25 Juli 2023

Menanti Chapter Selanjutnya

"Bagaimana harimu?" sapa dia dengan ramah. 

Setiap hari dia selalu saja menyapaku dengan senyumannya yang manis. Mata yang menyipit dan lesung pipitnya cukup menggodaku. Siapa yang nggak tergoda dengan senyuman seorang pria berambut ikal dengan pipi chubby yang menggemaskan? Bukan cuma aku yang tergoda, semua gadis suka padanya karena sikap ramahnya. 

Tapi pernah nggak sih kamu terkecoh dengan sikap ramah seseorang? Astaga, aku sampai berkali-kali merasakan kupu-kupu berterbangan di perutku setiap kali dia bersikap ramah terhadapku—termasuk sapaannya sore hari ini. Setelah melewati hari yang panjang nan sibuk, akhirnya dia menyapaku. Oh ya, tentu sambil membukakan pintu kaca yang baru saja mau aku dorong. Tuhan, cobaan apa lagi ini? Pria ramah dengan acts of service?! Cobaan yang keterlaluan.

Ini bukan pertama kalinya dia melakukan ini kepadaku tetapi entah kenapa ini membuat aku gila. Nggak ada cobaan yang lebih parah lagi, nih? 

"Melelahkan," ucapku. Tapi cukup menyenangkan setelah melihatmu. Aku tersenyum. 

"Kerja bagus. You did well! Istirahat yang cukup!" Dia memujiku sambil mengepalkan tangannya untuk tos tinju denganku. 

Aku membalas kepalan tinjunya. Wajahku terasa memanas saat mendengarnya, seperti keluar api dari pori-pori wajahku dan aku ingin berteriak, aku suka sama kamu! Kamu paham nggak sih? Aku tuh nggak bisa diginiin! 

Iya, sudah tiga bulan aku mengenalnya. Dia sosok orang yang baik dan ramah. Aku menyukainya, sangat menyukainya. Entah aku suka sikapnya, atau aku suka orangnya. Yang jelas, aku suka dia. Terkadang, aku sengaja menghampirinya supaya lebih dekat dengan dia. Aku sengaja duduk di tempat yang bisa membuatku menatapnya tanpa diketahui olehnya. Bahkan mencoba berinteraksi dan membuka obrolan dengannya. 

Berbulan-bulan aku berdiam diri. Bergerilya mengagumi seseorang yang entah apakah bisa aku miliki. Masalahnya di sini, aku menyukai orang yang ramah. Itu sama saja seperti aku seorang fans yang mengidolakan seorang artis. Bisa kamu bayangkan, kan? Bagaimana aku di mata dia? Aku banyak mengingat hal tentang dia, dari hal apa yang dia suka sampai hal-hal kecil tentang dia. Akan tetapi sebaliknya, aku di matanya hanyalah seorang relasi yang perlu disapa, tidak tahu asal-usul keberadaanku bahkan mungkin tidak ingat kalau aku ada. 

Semakin hari, semakin gemar aku mencari tahu tentang dia. Semakin subur pula tunas-tunas dari benih cinta yang kutanam dalam hati itu tumbuh. Tak sabar ingin kupupuk hingga berbuah. Rasa sukaku kini terasa semakin dalam. Setiap malam aku membayangkan bisa bersama dengan dirinya. Bisa memilikinya suatu hari nanti. Bisa tertawa bersamanya sambil menggenggam tangannya. Berhalusinasi itu asik, bukan? Memang.

Pada akhirnya, suatu hari dia menyadari keberadaan aku. Malam hari, ketika aku sedang berjalan kaki, dia menghampiriku dengan sepeda motornya dan menawarkan tumpangan. Awalnya, aku berpikir, haruskah aku berpura-pura untuk menolaknya sedangkan ini adalah kesempatanku untuk dekat dengannya? Nggak, aku nggak mau kehilangan kesempatan itu. Maka dari itu, aku pun mengiyakan ajakannya. Itu lah pertama kalinya aku berboncengan dengan dia. Tahu nggak sih, rasanya tuh senang banget bisa berboncengan dengan orang yang aku suka. Ingin aku rengkuh pinggangnya, tapi aku siapa? Bukan siapa-siapa. 

Sesampainya di rumah, aku nggak bisa menahan rasa berbunga-bunga itu. Aku melompat dengan girang ke tempat tidurku dan membenamkan wajahku di bantal seolah aku membenamkan diriku ke dalam pelukannya. Boncengan pertamaku! 

Semenjak boncengan pertama itu, aku semakin dekat dengan dia. Kami sering jalan bersama-sama, mengobrol tentang apa pun, bercanda ria, dan saling meledek. Satu hal yang membuatku semakin salah tingkah karena sikapnya yang ramah itu adalah dia memanggilku dengan sebutan khusus. Bocil. Alasannya, karena perilakuku seperti anak kecil tanpa kusadari di hadapannya sehingga nama itu muncul sebagai julukanku. 

"Cil, mau beli makan malam bareng, nggak?"
"Cil, mau nebeng, nggak?
"Cil, mau dibantuin, nggak?"

Cal. Cil. Cal. Cil. Enak banget dia manggil aku kayak gitu padahal hatiku sudah bergetar setiap kali dia memanggil aku dengan panggilan khusus itu. Dia membuat aku berharap semakin tinggi. Namun, aku selalu bingung dengan sikapnya yang ramah itu. Dia membuatku bingung dan penasaran. Siapa orang yang dia suka? Apakah dia suka aku? Kenapa dia sebaik itu kepadaku? Kenapa dia nggak mengerti sih kalau aku di sini kebingungan dengan sikapnya?

Sepanjang malam, aku nggak bisa tidur karenanya. Aku memikirkan, siapa orang yang dia suka? Aku nggak mau sembarangan menduga-duga tentang dia yang ramah tapi misterius itu. Kadang dia membicarakan perempuan lain juga. Kadang dia baik dengan perempuan lain juga. Sempat aku berpikir, sebenarnya dia itu bersikap ramah atau memang sengaja membuat semua gadis jatuh hati sama dia sih?

Aku bercerita pada teman-temanku. Apa yang harus aku lakukan dalam menghadapi situasi membingungkan ini? Aku yang terus kepikiran tentang dia, membuat aku selalu nggak fokus dalam mengerjakan suatu hal. Beberapa temanku ada yang menyarankan agar aku suka dalam diam saja, supaya nggak canggung. Tapi ada beberapa temanku juga yang menyarankan untuk mengungkapkannya supaya lega. 

Aku berpikir beberapa hari tentang hal itu. Ungkapkan jangan, ya? Aku kebingungan. Namun, karena siatuasi ini cukup mengganggu, akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi dia lewat chat. Aku nggak seberani itu untuk bertatapan langsung dengannya. Nyaliku kurang besar. 

"I have crush on you

Intinya, itu yang aku bicarakan saat aku mengirim pesan panjang lebar demi mengubur gengsi dan rasa malu yang berkecamuk dalam dada. Wajahku terasa memanas, aku tenggelamkan wajahku di bantal sambil menunggu jawaban darinya. Aku nggak berharap dia balik suka aku sih, eh ada deh sedikit. Aku tunggu beberapa menit sampai hampir setengah jam setelah pesanku dibaca olehnya. DIA NGGAK BALAS PESAN AKU.

Aku melemparkan ponselku. Merasa kecewa karena aku harus memendam rasa penasaran akan jawaban dia terhadap ungkapan perasaanku yang baru saja aku kirimkan. Namun, beberapa saat kemudian dia membalas. 

"Terima kasih kamu sudah membuat aku merasa dicintai. Tapi sekarang, aku nggak fokus dengan hal itu. Aku harap kamu mengerti," jawabnya. "Kamu nggak marah, kan?"

Marah? Buat apa aku marah terhadap perasaan seseorang yang nggak bisa membalas perasaanku? Sedikit kecewa mungkin iya, tapi aku nggak berharap setinggi itu dari awal karena tujuanku untuk mengungkapkan perasaan ini hanya supaya aku merasa lega dan nggak lagi terbayang-bayang dengan hal-hal yang ingin aku ketahui tentang dia. Yang jelas, dia nggak suka sama aku. Aku sudah dapat jawabannya, walaupun hatiku masih sedikit mengharapkannya. Kamu juga pasti tahu rasanya kan, jatuh cinta itu ada prosesnya begitu pula berhenti menyukai seseorang, itu juga butuh proses. 

Setelah insiden pernyataan perasaan itu, aku dan dia terasa semakin berjarak. Aku mencoba biasa saja terhadap dia, tapi entah kenapa justru dia yang terasa semakin bersikap dingin terhadapku. Apa mungkin dia takut kalau aku salah paham lagi akan sikapnya? 

Rupanya, rasa lega itu nggak aku dapatkan. Justru yang aku dapatkan hanyalah penyesalah, seandainya aku nggak mengungkapkan apa yang aku rasakan terhadap dia saat itu mungkin akhir cerita kita nggak akan seperti ini. Aku nggak akan menjadi asing dengan dia. Panggilan Bocil yang sering dia sematkan untuk memanggilku pun jarang kudengar. Sekarang, dia lebih sering menghindariku ketimbang menyapaku terlebih dahulu. Padahal aku berusaha untuk menyapanya lho, tapi kenapa sikap dia berubah begitu ya?

Hari demi hari berlalu. Beberapa bulan kemudian, aku masih dengan rasa yang sama, masih di tempat yang sama menanti dia, mendapati dia sudah memiliki seorang pujaan hati. Hatiku teriris perih. Kukira aku bisa memperbaiki semuanya. Kukira aku bisa kembali lagi seperti sedia kala. Ternyata, aku telah menghancurkannya. 

Langkahku harus terhenti di sini, hanya sampai di sini aku bisa mengagumi. Selamat tinggal, aku akan terus berjalan menyambut chapter selanjutnya. 


Michiko 

Photo by Ivan Jevtic on Unsplash


Tidak ada komentar:

Posting Komentar