25 Maret 2021

Insecure Melanda, Aku Ingin Berhenti Menulis

12:52 AM 1 Comments
Insecure Melanda, Aku Ingin Berhenti Menulis
Hari ini aku mau curhat aja deh. Berhubung aku sedang berusaha melewati kesulitan-kesulitan yang harus aku hadapi sendirian. 

Boleh dibilang, saat ini aku hampir menyerah dari dunia kepenulisan.

Kenapa ya?

Alasannya, sebenarnya sepele. UANG. 

Nggak sepele juga sih, soalnya kita selalu butuh uang untuk bertahan hidup. Akan tetapi, kalau sampai berhenti menulis karena uang, menurutmu itu terlalu berlebihan nggak sih? Hahahaha.

Aku yang baru lulus dari pendidikan akademik jenjang perkuliahan merasa insecure banget saat melihat teman-temanku gencar mencari lowongan pekerjaan. Beberapa bulan belakangan, aku juga sama, ikut cari lowongan pekerjaan seperti yang lainnya. Sempat juga dipanggil interview oleh salah satu perusahaan tapi alur hidupku berkata aku cuma bisa sampai tahap itu. Aku nggak lolos tahap wawancara.

Setelah menerima notifikasi penolakan, overthinking melanda. Kebiasaan buruk yang selalu muncul setiap aku sedang terpuruk ini membuat aku berpikir: "Aku hidup di dunia ini kayaknya cuma jadi beban keluarga ya?" Padahal baru satu perusahaan yang menolak, gimana kalau ditolak terus-terusan oleh banyak perusahaan ya? Jadi kopong kali ini otak.

Hampir semua orang pernah berpikir begitu nggak sih? Atau cuma aku dan beberapa orang yang punya pola pikir serupa aja yang pernah mikir begitu? Kamu pernah berpikir begitu nggak?

Selama menghabiskan waktu untuk memikirkan masa depan dan makna kehidupan, aku seringkali berpikir hal-hal yang membuat aku merenung berulang kali. Aku bisa apa sih sebenarnya? Aku terus mempertanyakan skill yang aku miliki.

Setelah mengetahui bagaimana dunia kerja bekerja, aku mulai membuka mata. Ternyata, sainganku bukan orang yang seumuran denganku aja tapi dari semua kalangan mulai dari yang lulusan SMA/SMK sampai yang ada di usia mau pensiun juga ada. Mereka yang melamar pekerjaan di perusahaan yang sama denganku, punya pengalaman yang jauh lebih banyak dari aku. Mereka yang sama-sama mengantri untuk wawancara kerja, jauh lebih jago skill-nya daripada aku. Kalau dibandingkan dari segi kemampuan dan pengalaman, kayaknya mereka ada di langit sedangkan aku ada di dasar laut.

"Masuklah di sekolah kedinasan, nanti lulus jadi PNS, pekerjaannya juga sudah terjamin."

Kamu sering dengar ucapan itu dari orang yang ada di sekitarmu nggak? Aku pernah mendengarnya, sering malah, soalnya orang tuaku penganut paham begituan. Kuliah di PTN, kerja PNS, hidup nyaman dan bahagia.

Akan tetapi, aku yang keras kepala dan sering disebut "idealis" ini memilih untuk tutup telinga. Jiwa bebasku meronta-ronta, aku nggak mau hidupku diatur orang lain termasuk orang tuaku sendiri. 

Salahku sendiri juga sih karena terlalu mementingkan egoku sehingga saat aku ada di dalam kesulitan, aku bingung harus membagi kisah kesulitan itu dengan siapa—ini salah satu alasan aku menulis ini. Aku memilih jalanku sendiri, dari mulai jurusan perkuliahan sampai pekerjaan. Semuanya nekat.

Dulu, aku ingin menjadi seorang dokter, orang tuaku juga mendukung. Apalagi, dalam pandangan mereka, kehidupan seorang dokter itu terjamin, bisa buka praktik di rumah dan jadi kaya. Iya, bisa jadi kaya soalnya modal ilmunya juga mahal. 

Aku sendiri punya alasan karena ingin membantu orang-orang yang sakit mengembalikan kesehatannya, apalagi melihat nenekku yang sering masuk rumah sakit membuat keinginanku semakin kuat untuk menjadi seorang dokter demi menyembuhkan nenekku. Aku bahkan nggak merasa keberatan jika harus "dimutasi" ke pedalaman. Sebab, yang aku cari adalah pengalaman untuk membuka mata dan tahu lebih jauh tentang dunia.

Namun, takdir berkata lain, langit menolak alasan dangkalku itu untuk melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran. Mempertaruhkan hasil SBMPTN untuk program studi kedokteran di tiga universitas yang berbeda, naif banget nggak sih? Ternyata, kemampuan dan persiapanku belum cukup. Tahun berikutnya, aku mencoba lagi belajar mandiri bersamaan dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah dan mengulang SBMPTN, ternyata belum cukup juga.

Kenapa nggak coba daftar kedokteran di universitas swasta? Boro-boro swasta, jalur mandiri PTN aja aku nggak mau, kecuali UGM dan UI (karena nggak ada tagihan uang gedung walaupun dapat UKT golongan tertinggi). Alasannya, aku punya adik yang masih sekolah. Kalau aku mengambil jalur itu, bisa jadi adikku putus pendidikan, nggak bisa lanjut kuliah karena uang pendidikan dipakai olehku buat biaya kuliah kedokteran dan uang gedung. Apalagi, selisih umur kami cuma 4 tahun, sudah pasti aku juga belum bisa mengembalikan modal belajar dalam durasi waktu sesingkat itu.

Sempat juga, aku terpikir untuk banting setir ke keperawatan tapi saat itu aku bimbang dan agak malas juga untuk belajar lagi. Apalagi saat aku mengetahui fakta bahwa sudah diterima di universitas swasta jalur PMDK, rasanya selalu ingin leha-leha. Padahal, jurusan di universitas swasta itu jauh banget dengan rencana karirku. Aku mendaftarkan diri di sastra Jepang, jauh banget kan? Salah satu dosenku aja heran saat mengetahui fakta bahwa aku beloknya kejauhan.

Setelah dipikir-pikir, kenapa aku masuk sastra Jepang ya? Aku sendiri pun nggak tahu alasannya, mungkin takdir aja. Aku jalani aja keseharianku saat menjadi mahasiswi kunang-kunang, kuliah-nangis kuliah-nangis. Iya, pulang-pulang dari perkuliahan aku langsung nangis, alasannya ada dua: tugas yang bejibun dan insecure tentang masa depan yang nggak tahu mau dibawa ke mana arahnya.

Sempat beberapa kali terlintas untuk berhenti menjalaninya tapi lagi-lagi ini adalah pilihanku sendiri. Aku yang memilih jalan ini, maka aku juga yang harus bertanggungjawab atas semua yang terjadi. Berani memulai, maka harus berani pula untuk mengakhiri. Toh dari awal juga aku nggak mau denger nasihat orang tuaku. 

Saat menjalani kesulitan di dunia perkuliahan itu lah, aku mencari cara lain untuk menenangkan diri. Menulis. Blog ini adalah saksinya, betapa seringnya aku berkeluh kesah dan membagikan drama perkuliahan.

Akhirnya, setelah menjalani perkuliahan dengan suka rela walaupun banyak air mata berjatuhan, aku berhasil menyelesaikan pendidikan jenjang strata satu dengan hasil yang memuaskan. Akan tetapi, lagi-lagi aku tetap insecure dengan masa depanku. 

Aku bingung harus bekerja di mana. Kalau hidupku didokumentasikan, mungkin isinya insecure melulu. Namanya juga manusia, selalu ingin memiliki apa yang dia nggak punya.

Beberapa lamaran aku masukkan ke berbagai perusahaan yang bergerak di bidang ketenagakerjaan sumber daya manusia. Aku berniat memulai karirku sebagai seorang guru bahasa Jepang. Ternyata, sulit banget untuk memiliki panggilan ibu guru atau sensei.

Bekerja sebagai seorang interpreter juga sempat terlintas dalam benakku tapi belum juga aku memasukkan lamaran ke perusahaan yang membuka lowongan, nyaliku langsung ciut melihat persyaratannya. Kemampuanku belum sehebat itu untuk menjadi seorang interpreter alias penerjemah lisan. Saat itu pula, aku menyadari skill bahasaku yang kukira sudah cukup untuk dunia kerja ternyata masih jauh dari kata cukup apalagi kata lebih.

Prospek kerja apalagi yang cocok untuk jurusan sastra Jepang? Aku pun banting setir ke dalam dunia kepenulisan, sedikitnya aku terbantu oleh mata kuliah linguistik dan sastra. Saat ini, aku sedang mengerjakan beberapa proyek mandiri ala ala biar kedengaran keren dan nggak dianggap pengangguran. Aku sedang menulis sebuah novel genre fantasi yang niatnya akan aku kirim ke penerbit, juga menulis cerita atau artikel untuk dipublikasikan di blog ini. 

Pilihan ini nggak aku ambil secara gegabah, aku mempertimbangkan minatku dan tujuan hidupku juga: meninggalkan jejak untuk memberikan ilmu yang bermanfaat (walaupun kadang aku masih suka menulis kisah picisan tak bermakna).

Imam Ghozali juga pernah memberi petuah, "Jika kamu bukan anak raja dan anak ulama besar, maka menulislah."

Maka, aku pun menulis. Namun, lagi-lagi, semua itu nggak semulus kelihatannya. Bayanganku tentang pekerjaan impianku, nggak seindah yang dibayangkan. Dengan melihat respon orang-orang di sosial media, orang-orang yang ada di lingkunganku bahkan keluargaku sendiri, aku tidak bisa mendapatkan dukungan penuh untuk menulis. 

Banyak masyarakat yang masih krisis literasi, paling artikel ini juga tidak dibaca sampai habis. Belum lagi, pecinta buku di Indonesia nggak banyak, pangsa pasarku kecil jika berkarir sebagai seorang penulis. Hal ini kembali membuatku ciut, terlebih traffic blog-ku juga masih segini aja. 

Iya, aku sepenuhnya menyadari tulisanku tidak terlalu menarik dan kadang membosankan—bahkan memang membosankan—karena aku juga belum sejago itu dalam menulis dan masih dalam tahap pengembangan kemampuan.

Adsense dari Google pun cuma bisa dipakai jajan bakso dua porsi, padahal aku sudah memasangnya sejak satu tahun yang lalu. Aku semakin insecure melihat pendapatan yang minim dan terus-menerus menumpang hidup dengan orang tua. Belum lagi saingan di luar sana yang lebih paham tentang SEO dan dunia kepenulisan profesional. Insecure-nya makin menggila deh.

Nggak tega sebenarnya membuat orang tua susah karena aku terus-terusan menumpang hidup, tapi aku juga butuh makan. Aku mencoba mencari portal yang bisa menghasilkan uang, ikut bekerja dengan dosen sebagai freelancer jasa transkripsi, tapi semua itu juga datangnya nggak diduga-duga. Kadang rame, kadang sepi, belum lagi penolakan dan revisi. Belajar sana-sini, ikut webinar ini itu, terutama kelas gratis, selalu aku ikuti untuk meningkatkan kualitas tulisanku. Ikut lomba sana sini dan mencoba mengirim tulisan ke berbagai portal berita demi membangun portofolio itu juga sangat melelahkan.

Aku ingin berhenti menulis. 

Namun, hati kecilku seringkali berbisik, tetap terlintas lagi di kepalaku bahwa rejeki sudah diatur dan ada porsinya masing-masing. Hanya saja rejeki itu nggak datang dengan sendirinya, aku tetap harus mengusahakannya. 

Kalau aku berhenti menulis, dari mana rejeki itu akan datang? Apalagi lamaran kerja yang kukirim juga belum ada yang lirik, daripada menganggur menanti kabar yang belum pasti datangnya, bukankah lebih baik kuhabiskan waktu sambil menulis, kan?

Apa salahnya terus-terusan menulis walaupun hanya sedikit saja orang yang membaca—atau bahkan hampir tak ada. 

Tujuanku hanya satu, menjadi orang yang bermanfaat. Setidaknya, dengan menulis aku merasa menjadi manusia yang lebih berguna, walaupun masih sedikit tidak ada gunanya karena penghasilan yang minim nyaris tak ada.

Walaupun ada beberapa faktor yang membuat aku selalu ingin mundur, apalagi setelah membaca keluh kesah para penulis novel yang hanya dapat royalti sedikit belum lagi dipotong pajak penghasilan, rasanya ingin menyudahi rencana karir ini dan bekerja sebagai karyawan biasa. Akan tetapi, aku sadar bahwa setiap pekerjaan atau jurusan atau jalan kehidupan, selalu ada kesulitannya masing-masing yang mungkin tak pernah bisa kita rasakan jika hanya melihatnya dari jauh.

Terkadang, apa yang kau lihat bukanlah apa yang kau rasakan. Di balik kesuksesan pengusaha, ada kesulitan dalam membangun bisnisnya. Di balik gaji karyawan yang tetap, ada kesulitan dalam mengerjakan tugasnya. Begitu pula di balik bebasnya jam kerja freelancer seperti penulis, ada kesulitan menyusun strategi dan menyesuaikan pangsa pasarnya. Semua ada kesulitannya masing-masing, hanya cara kita menghadapi kesulitan-kesulitan yang datang itu lah yang menunjukkan apakah kita pantas untuk menjalani jalan hidup yang kita pilih.

Walaupun keinginan untuk berhenti menulis terus datang di saat-saat terpuruk, aku berharap tulisan ini akan menjadi pemantik semangatku agar tak pernah berhenti menulis. 

Ingatkan aku, tegurlah aku, jika suatu saat aku ingin menyerah atas hidup ini. Aku harus membuktikan kepada kedua orang tuaku atas pembangkangan di masa lalu bahwa aku bisa dan aku bertanggung jawab atas pilihan hidupku walaupun sebagian tulangku sudah remuk karena terbentur goncangan sistem dunia. 

Sepertinya, sudah cukup keluh kesah untuk hari ini. Aku yakin beberapa di antara kamu juga pernah dilanda kekhawatiran terkait masa depan walaupun dengan kategori yang berbeda. 

Semangat lah, jika kau lelah maka istirahatlah sejenak. Jangan pernah berhenti walaupun kau harus merangkak. Semoga kita selalu mendapatkan hal yang terbaik dalam hidup kita.

Sekian tulisan untuk hari ini, selamat berjuang. Semangat perjuangan!

Have a nice day,


Michiko ♡

12 Maret 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 7: Rekam Memori yang Terkenang]

6:31 PM 0 Comments
“Kau harus berhati-hati dengan gadis itu. Aku tidak menggiring opinimu, Jo. Aku hanya ingin membeberkan fakta bahwa… kemarilah.” Nona kim melambaikan tangannya agar Jo mendekat. Kemudian, ia berbisik sepelan mungkin hingga suaranya tak terdengar siapa pun kecuali telinga kiri Jo dan dirinya sendiri. “Aku yakin kau punya kenangan kelam dengan perusahaan itu.”

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 6 - Aroma Bangkai

Bagian 7: Rekam Memori yang Terkenang

Jo berdiri di depan posnya sambil menggenggam ponsel milik Grace yang beberapa kali bergetar. Sejenak ia berpikir jika ia tidak segera mengembalikannya, mungkin Grace akan bertanya mengapa ponsel itu tidak segera kembali ke tuannya. Maka, Jo pun berniat menghampiri Grace untuk mengembalikannya.

Namun, gadis itu rupanya mendengar panggilan hatinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, gadis itu bak sebuah berlian yang bersinar keluar dari dalam etalase kaca, berjalan keluar dari gedung kantor sambil menjinjing tas hitam di tangannya. Wajah gadis itu masih tetap berseri seperti tadi pagi, sama sekali tak menyiratkan wajah kelelahan apalagi setelah tugas lemburnya perlahan mulai dipangkas karena obrolannya dengan Ray di ruang pertemuan.

Jo terpasak di tanah bagai rambu stop yang bersiap menghalangi langkah gadis itu. Lantas ia mengangkat tangannya untuk menyetop Grace. “Grace, kau mau ke mana?”

Grace berhenti melangkah. Ia memandang telapak tangan Jo sejenak kemudian mengerutkan dahi. “Pulang. Pertanyaanmu aneh sekali, Jo.”

“Langsung pulang?” Jo memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. Ia menggenggam ponsel milik Grace di dalam saku celananya.

Grace mengangguk. “Iya, kenapa?”

“Kau merasa melupakan sesuatu tidak?”

“Melupakan sesuatu?” Ucapan Jo bagai panah yang seketika menancap pada lapisan dinding otaknya, saat itu pula lah Grace langsung merogoh tasnya. Tangannya menyingkirkan barang-barang yang mengisi penuh tasnya sambil memeriksa barang yang dibawanya satu per satu. Sebuah barang tak ia temukan dari radar indera perabanya. Wajahnya yang semula berseri berubah serius, matanya membulat hingga menyamarkan sisa-sisa senyuman yang menyembul. “Mana ponselku?”

Grace seketika dilanda kepanikan. Satu barang itu cukup berharga baginya dan ia harus menemukannya hari itu juga. Ia pun segera menepi sambil meraba kantong celana dan blazer abu-abu yang ia kenakan, sedikitnya berharap benda itu ada di sana. Semua kantong yang diraba rata. Tidak ada tanda-tanda kehadiran benda itu. Tanpa ragu, Grace membuang isi tasnya di teras pos satpam.

Barang-barang berserakan seperti obralan barang loak. Kabel USB, bedak padat, beberapa tabung berwarna yang berisi lipstik dan semacamnya, dompet serta perangkat pengisi daya berjatuhan dari dalam tas. Dengan teliti, ia mencari benda yang hilang dari celah benda yang saling bertumpuk. “Ponselku… Jo, bisakah kau menelepon ponselku?”

Jo yang berdiri di dekatnya tidak berbicara sedikit pun sejak gadis itu sibuk mencari ponselnya. Dengan tenang ia berkata, “Berapa nomor ponselmu?”

Grace menyebutkan nomor ponselnya sambil meraba-raba barangnya walaupun sudah jelas ponselnya tak ada di sana. Ponsel hitam berukuran 5,5 inci bergetar di tangan Jo. Jo mengarahkan layar ponsel hitam yang menampilkan tulisan “Jo” di depan wajah Grace. “Ponselmu di sini, Bodoh.”

Grace menyambar ponsel yang ada di genggaman Jo. Ia menggerutu sambil memasukkan kembali benda-benda yang berserakan ke dalam tasnya. “Kenapa kau tidak memberitahuku dari tadi? Aku sudah panik setengah mati.”

Jo tertawa. “Kau tidak bertanya kepadaku sih.”

Grace melirik Jo dengan sinis setelah barang-barang yang semula berjajar tak beraturan di teras pos satpam sudah terbungkus rapi kembali di tasnya. “Kalau kau tidak memberitahuku, mana bisa aku tahu kalau aku kehilangan sesuatu?”

“Tapi akhirnya kau menemukannya, kan?”

Grace menghela napasnya. “Iya, sih. Tapi… kenapa ponselku ada padamu?”

Jo mengerutkan dahi. “Kau lupa? Tadi siang, kau menitipkannya padaku.”

“Oh iya!” Grace menepuk jidatnya. “Tadi aku berniat mengambilnya sepulang kerja, eh, sekarang malah lupa.”

“Dasar pelupa.”

“Tadi aku mau mengambilnya setelah kembali dari ruangan Tuan Ray tapi kau tampak terburu-buru meninggalkan pantri. Ada sesuatu yang mendesak, ya?”

Pertanyaan Grace seperti sebuah petir yang menyambar tubuh Jo. Jo menelan ludah, sebisa mungkin mengukir senyum di wajahnya. “Um… ti, tidak ada. Semuanya aman. Aku hanya… kebelet, iya, kebelet.”

Grace manggut-manggut sambil ber-oh pelan. “Apa ada yang meneleponku?”

Jo mengangguk. “Ada.”

“Dari siapa?”

“Aku, baru saja aku menelepon ponselmu.” Jo menunjuk wajahnya sendiri.

“Kau bercanda?” Grace melipat tangannya di depan dada. Ia menghela napas. “Bukan yang itu, sebelum kau.”

Jo menggaruk pelipisnya, mengerling ke sembarang arah berpura-pura sedang mengingat sesuatu. “Oh, ada, beberapa kali ponselmu bergetar.”

“Oh iya?” Grace menyalakan layar ponselnya, memeriksa daftar riwayat panggilan masuk. Dua belas panggilan tidak terjawab muncul. Wajah Grace berubah serius.

Jo melirik air muka Grace yang berubah hanya dalam hitungan detik. “Ada apa? Itu telepon penting, ya? Panggilan itu masuk saat aku sedang bekerja, jadi tidak sempat aku angkat. Seharusnya tadi aku mengembalikannya segera—”

“Tidak!” Grace menyergah. Ia mengatupkan bibirnya sesaat setelah menyadari ucapannya membuat Jo terkejut. Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Bukan telepon yang amat penting. Tadi ibuku yang menelepon, aku lupa menyimpan nomor teleponnya.”

“Oh iya?” Jo melirik ponsel Grace yang terburu-buru dijejalkan ke dalam saku. “Padahal, tadi ponselmu bergetar berulang kali. Mungkin kebutuhan mendesak, sebaiknya kau telepon balik.”

“Iya, aku akan meneleponnya kembali. Terima kasih, Jo. Uhm… tapi sepertinya aku harus pergi sekarang. Dah!” Grace menyandang tas di bahunya kemudian melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa.

Baru beberapa langkah, Jo meraih tangan Grace sehingga membuat langkah gadis itu terhambat. “Eh, Grace!”

Grace berhenti melangkah. Ia menoleh. “Ada apa, Jo?”

Jo melonggarkan genggaman tangannya pada pergelangan tangan gadis itu. “Kau mau patroli malam bersama lagi?”

“Kapan?” tanya Grace.

“Kalau bisa mulai malam ini.”

Grace melirik ke arah saku blazer-nya. Ia menggigit bibirnya. “Um… Jo, aku akan mengabarimu nanti. Sekarang...,” Grace melirik ke sekitar seolah alasan yang di carinya berada di sekitarnya, “aku baru ingat, aku ada janji.”

“Oh, baiklah.” Jo melepaskan tangan Grace dan membiarkannya untuk melangkah pergi.

Desah kecewa terdengar dari bibirnya. Ia tidak berhasil menghentikan gadis itu. Jo memandang kepergian Grace yang menghilang setelah gadis itu memasuki taksi yang berhenti. Beberapa saat setelah taksi itu pergi, Jo segera berlari ke dalam pos dan menyambar jaket yang tergantung di posnya. Jadwal kerjanya sudah berakhir beberapa jam yang lalu. Akan tetapi, ia rela menanti berjam-jam menunggu Grace keluar dari gedung untuk menghentikan gadis itu. Ia tidak akan membiarkan gadis itu lolos begitu saja. Lantas, Jo melesat bersama motornya menyusul taksi yang membawa Grace pergi.

***

Tidak lebih dari setengah jam Grace menginjakkan kaki di rumahnya, ia melangkah keluar dengan terburu-buru. Ia berjalan beberapa meter dari pintu depan rumah hingga ke gerbang sembari melambaikan tangannya pada setiap taksi yang lewat, tidak peduli apakah taksi itu berisi penumpang atau tidak.

Begitu Grace menumpangi taksi yang berhenti, Jo yang sedari tadi mengawasi beberapa meter dari kediaman Grace langsung memasangkan helm di kepalanya. Ia menancap gas guna mengikuti taksi yang sudah melesat jauh di depannya. Sebisa mungkin, Jo menyusul taksi itu walaupun motornya sudah batuk-batuk saat berusaha mengejar kecepatan laju taksi di depannya.

“Kenapa dia mengebut?” gumam Jo.

Asap knalpot motornya menghitam begitu Jo menambah kecepatan. Dengan gesit ia menyalip mobil-mobil yang mengapit di kanan dan kiri. Klakson berulang kali berbunyi sebagai bentuk protes dari mobil-mobil yang disalipnya. Namun, Jo tidak menggubrisnya, ia tetap melanjutkan aksinya yang ugal-ugalan di jalan.

Motor Jo asma, terlalu keras dipaksa berlari. Mesinnya mati dan rodanya tak berputar lagi. Berulang kali Jo menyalakannya kembali, motor itu menyisakan suara batuk motor tua yang ringkih. Alamat, motornya akan berakhir di bengkel lagi.

“Sial!” Jo memukul motornya saat mesinnya mati total di perempatan jalan. Taksi yang ia incar pun sudah jauh dan hilang dari pengawasan Jo. Ia kehilangan jejak Grace.

Pintu gerbang terbuka begitu Grace tiba dengan taksinya. Bergegas, gadis itu memasuki area gedung yang tampak sudah tutup jam operasinya. Sudah beberapa bulan ia tidak mengunjungi gedung itu, dengan mengenakan blazer hitam yang sering ia gunakan untuk bertemu dengan bosnya, Grace berjalan menuju ruangan yang dijaga oleh dua orang berbadan besar. Otot-otot lencir mereka tampak terbingkai sempurna oleh kemeja ketat yang membalutnya. Sudah lama pula, ia tak mencium bau keringat dan bau pengharum ruangan yang saling berebut tahta.

Ruangan luas menyambut Grace ketika ia membuka pintu. Seorang pria duduk sambil menautkan jari-jarinya di atas meja. Sudah lama Grace tidak melihat wajah itu. Wajahnya tetap sama, hanya saja rambut pria itu tampak lebih panjang dari terakhir kali ia melihatnya. Sisanya tak ada yang berubah, masih tetap Jun yang tak terlihat menyenangkan.

Dua orang pria yang berdiri di sampingnya, entah apa gunanya, kedua pria itu bagai dua patung yang menghias kedua sudut ruangan. Grace masih terbiasa dengan pemandangan itu, dengan percaya diri ia memasuki ruangan, mendekati meja kerja seorang pria yang telah menanti kehadirannya.

Pria itu mengacungkan dua jari ke arah pintu tanpa kata. Namun, kedua pria berbadan besar itu paham apa yang dimaksud oleh Jun, mereka mengangguk paham kemudian pergi meninggalkan Jun dan Grace berdua di dalam ruangan. Deritan pintu terdengar dalam keheningan saat pintu tertutup.

Enggan terbalut kecanggungan dalam hening, Grace mulai berbicara. “Aku belum membawa berita yang kau inginkan.”

“Aku ingin mendengar laporan. Bagaimana progresnya?”

“Kau tidak pernah peduli soal itu, mengapa sekarang bertanya—“

“Katakan saja, bagaimana progresnya?” sela Jun. Ia tak ingin mendengar ucapan Grace yang bertele-tele.

Grace menghela napas. “Aku sudah melakukan survei lokasi.”

“Pendekatan dengan target?” Jun bertanya lagi. Tatapannya pada Grace begitu runcing menusuk bola mata Grace.

Grace menelan ludah. Ragu, ia menjawab, “Empat puluh persen.”

Jawaban itu bukanlah jawaban yang ingin ia dengar. Lantas, Jun menggebrak meja saat mendengar jawaban Grace yang tidak memuaskan telinganya. Murka. “Selama ini apa saja yang kau lakukan? Aku membayarmu bukan untuk bermain-main, Grace!”

Grace terkesiap dengan suara gebrakan meja yang mengejutkannya. “A-aku masih membidik targetnya.”

Jun menekuri meja yang seolah menertawakannya. Rahangnya mengeras, tangannya meremas sembarang kertas yang tergeletak di atas meja, ia benar-benar kesal. “Kapan kau akan menarik pelatuknya?”

“Apakah kau tidak mempercayaiku, Jun?” Grace menatap wajah Jun yang tergurat urat-urat kemarahan yang menyembul dari kening hingga lehernya.

“Waktumu tinggal seminggu. Apa saja yang kau lakukan selama ini? Kau membuang waktumu hanya untuk bersenang-senang dengan satpam itu. Apa aku bisa tenang melihat kenyataan itu?” Jun melangkah mendekati Grace.

Grace mengepalkan tinju. Ia menatap Jun dengan tatapan menyelidik. “Kau mengawasiku?”

Jun kini sudah berada di hadapan Grace. Kedua tangannya terulur menepuk bahu Grace. Kemudian, ia melangkahkan kakinya dengan santai mengitari tubuh Grace yang terpaku. “Aku tidak ingin umpanku yang paling berharga terbuang sia-sia. Kau mengerti, Grace?”

“Apa maksudmu?” Grace mengawasi pergerakan Jun yang mengusap pundaknya dengan meremas belikat hingga membuatnya meringis pelan. “Aku tidak ada kaitannya dengan pria itu.”

Jun menyeringai begitu mendengar ucapan Grace. “Grace, Grace, apa yang kau tahu, huh?” Jun kembali berada di hadapan Grace. Kedua tangannya menepuk bahu Grace seolah membersihkan debu halus tak terlihat di pundaknya. Urat-urat yang tergurat di wajah Jun menjadi samar, air muka Jun begitu tenang. “Kau pikir aku menyelamatkanmu tanpa suatu alasan, Grace?”

Sementara itu, Grace menatap pria yang gelagatnya mencurigakan itu. Perubahan ekspresi yang singkat membuat Grace bergidik ngeri. Ia tahu ada sesuatu yang Jun rencanakan setelah ini, entah menyakitinya atau bahkan lebih dari itu. Perasaan waswas menguasainya, ditepisnya tangan Jun dari pundaknya. “Kau memanfaatkanku, huh?”

“Kita sedang bermitra, Grace!” desis Jun seraya menyambar kedua pipi Grace dengan satu cengkeraman tangan. Ia menyeringai saat menatap wajah Grace dari dekat. Grace berusaha melepaskan tangan Jun dengan menarik pergelangan tangan pria itu tetapi cengkeraman tangan Jun justru bertambah lebih kuat. “Kita seharusnya saling menguntungkan. Kau bebas dari hidupmu yang kelam dan aku bisa menyelamatkan harta keluargaku dari keparat itu. Impas, bukan?”

Grace mengerang saat cengkeraman Jun menjepit rahangnya lebih kuat. Ia menggeretakkan giginya. Ia menatap Jun dengan tatapan yang tajam dengan api yang membara di bola matanya. “Aku tidak ada kaitannya dengan pria itu! Aku juga tak ada kaitannya dengan keluargamu!”

Jun tertawa dengan keras seperti seseorang yang kesetanan, entah apa yang ia tertawakan. Ia mendelik dan mencengkeram rahang Grace semakin kuat sehingga membuat Grace terkesiap dan menepuk tangan kekar pria itu. Jun mendesis, “Apa kau tidak mengingat pelanggan terakhirmu?”

Grace berhenti memberontak. Dalam ruang memorinya, ia mencari berkas-berkas ingatan yang bertumpuk di dalam otaknya. Sebuah pesan singkat yang dikirim oleh Madam, wajah pria yang ada di foto, seorang pria yang muncul di hotel, semuanya terbesit secara singkat dalam rekam memorinya. Lengang sejenak saat Grace berusaha menelusuri jejak masa lalunya kembali.

“Sepertinya kau sudah ingat sekarang, Nona Manis.” Jun menyeringai. Jun mempererat cengkeramannya pada rahang Grace sehingga membuat gadis itu mengerang dan tersadar dari layang pikirnya. “Dengar! Aku mengirimmu ke sana bukan tanpa alasan. Kau adalah umpan yang pasti dilahapnya. Namun, mengapa kau malah menghindar setiap kali ia akan melahap umpannya? Apakah kau sedang bermain-main denganku, Grace? Atau… haruskah aku mematahkan rahangmu saat ini juga?”

Grace mencengkeram pergelangan tangan Jun saat rahangnya terasa seperti diremukkan. Kuku-kukunya menancap pada pergelangan tangan pria itu. Namun, urat-urat yang timbul pada pergelangan tangan pria itu bagai karet elastis yang sama sekali tidak terpengaruh oleh cakaran kukunya. Grace meringis, “Sakit, Jun. Tolong, beri aku waktu.”

Jun mengempaskan wajah Grace dengan kasar. “Waktu? Tidak ada waktu lagi, Grace! Pria tua itu sudah sekarat! Tiga bulan seharusnya cukup untukmu, Grace, tapi kau lebih memilih jalan lambat dengan memanfaatkan satpam yang sama sekali tidak berguna.“

Grace mengusap rahangnya yang terasa ngilu. “Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Baru kali ini kau memberikan pertanyaan bodoh kepadaku, Grace!” Jun benar-benar naik darah, wajahnya merah.

“Haruskah aku membuka masa laluku lagi?” Grace bertanya ragu. Kepalanya benar-benar diselimuti kabut hitam yang membuatnya tak bisa berpikir jernih.

“Jika kau tak ingin mati di tanganku, lakukan tugasmu dengan tepat waktu.” Jun mengusap telapak tangan pada kemeja yang ia kenakan seolah ia baru saja memegang benda kotor yang menjijikan.

***

Malam itu, Grace benar-benar tidak bisa tidur. Rekam memori terus berputar-putar bagai layar yang memutar film kehidupannya berulang-ulang. Getaran ponsel menyadarkan ia dari lamunannya. Sebuah pesan singkat masuk ke kotak pesan.

Kau sudah tidur?

Pesan itu singkat tetapi membuat hatinya justru semakin tidak tenang. Kekacauan ini bersumber dari kesalahannya mengambil strategi yang melibatkan orang ini. Grace tak ingin membalas pesan itu. Ia kembali meletakkan ponselnya. Dengan berbantal lengan, ia kembali menyusuri jejak-jejak masa lalunya yang terbingkai dalam benaknya.

Sepulang berkeliling kota menjajakan sebungkus rokok dengan rok pendek yang membuatnya tidak nyaman, Grace melihat keadaan rumah yang membuatnya tambah tidak nyaman. Seorang pria dengan kaos lusuh dan rambut berantakan tertidur telungkup di atas meja dengan keadaan rumah yang kacau seperti kapal pecah. Bau alkohol merebak di seluruh penjuru ruangan begitu gadis itu memasukinya. Biasanya, gadis itu tak peduli dengan keadaan ini. Namun, kekesalan yang sudah dibawanya sejak siang tadi karena mendapatkan perlakuan kurang ajar dari sopir bus di terminal, membuatnya ingin meledakkan amarah yang menggumpal dalam dadanya.

“Mabuk lagi?” Grace melirik pria itu.

Pria itu mengangkat wajahnya. Ia menatap Grace dengan tatapan sayu dan mata yang merah. “Bukan urusanmu.”

Grace menghela napasnya dalam. Rutinitas itu benar-benar melelahkannya secara fisik dan mental. Ia mengulurkan tangannya dan membopong tubuh pria gempal berusia empat puluh tahunan itu ke kamarnya. “Aku harap kau berhenti mabuk dan berjudi. Aku sudah kehabisan uang.”

Sayup-sayup protes Grace yang terbilang lembut itu bagai ucapan yang memekak telinga dan menyinggung perasaannya. Pria itu mendorong tubuh Grace hingga tubuh kurus yang ringan itu terpental hingga punggung gadis itu terbentur tepi meja. Berdebam tubuh dan meja yang saling bertembung. Grace meringis kesakitan, sudah dipastikan punggungnya akan tersisa luka memar.

“Siapa kau beraninya mengaturku?” bentak pria itu sambil mendelik. “Sejak kau lahir, hidupku selalu sengsara!”

Ucapan itu benar-benar melemparkan Grace pada lubang hitam tak berujung yang membuatnya terbalut dalam kehampaan. Dada Grace terasa sesak, sesal dan amarah mengepul membentuk uap bola raksasa yang menghitam di dalam rongga dadanya. Pandangan Grace kabur, matanya mengembun, tenggorokannya tersekat seperti dicekik realita, sebisa mungkin ia menahan tangisnya. Dengan suara yang bergetar, gadis itu bergumam pelan, “Aku sudah kehabisan uang, Ayah.”

Muak dengan ucapan Grace yang sama sekali tidak mengubah nasibnya, pria itu menarik kerah baju kerja Grace, dicengkeramnya wajah gadis itu dengan tangannya hingga wajah gadis itu melengak. “Makanya, cari uang yang banyak! Kau tidak berguna. Hidup tapi tak bisa menghasilkan banyak uang!”

Kegentaran menyelimuti tubuh kurus gadis itu. Matanya menyorotkan tatapan takut, berharap ada orang yang menyelamatkannya dari situasi itu. “Gajiku belum turun.”

Pria itu mengempaskan wajah Grace dengan kasar membuat kepala Grace sekali lagi terbentur pada tepi kursi. “Persetan dengan gaji belum turun atau apalah itu! Aku hanya peduli jika kau membawa uang yang banyak!”

“Kumohon, Ayah, hentikan kegilaan ini.” Grace tidak kuasa membendung air matanya yang sudah mendesak untuk terjun dari pelupuk matanya. Butiran air meluncur membentuk parit kecil pada pipi gadis itu.

Belum puas memakinya, pria itu lantas menarik kerah Grace lagi dan menampar wajahnya hingga kulit wajah Grace terasa memanas akibat tamparannya. “Kau bilang ayahmu ini gila, hah?”

Grace terisak setelah menyadari kehadirannya tak berarti di mata ayahnya.

Tidak puas menampar gadis itu, pria itu menarik rambut Grace yang dicepol. Gadis itu melengak dan meringis kesakitan. Wajahnya banjir dengan air mata, tangannya meremas pergelangan tangan ayahnya, berharap pria itu akan melepaskan jambakan di rambutnya.

Pria itu mendekat. Wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Grace. “Aku menyesal telah membesarkanmu. Kau yang membuat ibumu meninggal. Kau yang membuat aku sengsara. Semua sumber masalah adalah kau! Kau harus membayar semua penderitaanku!” Pria itu menarik rambut Grace hingga membuat gadis itu berteriak kesakitan. Kemudian, ia melepaskannya dan beranjak pergi entah ke mana.

Berdebam. Pintu terbanting dengan kuat. Grace meratap sendirian, menjatuhkan bulir air mata yang berjatuhan membentuk tempias pada rok yang ia kenakan. Sepanjang malam, hanya sepi yang menemaninya dalam kesendirian.

Menangis semalaman membuat Grace kelelahan. Ia bangun tidak sepagi sebelumnya. Dengan baju kerja yang masih melekat di badannya sejak semalam, ia bangun dari tidurnya. Suara orang bercakap di depan pintu kamarnya terdengar. Suara seorang laki-laki dan perempuan. Rasa penasaran membawa Grace melangkah ke belakang pintu kamarnya, ia mendekatkan telinga di daun pintu.

“Kalau bisa semua penghasilannya kau kirimkan kepadaku saja,” ucap seorang pria yang sangat Grace kenal suaranya. Semalam, suara pria itu meninggi. Namun, sekarang pria itu berbicara dengan tenang.

“Lalu dengan anakmu?” sahut seorang wanita dengan suara yang rendah, suaranya mirip seperti seorang laki-laki. Di lingkungan rumah Grace, wanita itu terkenal dengan sebutan Madam. Namanya sudah mentereng di semua kalangan, mulai dari sopir bus hingga pejabat. Semua gadis muda seumuran Grace, bernaung di bawah agensinya.

“Kau hanya perlu mengurusnya, tunjang saja kebutuhan hidupnya. Dikasih makan seadanya juga tidak apa-apa.”

“Kalau begitu, honornya aku potong sepuluh persen untuk biaya hidupnya.”

Pria itu mengambil sebatang rokok dan menjepit rokok itu di bibirnya. Ia menyulutnya sambil bergumam, “Iya, kau atur saja masalah itu.”

“Sekarang, mana anaknya?”

Pria itu melirik ke arah pintu yang masih tertutup. Ia memanggil Grace dengan nada tinggi, “Grace! Grace!”

Grace terperanjat mendengar suara panggilan itu. Dengan ragu ia membuka pintu dan mengintip. Penampilannya benar-benar berantakan, seragam kerja yang ia kenakan semalam masih melekat di tubuhnya, rambutnya berantakan dan sebagian anak rambutnya yang berdiri belum disisir rapi.

“Kau baru bangun, hah?” bentak pria itu saat melihat penampilan Grace yang lusuh. “Kau tahu, kita sedang kedatangan tamu!”

Madam mengecak pelan. “Sudah, sudah. Kau memarahi anakmu terus.”

“Kau lihat sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa tahan membesarkan anak dengan kelakuan seperti ini.”

Madam menyeringai. Sesekali, ia melirik ke arah Grace yang berdiri di dekat dinding. Wanita gemuk itu menyelidiki postur tubuh Grace, ia memandang penampilan Grace dari ujung kaki ke ujung kepala. “Wah, biarpun begitu, dengan melihat penampilan yang seperti ini, para pejabat pasti mau.”

Mendengar kata pejabat, mata pria itu membelalak seolah kata pejabat adalah kotak harta karun berisi tumpukan uang. “Berapa yang bisa dia hasilkan?”

Madam berdecak kagum. Ia tersenyum. “Yang pasti, dia akan mendapat tawaran mahal.”

“Ayah, apa maksudnya?” Grace mendelik saat mendengar ucapan Madam.

Pria itu tersenyum lebar. Ia tak mengindahkan pertanyaan Grace. Kehadiran gadis itu antara ada dan tiada baginya. Rokok yang terjepit di bibirnya ia letakkan. Kemudian, pria itu mengulurkan tangannya. “Wah, kalau begitu, bawa saja dia sekarang. Kau bisa mengabariku kapan pun.”

Madam menyambut tangan pria itu. Sambil tersenyum, ia menjabatnya. “Iya, itu bisa diatur.”

Grace terkejut dengan ucapan ayahnya. “Ayah, kau menjualku? Aku tidak mau!”

Madam tidak berurusan dengan keretakan hubungan keluarga antara ayah dan anak itu. Ia keluar dari rumah kecil itu dan kembali dengan dua orang pria berbadan besar. Kedua pria itu menyeret tubuh Grace dengan paksa. Grace memberontak, tidak ingin pergi apalagi dijual ke orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Namun, apalah daya wanita bertubuh kurus itu jika dibandingkan dengan dua pria berbadan besar yang tengah menyeretnya dan memaksa gadis itu masuk ke dalam mobil.

Ingatan awal penderitaan itu berakhir di sana. Grace memejamkan matanya sambil menghela napas dalam. Ia membalik badan dan tidur terlentang. Ia ingin mengakhiri ingatan pahit ketika hidup selama enam tahun bersama Madam. Setelah mengakhiri kenangan itu, sekelebat ingatan lain memburunya. Rekam memori itu terulang dalam benaknya.

Di sebuah hotel berbintang, Grace berdiri di balkon lantai tiga puluh. Silir angin berbisik dan menyelisik anak rambut Grace yang terurai. Dengan berbalut rompi handuk, Grace memandang bangunan-bangunan kecil sejauh mata memandang sambil meneguk segelas anggur merah. Ia berulang kali menjulurkan kepalanya guna melirik ke bawah gedung. Adrenalin terpacu dan jantungnya berdebar kencang. Sebuah bayangan terlintas, jika ia melompat dari sana, kemungkinan semua penderitaan itu akan lenyap bersamanya.

Namun, suara bel kamar yang berbunyi menghentikan pikirannya yang sedang jauh mengembara. Ia meletakkan segelas anggur merah di atas meja, berjalan ke arah pintu dan membukanya.

“Tuan Ray?” Grace ragu menyapa.

Seorang pria dengan mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata hitam menutupi wajahnya berdiri di depan pintu. Ia menerobos masuk tanpa mengindahkan sapaan Grace. Ia melewati Grace lalu mematikan televisi. Pria itu duduk di tepi kasur.

“Apa yang kau butuhkan, Tuan?” Dengan cekatan, Grace menghampiri pria itu. Ia duduk di belakang pria itu dan kedua tangannya dengan lembut memegang pundak pria itu. “Apakah kau butuh kupijat?”

Pria itu menoleh sambil melepaskan kacamata hitamnya. Ia melirik Grace yang sebisa mungkin menahan senyum ramahnya. “Aku bukan Ray.”

Grace melepaskan kedua tangannya dari pundak pria itu. Ia beringsut mundur dan menatap pria itu waswas. Kedua tangan Grace terlipat menutup dadanya. Tatapan Grace tajam menyelidik.

Pria di depannya itu memiliki karakter wajah yang sama dengan foto pria bernama Ray yang dikirimkan oleh Madam. Rahangnya tajam membingkai wajahnya yang kotak, cambang halus di dekat telinganya sama persis bentuknya, bibir atas yang tipis dan bibir bawah yang setengah penuh. Di foto, Ray memiliki lesung pipit tetapi pria ini tak tersenyum sama sekali sejak ia datang sehingga Grace kesulitan mengidentifikasi wajah pelanggannya. Nyaris tak ada perbedaan antara keduanya jika pria itu tidak membuka kacamatanya. Hanya satu hal yang berbeda, pria itu memiliki mata yang lebih kecil dan cekung ke dalam serta alis yang menukik. 

“Siapa kau?” tanya Grace.

“Aku pelanggan yang menyela. Apakah Madam tidak memberitahumu?”

“Oh?” Grace kikuk. Ia meraih ponsel yang terletak di nakas. Ia baca sebuah pesan masuk dari Madam. Pria itu bernama Jun, seorang pria yang menyela antrian demi mendapatkan Grace. Grace gelagapan, “Oh, maafkan aku, Tuan… Jun. Aku salah menyapamu. Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan itu?”

Pria itu membalik badan. Kini, ia duduk di samping Grace. “Kau mau bekerja denganku?”

Grace heran. Belum pernah dia mendapatkan tawaran kerja saat sedang melayani seorang pelanggan. “Maksudnya?”

Pria itu melirik Grace dengan rompi handuk yang membalut tubuhnya sembari melindungi tubuhnya dengan kedua tangan. “Kelihatannya kau tidak nyaman melakukan pekerjaan ini.”

Grace tersenyum kikuk. “Ah, tidak… maksudku, ini memang pekerjaanku. Aku harus melakukannya.”

“Mau pekerjaan yang lebih baik? Aku bisa membayarmu sepuluh kali lipat dari ini.”

Grace tidak tertarik dengan penawaran itu. Sebab, uang bukanlah tujuannya. Lagipula, ia juga sudah tidak peduli dengan nasib ayahnya setelah mereka terpisah. Grace yakin tawaran pria itu tidak akan jauh dari pelayanan sebagai budak pemuas nafsunya. Ia menunduk, menyembunyikan air muka yang menyiratkan kesedihannya selama ini. “Maaf, tuan, tapi aku…”

“Aku tidak akan menyuruhmu melakukan hal yang seperti ini.”

Grace mengangkat wajahnya. Dalam waktu sekejap, tawaran pria itu terdengar menarik untuknya.

“Kau hanya perlu melakukan pekerjaanmu sesuai kontrak. Kau tertarik?”

Sejak saat itu, Grace menemukan sebuah titik terang dalam kegelapan yang selama ini mengungkung hidupnya. Badai yang kian menghitam mulai menunjukkan bias pelangi yang membelah awan hitam. Sejak saat itu pula, Grace tidak lagi bekerja sebagai seorang wanita penghibur.

Ingatan masa lalunya itu membawanya pada ekor perjalanan hidupnya. Lambat laun seiring berjalannya waktu, Grace semakin didera penderitaan yang semakin mendalam. Ia mungkin bisa bebas dari kehidupan yang dipenuhi oleh hasrat yang sebenarnya tak ia inginkan, tapi ia tidak bisa terlepas dari jeratan kehidupan hitam yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Grace memejamkan mata saat itu pula ia tak sadar di ujung pelupuk matanya mengalir embun yang membentuk sungai kecil di wajahnya. Mungkin ini adalah tugas terakhirnya.

— B E R S A M B U N G —

Baca keseluruhan kisah Reverse (Klik di sini)

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 7: Rekam Memori yang Terkenang]

Ditulis oleh: Michiko