Tampilkan postingan dengan label cerita pendek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita pendek. Tampilkan semua postingan

25 Juli 2023

Menanti Chapter Selanjutnya

2:01 PM 0 Comments
"Bagaimana harimu?" sapa dia dengan ramah. 

Setiap hari dia selalu saja menyapaku dengan senyumannya yang manis. Mata yang menyipit dan lesung pipitnya cukup menggodaku. Siapa yang nggak tergoda dengan senyuman seorang pria berambut ikal dengan pipi chubby yang menggemaskan? Bukan cuma aku yang tergoda, semua gadis suka padanya karena sikap ramahnya. 

Tapi pernah nggak sih kamu terkecoh dengan sikap ramah seseorang? Astaga, aku sampai berkali-kali merasakan kupu-kupu berterbangan di perutku setiap kali dia bersikap ramah terhadapku—termasuk sapaannya sore hari ini. Setelah melewati hari yang panjang nan sibuk, akhirnya dia menyapaku. Oh ya, tentu sambil membukakan pintu kaca yang baru saja mau aku dorong. Tuhan, cobaan apa lagi ini? Pria ramah dengan acts of service?! Cobaan yang keterlaluan.

Ini bukan pertama kalinya dia melakukan ini kepadaku tetapi entah kenapa ini membuat aku gila. Nggak ada cobaan yang lebih parah lagi, nih? 

"Melelahkan," ucapku. Tapi cukup menyenangkan setelah melihatmu. Aku tersenyum. 

"Kerja bagus. You did well! Istirahat yang cukup!" Dia memujiku sambil mengepalkan tangannya untuk tos tinju denganku. 

Aku membalas kepalan tinjunya. Wajahku terasa memanas saat mendengarnya, seperti keluar api dari pori-pori wajahku dan aku ingin berteriak, aku suka sama kamu! Kamu paham nggak sih? Aku tuh nggak bisa diginiin! 

Iya, sudah tiga bulan aku mengenalnya. Dia sosok orang yang baik dan ramah. Aku menyukainya, sangat menyukainya. Entah aku suka sikapnya, atau aku suka orangnya. Yang jelas, aku suka dia. Terkadang, aku sengaja menghampirinya supaya lebih dekat dengan dia. Aku sengaja duduk di tempat yang bisa membuatku menatapnya tanpa diketahui olehnya. Bahkan mencoba berinteraksi dan membuka obrolan dengannya. 

Berbulan-bulan aku berdiam diri. Bergerilya mengagumi seseorang yang entah apakah bisa aku miliki. Masalahnya di sini, aku menyukai orang yang ramah. Itu sama saja seperti aku seorang fans yang mengidolakan seorang artis. Bisa kamu bayangkan, kan? Bagaimana aku di mata dia? Aku banyak mengingat hal tentang dia, dari hal apa yang dia suka sampai hal-hal kecil tentang dia. Akan tetapi sebaliknya, aku di matanya hanyalah seorang relasi yang perlu disapa, tidak tahu asal-usul keberadaanku bahkan mungkin tidak ingat kalau aku ada. 

Semakin hari, semakin gemar aku mencari tahu tentang dia. Semakin subur pula tunas-tunas dari benih cinta yang kutanam dalam hati itu tumbuh. Tak sabar ingin kupupuk hingga berbuah. Rasa sukaku kini terasa semakin dalam. Setiap malam aku membayangkan bisa bersama dengan dirinya. Bisa memilikinya suatu hari nanti. Bisa tertawa bersamanya sambil menggenggam tangannya. Berhalusinasi itu asik, bukan? Memang.

Pada akhirnya, suatu hari dia menyadari keberadaan aku. Malam hari, ketika aku sedang berjalan kaki, dia menghampiriku dengan sepeda motornya dan menawarkan tumpangan. Awalnya, aku berpikir, haruskah aku berpura-pura untuk menolaknya sedangkan ini adalah kesempatanku untuk dekat dengannya? Nggak, aku nggak mau kehilangan kesempatan itu. Maka dari itu, aku pun mengiyakan ajakannya. Itu lah pertama kalinya aku berboncengan dengan dia. Tahu nggak sih, rasanya tuh senang banget bisa berboncengan dengan orang yang aku suka. Ingin aku rengkuh pinggangnya, tapi aku siapa? Bukan siapa-siapa. 

Sesampainya di rumah, aku nggak bisa menahan rasa berbunga-bunga itu. Aku melompat dengan girang ke tempat tidurku dan membenamkan wajahku di bantal seolah aku membenamkan diriku ke dalam pelukannya. Boncengan pertamaku! 

Semenjak boncengan pertama itu, aku semakin dekat dengan dia. Kami sering jalan bersama-sama, mengobrol tentang apa pun, bercanda ria, dan saling meledek. Satu hal yang membuatku semakin salah tingkah karena sikapnya yang ramah itu adalah dia memanggilku dengan sebutan khusus. Bocil. Alasannya, karena perilakuku seperti anak kecil tanpa kusadari di hadapannya sehingga nama itu muncul sebagai julukanku. 

"Cil, mau beli makan malam bareng, nggak?"
"Cil, mau nebeng, nggak?
"Cil, mau dibantuin, nggak?"

Cal. Cil. Cal. Cil. Enak banget dia manggil aku kayak gitu padahal hatiku sudah bergetar setiap kali dia memanggil aku dengan panggilan khusus itu. Dia membuat aku berharap semakin tinggi. Namun, aku selalu bingung dengan sikapnya yang ramah itu. Dia membuatku bingung dan penasaran. Siapa orang yang dia suka? Apakah dia suka aku? Kenapa dia sebaik itu kepadaku? Kenapa dia nggak mengerti sih kalau aku di sini kebingungan dengan sikapnya?

Sepanjang malam, aku nggak bisa tidur karenanya. Aku memikirkan, siapa orang yang dia suka? Aku nggak mau sembarangan menduga-duga tentang dia yang ramah tapi misterius itu. Kadang dia membicarakan perempuan lain juga. Kadang dia baik dengan perempuan lain juga. Sempat aku berpikir, sebenarnya dia itu bersikap ramah atau memang sengaja membuat semua gadis jatuh hati sama dia sih?

Aku bercerita pada teman-temanku. Apa yang harus aku lakukan dalam menghadapi situasi membingungkan ini? Aku yang terus kepikiran tentang dia, membuat aku selalu nggak fokus dalam mengerjakan suatu hal. Beberapa temanku ada yang menyarankan agar aku suka dalam diam saja, supaya nggak canggung. Tapi ada beberapa temanku juga yang menyarankan untuk mengungkapkannya supaya lega. 

Aku berpikir beberapa hari tentang hal itu. Ungkapkan jangan, ya? Aku kebingungan. Namun, karena siatuasi ini cukup mengganggu, akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi dia lewat chat. Aku nggak seberani itu untuk bertatapan langsung dengannya. Nyaliku kurang besar. 

"I have crush on you

Intinya, itu yang aku bicarakan saat aku mengirim pesan panjang lebar demi mengubur gengsi dan rasa malu yang berkecamuk dalam dada. Wajahku terasa memanas, aku tenggelamkan wajahku di bantal sambil menunggu jawaban darinya. Aku nggak berharap dia balik suka aku sih, eh ada deh sedikit. Aku tunggu beberapa menit sampai hampir setengah jam setelah pesanku dibaca olehnya. DIA NGGAK BALAS PESAN AKU.

Aku melemparkan ponselku. Merasa kecewa karena aku harus memendam rasa penasaran akan jawaban dia terhadap ungkapan perasaanku yang baru saja aku kirimkan. Namun, beberapa saat kemudian dia membalas. 

"Terima kasih kamu sudah membuat aku merasa dicintai. Tapi sekarang, aku nggak fokus dengan hal itu. Aku harap kamu mengerti," jawabnya. "Kamu nggak marah, kan?"

Marah? Buat apa aku marah terhadap perasaan seseorang yang nggak bisa membalas perasaanku? Sedikit kecewa mungkin iya, tapi aku nggak berharap setinggi itu dari awal karena tujuanku untuk mengungkapkan perasaan ini hanya supaya aku merasa lega dan nggak lagi terbayang-bayang dengan hal-hal yang ingin aku ketahui tentang dia. Yang jelas, dia nggak suka sama aku. Aku sudah dapat jawabannya, walaupun hatiku masih sedikit mengharapkannya. Kamu juga pasti tahu rasanya kan, jatuh cinta itu ada prosesnya begitu pula berhenti menyukai seseorang, itu juga butuh proses. 

Setelah insiden pernyataan perasaan itu, aku dan dia terasa semakin berjarak. Aku mencoba biasa saja terhadap dia, tapi entah kenapa justru dia yang terasa semakin bersikap dingin terhadapku. Apa mungkin dia takut kalau aku salah paham lagi akan sikapnya? 

Rupanya, rasa lega itu nggak aku dapatkan. Justru yang aku dapatkan hanyalah penyesalah, seandainya aku nggak mengungkapkan apa yang aku rasakan terhadap dia saat itu mungkin akhir cerita kita nggak akan seperti ini. Aku nggak akan menjadi asing dengan dia. Panggilan Bocil yang sering dia sematkan untuk memanggilku pun jarang kudengar. Sekarang, dia lebih sering menghindariku ketimbang menyapaku terlebih dahulu. Padahal aku berusaha untuk menyapanya lho, tapi kenapa sikap dia berubah begitu ya?

Hari demi hari berlalu. Beberapa bulan kemudian, aku masih dengan rasa yang sama, masih di tempat yang sama menanti dia, mendapati dia sudah memiliki seorang pujaan hati. Hatiku teriris perih. Kukira aku bisa memperbaiki semuanya. Kukira aku bisa kembali lagi seperti sedia kala. Ternyata, aku telah menghancurkannya. 

Langkahku harus terhenti di sini, hanya sampai di sini aku bisa mengagumi. Selamat tinggal, aku akan terus berjalan menyambut chapter selanjutnya. 


Michiko 

Photo by Ivan Jevtic on Unsplash


25 September 2022

Duri Mawar Sengat Asmara

10:39 AM 1 Comments
Pernahkah kamu berteman dengan seseorang demi mendapatkan hatinya? Atau justru kamu hanya menjadi bagian kehidupannya tapi tak pernah mendapatkan hatinya? Kalau kamu pernah merasakan hal itu, mungkin kita ada di posisi yang sama saat ini.

Aku seorang perempuan—yang bisa dibilang bodoh atau mungkin beruntung—yang saat ini sedang berteman dengan seseorang yang sudah kusukai sejak dua tahun silam. Usia pertemanan kita belum genap dua tahun, tetapi perasaanku padanya justru usianya lebih tua dari itu.

Enam bulan sebelum aku berteman dengannya, muncul rasa yang bersemi di hatiku. Dia menarik perhatianku dan selalu membuat jantungku berdebar-debar setiap ada di dekatnya. Memasuki bulan ke-tujuh, aku memutuskan untuk memberanikan diri menampakkan diri di hadapannya. Menunjukkan eksistensiku sebagai seorang penggemar rahasianya. Dan aku... berhasil menembus pintu hatinya dan ditempatkan sebagai seorang kawan. 

Menurutmu itu tindakan waras? Tidak. Dia bak setangkai mawar, indah kupandangi dari jauh. Namun, saat aku mendekatinya dia justru melukaiku. Semakin aku mengenalnya, semakin banyak pula nama-nama wanita cantik yang ia sebutkan dalam kisahnya. Aku hanya berperan sebagai wadah. Hatiku yang bolong, harus tetap bisa menampungnya dan menambal lubang itu sendirian. Sakit, apalagi tidak pernah ada namaku disebut selama dua tahun kami berteman. 

Entah siapa—atau apa—yang dia cari dari wanita, tapi berulang kali dia bergonta-ganti pasangan dan itu selalu tak bertahan lama. Alasannya putus cinta pun bermacam-macam, ada yang karena wanitanya terlalu manja, terlalu mandiri, terlalu tinggi untuk dicapai, terlalu posesif, terlalu overprotektif. Dan aku hanya bisa tertawa mendengar spesifikasi yang dia cari. Terlalu sempurna. Mana ada di dunia? Toh kalau aku jadi wanitanya pun, pasti ada kekuranganku sendiri yang akan membuat dia meninggalkan aku—jika dia tak mau menerimanya.

"Mana ada yang kayak gitu?" sanggahku. "Kalau kamu mau cari orang yang bisa terima kekurangan kamu, kamu juga harus bisa terima kekurangan dia. Jangan egois. Maunya dimengerti terus tapi nggak mau belajar buat mengerti orang lain."

Setelah itu, dia tak banyak bertingkah lagi. Dia tidak mencari wanita lagi. Penampilan dan sikapnya, tidak seperti biasanya saat dia sedang gencar mencari wanita. Kupikir, dia sudah lelah mencari orang yang cocok untuk bersanding. Padahal, saat itu pula aku masih menunggu namaku disebut sebagai wanita selanjutnya—atau bahkan mungkin berharap menjadi wanita terakhir. Konyol memang. Kenapa aku tak mengungkapkan perasaanku kepadanya ya? 

Aku terlalu banyak pertimbangan, lebih tepatnya takut dengan penolakan. Aku takut sikapnya tak akan sama lagi setelah aku mengungkapkan perasaanku. Bagiku, berada di sisinya, mencoba menguatkannya saat ia goyah adalah hal yang indah. Dan aku tak ingin kehilangan momen ini. Namun, sepertinya strategiku salah. Semua yang kudapat hanyalah luka. Aku terlalu banyak diam. Mereka yang menyatakan perasaannya lebih dulu justru yang berhasil mendapatkan dia. Apakah sistem kerja romansa di dunia ini adalah siapa cepat dia yang dapat? 

Beberapa bulan, aku tak mendengar kabar dia jatuh cinta lagi. Usia pertemanan kita pun terus bertambah. Aku heran tapi tak mau tahu. Aku cuma mau tahu, kapan namaku akan terpatri di hatinya.

"Nggak ada cerita baru nih?" tanyaku saat ia sedang sibuk dengan laptop dan kursor yang berkedip.

"Cerita apaan?" 

"Cewek baru... mungkin?" ucapku ragu. 

"Nggak ada," singkatnya. "Lagi sibuk proyek dulu. Urusan cewek nanti lagi."

Lantas, ia kembali sibuk dengan pekerjaannya. Aku hanya duduk termenung. Setan apa yang sedang merasuki dia? Kenapa tujuannya tiba-tiba berubah haluan?

Hari demi hari berlalu. Satu minggu. Dua minggu. Tiga minggu. Satu bulan. Dua bulan. Aku sudah lupa dengan tujuan utama dia, manusia pencari cinta sejati. Aku pun menganggap perjalanan ini sudah usai. Garis finish-ku adalah seorang teman cerita. Hari terus berjalan. Usia pertemanan kami pun genap menginjak usia dua tahun. Dia sudah vakum selama enam bulan. 

Suatu hari, dia tiba-tiba berbeda. Si Pencari Cinta Sejati sudah kembali. Parfum satu botol dia guyurkan ke seluruh badannya. Rambutnya yang biasanya tak ditata rapi pun tiba-tiba berubah. Wajahnya terlihat sumringah. Semua gelagat enam bulan yang lalu pun kembali. Jelas, dia sudah kembali. Namun, ada satu hal yang mengganjal. Dia tidak cerita apa pun tentang wanita yang ini. Sama sekali. 

Berhari-hari dia terlihat seperti orang yang berbunga-bunga. Seolah kebahagiaan selalu menyertai langkahnya. Aku turut bahagia melihatnya. Walaupun ada sedikit kekhawatiran dan rasa iri terbesit dalam dada. Yang pertama, aku iri karena ada wanita yang bisa membuat dia bahagia setiap hari. Yang kedua, aku khawatir dia diam-diam menyebar undangan. Hal yang kedua, hanya asumsiku saja tapi cukup membuatku sakit. Pikiran yang nakal, berani-beraninya menyakiti hati yang rapuh. Daripada hatiku terus digerus asumsiku, aku pun mencoba bertanya langsung padanya.

"Kamu lagi jatuh cinta ya?"

"Hah?" Dia menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia melirik sejenak, lalu melemparkan pandangan lagi. "Nggak usah ngarang."

"Aku peka kok. Aku bisa merasakan perbedaan orang yang waras dan orang yang bodoh karena cinta."

"Jatuh cinta sama siapa sih? Emangnya kamu tahu? Kok tiba-tiba tuduh orang lagi jatuh cinta?"

"Nggak. Tapi kamu benar lagi jatuh cinta, kan?" Aku menilik wajahnya mencari jawaban serta kejujurannya yang barangkali tersimpan dibalik matanya. "Aku nggak tahu ke hati mana lagi kamu berlabuh, yang aku tahu kamu lagi jatuh cinta. Kamu lagi rela bodoh demi seseorang. Iya, kan?"

"Dih, sok tahu," ucapnya dengan tawa ledekannya.

"Heh! Kita berteman nggak cuma dua hari doang ya. Dua tahun, sudah dua tahun, Raffi!"

"Iya deh...." Ia mengalah dan mengakuinya. Namun, tak ada rasa senang atau penasaran yang menghinggapiku. Sebab, aku tahu, pekerjaan utamaku akan kembali setelah ini. Menampung kisah cinta dia dan wanita barunya di hati yang bolong.

"Pantesan beda," celetukku. Aku membuang pandanganku setelah menemukan jawaban yang aku cari. "On the way jadi orang bodoh lagi."

Dia tiba-tiba duduk di sampingku. Lengannya yang bertumpu di atas meja hanya berjarak beberapa milimeter dari lenganku dan bahunya hampir menyentuh bahuku. 

"Kamu mau tahu nggak, siapa yang kali ini bikin aku rela menjadi bodoh?"

Aku sudah tahu itu bukan aku. Hatiku baru saja remuk kembali oleh fakta dia sedang jatuh cinta—lagi. Aku terlalu terbiasa dengan dia yang sedang tidak menjadi bunga mawar. Jadi, demi melindungi diriku dari tusukan duri itu, aku akan menanyakan tentang itu lain kali.

"Kalau orang itu bukan aku, aku nggak peduli sih."

Entah mengapa, justru kalimat itu yang keluar dari mulutku. Aku sendiri justru kaget setelah sepersekian detik mendengar ucapanku sendiri. 

Dia menahan tawanya agar tidak lepas di tempat umum. Lantas, tangannya menyentuh kepalaku dan ia mengusapnya sembari mengacak-acak rambutku. "Kalau gitu, mulai sekarang waktunya kamu buat peduli tentang itu."

Alamak, duri itu melunak. Duri itu bukan membuatku berdarah, tapi kini menyengatku dengan kejutan asmara. 

Baca juga cerita pendek lainnya di sini

Duri Mawar Sengat Asmara by Nadhishafa

Michiko ♡

21 September 2022

Kupu-Kupu, Maukah Kau Pulang Bersamaku

12:32 AM 0 Comments
Aduhai Mak. Anakmu ini benar-benar sedang jatuh cinta. Entah yang ke-berapa kalinya.

Mungkin kau sudah lelah Mak mendengar berita anakmu jatuh cinta melulu. Ada makhluk tampan di TV, jatuh cinta. Ada lelaki tinggi sedikit, jatuh cinta. Ada lelaki wangi sedikit, jatuh cinta. Ada lelaki senyum sedikit, jatuh cinta. Ada lelaki baik sedikit, jatuh cinta. Bosan kali pasti kau dengar anakmu yang mudah jatuh cinta ini.

Sungguh, yang kali ini berbeda, Mak. Sakitnya cinta telah membuat anakmu berpikir berulang kali untuk jatuh cinta. Namun, setelah dipikir-pikir berulang kali pun aku tetap jatuh cinta, Mak. Bagaimana ini, Mak?

Kepalaku setiap malam berisik menggemakan nama dia. Kepalaku pusing membayangkan senyum dia dalam benakku. Tersulut kembang api yang menggelegar meramaikan dadaku setiap aku bertemu dia. Aduh, Mak. Anakmu ini sepertinya sedang benar-benar dimabuk asmara.

Kira-kira, dia membalas cintaku tidak, Mak? Alamak, betapa hancurnya aku kalau tidak dibalas rasaku.

Apa sebaiknya aku kejar saja dia, Mak? Akan tetapi, dia terlalu indah bak kupu-kupu, Mak. Semakin dikejar, semakin menjauh. Apa sebaiknya anakmu ini menjadi sebuah bunga agar dihinggapi makhluk indah sepertinya? Tidak juga, Mak. Kupu-kupu juga pilih-pilih tempat untuk hinggap dan itu belum tentu aku yang dia pilih.

Sepertinya, aku akan tetap duduk di taman kebahagiaan ini memandangi dia dari jauh saja, Mak. Dia hinggap di jariku, atau tidak, mungkin aku akan menanti sampai aku bosan mengaguminya terbang saja, Mak. Walaupun dari dalam lubuk hatiku ini, ingin membawa ia pulang bersamaku saja.

Mak, doakanlah aku pulang membawa kupu-kupu indah untuk kuhadiahkan untukmu. 
Kupu-kupu, Maukah Kau Pulang Bersamaku
Baca juga karya-karya lainnya di sini

Michiko ♡

4 Desember 2021

Superman Tanpa Jubah

2:08 PM 0 Comments
"Ayah" puisi karya nadhishafa. Dialah cinta pertamaku Dia pula patah hati terhebatku Terlepas dari dosa-dosanya, aku ingin berterima kasih sebanyak-banyaknya.

Hari ini, aku menangis di ujung ruangan. Teringat pada pekerjaan ayahku semalam yang tiada lelah dan tak menyerah saat kudapati ia sedang membetulkan benda-benda rusak di rumah. Sesulit apa pun hal yang dihadapinya, ia bisa melakukannya. Tidak sedikit pun menyerah. Sama sekali. Hanya dengan berlapiskan sarung dan singlet tipis yang menempel di tubuhnya, sepulang dari kantor ayah membetulkan kaki jemuran yang patah.

Aku tak pernah menyangka, bahwa saat itu lah aku menyadari betapa gigihnya perjuangan ia dalam melakukan sesuatu. Ia tidak pernah menyerah dan tidak akan pernah melakukannya. Pria yang selalu melakukan hal terbaik demi keluarganya. Mungkin, dia hanya bisa diam seribu bahasa. Tak pandai mengungkap rasa cinta. Terkesan egois dan memikirkan kebahagiaannya. Akan tetapi, jauh di alam bawah sadarnya, ia sangat mencintai keluarganya.

Hal sekecil kaki jemuran yang patah sudah cukup membuktikan bahwa ayahku orang yang pantang menyerah. Ia berkeliling kota mencari tiang penyangga besi untuk mengganti kaki jemuran yang patah. Dengan gigih, melubangi pipa-pipa besi agar dapat dipasang bersama rangka yang lainnya. Kadang pula mengulangi hal yang sama kala pipa-pipa itu belum tersambung dengan sempurna. Ayah seperti seorang ahli reparasi saat ia sedang melakukan pekerjaan ini.

Ayahku juga seorang pematri handal. Ia bisa membetulkan gagang panci yang patah juga menambal panci yang bolong. Ia tahu betul langkah-langkah yang harus dilakukan agar semua kembali seperti sedia kala walaupun tak sesempurna sebelumnya. Kelontang panci berbunyi di malam hari, bunyi kegigihan ayahku yang belum juga menyerah memasang baut panci yang kepanjangan. Rumah berantakan hanya untuk mencari si kecil mur yang hilang. Bagi ayahku, rumah berantakan bukanlah masalah besar yang penting panci yang rusak kembali sempurna, tidak buntung seperti sebelumnya. Dengan bangganya, ia memamerkan hasil kerjanya di hadapanku. Hebat. Dia memang seorang pematri yang handal.

Ayahku multitalenta. Selain bisa menjadi ahli reparasi dan pematri handal, ia juga ATM berjalan. Di sana lah aku mendapatkan pemasukan. Di sana pula aku mendapat pinjaman uang untuk hidup dan berkembang. Bahkan, menurutku ayahku lebih canggih daripada bank. Aku tak harus meninggalkan jaminan di muka untuk mencairkan dana hidup. Pernahkah kamu berpikir, bank mana yang rela meminjam uang kepada bank lain demi memenuhi permintaan nasabah kecilnya itu?

Aku, nasabah kecilnya, hanya menunggu beberapa waktu agar dana yang kuminta cair. Aku tak pernah tahu dari mana dana itu didapatkan. Aku tak pernah mau tahu saat bank hampir bangkrut karena nasabahnya yang terlalu banyak meminta. Aku tak pernah mau mengerti saat bank kehabisan dana, bahkan nasabah kecil ini cenderung tak tahu diri. Untungnya, bank ini tak pernah memblokir rekeningku dan memasukkan namaku ke daftar hitamnya. Sebab, dia bukan bank biasa. Dia adalah bank yang sangat amat super luar biasa.

Saat ini lah, aku menyadari bahwa aku memiliki ayah yang hebat. Bahkan lebih dari hebat sampai aku tak tahu diksi mana yang harus aku gunakan untuk mendeskripsikannya. Dia lah orang yang mengajarkanku arti kegigihan. Dia pula yang mengajarkanku artinya tanggung jawab dan kerja keras. Dia juga yang mengajarkanku arti kepedulian. Dialah cinta pertamaku, dia juga patah hati terhebatku.

Terlepas dari segala dosa-dosanya, aku tetap mencintainya. Aku mungkin tak pernah mengungkapkannya secara langsung. Namun, aku tetap berusaha untuk melakukan yang terbaik demi membuatnya bangga. Dia mungkin tidak bisa mereparasi masa laluku yang sempat hancur. Dia juga tak bisa mematri lubang di hatiku yang teramat dalam itu. Dia juga tak selalu bisa memenuhi seluruh keinginanku yang tak tahu diri itu. Akan tetapi, dia lah ayah terbaikku. Ayah yang mengerahkan seluruh jiwa raganya demi berjuang untukku.

Aku belum bisa melakukan banyak hal untuk membuatnya bangga. Aku belum bisa berbuat banyak untuk membuatnya bahagia. Dia telah memberiku banyak hal dan aku berterima kasih sebanyak-banyaknya atas hal itu. Terima kasih, Ayah. Aku mencintaimu. 

Ditulis oleh Michiko

Baca juga kisah-kisah lainnya di sini

20 November 2021

Cinta Bersyarat

5:58 PM 2 Comments
Cinta bersyarat
Kalau Tuhan menciptakan Adam dan Eve untuk bersatu, lantas mengapa masih ada perbedaan yang harus menghalangi kita untuk bersatu? Banyak pertanyaan di kepalaku yang hingga saat ini masih belum aku temukan jawabannya.

Seandainya aku terlahir sebagai manusia pertama di muka bumi, mungkinkah ada faktor lain yang menghalangi cinta kita? Mungkin, saat itu hanya ada aku dan kamu. Aku hanya akan jatuh cinta padamu. Aku hanya akan memilikimu. Tak ada halangan lain untuk mempertemukan cinta kita. Kita pun dengan mudahnya untuk hidup bersama.

Inilah sepotong percakapan di antara kita kala itu. 
"Aku pengen mencintaimu, tapi dengan satu syarat. Kamu jangan mencintai aku juga."

"Lho, kenapa?"

"Aku takut semakin cinta. Repot."

"Apa salahnya kalau kamu semakin cinta?"

"Kita tahu, cinta kita nggak bisa bersatu. Makin repot lagi."

Cinta memang tak bisa memilih kepada siapa dia akan berlabuh. Namun, kita bisa memilih untuk melanjutkan kisah ini atau berhenti sampai di sini.

Ditulis oleh Michiko

Baca juga kumpulan puisi lainnya di sini

1 Oktober 2021

Porsi Rezeki Abang Ojol

5:37 PM 2 Comments


Hari Selasa di bulan September, aku mengalami sebuah kejadian yang membuka mataku dan memberikan pelajaran yang berharga bagiku. Satu hal yang aku pelajari:

Rezeki setiap orang ada porsinya masing-masing dan gak akan lari ke mana pun.


Hal ini aku alami saat aku pergi ke Bandung untuk tes CPNS pada hari Senin dan Selasa. Pada hari Senin di malam hari, aku memesan makanan di aplikasi online dengan total 41 ribu. Saat itu, uangku genap 50 ribu dan aku gak punya uang receh untuk menggenapkan uang kembalian. Turunlah aku dari kamarku di lantai tiga dengan membawa uang 50 ribu di kantongku. Saat aku bayar ke abangnya, ternyata beliau gak ada uang sembilan ribu justru beliau cuma ada sepuluh ribu. Aku sendiri gak bawa seribu buat menggenapkan uang kembalian itu karena dompetku ketinggalan di kamar. Akhirnya, abangnya mengikhlaskan seribu itu dan memberikan kembalian sepuluh ribu. Aku banyak berterima kasih ke abangnya, mungkin ini rezekiku. Semoga rezeki abangnya dilancarkan selalu. 


Keesokan paginya, aku pesan bubur ayam di aplikasi online yang sama dengan total yang aku habiskan saat itu adalah 35 ribu. Sama seperti malam sebelumnya, aku bawa uang 50 ribu. Waktu aku bayar ke abangnya, ternyata abangnya cuma ada uang 14 ribu, yang berarti kembaliannya kurang seribu. Akhirnya, aku ikhlaskan aja kembalian seribu itu buat abangnya. Semoga abang ojol yang ini juga rezekinya dilancarkan selalu.


Saat aku kembali ke kamar, aku baru sadar. Ternyata, uang yang diikhlaskan oleh abang ojol semalam adalah rezeki abang ojol pagi itu dan aku hadir sebagai perantara. Aku jadi paham, ternyata rezeki orang itu ada porsinya masing-masing. 

Kalau rezeki itu untukmu, ia akan jadi milikmu. Kalau rezeki itu bukan untukmu, ia bukan milikmu. 


Lantas, kenapa kita harus khawatir akan hidup dalam kekurangan kalau ternyata manusia sudah punya porsi rezekinya masing-masing? 


Tugas kita sebagai manusia bukan menentukan siapa yang berhak menerima rezeki lebih banyak dari yang lain, tapi tugas kita adalah menjemput rezeki yang sudah ditetapkan untuk kita. 


Sekian tulisan untuk hari ini. 

Have a nice day,



Michiko ♡


Pictures source: Visual stories || Michelle on Unsplash

9 Juli 2021

Sambutan Fajar dalam Keputusasaan

11:09 PM 0 Comments
[CERPEN FIKSI] 

Sore itu, langit menyemburatkan cahaya jingga yang terang. Mesin berderu dan roda besi terus berputar menyongsong ke arah barat daya sebuah gunung tertinggi di negeri ini. Matahari senja mengikutiku sepanjang perjalanan itu. Seri menyelimuti wajahku bak topeng yang sangat damai dan menenangkan. Sudah kupikirkan hal ini beberapa saat di dalam kesunyianku, namun keadaan tak cukup sunyi untuk mengambil keputusan itu.

Sepanjang perjalanan singkat itu, mendung terbit meriak pada air mukanya saat kusebut tujuan terakhirku kepada seorang wanita tua yang tengah duduk di sampingku. 

"Kau benar-benar akan pergi ke sana?" tanya ia dengan wajah yang tampak cemas.

"Tak apa, aku hanya mengunjungi kawanku," ucapku menutup percakapan itu dengan senyum yang damai. Aku sudah mempersiapkan alasan itu. Sedetik berlalu, gemuruh guntur yang hampir menurunkan hujan lebat dari pelupuk matanya terseka oleh satu helaan napas dalam. Namun, keadaan itu tak pernah mengubah niatku kala itu.

Satu pesan yang ia bisikkan kepadaku sebelum aku turun di titik perhentianku, "Berhati-hatilah dengan roh jahat."

Kakiku menapak di atas tanah yang keras setelah beberapa langkah kaki membawaku pergi dari tempat perhentianku. Dengan sebuah tas ransel di punggungku, aku melangkah masuk ke dalamnya sembari membawa tekad yang terkumpul di dalam dada. Aku berjalan perlahan menyongsong jurang kekosongan. Sebuah peringatan abai untuk kuperhatikan.

"Anugerah?" Aku tertawa kecut. Bahkan di dalam hidupku, tak pernah aku menemukannya. Omong kosong yang tak berarti.

Lautan pepohonan ini meredam semua kebisingan, termasuk kebisingan yang selalu terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Matahari yang sejak tadi mengikutiku, mulai meredup disaring dedaunan. Membawaku terkungkung di dalam sebuah kesunyian dan kegelapan.

Kerasnya tanah yang kupijak sekeras tekadku hari itu. Tingginya pepohonan menghalangiku untuk kembali. Lubang-lubang besar di tanah ini terlihat persis seperti masalah-masalah yang selalu mengiringi langkah kehidupanku. Saat ini, lubang-lubang itu adalah rintangan dalam perjalanan terakhirku. Kesiur angin meniupkan beban-beban di bahuku. 

Sepanjang perjalanan, aku menemukan mereka yang mendahuluiku. Sekali sempat aku bertegur sapa dengan salah satu di antara mereka. Aku merasakan lelahnya perjuangan mereka untuk tiba pada titik ini.

"Kau pasti sangat lelah, semoga perjalananmu menyenangkan," tegurku pada salah satu di antara orang-orang yang aku temui. Aku tidak ragu sedikit pun untuk menegurnya. Meskipun aku tidak mengenalnya sama sekali tetapi aku tahu persis bagaimana rasa lelah yang mereka rasakan.

Lantas, aku kembali melanjutkan langkahku. Menelusuri rute terlarang hingga aku menemukan sebuah pohon besar dan permukaan tanah yang rata. Tempat yang sangat strategis untuk bermalam. Duduk di bawah pohon besar, cukuplah menjadi sandaran lelahku seperti tertidur di pangkuan ibunda. 

Sepotong ingatan kehangatan sang ibunda terlintas sejenak saat aku memejamkan mata. Sepersekian detik kemudian, potongan itu berganti dengan celaan dan hinaan. Aku segera mengalihkan pikiranku dari hal menyakitkan itu. Sepotong kenangan masa kecil yang indah kembali terlintas sejenak, namun tak lama kemudian teriakan kasar dan cacian yang memekakkan telinga mulai mencabik ingatanku. 

Matahari semakin meredup ditelan malam. Hari mulai gelap, aku bahkan tidak bisa melihat apa pun di sekelilingku. Aku juga tak bisa menemukan jalan pulang. Lautan pepohonan ini benar-benar senyap. Tak ada kor jangkrik yang bernyanyi dan menyapa. Tak ada pula monyet-monyet yang bersahutan memanggil sesamanya dari satu pohon ke pohon lainnya. Benar-benar tempat yang sangat tenang. Tempat ini sangat menjanjikan untuk dijadikan tempat peristirahatan yang penuh dengan kedamaian. Aku bisa beristirahat dengan damai di sini.

Dinginnya angin berbisik membelai bulu kudukku. Aku merapatkan jaket yang melekat di tubuhku. Sedikitnya, ia memberi kehangatan saat perasaanku justru membeku. Bisikan dari kepalaku mulai menjalari pikiranku. 

Aku manusia gagal. Aku tidak bisa memenuhi keinginan orang-orang terdekatku. Aku lahir membawa kekecewaan. Tak pernah sekalipun mereka bangga kepadaku. Aku adalah kesialan yang dilahirkan tanpa kesengajaan. Selama ini aku hanya membawa kesulitan dan masalah di dalam keluargaku. Tak sedikitpun kebahagiaan kuberikan kepada mereka yang membawaku ke dunia ini. Aku bukan anugerah. Aku adalah sebuah kutukan. 

Kedua tanganku memeluk ransel yang ada di pangkuanku lebih erat. Tanpa sadar, bulir air menyembul di ujung netra dan jatuh membentuk parit kecil di pipiku. Dada terasa sesak hingga tenggorokanku terbakar. Ujung jari-jariku membeku dalam bentuk kepalan tangan. Teriakan itu hanya bisa kuredam. Sekali pun aku meneriakkannya, tak akan ada yang bisa memahami rasa sakitnya.

Entah berapa menit sudah berlalu, entah berapa jam terlewati. Sudahkah lewat tengah malam atau masih sekitar pukul sepuluh malam, aku tidak yakin. Namun, yang paling jelas aku rasakan adalah udara semakin dingin hingga menyelinap ke dalam pakaianku dan menusukkan jarum-jarum beku ke tulang-tulang tubuhku. 

Pikiranku terlalu sibuk mempertimbangkan keadaan. Carut-marut di dalam benakku membawa kegelisahan. Rasa jijik dengan kehadiran diriku sendiri semakin menyelimutiku. Hingga sebuah bisikan berkelebat di telingaku. 

"Kau ingin bergabung dalam kedamaian?" 

Suara itu terasa dekat, berbisik tepat di telinga. Namun, aku tak yakin dengan wujudnya. Suara itu terus terngiang di telingaku seperti alunan musik yang menggoda. Berulang kali bisikan itu terdengar di telingaku. Rasa penasaranku mendorongku untuk membuka mata. Lantas kudapati seorang wanita berpakaian kain putih dengan rambut panjangnya tersenyum di hadapanku sambil berkata, "Kau mau bergabung bersama kami?"

Aku tak bisa berucap sedikit pun. Lidahku benar-benar kelu saat mendapati kehadirannya. Roh yang berkeliaran di hutan ini benar-benar ada. Padahal, kisahnya hanyalah sebuah kisah turun temurun yang masih dianggap mitos belaka. 

"Tempat ini menjanjikan kedamaian untukmu. Tak ada lagi rasa sakit, hanya ketenangan jiwa yang akan kau bawa."

Bisikan itu menggetarkan jiwaku. Sekian detik aku bergeming, lalu hatiku menyetujuinya. Kekalutan yang sejak tadi tak kunjung berakhir membalut perasaanku, mulai menemukan titik terangnya. Simpul tali kekacauan yang kusut perlahan menemukan cara untuk melepas ikatan kusutnya. 

"Jika kau ingin bergabung, kami akan menunggumu."

Sosok itu pergi dan menghilang di balik batang pohon yang berjajar rapat. Langit yang semula dikungkung kegelapan mulai bersambut fajar. Semburat jingga menerangi langit yang memberi sedikit penerangan untuk penglihatanku. Fajar menyambutku dalam keputusasaan. Aku telah mengambil keputusan itu.

Lembayung fajar yang bersemburat di cakrawala dengan indah memanjakan mataku. Kesunyian sungguh membawa kedamaian hingga merasuk ke dalam jiwa. Sunyi. Senyap. Tenang. Tak pernah aku rasakan ketenangan semacam ini sebelum aku datang ke sini. Suara alam dan angin yang berkesiur bersahutan merdu membelai telingaku. Cahaya matahari malu-malu mengintip dari dedaunan yang rimbun. Setidaknya, jika aku tak pernah menemukan keindahan di dalam kehidupanku, pemandangan ini adalah hal terindah yang pernah kulihat di akhir hayatku. Maafkan aku dan terima kasih banyak.

Angin memeluk tubuhku. Aliran napasku tersendat. Air mataku menetes begitu derasnya. Pohon ini mendekapku untuk beristirahat di dalam pangkuannya. 

Aku berharap bisa melindungi mereka yang kutinggalkan. Setidaknya, kehadiranku di sini akan menjadi berkat bagi mereka yang masih menjalani kehidupannya. Aku tidak sendirian di sini. Mereka menantiku di depan gerbang, menyambutku dengan senyuman. 

Wahai keluarga baruku, terimalah aku sebagai bagian dari kehidupanmu yang baru.

***

Baca juga cerita pendek lainnya di sini

Ilustrasi: Hutan Aokigahara

Ditulis oleh Michiko

Picture by Akira.t on Pixta

14 Januari 2021

Tendas Pasukan Berkuda

8:30 PM 0 Comments

Lampu berpendar mengedar pada pandangan seperti seekor kunang-kunang raksasa. Kunang-kunang tak lagi terlihat berterbangan menghiasi langit malam. Kilauan bokongnya kalah dengan lampu-lampu yang jauh lebih luas cakupan cahayanya. Langkah kaki seorang pria menelusuri jalan menanjak beraspal yang kian larut kian lengang. Hentakan sepatunya terdengar berderap saat bertembung dengan bebatuan halus itu. 


Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Lampu lalu lintas sudah berkedip-kedip berwarna oranye di jalan utama yang biasa dilalui kendaraan. Seharusnya, dia sudah sampai di rumah setengah jam yang lalu. Namun, sopir angkot yang aneh itu tiba-tiba menyuruhnya turun di tengah jalan yang gelap dan sepi. Sopir itu dianggapnya aneh karena tidak berbicara sedikit pun sejak ia menaiki angkot itu. Berbagai pertanyaan basa-basi yang diucapkannya sama sekali tak ada yang dijawabnya, seperti mengobrol dengan bongkahan batu besar. 


"Pak, ini bisa dibelokin ke perumahan nggak?" Pertanyaan itu berulang kali ditanyakannya. Namun, ucapan si pemuda itu seperti angin lalu. Sopir angkot itu tak menjawab iya ataupun tidak. Padahal sopir angkot itu menilik pemuda itu dari kaca spion. Lengang, tidak ada percakapan di antara keduanya. Hanya suara mesin angkot butut tua yang mengoceh sejak melesat dari tempat pemuda itu mencegatnya. Setelah beberapa lama, angkot itu berhenti di perempatan jalan utama tepat di bawah lampu lalu lintas yang berkedip. 


"Maaf, Mas. Cuma bisa sampai sini." Akhirnya, sopir angkot itu berbicara setelah sekian lama menyembunyikan suara di bokongnya. 


Pemuda yang baru saja pulang dari kantornya itu menghela napas setelah mendengar ucapan sopir angkot itu. Sepanjang perjalanan, tiada henti ia berdoa kepada Tuhan sebab ia mengira angkot yang dinaikinya adalah angkot ghaib yang disopiri oleh hantu. Bayangannya saja. Sebab, sudah banyak kisah-kisah seperti itu bertebaran, kisah orang-orang yang pernah menumpang angkutan ghaib bersama penumpang ghaib yang diam saja sepanjang perjalanan. Sedikit membuat bulu kuduknya meremang, apalagi ketika membayangkan jika ia benar-benar mengalami kejadian itu secara langsung.


Lantas, angkot itu melesat pergi beberapa detik setelah pemuda itu turun. Belum sempat menyodorkan ongkos, angkot itu sudah menghilang dari pandangannya dan menghilang di perempatan jalan. Terpaksa, malam ini, di tengah jalanan yang begitu sepi dengan pepohonan yang tinggi berdiri kokoh sepanjang jalan, ia harus berjalan kaki sekitar satu kilometer untuk sampai ke rumahnya. Perumahan itu baru saja diresmikan beberapa tahun silam, lahan perumahannya mengambil lahan hutan dataran tinggi. Beberapa rumah masih berupa lahan kosong yang belum dibangun rumah. Bahkan di ujung perumahan, bisa terlihat jurang yang curam sebagai ujung dari jalan buntu. Sedikit saja kehilangan fokus saat mengendarai mobil ke sana, mobil bisa saja terjun bebas dan hanyut terbawa aliran sungai deras yang berada jauh beberapa puluh meter di bawah sana. 


Baru setengah jalan yang ia tempuh dari gerbang perumahan menuju ke rumahnya, ia masih harus berjalan lebih jauh untuk sampai di rumahnya melewati jalanan sepi yang dipagari pepohonan tinggi di kanan dan kiri. Lampu jalanan tidak cukup terang untuk menerangi setiap sudut pepohonan yang gelap. Bisa saja ada begal bersembunyi di balik pohon itu. Pemukiman masih beberapa ratus meter lagi. Tata letak perumahan ini terlalu mengutamakan keasrian dataran tinggi tetapi tidak mempertimbangkan kemudahan akses angkutan umum. Mungkin, konsep perumahan ini adalah harta karun di tengah hutan belantara sehingga dari jalanan utama yang biasa dilalui kendaraan, perumahan itu hanya terlihat seperti alas yang diberi gerbang.


Jalan aspal yang semula mulus pun berakhir di gerbang perumahan. Jalanan menjadi tidak mulus, penuh dengan kerikil kecil yang menelusuri sepanjang jalan. Kerikil kecil terdengar mengisi lengang bersama dengan derap langkah pemuda itu. Pemuda itu melangkah mantap, tak mengacuhkan rasa takutnya. Ia mengalahkah gentar, menerobos kegelapan. Rasa lelah sudah mengungkungnya sejak meninggalkan kursi kantor yang nyaman sehingga rasa takut pun tak bisa mengambil alih posisinya.


Derap langkah kaki terdengar lebih nyaring meningkahi langkah kaki pemuda itu. Suara itu familiar, derap langkah hewan berkaki empat yang bersepatu. Pemuda itu menghentikan langkahnya, ia merasa janggal ketika mendengar suara ringkikan kuda yang berjalan jauh di belakangnya. Bukan, itu bukan sebuah delman yang membawa penumpang tetapi seseorang yang menunggangi kudanya. Dalam pikirnya, untuk apa orang berkuda tengah malam di jalan perumahan yang menanjak seperti itu. Pemuda itu menoleh untuk memeriksanya lebih jelas.


Penunggang kuda itu membelakangi cahaya lampu yang berpendar sehingga membentuk bayangan hitam yang tidak bisa diidentifikasi siapa penunggang kuda itu, barangkali tetangga si pemuda. Tudung menutupi kepala penunggang kuda sehingga sulit untuk mengidentifikasi siapa dia. Jubah besar menjuntai sampai ke betisnya dan sepatu bot sampai ke lutut membungkus kakinya. Derap langkah kaki kuda semakin nyaring terdengar saat mendekat ke arahnya. Kuda itu terus berjalan lurus, melewati pemuda yang sedari tadi sedang memperhatikan kedatangannya. 


Pemuda itu semakin bingung, penunggang itu sama sekali tak berhenti atau menyapanya. Mungkin, dia bukanlah tetangganya sehingga untuk apa menyapa orang yang tidak dikenal. Pemuda itu kembali melangkahkan kakinya saat penunggang kuda itu sudah beberapa meter di depannya. Bau menguar ketika penunggang kuda itu melewatinya. Baunya amis bercampur dengan bau busuk, seperti ikan yang sudah tidak segar dibiarkan dalam suhu ruangan selama berhari-hari. 


Pemuda itu mengusap hidungnya, bau itu semakin menusuk indera penciumannya dan pemuda itu merasa mual saat menciumnya. Langkah kakinya terhenti saat ia mendapati kuda itu berhenti berlari. Penunggang kuda itu juga bergeming di atas punggung kudanya, tidak turun dan tidak juga menoleh ke arah pemuda itu. Hanya diam begitu saja, tidak bergerak seperti beku seketika. Pemuda itu tak mengindahkan si penunggang kuda, lagipula dia tidak mengenalnya. Ia kembali melangkahkan kakinya. 


Namun, belum kakinya menginjakkan kaki ke tanah saat mengambil langkah pertama, sebuah benda bulat menggelinding ke arah kakinya. Sepertinya sebuah benda milik si penunggang itu terjatuh. Pemuda itu membungkuk dan meraih benda yang baru saja menabrak kakinya. Namun, urung. Benda itu menguarkan bau lebih tajam daripada bau yang ia cium sebelumnya. Benda itu juga basah dan berbulu. Pemuda itu semakin menutup hidung dengan tangannya. Bau yang menusuk hidungnya membuat air matanya menggenang di pelupuk matanya. Aroma busuk yang amat dahsyat. 


"Gila, bau banget. Apaan sih ini?" Pemuda itu mencoba mengintip dari berbagai sisi untuk memastikan benda apa yang baru saja menggelinding ke arahnya. Namun, cahaya lampu yang redup tidak cukup membantu penglihatannya. 


Penunggang kuda itu turun dari kudanya. Ia mendekat ke arah pemuda yang sedang berusaha memeriksa benda yang baru saja menggelinding ke arah kakinya. Tangan seseorang terulur mengambil benda yang tergeletak di tanah. Pemuda itu mengangkat wajahnya dan kakinya seketika gemetar. Lemas. Pemuda itu tak sanggup berdiri di atas tumpuan kedua kakinya. Tangannya seketika berkeringat dan dingin seperti sebuah es balok. Matanya terpaku melihat sosok yang hanya berjarak beberapa puluh sentimeter di depannya. Napasnya tercekat di tenggorokan. Kesadarannya terasa seperti sudah berada di ubun-ubun kepalanya dan bersiap untuk menghilang.


Benda bulat itu diletakkannya dalam pangkuan lengan si penunggang kuda. Cairan merah pekat melumuri benda itu, melintas dari pusatnya di puncak dan mengalir seperti lahar melintasi kening dan berpisah membentuk cabang di lekukan hidungnya. Benda itu melotot ke arah pemuda itu, tatapannya kosong tidak mengancam tetapi tetap menyeramkan. Penunggang kuda itu berbalik badan seolah tidak melihat kehadiran pemuda yang ada di depannya. Ia kembali menunggangi kudanya dan langkah kaki kuda itu kembali berderap.


Lemas. Sudah tak sanggup lagi pemuda itu melanjutkan perjalanan, padahal letak rumahnya hanya tinggal beberapa ratus meter. Namun, nyalinya sudah ciut setelah mengetahui penunggang kuda itu pergi ke arah yang sama dengannya. Saat itu pula, pemuda itu memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Ia berbalik badan dengan segera, memutar arah. Belum sempat melangkah, beberapa penunggang kuda lain telah mengepungnya seperti sebuah pasukan yang siap menyerang lawan. 


Suara ringkikan kuda menggema mengisi langit malam bersamaan. Namun, suara itu sama sekali tidak membangunkan warga sekitar. Derap langkah kuda bergemuruh dengan serentak berlari ke arahnya. Pemuda itu bercangkung ketakutan saat pasukan kuda itu berlari ke arahnya. Kedua lengannya berusaha melindungi kepalanya dan wajahnya ia sembunyikan di lututnya. Kuda-kuda itu berbondong-bondong berlarian ke arah jalan berujung jurang di ujung perumahan. Bau busuk menyengat hidung tak lagi dihiraukannya sebab yang ia pedulikan hanyalah kegentarannya. Suara derap langkah kaki kuda pun perlahan menghilang semakin menjauhinya.


Suara gemeletuk terdengar seperti suara es batu yang satu per satu berjatuhan ke lantai. Pemuda itu mengangkat wajah. Beberapa benda bulat menggelinding ke arahnya dan beberapa menumbuk kakinya lagi. Pemuda itu semakin lemas, kepalanya pusing. Ia berusaha melangkahkan kakinya, mencari celah untuk menapakkan kakinya. Langkahnya gontai dan tangannya berusaha meraih pagar rumah warga untuk bertumpu. Pemuda itu berjalan dengan tuntunan pagar rumah warga yang beruntun sampai ke depan rumahnya. 


Tangan pemuda itu bergetar hebat membuat suara besi yang nyaring bertumbukan saat membuka kunci pagar rumahnya. Kakinya tak sanggup lagi melangkah. Badannya terhuyung dan tersungkur ke tanah. Semuanya menghitam.

***


Garis polisi terbentang di sepanjang jalan, mengelilingi tempat kejadian perkara. Mobil taktis polisi dan ambulan juga mengepung jalan. Beberapa petugas sibuk dengan tanggung jawabnya. Wartawan sibuk berdesakan berlomba-lomba mengulik informasi tentang kejadian yang terjadi semalam. Warga sekitar juga turut berkerumun penasaran dengan apa yang sedang petugas lakukan. Beberapa petugas bekerja sama mengangkut kantung jenazah dan memasukkannya ke dalam ambulan. 


"Astaga, Tuhan. Kenapa bisa begini, Nak?" Isak tangis keluarga menggema di sepanjang koridor rumah sakit.  Langkah kaki yang tergesa-gesa bergemuruh berlarian ke ruangan di mana seorang pria muda terbaring kaku. Air mata pilu berjatuhan, kesedihan tak terelakkan melihat kondisi jenazah anggota keluarganya. "Nggak nyangka, kamu bisa meninggal dengan tragis seperti ini."


Kasus tabrak lari itu telah merenggut nyawa seorang pemuda yang baru saja pulang setelah mencari nafkah pada pukul setengah satu malam. 


— T A M A T 


Baca juga kisah horor lainnya di sini

Cerita Horor: Tendas Pasukan Berkuda

Ditulis oleh:



Michiko


Picture source on Google

19 November 2020

Gadis Bak Mandi

9:02 PM 0 Comments
Setelah bergulat dengan tugas dan ujian, hari libur datang menghampiri jiwa seseorang yang kelewat stres dan nyaris depresi ini. Selain bermalas-malasan, tugas setiap liburan semester adalah menjenguk Nenek di desa. Rutinitas yang tidak boleh terlupakan, sebab Mama selalu bilang, "Mumpung Nenek masih ada, kalau Nenek sudah engga ada, nanti menyesal engga pernah jenguk Nenek." Begitulah kalimat andalan Mama, senjata yang paling ampuh untuk mengusir anaknya dari rumah.

Aku, si Bujang Lapuk, begitu panggilan yang disematkan orang-orang di sekitarku, pergi mengajak salah satu sepupuku, Iwan. Sebab, status jomblo yang terus melekat dan tak pernah mau pergi ini, tidak mengizinkan aku untuk pergi mengunjungi nenek bersama seorang wanita yang menjadi kekasihku. Iya, aku memang tak laku-laku. Puas?

Seperti biasa, aku mengendarai motor untuk menempuh perjalanan dari Bogor ke Sukabumi. Terkadang, aku bergantian posisi dengan Iwan yang sejak tadi menumpang dan duduk manis di jok belakang, kala kedua tangan tak sanggup lagi memegangi setang. Perjalanan kurang lebih tiga jam, akan terasa kurang afdol jika tidak disertai badan pegal sebagai hidangan penutup saat perjalan. 

Rumah Nenek terletak di pedalaman, jalur aspal yang berlubang sudah akrab menjadi kawan perjalanan, pemandangan pohon-pohon tinggi dan sawah di kanan kiri menjadi pajangan yang indah untuk sekadar cuci mata. Tidak lupa, silau cahaya matahari yang menyilaukan dan panas terik matahari juga setia menemani kami sepanjang perjalanan. 

Rumah Nenek letaknya di tengah desa yang dikelilingi oleh hutan bambu. Sebelum sampai ke sana, kami harus melewati jalan kecil yang diapit dengan bambu-bambu tinggi yang berjajar seperti pagar yang menuntun jalan ke arah sebuah desa kecil. Terik matahari yang semula menyengat kulit dan membakar ubun-ubun, mulai diredam dedaunan pohon bambu, semilir angin sejuk membelai kulit, panas matahari tidak lagi seterik sebelumnya. Suara batu kerikil yang tergilas ban, terdengar lebih nyaring sebab keadaan jalanan yang sepi tanpa orang yang lewat. 

"Punten," ucap Iwan yang tiba-tiba bergumam sendiri.

"Ngapain lo?" Pandanganku yang semula beredar menikmati pemandangan, teralihkan pada Iwan yang masih berhati-hati mengendarai motor di atas jalanan penuh kerikil.

"Numpang lewat sama penunggu sini."

"Ya elah, Nyet! Hari gini, masih percaya begituan?" aku menyergah. Ya iya lah, penunggu apaan? Peduli setan.

"Sompral banget lo kalau ngomong," protes Iwan.

"Heh, mereka itu cuma makhluk ghaib. Engga bisa ngapa-ngapain, paling cuma bisa menakut-nakuti doang!"

Iwan terdiam, entah karena dia tidak mau merespon ucapanku untuk menghindari perdebatan, atau dia diam karena takut "si penunggu" marah. 

Perjalanan tetap berlanjut, kami berdua saling terdiam tak berucap. Suara knalpot mesin mengisi lengang hutan bambu yang lebat. Cahaya matahari kembali terasa menyilaukan pandangan mata saat kami keluar dari hutan bambu. Perjalanan yang semula sepi, kini semakin ramai dengan sapaan, setiap kali kami berpapasan dengan warga desa yang tak pernah lupa dengan wujud kami. Sapaan mereka yang ramah seolah rindu, mengalihkan perhatian kami.

Roda motor terus berputar membawa kami ke sebuah halaman rumah yang luas. Pohon-pohon cengkih yang besar menjulang tinggi bagai payung yang melindungi kepala kala terik kemarau. Tanah yang kering dan debu yang berterbangan setiap kali angin berembus adalah suasana yang sering dirindukan. Liburan semester kali ini, bertepatan dengan musim kemarau. 

Nenek yang sedang duduk sambil mengunyah sepah di atas dipan yang terletak di teras, tersenyum melihat kedatangan kedua cucunya yang sudah semakin beranjak dewasa. Sambil mencangklong tas ransel, kami bersalaman secara bergantian.

"Aduh, cucu Nenek datang. Dari Bogor jam berapa?"

"Jam 12, Nek."

"Capek, ya? Sok atuh, gih pada mandi dulu."

"Nanti aja ah, Nek. Indra mah masih capek," ucapku sambil meletakkan tas ransel dan merebahkan tubuh di atas dipan, bersantai.

Nenek tak berkomentar, melihat aku yang rebah-rebahan beralas ransel gendut di punggung. "Oh ya sudah, sok atuh, Iwan dulu aja yang mandi."

"Iya, Nek," jawab Iwan, manut. 

Tangan Nenek yang kurus menyentuh betisku, memijat kaki dari ujung sampai ke paha. "Cucu Nenek sudah gede begini. Gimana kuliahnya?"

Refleks tanganku menepis tangan Nenek yang memijat kaki, terkejut, sekaligus risih. Secara etika, rasanya seperti tidak sopan membiarkan orang tua memijati anaknya, apalagi di bagian kaki. 

"Ih, jangan dipijitin gitu ah, Nek!" aku protes. "Iya, pokoknya kuliahnya gitu-gitu aja, Nek."

Nenek berhenti memijat kakiku. "Mana pacar kamu?"

Aku mendengus, dongkol. 

"Jangan tanya pacar ah, Indra mah enggak punya pacar!" Aku bangkit dari aktivitas rebah-rebahan, lalu mencangklong tas dan beranjak dari dipan. "Indra mau tidur aja lah, Nenek mah tanyanya pucar pacar pucar pacar melulu!"

"Iya maaf atuh, Kasep." Nenek menyengir sambil melontarkan kosa kata andalannya jika cucu-cucunya kesal, geram atau badung. "Tapi mandi dulu, hei! Itu bajunya kotor, habis itu baru tidur."

Aku sudah masuk ke dalam rumah sebelum Nenek menyelesaikan kalimatnya. Dengan satu lambaian tangan, sudah cukup mengisyaratkan bahwa aku menolak, tidak mau mendengarkan, akan tetap tidur saat itu juga. 

Aku meletakkan tas ransel di atas lantai setibanya di kamar, lalu tanpa keraguan melompat ke atas ranjang. Beberapa menit kemudian, aku terlelap.

***

Risih dan gatal, aku menggaruk lengan sambil memejamkan mata. Salahku juga, tadi sebelum tidur tidak membersihkan diri terlebih dahulu. Akan tetapi, saat ini pun aku belum mau bangun dari tidur yang menenangkan otot dan pikiran. Tubuhku berbalik, terlentang, masih terlarut dalam tidur yang nyenyak.

Beberapa saat, napas terasa lebih berat. Aku tersengal, dada dan perutku nyeri seperti ada benda berat yang menindih tubuhku. Lama kelamaan, napas makin menderu. Dengan mata yang masih terpejam, aku berusaha membalikkan tubuh untuk mengganti posisi tidur, siapa tahu sirkulasi udara menuju paru-paru akan lebih baik. Akan tetapi, aku tidak bisa melakukannya. Berat, tubuhku kaku dan lumpuh seketika. 

Iwan! 

Iwan! 

Iwan!

Aku berteriak memanggil nama Iwan dalam hati. Tenggorokanku tercekat, tak bisa menyebut namanya lebih keras lagi. 
Panik. Jangan-jangan ini saat-saat terakhirku. Apakah aku sedang meregang nyawa?

Aku membuka mata, ruangan remang. Lampu kamar belum dinyalakan, sepertinya hari sudah gelap—entah baru saja menyudahi petang atau sudah memasuki tengah malam. Hanya ada pendar cahaya lampu yang menyalip dari kisi-kisi pintu, membuat ruangan kamar tidak terlalu gelap gulita. Aku masih bisa melirik ke arah badan yang kaku, walaupun tubuhku tak bisa bergerak. Aku termangu saat sudut mata menangkap bayangan hitam dalam kegelapan. Seseorang duduk persis di sebelah tubuhku, seorang perempuan berambut panjang. 

Nenek, tolong bantuin Indra, ucapku dalam hati.

Aku berusaha menggerakkan tangan untuk menepuk bahu atau lengannya, sekadar meminta bantuan untuk membangunkan aku yang tidak bisa bergerak. Jika saja tanganku bisa bergerak, mulutku bisa berucap, mungkin Nenek sudah menbantuku sedari tadi, tetapi hingga aku menyadari kehadirannya, tanganku tak kunjung bergerak juga. Sampai akhirnya, sosok perempuan di sampingku itu menoleh dengan sendirinya.

Mataku membeliak. Perutku mencelos, jantungku seolah pindah ke lambung. Seperti ada ledakan granat yang dahsyat di dalam tubuhku.

Bukan. Itu bukan Nenek. 

Mataku terpaku menatap ke arah sosok itu. Bodohnya, mengapa aku harus menatap tepat ke arah kedua matanya yang hitam cekung di dalam balutan kegelapan. Tenggorokanku tercekat, tak bisa berteriak. Tubuhku kaku, tak bisa bergerak, apalagi lari. Jantungku berdegup kencang nyaris berhenti, pertama karena terkejut, selanjutnya karena rasa takut. Rasanya, seperti simulasi sakaratul maut.

Sosok itu hanya memandangiku, tidak mendekati atau menyakiti, tapi tubuhku rasanya dingin sekujur tubuh diguyur rasa takut setengah mati. 

Iwan! Nenek! 

Aku berteriak meminta tolong tetapi suara itu cuma bisa terdengar dalam benak sendiri. Tatapan mata sosok itu tajam, seperti pisau yang mampu menikam jantung hingga bisa membuatnya berhenti mendadak. Aku memejamkan mata dengan kuat, menghindari tatapannya sambil memendam rasa takut yang makin menjalar. 

Beberapa saat memejamkan mata, aku merasakan sentuhan lembut—mirip seperti dengus napas atau belaian rambut halus yang membelai wajahku. Suaranya menderu seperti angin yang berembus. Aku makin memejamkan mata, berdoa dalam hati, berharap sosok itu segera pergi. Aku yang tak taat beragama, seketika mengingat Tuhan saat itu juga, bahkan berulang kali menyebut namaNya sambil merangkai doa.

Suara deru napas—suaranya seperti orang yang napasnya tersengal jadi kuanggap itu adalah suara embusan napas—yang terdengar di telingaku, perlahan menjauh dan menghilang. Jantungku yang seolah beku selama beberapa detik, tiba-tiba bergerak lagi setelah (kuanggap) sosok itu pergi. 

Aku membuka mata perlahan, penasaran. Mata yang terbuka, disambut langit-langit yang kosong. Kepalaku terangkat, aku melirik ke tepi kasur yang barusan diduduki oleh sesosok perempuan yang mengerikan. Aku bangkit, duduk di atas kasur sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, pandanganku beredar memeriksa situasi dalam remang. Tanganku terulur jauh mencari stop kontak untuk menyalakan lampu. Cahaya terang benderang, menyilaukan mata, pupil mataku beradaptasi dengan cepat menerima cahayanya. Pandanganku beredar, kembali memastikan tak ada siapa pun di sana. Aku termenung sejenak, lalu menghela napas lega. Ternyata, cuma mimpi. 

Aku berjalan keluar dari kamar. Sambil menoleh ke kanan dan kiri, aku mencari Iwan dan Nenek, sebab rumah terlihat sepi. Seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, aku telusuri, tak ada tanda-tanda kehadiran manusia di sana. Aku memanggil orang-orang yang kucari sambil mengitari seisi rumah, terus memanggil berulang kali walaupun tak kunjung disahuti.

"Iwan? Nek?"

Di bawah pohon cengkih, Iwan berdiri sambil meletakkan handphone pada telinganya. Ia berdiri menghadap ke arah jalan, sehingga aku hanya bisa mengenali punggungnya dari baju yang masih ia kenakan sejak tadi siang. Dia sedang menelepon dengan seseorang di ujung telepon. Pasti sedang melepas rindu dengan kekasihnya yang manja.

Dasar bucin, batinku setengah iri sambil beranjak pergi ke kamar mandi.

Sandal lengkap berjajar di rak yang terletak dekat pintu dapur, kamar mandi rumah Nenek memang terletak agak jauh dari bangunan utama, dekat sumur yang sudah tidak terpakai lagi, jaraknya dengan bangunan utama disekat oleh kebun cabai dan tomat, alasannya agar aroma masakan tidak bercampur bau kamar mandi. Menurutku, itu alasan yang konyol. 

Aku bergegas menggantung handuk dan pakaian bersih, lalu mandi, tidak lupa sikat gigi, dan berdandan rapi. Kemudian, mengeringkan rambut yang basah kuyup karena guyuran air dengan handuk yang digantung tadi. Dingin. Aku tidak tahu, kalau mandi pada malam hari di desa akan sedingin ini. 

Pakaian satu per satu aku kenakan, lalu aku berhenti sejenak saat mengambil kaus yang tergantung di belakang pintu. Rasanya seperti ada seseorang yang menyelinap dalam kamar mandi, sebab aku merasa risih seolah ada yang memperhatikan gerak-gerik aku sedari tadi. Aku menoleh perlahan, kemudian pandanganku beredar ke setiap sudut kamar mandi yang luasnya hampir setara luas kamar. Tidak ada apa pun, aku langsung mengenakan kaus dan keluar dari kamar mandi. 

"Ya ampun, Indra!" 

Aku terperangah, terkejut karena dua hal. Satu, saat aku baru saja menyadari kehadiran Nenek yang tiba-tiba berada di belakangku saat menutup akses ke dapur. Dua, saat Nenek berseru cenderung membentak.

"Kamu mandi pas maghrib begini?" omel Nenek, belum menurunkan intonasi suaranya.

"Iya, emang kenapa? Biasanya juga, Indra mah mandi jam segini."

"Pamali, hei! Jangan mandi maghrib maghrib!" ucap Nenek sambil meletakkan sebuah keresek hitam di atas meja makan.

"Lebay ah, Nenek mah. Pamali, pamali, pamalinya teh kenapa coba? Sok jelasin, biasanya juga enggak apa-apa," jawabku santai, berjalan ke ruang tengah sambil mengeringkan rambut yang setengah kering. 

"Kamu ya, dikasih tahu teh malah gitu. Sok we, nanti kalau ada yang ganggu mah, kapok!" omel Nenek, terdengar sampai ke ruang tengah.

Aku melirik Iwan yang baru masuk ke dalam rumah dan menyambutnya, "Eh, si Bucin. Sudah kelar pacarannya?"

"Pacaran apaan?" tanya Iwan datar lalu meletakkan kunci motor di atas meja.

"Barusan, lo telponan sama pacar lo, kan?" Aku masih menggodanya.

"Apaan sih, orang gue habis antar Nenek ke rumah Uwak."

"Yang bener aja, terus tadi yang teleponan di bawah pohon itu siapa? Jurig?" Aku tak percaya dengan alibinya, menyikut pinggangnya pelan.

"Mana gue tahu," jawab Iwan datar lalu melewatiku. 

Aku menatap punggung Iwan saat ia berjalan ke dapur. Seperti ada yang aneh, aku berpikir sejenak. Beberapa saat memikirkannya, malah membuatku bingung. Aku mengangkat bahu tak peduli.

***

"Wan, lo masih bangun?" Iwan tak menjawab, dia tidur menghadap dinding. Aku tak tahu pasti dia sudah terlelap atau belum, aku kembali memanggilnya lebih tegas untuk memastikan. "Wan?"

"Hm?"

"Wan," aku masih memanggilnya tanpa menyampaikan maksudku setelah memanggil namanya. 

"Apaan sih, Ndra? Gue baru mau tidur, lo ganggu mulu," protes Iwan sambil menoleh, tubuhnya berbalik. 

Aku melihat wajahnya samar yang hanya tersorot pendar cahaya dari kisi-kisi pintu, tersirat kekesalan di wajahnya.

"Beneran, lo tadi enggak teleponan di bawah pohon?"

"Apaan dah, telepan telepon melulu pembahasan lo dari tadi," jawabnya ketus. Ia kembali menghadap dinding.

"Soalnya tadi pas maghrib gue lihat lo di bawah pohon cengkih, lagi teleponan."

Iwan mendengus. "Setan kali," celetuk Iwan sembarangan.

"Setan, setan! Setan, kepala lo pitak!" aku menyergah. 

Lagi-lagi pembahasan si Iwan tentang setan. Aku terus mengelak pembahasan itu. Padahal, aslinya, aku memang kepikiran.

"Berisik lo, gue mau tidur." 

Senyap. Sesekali aku melirik punggung Iwan, berharap ucapannya hanya main-main saja, tapi kenyataannya, Iwan benar-benar sudah terlelap. Aku memandang lurus ke atas langit-langit yang gelap.

Udara malam di desa pada musim kemarau terasa begitu dingin sampai menusuk tulang. Aku berjalan menelusuri kebun belakang, sekalian menatap cakrawala menyaksikan gemerlap konstelasi bintang. Daun-daun kering di tanah menggerisik dalam senyap setiap kali aku mengambil langkah. Sumur tua yang sudah tidak terpakai dan terbengkalai berada di ujung sana. Lubang sumur itu tidak tertutup, membuat penasaran apakah sumur itu masih berisi sumber air atau sudah benar-benar tak berguna. 

Beberapa langkah aku ambil, aku sudah berdiri di tepi sumur. Sebelum mengintip ke lubang sumur, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa situasi. Entah apa yang aku periksa, padahal aku tidak sedang merencanakan kejahatan. 

Aku mengintip ke dalam sumur itu, masih tergenang air di dalamnya. Timba diturunkan, aku mengulur tali timba karena terlalu penasaran, sebanyak apa air di dalam sana sehingga sumurnya tak lagi digunakan. Aku terus mengulur tali sampai timba menyentuh permukaan air. Air sudah terciduk, siap ditarik kembali. Dengan mengerahkan seluruh tenaga ke lengan, aku menarik timba yang penuh dengan air. 

Mengapa sumur ini harus ditutup kalau masih bisa digunakan? Aku membatin sambil menarik timba yang semakin lama, semakin berat—mungkin karena berlawanan dengan arah gravitasi bumi. Katrol yang berkarat pun berdecit menahan dua beban di kedua sisi, aku seolah sedang berpartisipasi lomba tarik tambang melawan gravitasi bumi. Tidak kuat menahannya lagi, aku berhenti menimba. Sambil menahan tali timba, aku mengintip ke lubang sumur. Seberapa besar beban yang aku angkat, sampai pemuda yang masih perkasa pun tak bisa menimba air dari sumur. Pantas saja Nenek menutup sumur itu. Sebab, Nenek sudah tua dan bisa saja mencederai punggungnya hanya karena menimba seember air yang begitu berat beban massanya.

Permukaan air meriak, gemercik air menggema sepanjang dalamnya sumur. Tidak terlalu jelas apa yang ada di dalam sana, tapi yang jelas ada sesuatu bergerak keluar dari dalam air. Bentuknya seperti laba-laba, ia merangkak dari dalam sana dengan cepat. Namun, ini bukan laba-laba biasa, ini beribu-ribu kali lebih besar daripada tarantula, besarnya setara manusia. 

Sosok itu merayap dengan sangat cepat, memanjat galian sumur. Kuku-kukunya tajam, mencengkeram erat dinding sumur yang berlumut. Aku berdiri kaku memperhatikan sosok itu merayap ke arahku. Tanganku melepas genggaman tali timba, membuat ember berisi penuh dengan air jatuh lagi ke permukaan. Suara gemerciknya nyaring menggema sampai ke bibir sumur. Napasku tersengal, takut dan ingin kabur. Akan tetapi, kaki terlalu kaku untuk bergerak.

Sosok itu makin mendekat, ia merayap makin cepat sampai tiba di bibir sumur. Kemudian, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahku, dengan sigap menerkam tubuhku. Dorongannya sangat kuat, membuatku terpelanting jauh dari bibir sumur dan tersungkur di tanah. Sosok itu menindih tubuhku sehingga aku tak bisa melarikan diri. Tangannya mengayun brutal, dengan kukunya yang tajam ia berusaha mencabik wajahku yang berusaha aku lindungi dengan lengan.

"Iwan! Nenek! Tolong!" Aku berteriak sekencang yang aku bisa sampai tenggorokanku kering dan sakit dibuatnya. Kalau sampai tetangga mendengar, itu jauh lebih bagus. 

Sosok itu terus mengayunkan cakarnya seperti seekor harimau yang sedang mencabik mangsa. Aku terus berteriak, meminta tolong sekeras mungkin pada siapa pun yang mungkin mendengarnya. 

Serangan itu seketika berhenti, tapi tetap saja, sama sekali tidak menenangkanku yang sudah basah kuyup bermandikan peluh rasa takut. Sebab, tangannya yang semula berayun sembarangan arah, kini mencengkeram pergelangan tanganku.  Napasku tersengal, tenggorokanku kering, jantungku seperti berhenti sesaat. Bola mataku bergerak perlahan, melirik ke arah tangan yang melingkar dengan kuat yang mencengkeram pergelangan tanganku. Wajah sosok itu bisa aku lihat dengan jelas, begitu dekat dan amat lekat terpampang di depan mata, ia menyeringai seram. Aku teriak sekencang-kencangnya.

Aku membuka mata. Mataku melotot dan pandangan mengedar ke seluruh sudut ruangan. Dadaku naik turun dengan cepat, napasku tersengal, dan keringat mengalir dari pelipisku. Pergelangan tanganku dicengkeram oleh Iwan, ia menatapku bingung.

"Heboh banget tidur lo," komentar Iwan seraya melepaskan pergelangan tanganku. 

Aku masih mengatur napas dengan posisi duduk. Mimpi buruk lagi. Aku meremas rambutku yang basah karena peluh. Kaus yang kupakai juga basah karena mengeluarkan keringat. 

"Kenapa sih lo? Ngigau sampai segitunya."

Aku menelan ludah, rongga mulutku terasa kering. Aku memandang Iwan lamat-lamat sambil menghela napas. Aku menceritakan mimpi yang aku alami di hari sebelumnya. Mimpi yang begitu terasa nyata, bahkan membuat diriku trauma. 

"Ini pasti gara-gara lo ngomong sompral di hutan, kan?" tuduh Iwan sebelum aku menyelesaikan kalimat penutup cerita.

Aku mengernyitkan alis, lalu mengangkat bahu. "Hidup lo mistis mulu, Wan."

Aku melewati Iwan, menubruknya bahunya dengan bahuku saat keluar kamar.

Aku meraup air, membasuh wajahku. Butiran air yang tersisa mengalir di wajahku. Tetesan air terjun bebas dari daguku, menghantam genangan air yang menciptakan suara gemercik. Aku memandang pantulan bayangan wajahku pada permukaan air yang beriak. Sekelebat bayangan mimpi yang kualami kemarin, kembali menari-nari di bayanganku. 

Dua kali aku bertemu dengan sosok wanita yang sama. Siapa dia? Mengapa bentuknya begitu menyeramkan?

Aku menggoyangkan tanganku, memercik sisa air yang masih membasahi telapak tanganku. Aku menggelengkan kepalaku dan melupakan mimpi itu, lalu keluar dari kamar mandi.

***

Seharian kami menghabiskan waktu di sawah, menemani Nenek untuk memantau pekerja tani yang menggiling padi dan gabah. Pukul 05.00 sore, kami baru menginjakkan kaki di rumah. Aku merebahkan tubuhku di atas dipan, memandang langit-langit teras. 

"Indra, Iwan, langsung mandi! Bersih-bersih, badan pada kotor semua." Seperti biasanya, omelan Nenek tentang kebersihan selalu menggema di telinga, terutama setelah menerjang lumpur atau tanah di sawah.

"Wan, lo duluan!" 

Iwan, anak yang penurut, yang bahkan bisa menuruti perintah sepupunya ini karena kelewat manut, langsung bergegas mengambil handuk dan membersihkan diri. Sambil menunggu, aku mengeluarkan handphone, memainkan permainan online yang beberapa hari ini belum aku mainkan. 

Iwan kembali, lalu menyabetkan handuk ke tubuhku. "Sana lo, mandi!"

Aku yang masih asik dengan permainanku, melambaikan tanganku menyuruhnya pergi. "Bentar, bentar!"

"Diomelin Nenek lo, Ndra, mandi maghrib lagi."

Aku tak menggubris ucapannya. Mataku masih fokus pada layar handphone dan kedua tanganku sibuk mengontrol permainan pada layar. Selain penurut, Iwan orang yang tidak suka berdebat dan mudah menyerah. Jadi, ia pergi meninggalkan aku yang masih asik bermain sendirian. 

Tak terasa, aku sudah main beberapa putaran hingga semburat jingga yang semula menyala di kaki langit pada ufuk barat sudah tergantikan dengan warna biru keunguan cakrawala. 

"Ya ampun, Indra, belum mandi juga?" Omelan Nenek kembali memekak telinga. Mukena putih yang masih Nenek kenakan saat Nenek menyalakan lampu teras, membuat aku agak terkejut. Nenek menyabetku dengan sajadah di tangannya. "Mandi malam lagi kamu, hah?"

Aku sudah menyulut emosi Nenek. Daripada aku terkena omelan yang bertubi-tubi, lebih baik aku mengalah saja untuk pergi mandi saat itu juga.

Handuk aku sampirkan pada bahu. Aku terperanjat melihat seseorang berdiri di kebun belakang saat membuka pintu dapur. Ia berdiri membelakangiku sambil meletakkan handphone pada telinganya. 

Iwan, bukan? Atau sosok yang menyerupai Iwan?

Aku tidak bergerak, masih termangu memperhatikan gerak-geriknya. Ia menoleh ke arahku yang masih mematung di ambang pintu. 

"Ngapain lo di situ?" tanyanya tanpa menurunkan handphone yang ia letakkan pada telinganya. Obrolannya dengan seseorang di ujung telepon belum berakhir.

Oh, Iwan sungguhan. Aku menghela napas lega lalu berlenggang ke arah kamar mandi melintasi kebun belakang sambil bersiul. 

Aku mandi seperti biasa, membersihkan badanku dari debu-debu yang melekat di tubuh. Aku membersihkan wajah, mengusapkan busa-busa berlimpah pada seluruh bagian wajah. Mataku terpejam sebab akan perih jika sabunnya masuk ke mata. Aku menggosok wajah sambil bersiul santai menikmati usapan busa lembut di wajah. 

Sekelebat bayangan melintas pada pikiranku, seolah ada sesosok wajah yang terpampang di depan wajahku. Entah mengapa aku tiba-tiba membayangkan hal itu. Aku berhenti menggosok wajah, tanganku dengan sigap meraba-raba gayung yang berisi air, membilas wajah yang berbusa. Aku membuka satu mata, sial, perih sekali saat sisa sabun mengalir bersama air melewati mataku. Dengan cepat, aku mengusap sisa busa dan membasuhnya. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, menyapu kamar mandi yang hanya diterangi oleh cahaya lampu bohlam kuning yang redup. 

Bayangan gila, menakut-nakuti saja, padahal tidak ada apa-apa. 

Setelah menuntaskan aktivitas, aku berbalik hendak mengambil pakaian dan handuk. Sial, aku lupa membawa pakaian ganti. Aku mengeringkan tubuhku dengan handuk dari ujung kaki ke ujung kepala.

Suara gemericik air, menghentikanku saat aku melilit handuk di pinggangku. Aku menahan napas membuat kamar mandi senyap agar tidak terganggu deru napasku sendiri, berusaha memastikan apa yang baru saja kudengar. Suara seperti air bak mandi yang beriak diaduk dengan ciduk terdengar mengisi senyap. Aku menoleh cepat, lalu mengernyitkan alis saat kudapati permukaan air yang tenang dan gayung masih dalam posisi semula. Lalu dari mana asal suara air yang aku dengar? Aku kembali berbalik, tak peduli, mengikat handuk di pinggangku agar melilit dengan kuat.

Geli, sesuatu membelai tengkuk, membuat aku bergidik. Aku mengusap tengkuk, menyambar sesuatu yang menggelitik, entah serangga atau apa pun itu. Mataku terbelalak saat melirik jariku yang menarik sesuatu dari tengkuk. Aku menelan ludah dengan gugup. Entah rambut milik siapa yang bertengger di bahuku, panjang menjuntai dari tengkuk sampai ke pinggang. Jelas, itu bukan rambutku. 

Belum tuntas rasa penasaran atas rambut misterius itu, tetesan air yang menetes dari atap mengalihkan perhatianku. Tetesannya jatuh membasahi hidungku. Aku mengusap hidungku dengan jari, jariku berwarna merah setelah mengusapnya. Aku mengangkat wajahku perlahan, takut tapi penasaran. Jantungku nyaris berhenti seketika saat mengetahui dari mana tetesan darah itu berasal. Kakiku gemetar, begitu juga tanganku yang tremor ketika berusaha membuka selot. Kali ini aku harus kabur, sebab aku yakin ini bukan lagi mimpi. 

Aku mendorong pintu tetapi pintu tak juga terbuka, seperti terkunci dari luar. Berulang kali aku mendobraknya dengan bahu, pintu tak kunjung terbuka. Aku menggebrak pintu dari dalam sambil memanggil Iwan yang beberapa saat lalu masih berada di kebun, menelepon seseorang di ujung telepon.

"Iwan! Iwan! Buka pintunya, Wan!"

Leherku tiba-tiba terlilit rambut panjang yang tersampir di bahuku hingga mencekikku. Aku gelagapan berusaha melepas lilitannya. Telapak kakiku terangkat, menyisakan tumit yang menapak pada tanah. Tubuhku miring hampir 45 derajat ke belakang, diseret rambut itu ke arah bak mandi di ujung ruangan dengan paksa. Aku hampir kehabisan napas. Punggungku membentur tepian bak mandi yang terbuat dari semen, pinggang bagian belakangku ngilu saat tergores permukaan semen pada ujung sisi bak mandi yang tajam karena tak rata. Kakiku terangkat, aku mengapung di udara karena lilitan rambut yang menarik leherku ke atas. 

"I... Wan!" Aku mengulurkan satu tangan, berusaha meraih gagang pintu dari kejauhan sambil terbata-bata menyebut nama Iwan. 

Lilitan rambut di leherku terlepas seketika, menjatuhkan tubuhku ke tanah hingga tersungkur. Aku mendarat dengan kedua lutut, terbatuk-batuk saat tenggorokanku tak lagi terlilit dengan kuat. Sadar bahwa aku harus melarikan diri, aku langsung bangkit dan mengabaikan rasa sakit yang menjalar pada seluruh tubuhku. Belum sempat meraih gagang pintu, suara gemericik air dan tawa menggema di langit-langit kamar mandi. Permukaan air pada bak mandi kini beriak hebat, membuat gayung yang bertengger di tepi bak mandi jatuh ke lantai. 

Jari-jari terbit dari permukaan air, membuat kakiku gemetar. Aku tersengal, napasku tak beraturan dilanda ketakutan. Jari-jari itu berkuku tajam, makin jelas terlihat saat mencengkeram dinding bak mandi, persis seperti ia mencengkeram dinding sumur dalam mimpiku tadi malam. Aku bangkit, berlari tunggang-langgang ke arah pintu. Aku mendorong pintu dengan satu kali dobrakan, membuatku terjerembab ke tanah dengan handuk yang masih melilit pinggangku. Dengan cepat aku bangkit dan lari terbirit-birit sambil berteriak ke dalam rumah.

***

"Ada apa, Ndra?" Iwan turut panik saat ia menyusul beberapa waktu setelah aku duduk sambil ngos-ngosan di atas kasur. 

"Kenapa lo enggak bukain pintunya?" bentakku dengan emosi yang masih tidak stabil.

"Eh?"

Aku mendorong bahu Iwan, membuat dia tersudut. "Gue teriak-teriak di dalam sana, hampir mati. Bajingan lo!"

"Maksud lo apa?" Iwan masih tak paham.

"Gue panggil-panggil lo ya, Bangsat. Masih banyak tanya!"

"Gue gak dengar apa-apa, Ndra! Gue berani sumpah!" 

Aku meliriknya, menilik wajahnya. Napasku masih tersengal seperti banteng yang mengamuk saat mengolah emosi yang membuncah.

"Gue juga bingung, kenapa lo lari sampai terbirit-birit gitu waktu keluar kamar mandi."

Aku mengusap wajahku, lalu meremas rambutku. Pasti cuma halusinasi. Aku tak ingin menceritakannya, bisa-bisa dianggap gila. "Enggak apa-apa, kayaknya gue halusinasi lagi."

Aku berusaha melupakannya. Aku merogoh tas ranselku, mengambil kaus yang terlipat di dalam sana.

"Ndra," panggil Iwan.

"Hm?" Aku menyahuti tanpa mengalihkan pandanganku saat sibuk mengeluarkan pakaian dari dalam ransel.

"Punggung lo memar," ucap Indra terdengar khawatir.

Aku menoleh ke arahnya, menatapnya bingung. Aku melirik ke arah punggungku tetapi tak terlihat begitu jelas. Aku berjalan ke depan lemari yang terdapat cermin besar pada pintunya, berdiri membelakangi cermin, dan memperhatikan pantulan bayangan pada cermin. Lebam kebiruan dan lecet berwarna kemerahan membekas pada punggungku. Aku merabanya, terasa amat perih dan ngilu. 

Sebenarnya, yang aku alami ini, hanya sekadar halusinasi atau teror gila dari gadis bak mandi?

***
Ditulis oleh:

Michiko

Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini