Lampu berpendar mengedar pada pandangan seperti seekor kunang-kunang raksasa. Kunang-kunang tak lagi terlihat berterbangan menghiasi langit malam. Kilauan bokongnya kalah dengan lampu-lampu yang jauh lebih luas cakupan cahayanya. Langkah kaki seorang pria menelusuri jalan menanjak beraspal yang kian larut kian lengang. Hentakan sepatunya terdengar berderap saat bertembung dengan bebatuan halus itu.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Lampu lalu lintas sudah berkedip-kedip berwarna oranye di jalan utama yang biasa dilalui kendaraan. Seharusnya, dia sudah sampai di rumah setengah jam yang lalu. Namun, sopir angkot yang aneh itu tiba-tiba menyuruhnya turun di tengah jalan yang gelap dan sepi. Sopir itu dianggapnya aneh karena tidak berbicara sedikit pun sejak ia menaiki angkot itu. Berbagai pertanyaan basa-basi yang diucapkannya sama sekali tak ada yang dijawabnya, seperti mengobrol dengan bongkahan batu besar.
"Pak, ini bisa dibelokin ke perumahan nggak?" Pertanyaan itu berulang kali ditanyakannya. Namun, ucapan si pemuda itu seperti angin lalu. Sopir angkot itu tak menjawab iya ataupun tidak. Padahal sopir angkot itu menilik pemuda itu dari kaca spion. Lengang, tidak ada percakapan di antara keduanya. Hanya suara mesin angkot butut tua yang mengoceh sejak melesat dari tempat pemuda itu mencegatnya. Setelah beberapa lama, angkot itu berhenti di perempatan jalan utama tepat di bawah lampu lalu lintas yang berkedip.
"Maaf, Mas. Cuma bisa sampai sini." Akhirnya, sopir angkot itu berbicara setelah sekian lama menyembunyikan suara di bokongnya.
Pemuda yang baru saja pulang dari kantornya itu menghela napas setelah mendengar ucapan sopir angkot itu. Sepanjang perjalanan, tiada henti ia berdoa kepada Tuhan sebab ia mengira angkot yang dinaikinya adalah angkot ghaib yang disopiri oleh hantu. Bayangannya saja. Sebab, sudah banyak kisah-kisah seperti itu bertebaran, kisah orang-orang yang pernah menumpang angkutan ghaib bersama penumpang ghaib yang diam saja sepanjang perjalanan. Sedikit membuat bulu kuduknya meremang, apalagi ketika membayangkan jika ia benar-benar mengalami kejadian itu secara langsung.
Lantas, angkot itu melesat pergi beberapa detik setelah pemuda itu turun. Belum sempat menyodorkan ongkos, angkot itu sudah menghilang dari pandangannya dan menghilang di perempatan jalan. Terpaksa, malam ini, di tengah jalanan yang begitu sepi dengan pepohonan yang tinggi berdiri kokoh sepanjang jalan, ia harus berjalan kaki sekitar satu kilometer untuk sampai ke rumahnya. Perumahan itu baru saja diresmikan beberapa tahun silam, lahan perumahannya mengambil lahan hutan dataran tinggi. Beberapa rumah masih berupa lahan kosong yang belum dibangun rumah. Bahkan di ujung perumahan, bisa terlihat jurang yang curam sebagai ujung dari jalan buntu. Sedikit saja kehilangan fokus saat mengendarai mobil ke sana, mobil bisa saja terjun bebas dan hanyut terbawa aliran sungai deras yang berada jauh beberapa puluh meter di bawah sana.
Baru setengah jalan yang ia tempuh dari gerbang perumahan menuju ke rumahnya, ia masih harus berjalan lebih jauh untuk sampai di rumahnya melewati jalanan sepi yang dipagari pepohonan tinggi di kanan dan kiri. Lampu jalanan tidak cukup terang untuk menerangi setiap sudut pepohonan yang gelap. Bisa saja ada begal bersembunyi di balik pohon itu. Pemukiman masih beberapa ratus meter lagi. Tata letak perumahan ini terlalu mengutamakan keasrian dataran tinggi tetapi tidak mempertimbangkan kemudahan akses angkutan umum. Mungkin, konsep perumahan ini adalah harta karun di tengah hutan belantara sehingga dari jalanan utama yang biasa dilalui kendaraan, perumahan itu hanya terlihat seperti alas yang diberi gerbang.
Jalan aspal yang semula mulus pun berakhir di gerbang perumahan. Jalanan menjadi tidak mulus, penuh dengan kerikil kecil yang menelusuri sepanjang jalan. Kerikil kecil terdengar mengisi lengang bersama dengan derap langkah pemuda itu. Pemuda itu melangkah mantap, tak mengacuhkan rasa takutnya. Ia mengalahkah gentar, menerobos kegelapan. Rasa lelah sudah mengungkungnya sejak meninggalkan kursi kantor yang nyaman sehingga rasa takut pun tak bisa mengambil alih posisinya.
Derap langkah kaki terdengar lebih nyaring meningkahi langkah kaki pemuda itu. Suara itu familiar, derap langkah hewan berkaki empat yang bersepatu. Pemuda itu menghentikan langkahnya, ia merasa janggal ketika mendengar suara ringkikan kuda yang berjalan jauh di belakangnya. Bukan, itu bukan sebuah delman yang membawa penumpang tetapi seseorang yang menunggangi kudanya. Dalam pikirnya, untuk apa orang berkuda tengah malam di jalan perumahan yang menanjak seperti itu. Pemuda itu menoleh untuk memeriksanya lebih jelas.
Penunggang kuda itu membelakangi cahaya lampu yang berpendar sehingga membentuk bayangan hitam yang tidak bisa diidentifikasi siapa penunggang kuda itu, barangkali tetangga si pemuda. Tudung menutupi kepala penunggang kuda sehingga sulit untuk mengidentifikasi siapa dia. Jubah besar menjuntai sampai ke betisnya dan sepatu bot sampai ke lutut membungkus kakinya. Derap langkah kaki kuda semakin nyaring terdengar saat mendekat ke arahnya. Kuda itu terus berjalan lurus, melewati pemuda yang sedari tadi sedang memperhatikan kedatangannya.
Pemuda itu semakin bingung, penunggang itu sama sekali tak berhenti atau menyapanya. Mungkin, dia bukanlah tetangganya sehingga untuk apa menyapa orang yang tidak dikenal. Pemuda itu kembali melangkahkan kakinya saat penunggang kuda itu sudah beberapa meter di depannya. Bau menguar ketika penunggang kuda itu melewatinya. Baunya amis bercampur dengan bau busuk, seperti ikan yang sudah tidak segar dibiarkan dalam suhu ruangan selama berhari-hari.
Pemuda itu mengusap hidungnya, bau itu semakin menusuk indera penciumannya dan pemuda itu merasa mual saat menciumnya. Langkah kakinya terhenti saat ia mendapati kuda itu berhenti berlari. Penunggang kuda itu juga bergeming di atas punggung kudanya, tidak turun dan tidak juga menoleh ke arah pemuda itu. Hanya diam begitu saja, tidak bergerak seperti beku seketika. Pemuda itu tak mengindahkan si penunggang kuda, lagipula dia tidak mengenalnya. Ia kembali melangkahkan kakinya.
Namun, belum kakinya menginjakkan kaki ke tanah saat mengambil langkah pertama, sebuah benda bulat menggelinding ke arah kakinya. Sepertinya sebuah benda milik si penunggang itu terjatuh. Pemuda itu membungkuk dan meraih benda yang baru saja menabrak kakinya. Namun, urung. Benda itu menguarkan bau lebih tajam daripada bau yang ia cium sebelumnya. Benda itu juga basah dan berbulu. Pemuda itu semakin menutup hidung dengan tangannya. Bau yang menusuk hidungnya membuat air matanya menggenang di pelupuk matanya. Aroma busuk yang amat dahsyat.
"Gila, bau banget. Apaan sih ini?" Pemuda itu mencoba mengintip dari berbagai sisi untuk memastikan benda apa yang baru saja menggelinding ke arahnya. Namun, cahaya lampu yang redup tidak cukup membantu penglihatannya.
Penunggang kuda itu turun dari kudanya. Ia mendekat ke arah pemuda yang sedang berusaha memeriksa benda yang baru saja menggelinding ke arah kakinya. Tangan seseorang terulur mengambil benda yang tergeletak di tanah. Pemuda itu mengangkat wajahnya dan kakinya seketika gemetar. Lemas. Pemuda itu tak sanggup berdiri di atas tumpuan kedua kakinya. Tangannya seketika berkeringat dan dingin seperti sebuah es balok. Matanya terpaku melihat sosok yang hanya berjarak beberapa puluh sentimeter di depannya. Napasnya tercekat di tenggorokan. Kesadarannya terasa seperti sudah berada di ubun-ubun kepalanya dan bersiap untuk menghilang.
Benda bulat itu diletakkannya dalam pangkuan lengan si penunggang kuda. Cairan merah pekat melumuri benda itu, melintas dari pusatnya di puncak dan mengalir seperti lahar melintasi kening dan berpisah membentuk cabang di lekukan hidungnya. Benda itu melotot ke arah pemuda itu, tatapannya kosong tidak mengancam tetapi tetap menyeramkan. Penunggang kuda itu berbalik badan seolah tidak melihat kehadiran pemuda yang ada di depannya. Ia kembali menunggangi kudanya dan langkah kaki kuda itu kembali berderap.
Lemas. Sudah tak sanggup lagi pemuda itu melanjutkan perjalanan, padahal letak rumahnya hanya tinggal beberapa ratus meter. Namun, nyalinya sudah ciut setelah mengetahui penunggang kuda itu pergi ke arah yang sama dengannya. Saat itu pula, pemuda itu memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Ia berbalik badan dengan segera, memutar arah. Belum sempat melangkah, beberapa penunggang kuda lain telah mengepungnya seperti sebuah pasukan yang siap menyerang lawan.
Suara ringkikan kuda menggema mengisi langit malam bersamaan. Namun, suara itu sama sekali tidak membangunkan warga sekitar. Derap langkah kuda bergemuruh dengan serentak berlari ke arahnya. Pemuda itu bercangkung ketakutan saat pasukan kuda itu berlari ke arahnya. Kedua lengannya berusaha melindungi kepalanya dan wajahnya ia sembunyikan di lututnya. Kuda-kuda itu berbondong-bondong berlarian ke arah jalan berujung jurang di ujung perumahan. Bau busuk menyengat hidung tak lagi dihiraukannya sebab yang ia pedulikan hanyalah kegentarannya. Suara derap langkah kaki kuda pun perlahan menghilang semakin menjauhinya.
Suara gemeletuk terdengar seperti suara es batu yang satu per satu berjatuhan ke lantai. Pemuda itu mengangkat wajah. Beberapa benda bulat menggelinding ke arahnya dan beberapa menumbuk kakinya lagi. Pemuda itu semakin lemas, kepalanya pusing. Ia berusaha melangkahkan kakinya, mencari celah untuk menapakkan kakinya. Langkahnya gontai dan tangannya berusaha meraih pagar rumah warga untuk bertumpu. Pemuda itu berjalan dengan tuntunan pagar rumah warga yang beruntun sampai ke depan rumahnya.
Tangan pemuda itu bergetar hebat membuat suara besi yang nyaring bertumbukan saat membuka kunci pagar rumahnya. Kakinya tak sanggup lagi melangkah. Badannya terhuyung dan tersungkur ke tanah. Semuanya menghitam.
***
Garis polisi terbentang di sepanjang jalan, mengelilingi tempat kejadian perkara. Mobil taktis polisi dan ambulan juga mengepung jalan. Beberapa petugas sibuk dengan tanggung jawabnya. Wartawan sibuk berdesakan berlomba-lomba mengulik informasi tentang kejadian yang terjadi semalam. Warga sekitar juga turut berkerumun penasaran dengan apa yang sedang petugas lakukan. Beberapa petugas bekerja sama mengangkut kantung jenazah dan memasukkannya ke dalam ambulan.
"Astaga, Tuhan. Kenapa bisa begini, Nak?" Isak tangis keluarga menggema di sepanjang koridor rumah sakit. Langkah kaki yang tergesa-gesa bergemuruh berlarian ke ruangan di mana seorang pria muda terbaring kaku. Air mata pilu berjatuhan, kesedihan tak terelakkan melihat kondisi jenazah anggota keluarganya. "Nggak nyangka, kamu bisa meninggal dengan tragis seperti ini."
Kasus tabrak lari itu telah merenggut nyawa seorang pemuda yang baru saja pulang setelah mencari nafkah pada pukul setengah satu malam.
— T A M A T —
Baca juga kisah horor lainnya di sini
Cerita Horor: Tendas Pasukan Berkuda |
Ditulis oleh:
Michiko
Picture source on Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar