31 Oktober 2019

Uluran Tangan Tak Berwujud

12:31 AM 0 Comments
Bosan. Aku duduk manis di atas jok angkutan umum antarkota yang posisinya terletak di bagian paling belakang. Di sisi kananku terdapat jendela lebar yang terpampang membatasi pandanganku akan dunia luar yang sedang sibuk berputar. Mataku terpaku pada kendaraan yang melintas berlawanan arah dengan pemandangan bangunan-bangunan yang bergerak melintas sekilas pada penglihatanku. Sinar matahari menyorot lurus ke arah mataku menembus kaca film yang melapisi kaca jendela angkutan umum antarkota ini, cahayanya tidak begitu terik sebab waktu sudah memasuki sore hari ketika aku melirik ke arah jam tangan analog yang melekat pada pergelangan tanganku. Hari ini, aku tidak terburu-buru untuk kembali pada rutinitasku yang membosankan karena saat ini aku sedang membutuhkan suasana atau pengalaman baru yang mungkin dapat aku pelajari hikmah dan manfaatnya—daripada hanya sekadar duduk di kursi sambil mendengarkan cerita-cerita dosen yang terkadang ngalor ngidul tidak berarah jauh melenceng dari topik pembahasan mata kuliah. 

Sesekali aku menyandarkan punggungku ke belakang sambil menghela napas. Barangkali aku bisa mempercepat laju bis dengan embusan napasku seperti embusan asap knalpot pada bus ini agar aku cepat sampai di tujuan tapi semua itu mustahil, hanya imajinasiku saja. Sesekali pula aku menyandarkan kepalaku ke samping kanan sehingga pelipisku menyentuh kaca jendela bus yang bergetar karena pergerakan mesin. Getarannya mengocok isi kepalaku seperti segelas susu kocok, kepalaku pusing dan membuatku terasa mual. Aku kembali menegakkan kepalaku yang bersandar pada kaca jendela agar tidak menyentuhnya lagi.  

Aku tidak bisa berselonjor saat kakiku terasa pegal atau ketika pinggangku butuh sedikit peregangan agar tidak terasa kaku karena aku tidak memiliki banyak ruang gerak—di sisi kiriku terdapat tiga orang laki-laki yang duduk berdampingan dan kami berempat duduk saling berhimpitan. Jika boleh aku menebak umur mereka, mungkin laki-laki di sebelahku ini sudah memiliki seorang cucu sebab di ujung kelopak matanya terdapat kerutan yang menandakan bahwa sepertinya beliau beberapa tahun lebih tua dari ayahku. Bapak tua ini memeluk tas besar berwarna biru tua yang beliau letakkan di atas pangkuannya. Di sebelah kiri bapak tua itu, duduk seorang laki-laki muda mungkin seumuranku atau ia sedikit lebih tua dariku. Pemuda itu memiliki perawakan jangkung dan kaki yang jenjang sebab bisa kulihat kakinya menapak cukup jauh jika dibandingkan orang-orang di sekitarnya. Ia memeluk tas ransel hitam yang ia letakkan di atas pangkuannya. Sedangkan pria di sebelah kiri pemuda itu, aku tidak dapat melihatnya dengan jelas karena terhalang perawakan dua laki-laki yang aku sebutkan sebelumnya. Di depanku, dua orang wanita paruh baya duduk bersebelahan, terdiam memperhatikan jalanan di luar jendela angkutan—atau mungkin tertidur pulas. Kemudian, pada sebuah jok yang terletak di dekat pintu yang terbuka lebar, seorang laki-laki berkumis—mungkin seumuran dengan ayahku—duduk sambil mencondongkan badannya ke depan dan menundukkan kepala memperhatikan aspal yang bergerak mundur ketika bus ini melaju. Dua buah jok lebar yang terletak di belakang sopir terisi penuh dengan dua orang yang duduk pada masing-masing jok, begitu pula jok yang letaknya di samping sopir juga terisi penuh oleh dua orang yang duduk berhimpitan. Angkutan umum ini sudah penuh tetapi tetap saja sopir bus selalu berhenti ketika ada calon penumpang yang memberhentikannya di tepi jalan sehingga beberapa penumpang yang baru saja menaiki bus harus berdiri dengan kedua kakinya di sepanjang perjalanan. Hal itu membuat suasana di dalam angkutan umum ini semakin sesak.

Tidak ada yang menarik dari sebuah angkutan yang sesak. Aku masih tetap merasa bosan walaupun angkutan umum ini ramai dan sesak. Tidak ada seseorang pun yang dapat aku ajak untuk berbicara—sebenarnya aku terlalu malu untuk membuka percakapan—aku sibuk dengan pemikiranku sendiri yang tidak berarah. Mataku mulai terasa berat karena diriku yang dibalut rasa bosan. Mulutku terbuka lebar menghisap udara segar yang ada di sekitarku sebanyak-banyaknya, aku menguap—entah karena mengantuk atau bosan, bisa jadi keduanya. Sopir kembali menginjak rem dan membuat aku tersungkur dan wajahku hampir membentur sandaran jok depan yang tepat berada di depan wajahku. Beruntung, tanganku lebih gesit untuk menahan tubuhku sebelum kepalaku membentur sandaran jok di depanku. Ada calon penumpang yang hendak menumpang pada angkutan umum ini. Angkutan yang semula kupikir sangat sesak dan tidak dapat diisi penumpang lagi, rupanya masih menyisakan ruang untuk calon penumpang itu. Mungkin ada beberapa penumpang yang turun sebelumnya karena angkutan yang semula sesak ini mulai terasa lebih longgar. Barangkali begitu tetapi aku tidak menyadarinya karena terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri.

Biasanya, aku tidak peduli pada calon penumpang yang akan menumpang pada angkutan umum ini. Tetapi, dua orang calon penumpang yang akan menumpang ini menarik perhatianku karena angkutan umum ini berhenti cukup lama sehingga mataku terpaku ke arah pintu masuk.

Seorang laki-laki muda, sepertinya seumuranku, menaiki tangga angkutan lalu mencari posisi yang tepat untuk berdiri. Ia berdiri mengisi celah antara jok kanan di depanku dan jok kiri yang terletak di dekat pintu. Ia menggendong tas ransel hitam yang terdapat tulisan nama sebuah yayasan di dekat resleting tasnya. Pemuda itu mengenakan jaket berwarna cokelat yang kelihatan agak kebesaran sehingga lengan jaketnya menjuntai ke bawah menutupi tangannya. Satu lagi pemuda laki-laki yang mengenakan jaket abu-abu berusaha menaiki tangga angkutan ini menyusul di belakangnya. Kedua tangan pemuda berjaket abu-abu itu berpegangan pada kedua sisi pintu, ia berusaha mendorong badannya untuk menaiki tangga angkutan agar bisa masuk. Bisa aku dengar percakapan kecil mereka.

"Tolong bantu pegang ini," ucap pemuda berjaket abu-abu.

Awalnya, aku tidak paham apa maksudnya meminta bantuan untuk memegang "sesuatu". Namun akhirnya, aku paham apa yang ia maksud saat mendapati pemuda berjaket abu-abu itu menyodorkan sebuah tongkat kruk kepada pemuda berjaket cokelat. Rupanya, salah satu kaki pemuda berjaket abu-abu itu tidak dapat berfungsi dengan baik. Pemuda berjaket cokelat itu menerima tongkat kruk dan memegangnya dengan tangan kanannya. Ia menoleh ke kanan lalu kembali melirik kawannya dengan cepat, ia terlihat kebingungan, sepertinya ia ingin membantu pemuda berjaket abu-abu untuk menaiki tangga namun sulit.

Aku heran. Mengapa ia harus kebingungan? Lagipula dia hanya perlu mengulurkan tangan kirinnya dan memegang tongkat kruk dengan tangan kanannya.

Setelah itu, pemuda berjaket cokelat itu menyelipkan bantalan ketiak tongkat kruk di ketiak kirinya lalu mencondongkan badannya ke depan sambil mengulurkan tangan kanannya untuk membantu pemuda berjaket abu-abu masuk ke dalam angkutan. Satu lagi yang mengejutkan, aku baru saja mengetahui jika pemuda berjaket cokelat itu rupanya hanya memiliki satu tangan saat aku melihat ia mengempit tongkat kruk di ketiaknya. Kain lengan jaket cokelat yang menjuntai itu terlihat amat tipis seperti tak berisi di bagian bawahnya, amat berbeda saat kutelusuri ke bagian atas dekat bahu masih terlihat tebal berisi karena bahu dan lengan atasnya. Sebelumnya, aku mengira jika lengan jaketnya yang kebesaran itu hanya menutupi kedua tangannya.

Angkutan umum ini kembali melaju. Aku fokus memperhatikan dua orang penumpang yang baru saja menaiki angkutan ini. Pemuda berjaket cokelat itu bertumpu dengan kedua kakinya sambil tangan kanannya memegang pipa besi yang tergantung di atas langit-langit angkutan, sedangkan pemuda berjaket abu-abu itu duduk di dekat pintu sambil memegangi tongkat kruk miliknya. Perhatianku terpaku pada pemuda berjaket cokelat yang sedang berdiri sambil bergelantungan pada pipa besi, badannya terayun-ayun setiap angkutan ini berbelok ke kanan dan ke kiri sebab ia hanya mengerahkan seluruh beban tubuhnya pada satu tangannya.

Saat angkutan berhenti untuk menurunkan penumpang, tubuh pemuda berjaket cokelat itu terayun ke depan hampir tersungkur. Beruntung, tangannya mencengkeram pipa besi dengan kuat sehingga ia tidak terjungkal setiap kali sang sopir menginjak rem. Seorang penumpang turun dari angkutan, meninggalkan sebuah tempat duduk, aku pikir pemuda itu akan menduduki tempat duduk yang kosong itu karena keadaannya yang tidak memungkinkan untuk tetap berdiri sepanjang perjalanan. Ternyata, dugaanku salah. Ia justru mempersilakan seorang laki-laki yang mungkin berumur empat puluh tahun untuk menduduki tempat duduk yang kosong tersebut.

"Mas saja yang duduk," tolak bapak tersebut dengan halus. Sepertinya bapak itu tahu kalau pemuda berjaket cokelat itu lebih membutuhkan kursi itu daripada dirinya.

Pemuda berjaket cokelat itu tersenyum sambil melangkah ke samping kiri dan melekatkan punggungnya pada jok di sebelah kirinya untuk memberi jalan kepada bapak itu. "Tujuan saya dekat kok, sebentar lagi juga sampai. Silakan bapak duduk saja."

Akhirnya, bapak itu pun mengalah dan berjalan melewati celah yang diberikan oleh pemuda berjaket cokelat itu kemudian menduduki kursi kosong yang baru saja disediakan untuknya. Pemuda berjaket cokelat itu kembali pada posisi semula.

Beberapa menit kemudian, jarak yang ditempuh angkutan ini sudah cukup jauh. Aku kembali terheran. Pemuda berjaket cokelat ini tidak kunjung turun padahal tadi ia berkata kalau tujuannya sudah dekat. Aku pikir, mungkin sebentar lagi. Namun, aku kembali terheran lagi saat bapak yang dipersilakan untuk duduk olehnya turun dari angkutan lebih dulu daripada ia. Aku kembali berdebat dengan pemikiranku sendiri. Mungkin pemuda ini mengutamakan orang yang lebih tua sehingga ia mempersilakan tempat duduk untuk bapak yang tadi.

Tempat duduk kembali kosong. Bukankah seharusnya  pemuda itu bisa duduk tanpa ragu? Sebab para penumpang yang berdiri hanya beberapa dan jauh terlihat lebih muda daripada ia. Namun, pemuda itu tidak melakukannya. Ia menoleh sejenak memperhatikan keadaan sekitarnya. Ada sekitar tiga orang yang tidak duduk, salah satunya adalah seorang mahasiswi yang menyandarkan kepalanya pada sandaran jok di depannya sebagai tumpuan kepalanya. Ia terlihat lemas dan agak pucat, mungkin ia mabuk perjalanan. Pemuda berjaket cokelat itu memberikan tempat duduk kosong itu kepada mahasiswi tersebut. Mahasiswi itu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih dengan sebuah anggukan kepala menyapa pemuda itu. Ia melewati pemuda itu lalu duduk di tempat yang baru saja pemuda itu berikan.

Beberapa menit berlalu, jarak yang ditempuh pun semakin jauh. Pemuda berjaket cokelat itu menurunkan tas ransel hitam dari punggungnya. Ia cukup kesulitan saat menopang ransel itu agar tidak membentur orang lain dan tidak pula terhempas ke bawah atau menggelinding ke arah pintu keluar. Tidak hanya itu, ia lebih kesulitan lagi untuk menahan keseimbangan tubuhnya saat ia sedang membuka resleting tas untuk mengambil sesuatu di dalamnya. Angkutan tetap melaju dan membuat pemuda itu harus menahan tubuhnya hanya dengan topangan kedua kakinya yang terbuka selebar bahu. Setelah selesai dengan urusannya, pemuda itu kembali meraih pipa besi di atas kepalanya dan membiarkan tasnya tergeletak di bawah sana.

Beberapa waktu berlalu, angkutan pun berhenti. Pemuda berjaket cokelat itu melangkahkan kaki menuju pintu keluar sambil menyeret tas yang tergeletak di depan kakinya. Aku pikir, ia akan meninggalkan temannya—pemuda berjaket abu-abu—lalu membiarkan temannya turun dari angkutan sendirian. Dugaanku lagi-lagi salah. Pemuda berjaket cokelat itu meletakkan tasnya di atas tanah lalu kembali mendekati pintu angkutan. Ia mengambil tongkat kruk dari tangan temannya lalu membungkuk untuk meletakkannya di atas permukaan trotoar. Ia kembali berdiri tegak lalu mengulurkan tangannya untuk membantu pemuda berjaket abu-abu berdiri.

Pemuda berjaket abu-abu itu memegang tangannya lalu mengerahkan beban tubuhnya dengan berpegangan pada tangan temannya. Ketika ia sudah berdiri, tangan kanan pemuda berjaket cokelat melingkar pada pinggangnya lalu mengangkat tubuhnya tanpa keraguan sedikitpun sampai ia menapakkan kakinya di atas tanah. Pemuda berjaket cokelat pun meraih tongkat kruk yang tergeletak di tanah lalu memberikannya kepada pemiliknya.

Wow.

Aku benar-benar tak mampu berucap sepatah kata pun.

Pemuda itu melakukan hal yang terbaik yang mampu ia lakukan untuk orang lain. Walaupun dirinya sendiri memiliki kekurangan fisik, tetapi ia memiliki kelebihan nurani yang amat besar.

Aku kembali termenung. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri sambil menatap ke arah dua telapak tanganku yang menengadah. Aku mempunyai dua tangan dan sepuluh jari yang masih utuh, apa yang sudah aku lakukan untuk membantu orang lain dengan kedua tanganku ini? Jika pemuda itu mampu membantu banyak orang dengan satu tangan saja, mengapa aku belum melakukan apa pun untuk orang lain?


Illustration by Nadhira Shafa


Jika seseorang yang hanya memiliki satu tangan saja dapat membantu orang lain, bagaimana dengan kita yang mempunyai dua tangan yang masih utuh? Pasti bisa membantu orang lain lebih banyak lagi, bukan?

Sudahkah kau membantu orang lain hari ini?

27 Oktober 2019

Kesempatan Kedua

8:24 AM 0 Comments

Malam ini dengan cepat aku merebahkan tubuhku di atas hamparan balok empuk berisi kapuk. Kelopak mataku melekat satu sama lain ketika aku melepaskan segala penat. Dapat aku akui, hari ini aku cukup kelelahan karena kegiatan yang aku lakukan. Bagaimana tidak? Aku mondar-mandir seharian hanya untuk mengejar orang-orang yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Jika aku tidak punya tanggung jawab dalam organisasi ini, mungkin aku tidak akan sudi untuk melakukannya. Terlebih lagi, para petinggi itu mana peduli dengan waktu dan tenagaku yang terkuras hanya untuk menunggu waktu senggang mereka. Buang-buang waktu saja. Cih.

Aku menghela napas dalam dan mengeluarkan segala penat beriringan dengan embusan napasku. Mataku kembali terbuka, kudapati langit-langit kamarku yang agak menyilaukan karena pantulan cahaya lampu. Lelah. Aku hanya ingin mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Namun, kacau. Semua itu batal begitu saja ketika notifikasi handphone-ku berbunyi berulang kali dengan getaran yang menggelitik kulit pahaku. Aku merogoh saku dan mengambil benda yang berulang kali mengacaukan rencanaku di malam yang menenangkan ini. Aku menatap layar handphone yang tidak kalah menyilaukan daripada lampu yang tergantung di atas langit-langit kamarku. 

Sial. 

Apa lagi ini?

Pengacau.

Batinku tiba-tiba kelut-melut. Beban apalagi yang harus aku pikul selain mengejar orang-orang yang sibuk sendiri? Haruskah ditambah dengan si pengacau satu ini? Sial.

Mual. Seperti ada sesuatu yang berenang-renang di dalam perutku ketika aku membaca kata-kata yang terpaut satu sama lain membentuk kalimat menjijikan yang sama sekali tidak pernah ingin aku baca. 



Jari-jariku bergerak dengan gesit untuk membalasnya. Singkat, padat, dan menyakitkan. Hanya dua kata saja tetapi maknanya penuh dengan kemarahanku yang membuncah. Punya rencana apa lagi si bodoh ini?

Apakah dia sadar apa yang baru saja dia kirimkan kepadaku? Apa dia tidak ingat apa saja yang pernah dia lakukan sehingga aku membalas pesannya dengan ucapan seperti itu?

Aku masih ingat dengan jelas, bahkan masih bisa aku rasakan jemarinya yang mengunci kedua pergelangan tanganku. Genggaman tangannya begitu erat sehingga membuat kulit pergelangan tanganku memerah karena tekanan kuat yang ia berikan. Tubuhnya amat dekat mungkin hanya berjarak beberapa sentimeter saja dariku. Wajahnya pun amat dekat dengan wajahku bahkan hidung kami hampir bersentuhan dengan kulit wajahku sebab dapat aku rasakan napasnya menerpa wajahku. Ia berusaha mendaratkan bibirnya di atas kulit wajahku, entah di mana tetapi aku yakin tujuan utamanya adalah bibirku. 

"Apa maumu?" bentakku sambil menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri menghindari tatapannya. 

"Hanya sebuah ciuman saja."

"Tidak mau!" Aku berteriak di hadapan wajahnya sambil menggerakkan kedua tanganku berusaha melepaskan genggaman tangannya yang mencengkeram tanganku begitu kuat. Seberapa besar pun usahaku untuk melepaskan cengkeraman tangannya, aku tetap tidak dapat melawan kekuatannya yang lebih besar. Ibarat hewan, mungkin aku hanya seekor ayam yang melawan seekor musang.

Tangannya bergerak cepat memegang kedua pipiku lalu menarik wajahku mendekat ke arah wajahnya. Bibirnya mendarat tepat di atas bibirku. Kami berciuman—lebih tepatnya ia menciumku—beberapa detik. Ciuman itu terlepas ketika kedua tanganku yang bebas mendorong tubuhnya sampai ia terpental mundur dan menjauh dariku. Tanganku berayun tanpa keraguan dan telapak tanganku mendarat keras tepat di atas pipinya. Suara benturan kulit cukup keras menggema di telingaku, pasti sakit sebab aku juga merasakan panas pada telapak tanganku. Ia memegang pipi kirinya sambil meringis. Aku mengeraskan rahangku, berusaha menahan amarah dan tangisan. Mataku menatap ke arahnya dengan penuh amarah. Pandanganku kabur karena terhalang air mata yang terbendung di pelupuk mataku. Dapat aku rasakan wajahku mulai memanas, merah padam. Tanganku mengepal seakan aku sedang menggenggam kuat kemarahanku. Belum puas dengan satu tamparan, rasanya ingin aku menghantam wajahnya dengan kepalan tangan untuk melepaskan kemarahanku tetapi aku urungkan dengan satu tarikan napas yang amat dalam. 

Butiran air mata jatuh di pelupuk mataku sesaat setelah aku menghela napas panjang. Aku melangkah pergi meninggalkan dia tanpa sepatah kata pun setelah menamparnya dengan keras. Aku tidak merasa bersalah telah menampar seorang "pacar" karena melindungi diriku sendiri. Baru menjalin hubungan selama empat bulan saja, ia berusaha melecehkan harga diriku di tempat sepi seperti itu. Walaupun setelah kejadian itu, kami masih tetap melanjutkan hubungan kami. Aku memaafkannya karena ia mengaku salah dan khilaf. Itulah awal kebodohan yang aku lakukan, seharusnya saat itu aku putus kontak saja sekalian dan memblokir dirinya dari kehidupanku.

Walaupun hubungan kami tetap berlanjut, aku merasa ada yang berbeda setelah kejadian itu. Hubungan kami semakin lama semakin hambar. Sebelumnya, ia selalu berpamitan jika akan melakukan sesuatu agar aku tidak perlu mencarinya ketika ia menghilang. Dia juga jarang menanggapi candaanku atau pertanyaanku dan aku harus menunggu beberapa jam untuk mendapatkan balasan pesan darinya. Suatu hari, kami pernah berencana untuk pergi jalan-jalan sekadar keliling kota atau menonton film tetapi mendadak ia membatalkan rencana itu secara sepihak. Tentu saja aku tidak bisa memaksanya, mungkin ada urusan yang lebih penting ketimbang jalan-jalan. Aku maklum.

Beberapa hari, aku jarang bertemu dengannya atau bahkan sekadar melihatnya—padahal seharusnya kami bisa berpapasan walaupun hanya di tempat parkir. Beberapa pesan aku kirimkan kepadanya untuk menanyakan keadaannya tetapi dia selalu menjawab seadanya dan tidak mudah bagiku memahami balasan pesannya yang amat singkat. 

"Di, aku mau tanya," ucap Kamila membuka percakapan.

Aku melirik ke arah Kamila yang berada di sisi kiriku. "Ada apa?"

"Kamu sudah putus belum sih?" Kamila bertanya dengan nada pelan, seperti ragu.

Aku mengangkat bahu. Entah apa yang harus aku katakan kepadanya, sebab aku pun tak yakin dengan status hubunganku saat ini. Mau menjawab belum putus pun, sepertinya tidak juga. Aku merasa seperti tidak memiliki tanggungan untuk mencintai seseorang—bahkan aku tidak merasa dicintai.

"Kemarin aku lihat dia jalan dengan Sela," ucapnya.

"Oh...." Aku mengangguk. Jawabanku santai, tidak terkejut sama sekali bahkan tidak sedih sekali pun.

"Gila. Oh doang?" Kamila memastikan. Jelas, ia pasti terkejut melihat reaksiku.

Aku mengangkat bahuku sekali lagi, tanda tidak peduli. "Ya biarkan saja, tunggu dia mengaku sendiri."

Aku tidak terkejut setelah mengetahui informasi dari Kamila walaupun aku baru mendengarnya pertama kali. Mungkin rasa ini telah hilang dan logika mulai berkembang. Aku tidak lagi mencarinya atau bahkan menanyakan kabar pun hanya sesekali saja sebagai formalitas belaka. Sampai pada akhirnya, aku menerima sebuah pesan perpisahan dengan kata-kata yang amat manis tetapi penuh kepalsuan. 

Dila, sepertinya aku dan kamu sudah tidak cocok lagi. Kita sudah berbeda, pemikiran kita tidak lagi sama. Mungkin ini saatnya bagi kita untuk mengakhiri kisah kita. Jangan lupakan kenangan kita selama ini ya, I love you.
Pecundang. Bahkan untuk mengakhiri hubungan pun ia tidak mau bertemu langsung denganku. Kenangan apa yang dia maksud? Kenangan buruk mungkin. Empat bulan dia berusaha merayuku dan dua bulan ia menghilang karena mencari "sesuatu" yang tidak bisa ia dapatkan dariku. Bahkan empat hari setelah aku menerima pesan itu, ia sudah menunjukkan kemesraan dengan pacar barunya seolah aku hanya angin lalu. Halah, "I love you" tahi ayam.

Setelah itu, aku tak peduli lagi dengannya. Urusan hidupnya bukan lagi urusanku—bahkan tidak akan pernah menjadi urusanku. Bertahun-tahun kami tidak pernah berbicara, paling hanya sekadar sapa yang terpaksa. Lagipula, aku sangat amat jauh lebih baik ketika tidak melihatnya. Bukan tersakiti, bukan. Hanya saja, ada semacam rasa ingin meludahi. 

Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat untuk membuyarkan ingatanku yang sama sekali tak ingin kuingat kembali.
Sekarang, ia kembali dengan kedok silaturahmi. Memang ini semua salahku. Mengapa aku harus menanggapi si pengganggu yang satu ini? Aku pikir dengan memaafkan masa lalu akan membuat hidupku lebih tenang dan lepas dari dosa dengki. Rupanya, salah besar. Masa lalu itu justru menghantui dan berusaha untuk menginvasi kehidupan baruku. Brengsek. 

Setelah kau hancurkan hatiku di masa lalu, untuk apa kau kembali setelah aku merasa sangat sangat sangat jauh lebih baik tanpamu? Mengorek luka lama atau menanam luka baru? Atau mungkin hanya ingin mempermainkanku dan membuatku bertekuk lutut padamu? Bajingan.

Aku menghela napasku dalam mencoba menenangkan pikiranku yang mulai semrawut. Setiap kali aku mencoba mengembuskan napas, decakan keluar dari mulutku menggantikan ketenangan menjadi sebuah kekesalan yang harus aku telan sendirian. Suasana hatiku semakin tidak stabil dan membuatku benar-benar kesal. Aku melempar handphone-ku ke atas kasur sejauh mungkin dari tubuhku tanpa ragu sedikit pun. Biar saja handphone-ku terbentur atau rusak, toh aku tak memedulikannya. Hariku hancur. Malam tenangku hancur. Suasana hatiku hancur. Hancurkan saja semuanya, tak perlu tanggung-tanggung. 


Orang bilang, kembali menjalin hubungan dengan mantan itu seperti membaca buku dua kali: akan tetap berakhir dengan cerita yang sama.
Orang bilang, kembali menjalin hubungan dengan mantan itu akan membantumu belajar dari kesalahan yang telah lalu.

Orang bilang, jika kau menjalin hubungan dengan orang yang baru maka kau harus memulainya dari awal.

Persetan dengan mantan. Aku tidak akan pernah memberikan kesempatan kedua pada mantan yang meninggalkan jejak kotor pada alur cerita hidupku. 

Aku kembali melirik handphone-ku yang tergeletak dengan posisi menelungkup di atas kasurku. Aku raih kembali handphone-ku. Layar percakapan masih terbuka, ada beberapa pesan yang belum terbaca di sana. Masih dari orang yang sama. Aku tidak penasaran dengan isi pesan yang ia kirimkan, bagiku tidak penting. Tanpa melirik isi pesan yang ia kirim sama sekali, aku menyentuh layar handphone-ku. Tuntas sudah urusanku. Aku tersenyum puas dan genggaman tanganku melonggar sehingga membuat handphone-ku terjun bebas dari genggaman tangan menuju ke atas kasur lalu memantul ke arah lain dengan jarak beberapa sentimeter dari titik benturannya. 

Childish? Tidak. Aku hanya tidak ingin membiarkan seseorang yang memberikan dampak buruk bagi kehidupanku menginvasi lembaran baru dalam kehidupanku.

Hey, kau mau maaf dariku? Tentu saja akan aku berikan.

Hey, apakah kau meminta kesempatan kedua dariku?
Ha ha ha. Jangan harap. Kau tahu, aku adalah Adila dan sekarang aku sudah berada di lain hati.

23 Oktober 2019

Rest In Peace, Sulli

3:27 PM 0 Comments
Pada tanggal 14 Oktober 2019, dunia hiburan Korea berduka atas kepergian Choi Jinri atau yang dikenal sebagai Sulli mantan personil girlband F(x). Diduga Sulli mengakhiri hidupnya, diketahui ia telah lama mengidap depresi dan mungkin semakin memburuk karena banyak sekali hate comments yang ia terima.

Hari ini aku hanya akan menuliskan opiniku terkait kasus ini, it's pure about social life. Aku akan membahas tentang bagaimana jari-jari manusia ataupun ucapan manusia dapat membunuh seseorang.

Lidah lebih tajam daripada pedang.
Kita semua tahu, teknologi berkembang pesat dan mempengaruhi kehidupan seluruh kalangan masyarakat di dunia. Teknologi dan internet tidak hanya menjangkau dan menghubungkan satu negara saja, bahkan internet dan teknologi dapat menghubungkan seluruh dunia. Salah satu teknologi informasi yang berkembang dan dikenal seluruh kalangan masyarakat adalah sosial media. Hampir seluruh masyarakat dari berbagai kalangan umur menggunakannya, dari mulai anak kecil seumuran SD sampai orang dewasa pun mungkin menggunakannya. Hal ini memang bagus kaitannya dengan perkembangan zaman karena dapat dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat. Tetapi apakah hal ini selalu memiliki dampak yang bagus bagi masyarakat?

Perkembangan teknologi dan informasi mungkin bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan jika penggunanya adalah orang yang cerdas dan bijak dalam penggunaan sosial media. Tetapi hal itu justru akan merugikan apabila tidak digunakan dengan bijak.

Sebagai contoh, satu orang bisa jadi ia memiliki satu akun sosial media atau lebih, bahkan ada yang merahasiakan profil penggunanya alias akun bodong. Karena profil penggunanya yang tidak dapat dilihat, ia jadi seenaknya mengkritik orang lain dan berkomentar pada postingan orang lain bahkan sampai menuliskan kata-kata yang tidak pantas pada postingan seseorang.

Lalu apa hubungannya antara komentar dan kematian seseorang?

Mari kita ambil satu contoh dari kasus kematian mendiang Sulli.
Ketika Sulli keluar dari grupnya, netizen berkata, "Ia egois, tidak memikirkan nasib personil yang lain."
Ketika Sulli berpacaran dengan seseorang yang lebih tua, netizen berkata, "Dia berpacaran dengan om?"
Ketika Sulli tidak memakai bra karena alasan kenyamanan, netizen berkata, "Dia cari perhatian."
Ketika Sulli dikabarkan meninggal, netizen berkata, "Mati sia-sia."

Begitu jahatnya komentar yang dilontarkan oleh ratusan bahkan ribuan pengguna sosial media padahal mereka sama sekali tidak mengetahui alur kehidupan orang yang mereka komentari atau bahkan mereka pun tak pernah berkenalan atau bertatap muka secara langsung.
Apakah sejahat itu ketikan seseorang?
Apakah kalian dapat memikirkan perasaannya ketika orang lain asal saja menilai kehidupan orang lain padahal mereka tak mengetahui apa pun alasan di balik itu semua?
Apakah seseorang harus selalu tampil sempurna di hadapan orang lain tanpa cacat sedikit pun?

Kalian boleh mengkritik seseorang tetapi gunakanlah kata-kata yang membangun, bukan dengan kata-kata yang menjatuhkan atau cenderung menyudutkan seseorang.

Kalian mungkin pernah mendengar sebuah pepatah "Lidah lebih tajam daripada pedang". Maksud dari lidah ini adalah perkataan atau ucapan yang disampaikan kepada orang lain ini amat tajam seperti pedang. Jika kita asal berkomentar dan melontarkan ucapan menyakitkan kepada orang lain tanpa berpikir, kita dapat membunuh seseorang: entah itu membunuh karakternya atau benar-benar membunuh orang tersebut.

Korea Reomit pernah berkata dalam sebuah video, "Jika seseorang bunuh diri karena hate comments, apa itu masih bisa disebut bunuh diri?"

Terlepas dari artis atau bukan, kita semua manusia yang mempunyai hati dan pikiran. Stop bullying, stop hate comments. Berbijaksanalah dalam berkomentar, spread love not hate.


Rest in peace, Choi Jinri.

1 Oktober 2019

Kawan Lama

2:30 PM 1 Comments
Siapa kawan lama yang kau rindukan?
Apa kau masih berkomunikasi dengan mereka?
Atau... mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing sampai melupakanmu?

Waktu terus berjalan mengikis segala cerita. Kisahku dan kawan-kawan lama berakhir begitu saja. Selepas berpisah, kami semua berpencar. Ada yang kuliah di jurusan teknik, pendidikan, kedokteran, teknologi, dan ilmu yang lainnya. Ada pula yang membanting tulang untuk mandiri dalam menjalani kehidupan atau mungkin memang tuntutan hidup yang mengharuskan. Bahkan mungkin, ada pula yang telah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta.

Kawan apa yang sedang kau lakukan sekarang?
Kawan, apakah kau merindukanku?
Ataukah kau masih mengingatku? Atau justru melupakanku?

Malam itu, aku termenung di atas tempat tidurku. Tidur berbantal lengan dengan mata yang terbuka menatap ke arah dinding polos yang hapa seperti hidupku kala ini tanpa dirimu, Kawan. Pikiranku melayang mengingat kala itu aku masih bisa tertawa bersamamu. Semakin lama tawa itu semakin jauh dan samar kemudian menghilang. Guratan wajahmu masih kuingat. Lengkungan senyumanmu masih dapat kubayangkan. Matamu yang melengkung bak bulan sabit ketika kau tersenyum pun masih dapat kukagumi walau aku hanya melihatmu dalam anganku. Ingatkah kau pada masa-masa itu wahai kawan? Atau... itu hanyalah fase kehidupanmu yang tidak begitu berarti hingga saat ini kau tinggalkan? 

Saat ini, telepon genggam sudah menjadi primadona di seluruh kalangan umat manusia. Semua yang memilikinya bahkan tidak bisa hidup tanpanya. Namun, mengapa sampai saat ini namamu tidak pernah muncul pada notifikasiku? Padahal aku tahu, kau tidak pernah meniggalkan telepon genggammu dalam jangka waktu yang lama. Bahkan kini, yang dapat kulihat hanyalah potongan namamu yang tertulis pada sebuah kotak pesandengan tanda centang berwarna biru. Pesan itu sudah beberapa hari--atau bahkan beberapa bulan yang lalu belum kau balas sampai saat ini.

Ingatkah kau pada masa-masa itu wahai kawan? Kala itu kau sering bertanya apakah aku sampai di rumah dengan selamat. Kau juga sering bertanya apakah tugas sudah aku selesaikan. Kau juga selalu bertanya, "Lagi apa? Sibuk gak? Aku kesepian."

Rupanya, semua keadaan itu berbalik. Kini, kau tak pernah tahu bagaimana kehidupanku dan apa saja yang telah kulalui tanpa dirimu. Kini, aku yang sering bertanya-tanya di dalam benakku, "Lagi apa di sana? ? Apa tidak rindu kepadaku? Sibuk ya? Aku sedang kesepian tapi aku tak bisa mengganggu waktumu. Kamu terlalu sibuk."


Kehidupanku dan kehidupamu saat ini amat berbeda. Aku sibuk dengan kehidupanku dan kamu sibuk dengan kehidupan barumu. Aku paham, bahwa setiap manusia memiliki waktunya tersendiri. Tetapi... bisakah kau luangkan sedikit waktumu agar kita dapat mengenang kisah kehidupan masa lalu yang pernah kita lalui bersama? Mari kita ingat kembali bahwa kau pernah menjadi bagian hidupku dan aku juga pernah menjadi bagian dari hidupmu walau kau anggap hanya sebuah angin lalu. Kawan, aku rindu.