itu selalu ada di sekitarnya seperti seorang penguntit. Saat istirahat makan siang, pria itu ada di lobi. Saat sedang bekerja, pria itu ada di ruang kerjanya untuk memberikan arahan yang sebenarnya tak begitu diperlukan. Rasa percaya diri Grace semakin tinggi, semakin mantap pula ia menduga-duga bahwa Ray datang dengan alasan mengarahkan tim itu sebenarnya hanya untuk menemui dirinya. Seolah pria itu tak memiliki kesibukan lain selain menguntitnya.

Grace seringkali heran dengan jadwal kegiatan sang pemimpin perusahaan. Dia lebih sering terlihat wara-wiri melakukan hal yang tidak jelas ketimbang merepresentasikan citra perusahaan kepada para investor. Rapat seringkali bolos, kerjaannya hanya nongkrong di ruang kerja Grace. Absen rapat seringkali dilakukannya, padahal tak ada alasan yang penting untuk meninggalkan rapat dengan para investor. Ketimbang duduk di posisi sebagai direktur, Ray lebih cocok menjadi karyawan biasa. 

Jika boleh dibandingkan performa kerja di antara Ray dan Jun, Grace berpendapat bahwa Jun lah yang lebih pantas untuk menerima promosi sebagai pimpinan perusahaan, seandainya mereka bekerja di perusahaan yang sama. Sekelumit pertanyaan pun kembali melesak di dalam benaknya. Lantas, mengapa warisan perusahaan ini justru sepenuhnya jatuh ke tangan pria ini? Apakah ini yang menjadi alasan kuat Jun sangat ingin merebut warisan itu dari tangannya?

“Kau tak makan siang di kafetaria?”

Suara yang dikenalinya terdengar dari ambang pintu. Itu adalah suara si Pria Berbulu. Sudah beberapa hari belakangan Grace tak bertemu dengannya. Sekali, pernah dia menghampiri posnya di depan gedung untuk mencari pria itu karena ingin menanyakan suatu hal tetapi dia tak ada di sana. Sedikit rindu yang terselip dalam dada seketika membuncah begitu mendengar suaranya.

Seperti biasanya, Jo selalu datang untuk menyeduh kopi di pantri setiap jam makan siang. Terkadang juga, memasak mie instan sebagai makanan untuk mengganjal perutnya. Kesehatan tubuh tak penting baginya, yang penting makanannya gratis dan ia tak perlu mengeluarkan uang untuk hal itu. Namun, beberapa hari ini ia tak berkunjung ke pantri untuk menyeduh kopi atau memasak mie—ataupun sekadar bertegur sapa dengan Grace.

“Jo, sudah lama sekali aku tak melihatmu!” sambut Grace dengan senyuman yang mengembang saat melihat Jo.

“Baru beberapa hari saja. Kau rindu padaku, ya?” Jo menyinggungkan senyum yang menyebalkan untuk menggoda Grace.

“Mustahil!” Grace melambaikan tangannya seolah menepis ucapan yang dilayangkan pria itu.

“Kata Ed, kau mencariku?” 

“Iya, aku ingin menceritakan banyak hal. Bolak-balik aku mencarimu tapi kau tak ada. Kau ke mana saja?”

“Aku bertukar jadwal dengan Ed. Istrinya sedang hamil besar. Jadi, Dia tidak bisa bekerja di malam hari. Apa yang ingin kau beritakan sampai mencariku?”

“Ini tentang Tuan Ray.” Grace berucap sambil membawa semangkuk mie yang sudah matang ke meja yang terletak di tengah-tengah ruangan.

“Ada apa dengan Tuan Ray?”

“Kau tahu, belakangan ini dia sering membuntutiku.” 

Jo menggenggam cangkir berisi kopi panas yang baru saja diseduhnya. Perlahan, ia seruput sambil memandang wajah Grace yang berubah serius. “Apa itu penting bagiku?”

Grace mendecakkan lidah. Telapak tangannya menggebrak meja hingga mangkuk berisi mie instan panas bergeser dari tempatnya semula. Wajah Grace benar-benar kusut dengan dahi mengerut dan bibir yang mengerucut. “Penting atau tidak untukmu, yang jelas aku mulai merasa tidak nyaman dengan pria itu!”

“Memangnya, apa masalahmu dengannya?”

“Asal kau tahu, Jo, sudah beberapa hari ini dia membuntutiku dan selalu bertanya kepadaku, ‘Apa kau mau makan siang bersamaku?’”

“Apa kau sedang pamer kepadaku tentang itu?”

“Mustahil, tak ada yang perlu aku banggakan tentang hal ini. Justru sebaliknya, aku sudah muak bertemu dengannya. Beribu alasan aku berikan untuk menghindari pria itu tapi dia tidak juga berhenti. Aku sampai rela menahan perut keronconganku hanya demi menolak ajakannya.”

Jo tertawa saat mendengar penjelasan Grace sembari meletakkan secangkir kopi di atas meja. “Jadi, apakah ini yang menjadi alasanmu makan siang dengan mie instan?”

Grace mengangguk sambil mengaduk mie yang menguar uapnya di bibir mangkuk. Suara seruput mie bersenandung bersama ucapan yang keluar dari mulut gadis itu. “Iya, itu alasan utamanya. Alasan yang lain, selera makanku seringkali hilang hanya dengan melihat wajahnya saja. Setiap kali berpapasan dengan dia, ingin sekali aku memutar balik agar tak bertemu dengannya.”

“Lalu, sekarang dia masih sering mendekatimu?”

“Masih, bahkan setiap menjelang makan siang, alih-alih rapat atau apalah itu pekerjaannya, dia malah datang ke ruang kerjaku dengan alasan mau memberikan arahan.”

“Mungkin, dia memang mau memberikan arahan kepada tim kalian?” Jo menebak-nebak niatan Ray.

“Tidak, Jo!” sangkal Grace. Dentingan garpu terdengar nyaring saat Grace meletakkannya dengan perasaan geram. “Saat aku bertanya tentang kesibukannya, kau tahu apa jawabannya? ‘Jika orang lain bisa melakukannya, mengapa harus aku?’ Lalu, aku sempat membalasnya perihal arahan tim itu dengan bertanya, ‘Jika ada manager, mengapa harus kau yang melakukannya?’ Kau tahu apa jawaban dia? Lebih gila lagi, ‘Aku ada di sini karena ingin bertemu denganmu.’”

Jo tertawa lagi. Namun, tawanya terdengar tak begitu lepas seperti sebelumnya, malah terdengar sedikit lebih hambar. “Kenapa dia bisa selancang itu kepadamu? Kau menggodanya, Grace?”

Dahi Grace seketika mengerut. Wajahnya bak abstrak yang terlukis pada sebuah kanvas. Tidak terdefinisikan emosi apa yang terpatri di wajahnya antara marah, bingung, jijik, atau semacamnya. 

“Kau gila? Dia yang tiba-tiba menyeretku ke kafetaria dan berkata, ‘kalau bisa kau menemaniku setiap hari.’ Puh, dia pikir aku wanita macam apa?”

Jo tidak menjawab ucapan Grace. Ia kembali menyeruput kopinya. Senyum kecil mengembang perlahan di bibirnya. Setelah mendengar ucapan gadis yang begitu geram digoda oleh atasannya, perasaan jauh terasa lebih lega dari sebelumnya. Setidaknya, ia tahu bahwa gadis itu tak menyukai bosnya apalagi memiliki perasaan pribadi terhadap bosnya itu. Jo membiarkan gadis itu meluapkan segala kekesalannya yang membuatnya bercerita hingga menggebu-gebu.

Setelah mengeluarkan isi hatinya, ketenangan pun menghampiri jiwa Grace. Nafsu makan gadis itu tiba-tiba meningkat sebagai pelampiasan nafsu amarahnya. “Omong-omong, aku jadi agak heran saja saat kita pertama bertemu, mengapa kau bisa berkata kalau dia amat disegani?”

Jo mengangkat bahu. “Entahlah.”

“Bagiku, dia tidak profesional sama sekali, bahkan cenderung aneh jika kau sampai menggilai wataknya,” komentar Grace.

“Terkadang, manusia selalu punya sisi gelap yang tak pernah terungkap, Grace.”

Grace menilik wajah Jo saat sebagian mie sudah masuk memenuhi mulutnya. Sontak, mulutnya tiba-tiba melepaskan gigitan hingga mie itu kembali jatuh ke mangkuk.

Jo membelalak. “Apa yang kau lakukan? Menjijikan!”

“Panas,” singkat Grace. Grace mengangkat kepalanya dan duduk dengan tegak berusaha mengalihkan pembicaraan. “Lalu aku harus bagaimana, Jo? Aku tak mau dihantui pria itu lagi.”

Jo menyeringai seraya menyeruput kopinya lagi. “Sebaiknya, kau hindari saja dia. Dia orang yang tak bisa ditebak.”

— B E R S A M B U N G —


Baca kelanjutan kisahnya: Reverse

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 3 - Target Utama]


Ditulis Oleh: Michiko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar