Insecure Melanda, Aku Ingin Berhenti Menulis |
Boleh dibilang, saat ini aku hampir menyerah dari dunia kepenulisan.
Kenapa ya?
Alasannya, sebenarnya sepele. UANG.
Kenapa ya?
Alasannya, sebenarnya sepele. UANG.
Nggak sepele juga sih, soalnya kita selalu butuh uang untuk bertahan hidup. Akan tetapi, kalau sampai berhenti menulis karena uang, menurutmu itu terlalu berlebihan nggak sih? Hahahaha.
Aku yang baru lulus dari pendidikan akademik jenjang perkuliahan merasa insecure banget saat melihat teman-temanku gencar mencari lowongan pekerjaan. Beberapa bulan belakangan, aku juga sama, ikut cari lowongan pekerjaan seperti yang lainnya. Sempat juga dipanggil interview oleh salah satu perusahaan tapi alur hidupku berkata aku cuma bisa sampai tahap itu. Aku nggak lolos tahap wawancara.
Setelah menerima notifikasi penolakan, overthinking melanda. Kebiasaan buruk yang selalu muncul setiap aku sedang terpuruk ini membuat aku berpikir: "Aku hidup di dunia ini kayaknya cuma jadi beban keluarga ya?" Padahal baru satu perusahaan yang menolak, gimana kalau ditolak terus-terusan oleh banyak perusahaan ya? Jadi kopong kali ini otak.
Hampir semua orang pernah berpikir begitu nggak sih? Atau cuma aku dan beberapa orang yang punya pola pikir serupa aja yang pernah mikir begitu? Kamu pernah berpikir begitu nggak?
Selama menghabiskan waktu untuk memikirkan masa depan dan makna kehidupan, aku seringkali berpikir hal-hal yang membuat aku merenung berulang kali. Aku bisa apa sih sebenarnya? Aku terus mempertanyakan skill yang aku miliki.
Setelah mengetahui bagaimana dunia kerja bekerja, aku mulai membuka mata. Ternyata, sainganku bukan orang yang seumuran denganku aja tapi dari semua kalangan mulai dari yang lulusan SMA/SMK sampai yang ada di usia mau pensiun juga ada. Mereka yang melamar pekerjaan di perusahaan yang sama denganku, punya pengalaman yang jauh lebih banyak dari aku. Mereka yang sama-sama mengantri untuk wawancara kerja, jauh lebih jago skill-nya daripada aku. Kalau dibandingkan dari segi kemampuan dan pengalaman, kayaknya mereka ada di langit sedangkan aku ada di dasar laut.
"Masuklah di sekolah kedinasan, nanti lulus jadi PNS, pekerjaannya juga sudah terjamin."
Kamu sering dengar ucapan itu dari orang yang ada di sekitarmu nggak? Aku pernah mendengarnya, sering malah, soalnya orang tuaku penganut paham begituan. Kuliah di PTN, kerja PNS, hidup nyaman dan bahagia.
Akan tetapi, aku yang keras kepala dan sering disebut "idealis" ini memilih untuk tutup telinga. Jiwa bebasku meronta-ronta, aku nggak mau hidupku diatur orang lain termasuk orang tuaku sendiri.
Aku yang baru lulus dari pendidikan akademik jenjang perkuliahan merasa insecure banget saat melihat teman-temanku gencar mencari lowongan pekerjaan. Beberapa bulan belakangan, aku juga sama, ikut cari lowongan pekerjaan seperti yang lainnya. Sempat juga dipanggil interview oleh salah satu perusahaan tapi alur hidupku berkata aku cuma bisa sampai tahap itu. Aku nggak lolos tahap wawancara.
Setelah menerima notifikasi penolakan, overthinking melanda. Kebiasaan buruk yang selalu muncul setiap aku sedang terpuruk ini membuat aku berpikir: "Aku hidup di dunia ini kayaknya cuma jadi beban keluarga ya?" Padahal baru satu perusahaan yang menolak, gimana kalau ditolak terus-terusan oleh banyak perusahaan ya? Jadi kopong kali ini otak.
Hampir semua orang pernah berpikir begitu nggak sih? Atau cuma aku dan beberapa orang yang punya pola pikir serupa aja yang pernah mikir begitu? Kamu pernah berpikir begitu nggak?
Selama menghabiskan waktu untuk memikirkan masa depan dan makna kehidupan, aku seringkali berpikir hal-hal yang membuat aku merenung berulang kali. Aku bisa apa sih sebenarnya? Aku terus mempertanyakan skill yang aku miliki.
Setelah mengetahui bagaimana dunia kerja bekerja, aku mulai membuka mata. Ternyata, sainganku bukan orang yang seumuran denganku aja tapi dari semua kalangan mulai dari yang lulusan SMA/SMK sampai yang ada di usia mau pensiun juga ada. Mereka yang melamar pekerjaan di perusahaan yang sama denganku, punya pengalaman yang jauh lebih banyak dari aku. Mereka yang sama-sama mengantri untuk wawancara kerja, jauh lebih jago skill-nya daripada aku. Kalau dibandingkan dari segi kemampuan dan pengalaman, kayaknya mereka ada di langit sedangkan aku ada di dasar laut.
"Masuklah di sekolah kedinasan, nanti lulus jadi PNS, pekerjaannya juga sudah terjamin."
Kamu sering dengar ucapan itu dari orang yang ada di sekitarmu nggak? Aku pernah mendengarnya, sering malah, soalnya orang tuaku penganut paham begituan. Kuliah di PTN, kerja PNS, hidup nyaman dan bahagia.
Akan tetapi, aku yang keras kepala dan sering disebut "idealis" ini memilih untuk tutup telinga. Jiwa bebasku meronta-ronta, aku nggak mau hidupku diatur orang lain termasuk orang tuaku sendiri.
Salahku sendiri juga sih karena terlalu mementingkan egoku sehingga saat aku ada di dalam kesulitan, aku bingung harus membagi kisah kesulitan itu dengan siapa—ini salah satu alasan aku menulis ini. Aku memilih jalanku sendiri, dari mulai jurusan perkuliahan sampai pekerjaan. Semuanya nekat.
Dulu, aku ingin menjadi seorang dokter, orang tuaku juga mendukung. Apalagi, dalam pandangan mereka, kehidupan seorang dokter itu terjamin, bisa buka praktik di rumah dan jadi kaya. Iya, bisa jadi kaya soalnya modal ilmunya juga mahal.
Dulu, aku ingin menjadi seorang dokter, orang tuaku juga mendukung. Apalagi, dalam pandangan mereka, kehidupan seorang dokter itu terjamin, bisa buka praktik di rumah dan jadi kaya. Iya, bisa jadi kaya soalnya modal ilmunya juga mahal.
Aku sendiri punya alasan karena ingin membantu orang-orang yang sakit mengembalikan kesehatannya, apalagi melihat nenekku yang sering masuk rumah sakit membuat keinginanku semakin kuat untuk menjadi seorang dokter demi menyembuhkan nenekku. Aku bahkan nggak merasa keberatan jika harus "dimutasi" ke pedalaman. Sebab, yang aku cari adalah pengalaman untuk membuka mata dan tahu lebih jauh tentang dunia.
Namun, takdir berkata lain, langit menolak alasan dangkalku itu untuk melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran. Mempertaruhkan hasil SBMPTN untuk program studi kedokteran di tiga universitas yang berbeda, naif banget nggak sih? Ternyata, kemampuan dan persiapanku belum cukup. Tahun berikutnya, aku mencoba lagi belajar mandiri bersamaan dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah dan mengulang SBMPTN, ternyata belum cukup juga.
Kenapa nggak coba daftar kedokteran di universitas swasta? Boro-boro swasta, jalur mandiri PTN aja aku nggak mau, kecuali UGM dan UI (karena nggak ada tagihan uang gedung walaupun dapat UKT golongan tertinggi). Alasannya, aku punya adik yang masih sekolah. Kalau aku mengambil jalur itu, bisa jadi adikku putus pendidikan, nggak bisa lanjut kuliah karena uang pendidikan dipakai olehku buat biaya kuliah kedokteran dan uang gedung. Apalagi, selisih umur kami cuma 4 tahun, sudah pasti aku juga belum bisa mengembalikan modal belajar dalam durasi waktu sesingkat itu.
Sempat juga, aku terpikir untuk banting setir ke keperawatan tapi saat itu aku bimbang dan agak malas juga untuk belajar lagi. Apalagi saat aku mengetahui fakta bahwa sudah diterima di universitas swasta jalur PMDK, rasanya selalu ingin leha-leha. Padahal, jurusan di universitas swasta itu jauh banget dengan rencana karirku. Aku mendaftarkan diri di sastra Jepang, jauh banget kan? Salah satu dosenku aja heran saat mengetahui fakta bahwa aku beloknya kejauhan.
Setelah dipikir-pikir, kenapa aku masuk sastra Jepang ya? Aku sendiri pun nggak tahu alasannya, mungkin takdir aja. Aku jalani aja keseharianku saat menjadi mahasiswi kunang-kunang, kuliah-nangis kuliah-nangis. Iya, pulang-pulang dari perkuliahan aku langsung nangis, alasannya ada dua: tugas yang bejibun dan insecure tentang masa depan yang nggak tahu mau dibawa ke mana arahnya.
Sempat beberapa kali terlintas untuk berhenti menjalaninya tapi lagi-lagi ini adalah pilihanku sendiri. Aku yang memilih jalan ini, maka aku juga yang harus bertanggungjawab atas semua yang terjadi. Berani memulai, maka harus berani pula untuk mengakhiri. Toh dari awal juga aku nggak mau denger nasihat orang tuaku.
Namun, takdir berkata lain, langit menolak alasan dangkalku itu untuk melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran. Mempertaruhkan hasil SBMPTN untuk program studi kedokteran di tiga universitas yang berbeda, naif banget nggak sih? Ternyata, kemampuan dan persiapanku belum cukup. Tahun berikutnya, aku mencoba lagi belajar mandiri bersamaan dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah dan mengulang SBMPTN, ternyata belum cukup juga.
Kenapa nggak coba daftar kedokteran di universitas swasta? Boro-boro swasta, jalur mandiri PTN aja aku nggak mau, kecuali UGM dan UI (karena nggak ada tagihan uang gedung walaupun dapat UKT golongan tertinggi). Alasannya, aku punya adik yang masih sekolah. Kalau aku mengambil jalur itu, bisa jadi adikku putus pendidikan, nggak bisa lanjut kuliah karena uang pendidikan dipakai olehku buat biaya kuliah kedokteran dan uang gedung. Apalagi, selisih umur kami cuma 4 tahun, sudah pasti aku juga belum bisa mengembalikan modal belajar dalam durasi waktu sesingkat itu.
Sempat juga, aku terpikir untuk banting setir ke keperawatan tapi saat itu aku bimbang dan agak malas juga untuk belajar lagi. Apalagi saat aku mengetahui fakta bahwa sudah diterima di universitas swasta jalur PMDK, rasanya selalu ingin leha-leha. Padahal, jurusan di universitas swasta itu jauh banget dengan rencana karirku. Aku mendaftarkan diri di sastra Jepang, jauh banget kan? Salah satu dosenku aja heran saat mengetahui fakta bahwa aku beloknya kejauhan.
Setelah dipikir-pikir, kenapa aku masuk sastra Jepang ya? Aku sendiri pun nggak tahu alasannya, mungkin takdir aja. Aku jalani aja keseharianku saat menjadi mahasiswi kunang-kunang, kuliah-nangis kuliah-nangis. Iya, pulang-pulang dari perkuliahan aku langsung nangis, alasannya ada dua: tugas yang bejibun dan insecure tentang masa depan yang nggak tahu mau dibawa ke mana arahnya.
Sempat beberapa kali terlintas untuk berhenti menjalaninya tapi lagi-lagi ini adalah pilihanku sendiri. Aku yang memilih jalan ini, maka aku juga yang harus bertanggungjawab atas semua yang terjadi. Berani memulai, maka harus berani pula untuk mengakhiri. Toh dari awal juga aku nggak mau denger nasihat orang tuaku.
Saat menjalani kesulitan di dunia perkuliahan itu lah, aku mencari cara lain untuk menenangkan diri. Menulis. Blog ini adalah saksinya, betapa seringnya aku berkeluh kesah dan membagikan drama perkuliahan.
Akhirnya, setelah menjalani perkuliahan dengan suka rela walaupun banyak air mata berjatuhan, aku berhasil menyelesaikan pendidikan jenjang strata satu dengan hasil yang memuaskan. Akan tetapi, lagi-lagi aku tetap insecure dengan masa depanku.
Akhirnya, setelah menjalani perkuliahan dengan suka rela walaupun banyak air mata berjatuhan, aku berhasil menyelesaikan pendidikan jenjang strata satu dengan hasil yang memuaskan. Akan tetapi, lagi-lagi aku tetap insecure dengan masa depanku.
Aku bingung harus bekerja di mana. Kalau hidupku didokumentasikan, mungkin isinya insecure melulu. Namanya juga manusia, selalu ingin memiliki apa yang dia nggak punya.
Beberapa lamaran aku masukkan ke berbagai perusahaan yang bergerak di bidang ketenagakerjaan sumber daya manusia. Aku berniat memulai karirku sebagai seorang guru bahasa Jepang. Ternyata, sulit banget untuk memiliki panggilan ibu guru atau sensei.
Bekerja sebagai seorang interpreter juga sempat terlintas dalam benakku tapi belum juga aku memasukkan lamaran ke perusahaan yang membuka lowongan, nyaliku langsung ciut melihat persyaratannya. Kemampuanku belum sehebat itu untuk menjadi seorang interpreter alias penerjemah lisan. Saat itu pula, aku menyadari skill bahasaku yang kukira sudah cukup untuk dunia kerja ternyata masih jauh dari kata cukup apalagi kata lebih.
Prospek kerja apalagi yang cocok untuk jurusan sastra Jepang? Aku pun banting setir ke dalam dunia kepenulisan, sedikitnya aku terbantu oleh mata kuliah linguistik dan sastra. Saat ini, aku sedang mengerjakan beberapa proyek mandiri ala ala biar kedengaran keren dan nggak dianggap pengangguran. Aku sedang menulis sebuah novel genre fantasi yang niatnya akan aku kirim ke penerbit, juga menulis cerita atau artikel untuk dipublikasikan di blog ini.
Beberapa lamaran aku masukkan ke berbagai perusahaan yang bergerak di bidang ketenagakerjaan sumber daya manusia. Aku berniat memulai karirku sebagai seorang guru bahasa Jepang. Ternyata, sulit banget untuk memiliki panggilan ibu guru atau sensei.
Bekerja sebagai seorang interpreter juga sempat terlintas dalam benakku tapi belum juga aku memasukkan lamaran ke perusahaan yang membuka lowongan, nyaliku langsung ciut melihat persyaratannya. Kemampuanku belum sehebat itu untuk menjadi seorang interpreter alias penerjemah lisan. Saat itu pula, aku menyadari skill bahasaku yang kukira sudah cukup untuk dunia kerja ternyata masih jauh dari kata cukup apalagi kata lebih.
Prospek kerja apalagi yang cocok untuk jurusan sastra Jepang? Aku pun banting setir ke dalam dunia kepenulisan, sedikitnya aku terbantu oleh mata kuliah linguistik dan sastra. Saat ini, aku sedang mengerjakan beberapa proyek mandiri ala ala biar kedengaran keren dan nggak dianggap pengangguran. Aku sedang menulis sebuah novel genre fantasi yang niatnya akan aku kirim ke penerbit, juga menulis cerita atau artikel untuk dipublikasikan di blog ini.
Pilihan ini nggak aku ambil secara gegabah, aku mempertimbangkan minatku dan tujuan hidupku juga: meninggalkan jejak untuk memberikan ilmu yang bermanfaat (walaupun kadang aku masih suka menulis kisah picisan tak bermakna).
Imam Ghozali juga pernah memberi petuah, "Jika kamu bukan anak raja dan anak ulama besar, maka menulislah."
Maka, aku pun menulis. Namun, lagi-lagi, semua itu nggak semulus kelihatannya. Bayanganku tentang pekerjaan impianku, nggak seindah yang dibayangkan. Dengan melihat respon orang-orang di sosial media, orang-orang yang ada di lingkunganku bahkan keluargaku sendiri, aku tidak bisa mendapatkan dukungan penuh untuk menulis.
Imam Ghozali juga pernah memberi petuah, "Jika kamu bukan anak raja dan anak ulama besar, maka menulislah."
Maka, aku pun menulis. Namun, lagi-lagi, semua itu nggak semulus kelihatannya. Bayanganku tentang pekerjaan impianku, nggak seindah yang dibayangkan. Dengan melihat respon orang-orang di sosial media, orang-orang yang ada di lingkunganku bahkan keluargaku sendiri, aku tidak bisa mendapatkan dukungan penuh untuk menulis.
Banyak masyarakat yang masih krisis literasi, paling artikel ini juga tidak dibaca sampai habis. Belum lagi, pecinta buku di Indonesia nggak banyak, pangsa pasarku kecil jika berkarir sebagai seorang penulis. Hal ini kembali membuatku ciut, terlebih traffic blog-ku juga masih segini aja.
Iya, aku sepenuhnya menyadari tulisanku tidak terlalu menarik dan kadang membosankan—bahkan memang membosankan—karena aku juga belum sejago itu dalam menulis dan masih dalam tahap pengembangan kemampuan.
Adsense dari Google pun cuma bisa dipakai jajan bakso dua porsi, padahal aku sudah memasangnya sejak satu tahun yang lalu. Aku semakin insecure melihat pendapatan yang minim dan terus-menerus menumpang hidup dengan orang tua. Belum lagi saingan di luar sana yang lebih paham tentang SEO dan dunia kepenulisan profesional. Insecure-nya makin menggila deh.
Nggak tega sebenarnya membuat orang tua susah karena aku terus-terusan menumpang hidup, tapi aku juga butuh makan. Aku mencoba mencari portal yang bisa menghasilkan uang, ikut bekerja dengan dosen sebagai freelancer jasa transkripsi, tapi semua itu juga datangnya nggak diduga-duga. Kadang rame, kadang sepi, belum lagi penolakan dan revisi. Belajar sana-sini, ikut webinar ini itu, terutama kelas gratis, selalu aku ikuti untuk meningkatkan kualitas tulisanku. Ikut lomba sana sini dan mencoba mengirim tulisan ke berbagai portal berita demi membangun portofolio itu juga sangat melelahkan.
Aku ingin berhenti menulis.
Nggak tega sebenarnya membuat orang tua susah karena aku terus-terusan menumpang hidup, tapi aku juga butuh makan. Aku mencoba mencari portal yang bisa menghasilkan uang, ikut bekerja dengan dosen sebagai freelancer jasa transkripsi, tapi semua itu juga datangnya nggak diduga-duga. Kadang rame, kadang sepi, belum lagi penolakan dan revisi. Belajar sana-sini, ikut webinar ini itu, terutama kelas gratis, selalu aku ikuti untuk meningkatkan kualitas tulisanku. Ikut lomba sana sini dan mencoba mengirim tulisan ke berbagai portal berita demi membangun portofolio itu juga sangat melelahkan.
Aku ingin berhenti menulis.
Namun, hati kecilku seringkali berbisik, tetap terlintas lagi di kepalaku bahwa rejeki sudah diatur dan ada porsinya masing-masing. Hanya saja rejeki itu nggak datang dengan sendirinya, aku tetap harus mengusahakannya.
Kalau aku berhenti menulis, dari mana rejeki itu akan datang? Apalagi lamaran kerja yang kukirim juga belum ada yang lirik, daripada menganggur menanti kabar yang belum pasti datangnya, bukankah lebih baik kuhabiskan waktu sambil menulis, kan?
Apa salahnya terus-terusan menulis walaupun hanya sedikit saja orang yang membaca—atau bahkan hampir tak ada.
Apa salahnya terus-terusan menulis walaupun hanya sedikit saja orang yang membaca—atau bahkan hampir tak ada.
Tujuanku hanya satu, menjadi orang yang bermanfaat. Setidaknya, dengan menulis aku merasa menjadi manusia yang lebih berguna, walaupun masih sedikit tidak ada gunanya karena penghasilan yang minim nyaris tak ada.
Walaupun ada beberapa faktor yang membuat aku selalu ingin mundur, apalagi setelah membaca keluh kesah para penulis novel yang hanya dapat royalti sedikit belum lagi dipotong pajak penghasilan, rasanya ingin menyudahi rencana karir ini dan bekerja sebagai karyawan biasa. Akan tetapi, aku sadar bahwa setiap pekerjaan atau jurusan atau jalan kehidupan, selalu ada kesulitannya masing-masing yang mungkin tak pernah bisa kita rasakan jika hanya melihatnya dari jauh.
Terkadang, apa yang kau lihat bukanlah apa yang kau rasakan. Di balik kesuksesan pengusaha, ada kesulitan dalam membangun bisnisnya. Di balik gaji karyawan yang tetap, ada kesulitan dalam mengerjakan tugasnya. Begitu pula di balik bebasnya jam kerja freelancer seperti penulis, ada kesulitan menyusun strategi dan menyesuaikan pangsa pasarnya. Semua ada kesulitannya masing-masing, hanya cara kita menghadapi kesulitan-kesulitan yang datang itu lah yang menunjukkan apakah kita pantas untuk menjalani jalan hidup yang kita pilih.
Walaupun keinginan untuk berhenti menulis terus datang di saat-saat terpuruk, aku berharap tulisan ini akan menjadi pemantik semangatku agar tak pernah berhenti menulis.
Walaupun ada beberapa faktor yang membuat aku selalu ingin mundur, apalagi setelah membaca keluh kesah para penulis novel yang hanya dapat royalti sedikit belum lagi dipotong pajak penghasilan, rasanya ingin menyudahi rencana karir ini dan bekerja sebagai karyawan biasa. Akan tetapi, aku sadar bahwa setiap pekerjaan atau jurusan atau jalan kehidupan, selalu ada kesulitannya masing-masing yang mungkin tak pernah bisa kita rasakan jika hanya melihatnya dari jauh.
Terkadang, apa yang kau lihat bukanlah apa yang kau rasakan. Di balik kesuksesan pengusaha, ada kesulitan dalam membangun bisnisnya. Di balik gaji karyawan yang tetap, ada kesulitan dalam mengerjakan tugasnya. Begitu pula di balik bebasnya jam kerja freelancer seperti penulis, ada kesulitan menyusun strategi dan menyesuaikan pangsa pasarnya. Semua ada kesulitannya masing-masing, hanya cara kita menghadapi kesulitan-kesulitan yang datang itu lah yang menunjukkan apakah kita pantas untuk menjalani jalan hidup yang kita pilih.
Walaupun keinginan untuk berhenti menulis terus datang di saat-saat terpuruk, aku berharap tulisan ini akan menjadi pemantik semangatku agar tak pernah berhenti menulis.
Ingatkan aku, tegurlah aku, jika suatu saat aku ingin menyerah atas hidup ini. Aku harus membuktikan kepada kedua orang tuaku atas pembangkangan di masa lalu bahwa aku bisa dan aku bertanggung jawab atas pilihan hidupku walaupun sebagian tulangku sudah remuk karena terbentur goncangan sistem dunia.
Sepertinya, sudah cukup keluh kesah untuk hari ini. Aku yakin beberapa di antara kamu juga pernah dilanda kekhawatiran terkait masa depan walaupun dengan kategori yang berbeda.
Semangat lah, jika kau lelah maka istirahatlah sejenak. Jangan pernah berhenti walaupun kau harus merangkak. Semoga kita selalu mendapatkan hal yang terbaik dalam hidup kita.
Sekian tulisan untuk hari ini, selamat berjuang. Semangat perjuangan!
Have a nice day,
Michiko ♡
Semangat selalu sayang, aku ibumu selalu mendukung mu ....
BalasHapus