31 Oktober 2019

Uluran Tangan Tak Berwujud

Bosan. Aku duduk manis di atas jok angkutan umum antarkota yang posisinya terletak di bagian paling belakang. Di sisi kananku terdapat jendela lebar yang terpampang membatasi pandanganku akan dunia luar yang sedang sibuk berputar. Mataku terpaku pada kendaraan yang melintas berlawanan arah dengan pemandangan bangunan-bangunan yang bergerak melintas sekilas pada penglihatanku. Sinar matahari menyorot lurus ke arah mataku menembus kaca film yang melapisi kaca jendela angkutan umum antarkota ini, cahayanya tidak begitu terik sebab waktu sudah memasuki sore hari ketika aku melirik ke arah jam tangan analog yang melekat pada pergelangan tanganku. Hari ini, aku tidak terburu-buru untuk kembali pada rutinitasku yang membosankan karena saat ini aku sedang membutuhkan suasana atau pengalaman baru yang mungkin dapat aku pelajari hikmah dan manfaatnya—daripada hanya sekadar duduk di kursi sambil mendengarkan cerita-cerita dosen yang terkadang ngalor ngidul tidak berarah jauh melenceng dari topik pembahasan mata kuliah. 

Sesekali aku menyandarkan punggungku ke belakang sambil menghela napas. Barangkali aku bisa mempercepat laju bis dengan embusan napasku seperti embusan asap knalpot pada bus ini agar aku cepat sampai di tujuan tapi semua itu mustahil, hanya imajinasiku saja. Sesekali pula aku menyandarkan kepalaku ke samping kanan sehingga pelipisku menyentuh kaca jendela bus yang bergetar karena pergerakan mesin. Getarannya mengocok isi kepalaku seperti segelas susu kocok, kepalaku pusing dan membuatku terasa mual. Aku kembali menegakkan kepalaku yang bersandar pada kaca jendela agar tidak menyentuhnya lagi.  

Aku tidak bisa berselonjor saat kakiku terasa pegal atau ketika pinggangku butuh sedikit peregangan agar tidak terasa kaku karena aku tidak memiliki banyak ruang gerak—di sisi kiriku terdapat tiga orang laki-laki yang duduk berdampingan dan kami berempat duduk saling berhimpitan. Jika boleh aku menebak umur mereka, mungkin laki-laki di sebelahku ini sudah memiliki seorang cucu sebab di ujung kelopak matanya terdapat kerutan yang menandakan bahwa sepertinya beliau beberapa tahun lebih tua dari ayahku. Bapak tua ini memeluk tas besar berwarna biru tua yang beliau letakkan di atas pangkuannya. Di sebelah kiri bapak tua itu, duduk seorang laki-laki muda mungkin seumuranku atau ia sedikit lebih tua dariku. Pemuda itu memiliki perawakan jangkung dan kaki yang jenjang sebab bisa kulihat kakinya menapak cukup jauh jika dibandingkan orang-orang di sekitarnya. Ia memeluk tas ransel hitam yang ia letakkan di atas pangkuannya. Sedangkan pria di sebelah kiri pemuda itu, aku tidak dapat melihatnya dengan jelas karena terhalang perawakan dua laki-laki yang aku sebutkan sebelumnya. Di depanku, dua orang wanita paruh baya duduk bersebelahan, terdiam memperhatikan jalanan di luar jendela angkutan—atau mungkin tertidur pulas. Kemudian, pada sebuah jok yang terletak di dekat pintu yang terbuka lebar, seorang laki-laki berkumis—mungkin seumuran dengan ayahku—duduk sambil mencondongkan badannya ke depan dan menundukkan kepala memperhatikan aspal yang bergerak mundur ketika bus ini melaju. Dua buah jok lebar yang terletak di belakang sopir terisi penuh dengan dua orang yang duduk pada masing-masing jok, begitu pula jok yang letaknya di samping sopir juga terisi penuh oleh dua orang yang duduk berhimpitan. Angkutan umum ini sudah penuh tetapi tetap saja sopir bus selalu berhenti ketika ada calon penumpang yang memberhentikannya di tepi jalan sehingga beberapa penumpang yang baru saja menaiki bus harus berdiri dengan kedua kakinya di sepanjang perjalanan. Hal itu membuat suasana di dalam angkutan umum ini semakin sesak.

Tidak ada yang menarik dari sebuah angkutan yang sesak. Aku masih tetap merasa bosan walaupun angkutan umum ini ramai dan sesak. Tidak ada seseorang pun yang dapat aku ajak untuk berbicara—sebenarnya aku terlalu malu untuk membuka percakapan—aku sibuk dengan pemikiranku sendiri yang tidak berarah. Mataku mulai terasa berat karena diriku yang dibalut rasa bosan. Mulutku terbuka lebar menghisap udara segar yang ada di sekitarku sebanyak-banyaknya, aku menguap—entah karena mengantuk atau bosan, bisa jadi keduanya. Sopir kembali menginjak rem dan membuat aku tersungkur dan wajahku hampir membentur sandaran jok depan yang tepat berada di depan wajahku. Beruntung, tanganku lebih gesit untuk menahan tubuhku sebelum kepalaku membentur sandaran jok di depanku. Ada calon penumpang yang hendak menumpang pada angkutan umum ini. Angkutan yang semula kupikir sangat sesak dan tidak dapat diisi penumpang lagi, rupanya masih menyisakan ruang untuk calon penumpang itu. Mungkin ada beberapa penumpang yang turun sebelumnya karena angkutan yang semula sesak ini mulai terasa lebih longgar. Barangkali begitu tetapi aku tidak menyadarinya karena terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri.

Biasanya, aku tidak peduli pada calon penumpang yang akan menumpang pada angkutan umum ini. Tetapi, dua orang calon penumpang yang akan menumpang ini menarik perhatianku karena angkutan umum ini berhenti cukup lama sehingga mataku terpaku ke arah pintu masuk.

Seorang laki-laki muda, sepertinya seumuranku, menaiki tangga angkutan lalu mencari posisi yang tepat untuk berdiri. Ia berdiri mengisi celah antara jok kanan di depanku dan jok kiri yang terletak di dekat pintu. Ia menggendong tas ransel hitam yang terdapat tulisan nama sebuah yayasan di dekat resleting tasnya. Pemuda itu mengenakan jaket berwarna cokelat yang kelihatan agak kebesaran sehingga lengan jaketnya menjuntai ke bawah menutupi tangannya. Satu lagi pemuda laki-laki yang mengenakan jaket abu-abu berusaha menaiki tangga angkutan ini menyusul di belakangnya. Kedua tangan pemuda berjaket abu-abu itu berpegangan pada kedua sisi pintu, ia berusaha mendorong badannya untuk menaiki tangga angkutan agar bisa masuk. Bisa aku dengar percakapan kecil mereka.

"Tolong bantu pegang ini," ucap pemuda berjaket abu-abu.

Awalnya, aku tidak paham apa maksudnya meminta bantuan untuk memegang "sesuatu". Namun akhirnya, aku paham apa yang ia maksud saat mendapati pemuda berjaket abu-abu itu menyodorkan sebuah tongkat kruk kepada pemuda berjaket cokelat. Rupanya, salah satu kaki pemuda berjaket abu-abu itu tidak dapat berfungsi dengan baik. Pemuda berjaket cokelat itu menerima tongkat kruk dan memegangnya dengan tangan kanannya. Ia menoleh ke kanan lalu kembali melirik kawannya dengan cepat, ia terlihat kebingungan, sepertinya ia ingin membantu pemuda berjaket abu-abu untuk menaiki tangga namun sulit.

Aku heran. Mengapa ia harus kebingungan? Lagipula dia hanya perlu mengulurkan tangan kirinnya dan memegang tongkat kruk dengan tangan kanannya.

Setelah itu, pemuda berjaket cokelat itu menyelipkan bantalan ketiak tongkat kruk di ketiak kirinya lalu mencondongkan badannya ke depan sambil mengulurkan tangan kanannya untuk membantu pemuda berjaket abu-abu masuk ke dalam angkutan. Satu lagi yang mengejutkan, aku baru saja mengetahui jika pemuda berjaket cokelat itu rupanya hanya memiliki satu tangan saat aku melihat ia mengempit tongkat kruk di ketiaknya. Kain lengan jaket cokelat yang menjuntai itu terlihat amat tipis seperti tak berisi di bagian bawahnya, amat berbeda saat kutelusuri ke bagian atas dekat bahu masih terlihat tebal berisi karena bahu dan lengan atasnya. Sebelumnya, aku mengira jika lengan jaketnya yang kebesaran itu hanya menutupi kedua tangannya.

Angkutan umum ini kembali melaju. Aku fokus memperhatikan dua orang penumpang yang baru saja menaiki angkutan ini. Pemuda berjaket cokelat itu bertumpu dengan kedua kakinya sambil tangan kanannya memegang pipa besi yang tergantung di atas langit-langit angkutan, sedangkan pemuda berjaket abu-abu itu duduk di dekat pintu sambil memegangi tongkat kruk miliknya. Perhatianku terpaku pada pemuda berjaket cokelat yang sedang berdiri sambil bergelantungan pada pipa besi, badannya terayun-ayun setiap angkutan ini berbelok ke kanan dan ke kiri sebab ia hanya mengerahkan seluruh beban tubuhnya pada satu tangannya.

Saat angkutan berhenti untuk menurunkan penumpang, tubuh pemuda berjaket cokelat itu terayun ke depan hampir tersungkur. Beruntung, tangannya mencengkeram pipa besi dengan kuat sehingga ia tidak terjungkal setiap kali sang sopir menginjak rem. Seorang penumpang turun dari angkutan, meninggalkan sebuah tempat duduk, aku pikir pemuda itu akan menduduki tempat duduk yang kosong itu karena keadaannya yang tidak memungkinkan untuk tetap berdiri sepanjang perjalanan. Ternyata, dugaanku salah. Ia justru mempersilakan seorang laki-laki yang mungkin berumur empat puluh tahun untuk menduduki tempat duduk yang kosong tersebut.

"Mas saja yang duduk," tolak bapak tersebut dengan halus. Sepertinya bapak itu tahu kalau pemuda berjaket cokelat itu lebih membutuhkan kursi itu daripada dirinya.

Pemuda berjaket cokelat itu tersenyum sambil melangkah ke samping kiri dan melekatkan punggungnya pada jok di sebelah kirinya untuk memberi jalan kepada bapak itu. "Tujuan saya dekat kok, sebentar lagi juga sampai. Silakan bapak duduk saja."

Akhirnya, bapak itu pun mengalah dan berjalan melewati celah yang diberikan oleh pemuda berjaket cokelat itu kemudian menduduki kursi kosong yang baru saja disediakan untuknya. Pemuda berjaket cokelat itu kembali pada posisi semula.

Beberapa menit kemudian, jarak yang ditempuh angkutan ini sudah cukup jauh. Aku kembali terheran. Pemuda berjaket cokelat ini tidak kunjung turun padahal tadi ia berkata kalau tujuannya sudah dekat. Aku pikir, mungkin sebentar lagi. Namun, aku kembali terheran lagi saat bapak yang dipersilakan untuk duduk olehnya turun dari angkutan lebih dulu daripada ia. Aku kembali berdebat dengan pemikiranku sendiri. Mungkin pemuda ini mengutamakan orang yang lebih tua sehingga ia mempersilakan tempat duduk untuk bapak yang tadi.

Tempat duduk kembali kosong. Bukankah seharusnya  pemuda itu bisa duduk tanpa ragu? Sebab para penumpang yang berdiri hanya beberapa dan jauh terlihat lebih muda daripada ia. Namun, pemuda itu tidak melakukannya. Ia menoleh sejenak memperhatikan keadaan sekitarnya. Ada sekitar tiga orang yang tidak duduk, salah satunya adalah seorang mahasiswi yang menyandarkan kepalanya pada sandaran jok di depannya sebagai tumpuan kepalanya. Ia terlihat lemas dan agak pucat, mungkin ia mabuk perjalanan. Pemuda berjaket cokelat itu memberikan tempat duduk kosong itu kepada mahasiswi tersebut. Mahasiswi itu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih dengan sebuah anggukan kepala menyapa pemuda itu. Ia melewati pemuda itu lalu duduk di tempat yang baru saja pemuda itu berikan.

Beberapa menit berlalu, jarak yang ditempuh pun semakin jauh. Pemuda berjaket cokelat itu menurunkan tas ransel hitam dari punggungnya. Ia cukup kesulitan saat menopang ransel itu agar tidak membentur orang lain dan tidak pula terhempas ke bawah atau menggelinding ke arah pintu keluar. Tidak hanya itu, ia lebih kesulitan lagi untuk menahan keseimbangan tubuhnya saat ia sedang membuka resleting tas untuk mengambil sesuatu di dalamnya. Angkutan tetap melaju dan membuat pemuda itu harus menahan tubuhnya hanya dengan topangan kedua kakinya yang terbuka selebar bahu. Setelah selesai dengan urusannya, pemuda itu kembali meraih pipa besi di atas kepalanya dan membiarkan tasnya tergeletak di bawah sana.

Beberapa waktu berlalu, angkutan pun berhenti. Pemuda berjaket cokelat itu melangkahkan kaki menuju pintu keluar sambil menyeret tas yang tergeletak di depan kakinya. Aku pikir, ia akan meninggalkan temannya—pemuda berjaket abu-abu—lalu membiarkan temannya turun dari angkutan sendirian. Dugaanku lagi-lagi salah. Pemuda berjaket cokelat itu meletakkan tasnya di atas tanah lalu kembali mendekati pintu angkutan. Ia mengambil tongkat kruk dari tangan temannya lalu membungkuk untuk meletakkannya di atas permukaan trotoar. Ia kembali berdiri tegak lalu mengulurkan tangannya untuk membantu pemuda berjaket abu-abu berdiri.

Pemuda berjaket abu-abu itu memegang tangannya lalu mengerahkan beban tubuhnya dengan berpegangan pada tangan temannya. Ketika ia sudah berdiri, tangan kanan pemuda berjaket cokelat melingkar pada pinggangnya lalu mengangkat tubuhnya tanpa keraguan sedikitpun sampai ia menapakkan kakinya di atas tanah. Pemuda berjaket cokelat pun meraih tongkat kruk yang tergeletak di tanah lalu memberikannya kepada pemiliknya.

Wow.

Aku benar-benar tak mampu berucap sepatah kata pun.

Pemuda itu melakukan hal yang terbaik yang mampu ia lakukan untuk orang lain. Walaupun dirinya sendiri memiliki kekurangan fisik, tetapi ia memiliki kelebihan nurani yang amat besar.

Aku kembali termenung. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri sambil menatap ke arah dua telapak tanganku yang menengadah. Aku mempunyai dua tangan dan sepuluh jari yang masih utuh, apa yang sudah aku lakukan untuk membantu orang lain dengan kedua tanganku ini? Jika pemuda itu mampu membantu banyak orang dengan satu tangan saja, mengapa aku belum melakukan apa pun untuk orang lain?


Illustration by Nadhira Shafa


Jika seseorang yang hanya memiliki satu tangan saja dapat membantu orang lain, bagaimana dengan kita yang mempunyai dua tangan yang masih utuh? Pasti bisa membantu orang lain lebih banyak lagi, bukan?

Sudahkah kau membantu orang lain hari ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar