3 April 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 8: Dilema Tak Berujung]

Ingatan masa lalunya itu membawanya pada ekor perjalanan hidupnya. Lambat laun seiring berjalannya waktu, Grace semakin didera penderitaan yang semakin mendalam. Ia mungkin bisa bebas dari kehidupan yang dipenuhi oleh hasrat yang sebenarnya tak ia inginkan, tapi ia tidak bisa terlepas dari jeratan kehidupan hitam yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Grace memejamkan mata saat itu pula ia tak sadar di ujung pelupuk matanya mengalir embun yang membentuk sungai kecil di wajahnya. Mungkin ini adalah tugas terakhirnya.

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 7 - Rekam Memori yang Terkenang

Bagian 8: Dilema Tak Berujung

Mentari kembali menyeruak di kaki langit. Kelemayar lembayung kemerahan mewarnai cakrawala berhias bingkaian awan tipis. Semakin tinggi sang surya di langit, sinarnya semakin menyala dan membawa kehangatan bagi jiwa-jiwa yang menjalani aktivitasnya di atas pijakan bumi. 

Namun, seri mentari tak cukup membawa kebahagiaan bagi seorang gadis yang baru saja tiba di depan kantornya. Senyumannya pudar tak lagi memperlihatkan keelokannya. Matanya sembab dengan kantung mata yang lebih besar seperti kantung semar. Matanya yang bening dan kerapkali memancarkan kebahagiaan pun kini kuyu dalam balutan warna merah. Penampilannya pun amat berbeda dari biasanya, riasan di wajah tidak cukup mampu menyembunyikan kegelisahan pada wajahnya.

Terlalu banyak hal yang ia pikirkan semalam, salah satu dari jutaan hal yang mengusiknya adalah seorang pria yang sejak Grace turun dari taksi sudah terlihat memandang sekitarnya sambil menyapa karyawan-karyawan yang melintas di hadapannya dengan ramah. Grace menunduk, sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya. Ia menghindari temu pandang dengan pria itu dan berharap pria itu meluputkan perhatiannya. 

Namun, justru gadis itulah yang pria itu tunggu dari sekian banyak karyawan yang sudah ia sapa. "Grace!" Jo berlari kecil menghampiri Grace seperti tidak mau tertinggal langkahnya dari Grace. 

Grace mengangkat wajahnya. Ia memandang Jo dengan tatapan matanya yang sejak awal sudah terlihat kuyu. Sebisa mungkin ia mengembangkan senyumnya saat menyambut kedatangan pria itu. 

Langkah Jo memelan begitu melihat keadaan Grace. Gadis itu berpenampilan tidak serapi biasanya seperti ia sedang berada dalam kekacauan yang meluputkannya dari rutinitas pagi hari. Rambut gadis itu tampak tidak tersisir dengan rapi, beberapa anak rambut berdiri. Gadis itu juga sepertinya lupa menyemprotkan minyak wangi sebab aroma tubuh Grace saat ini berbeda dari aroma yang biasanya tercium. Serta riasan wajahnya tak mampu menyembunyikan wajah bengkak akibat menangis semalaman.

"Kau baik-baik saja, Grace?" tanya Jo.

"Iya, aku baik-baik saja, Jo," jawab Grace sambil mengembangkan senyumannya begitu mendengar pertanyaan Jo, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia mengangguk sambil menyisir rambutnya yang terkucir dengan jari. 

Namun, gerakan itu tampak mencurigakan bagi Jo sehingga Jo kembali bertanya, "Kau yakin baik-baik saja?" 

"Aku seratus persen yakin, Jo." Grace menghela napasnya, jemu akan pertanyaan berulang itu. Selain diburu waktu, ia ingin segera meninggalkan pria itu. Rasa bersalah terasa berkabut melapisi seisi benaknya, terlebih setelah Jo terlibat dalam konflik hidupnya. 

"Yang benar?" Jo kurang puas dengan jawaban Grace.

Grace melirik pergelangan tangannya. Namun, ia terkejut saat jam tangan silver yang biasa dikenakannya tak ada di sana. Grace menyembunyikan tangan ke belakang punggungnya. "Sudahlah, Jo, aku pergi ya? Nona Kim bisa mengomel jika aku terlambat."

Jo tak ingin segera melepaskan gadis itu. Ia belum yakin bahwa Grace baik-baik saja. Maka, ia mencoba mengulur waktu sambil menyelidiki raut wajah Grace. Jo meraih pergelangan tangan Grace saat gadis itu beranjak pergi.

Jo memandang wajah Grace, menyelidiki perubahan ekspresi gadis itu. "Uhm... Grace, kau membaca pesanku?"

Grace menghentikan langkahnya. Ia teringat akan dua pesan Jo. Setelah bertanya, Jo kembali mengirimkan pesan untuk mengajaknya patroli malam bersama lagi. Ia mengangguk. "Iya, aku baru membacanya tadi pagi. Jadi, aku tak sempat membalasnya."

Jo ber-oh pelan. "Jadi, kau mau mulai kapan? Aku ada jadwal berjaga malam—"

"Maaf, Jo. Aku buru-buru sekarang," sela Grace. Raut wajah Grace yang semula menyembulkan sebuah senyuman berubah serius. Senyuman itu pudar berganti kegelisahan yang terbit pada guratan wajahnya. Grace melepaskan tangan Jo yang menggenggam pergelangan tangannya. "Bisa kita bicara nanti?"

Reaksi itu benar-benar di luar dugaan Jo. Grace berubah dalam semalam. Grace membalik badan dan buru-buru melangkah pergi. Ia seperti menghindari Jo pagi itu.

Jo terpaku menatap kepergiannya. Apa yang sebenarnya terjadi kemarin hingga membuatnya menjadi seperti itu?

***

Gertakan Jun kemarin membuat Grace terlalu banyak menghabiskan energi untuk memikirkan strategi selanjutnya. Ia sudah mantap mendekati target lewat jalur belakang. Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya ia sangat tidak menginginkan untuk kembali ke masa lalu yang amat dibencinya. 

Baru kali ini, ia merasa bodoh. Ia tidak seperti sebelum-sebelumnya, yang berhasil menjalankan tugasnya dengan rapi tanpa jejak apa pun. Ia tahu muara kegelisahan ini berasal dari dilema yang tak berujung. Pilihan antara hidup atau mati. Berhenti atau lanjut. Patuh atau bebas. Baik atau jahat. Jo atau Ray.

Grace mengetuk keningnya dengan ujung pulpen. Kepalanya berasap memikirkan hal yang sama sekali tak ada ujungnya sampai kertas-kertas pekerjaan di hadapannya terbengkalai. Hal itu menarik perhatian Nona Kim yang meja kerjanya terletak di seberang meja kerja Grace. Tidak tahan melihat Grace yang justru sibuk dengan pikirannya, Nona Kim menghampiri Grace.

Kehadiran Nona Kim yang diam-diam ada di depannya membuat Grace terperanjat. "Astaga! Kau membuatku terkejut."

"Grace, ini bukan waktunya melamun. Kau tahu ini pukul berapa?" Nona Kim menunjuk jam dinding yang terpampang di atas pintu ganda berwarna cokelat. Ia menekankan, "Dan kau, sama sekali belum menyentuh pekerjaanmu." 

Grace terbelalak melihat setumpuk kertas yang sama sekali belum terjamah. Waktu bergulir begitu cepat hingga membuat gadis itu tak menyadari tugasnya kian menumpuk. Ia berharap tugas itu selesai dengan sendirinya. "Oh, iya. Maafkan aku, Nona Kim."

"Jangan menghabiskan waktu bekerja dengan pikiran kosongmu itu. Kau mau performa kerjamu aku laporkan kepada Tuan Ray?" 

Mendengar nama itu membuat Grace teringat sesuatu. "Nona Kim, apa kau bisa menyambungkanku dengan Tuan Ray?"

Nona Kim menatap Grace. Cengkeraman tangannya pada ujung meja Grace melonggar. "Untuk apa?"

Grace menggigit bibirnya sambil memainkan pulpen pada jarinya. Ia sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan Nona Kim. "Tentu saja untuk berbicara dengannya."

Wajah Nona Kim tampak kecut. Lantas, ia kembali ke meja kerjanya sambil berkata dengan dingin, "Tuan Ray sedang tidak ada di kantor untuk dua hari ke depan." 

"Ke mana dia?"

Nona Kim duduk di kursi sambil menatap layar komputernya. Ia menjawab dengan ketus. "Kau tidak tahu pekerjaan presiden direktur ya? Dia sibuk, tidak sepertimu yang kerjaannya hanya melamun dan pacaran."

Grace menyergah, "Aku tidak pacaran melulu!"

Nona Kim sama sekali tak peduli apa pun kata-kata yang diucapkan oleh Grace. Sebaliknya, Grace justru kepikiran dengan ucapan terakhir Nona Kim. Sedikitnya, ia terusik dengan ucapan Nona Kim. Sibuk? Kalau sibuk, kenapa dia selalu membuntutiku?

***

Waktu yang Jo miliki untuk beristirahat ia gunakan untuk pergi ke pantri dekat dengan ruangan Grace bekerja. Ia sengaja pergi ke sana untuk menemui Grace. Sejak tadi pagi, Jo merasa resah. Entah apa yang mengganjal tapi perasaannya semakin tidak enak setelah melihat telepon masuk ke ponsel Grace dan perubahan sikap Grace yang berubah hanya dalam semalam. Jo tiba di sana untuk memastikan keadaan Grace.

Jo masuk ke ruang pantri. Namun, yang ia dapati hanya seorang office boy yang cekatan menggerakkan gagang pel sambil berjalan mundur. 

"Tom, kau melihat Nona Grace?" tanya Jo pada Tommy seorang office boy yang lihai menggerakkan gagang pelnya. 

"Nona Grace?" Tommy berhenti menggerakkan gagang pel. Ia mengerling ke arah atas berusaha mengingat rupa pemilik nama itu. Namun, ia tak dapat menemukan rupa wajahnya. "Nona Grace itu yang mana, Jo?" 

"Itu... yang sering pakai blazer dan celana panjang. Rambutnya dikucir satu dan tingginya kurang lebih segini." Jo mengukur tinggi badan Grace kira-kira dengan tangannya. Ia meletakkan ujung jarinya dekat tulang pipinya. 

"Oh, yang sering pakai sepatu sneakers putih ke kantor itu?" Tommy berusaha menebak.

"Nah iya, itu!" Jo mengangguk setuju dengan identifikasi yang disebutkan Tommy. Pertemuan pertamanya dengan Grace adalah kali terakhir Jo melihat gadis itu mengenakan sepatu hak tinggi. Setelahnya, penampilan Grace berubah total, Grace tak pernah lagi menggunakan sepatu hak tinggi.

"Wah, aku belum melihatnya sejak tadi pagi, Jo. Biasanya, setiap pagi dia membuat kopi dulu ke sini, tapi sepertinya tadi pagi aku tak melihatnya datang ke sini."

"Oh, ya sudah kalau begitu. Terima kasih, Tom."

Tommy mengangguk. Ia melanjutkan pekerjaannya sambil menyeret kotoran debu keluar dari ruang pantri. 

Kini, Jo berada di pantri sendirian. Pria itu mondar-mandir menanti kehadiran Grace di sana. Pantri adalah tempat satu-satunya yang paling aman untuk bertemu dengan Grace. Sebab, hanya di tempat itulah mereka bisa mengobrol sejenak tanpa terkena omelan atau bisikan karyawan-karyawan lain yang menduga-duga mereka berpacaran pada jam kerja. Maka dari itu, Jo menetap di sana sampai ada panggilan yang berbunyi dari portofon yang menggantung di pinggangnya. 

Pintu pantri yang terbuka membuat Jo berbalik badan. Dugaannya terjungkir, bukan Grace yang hadir melainkan seorang wanita dengan riasan wajah yang tebal dan tubuh yang kurus seperti tulang belulang hadir di sana.

"Kau menunggu Grace?" tanya Nona Kim seraya memasuki pantri. Derap langkah sepatu hak terdengar khidmat.

"Iya, di mana dia?" tanya Jo. Ia berharap Nona Kim tahu, sebab wanita itu bekerja satu divisi dengan gadis yang ia tunggu.

"Dia ada di meja kerjanya. Tidak bergerak sedikit pun dari sana." Nona Kim meraih gelas lalu menuangkan air ke dalamnya.

"Sejak tadi pagi?"

Nona Kim membalik badan sambil meneguk air di dalam gelasnya. "Iya, kerjaannya hanya melamun sampai pekerjaannya pun tidak disentuh."

"Dia baik-baik saja?"

"Kenapa kau bertanya tentang itu kepadaku? Apa aku terlihat tahu segalanya tentang dia?"

"Setidaknya, tadi kau bersamanya." Tatapan Jo mengawang. Ia terpagut ke dalam ruang memori di hari sebelumnya, saat telepon masuk ke ponsel Grace, raut muka Grace yang berubah saat melihat riwayat panggilan, ditambah lagi perubahan sikap Grace yang drastis. Semua membuat kekhawatiran Jo akan hal yang terjadi pada Grace mengusik pikirannya. 

Nona Kim mengedikkan bahu. "Aku tak tahu. Kau mengkhawatirkannya?"

"Iya, aku mengkhawatirkannya dan aku mulai gelisah sekarang."

Nona Kim terkekeh ringan, merasa menang. Ia menyeringai di saat bibirnya bersentuhan dengan bibir gelas. "Sekarang, kau percaya dengan ucapanku tentang dia, kan?"

Jo melirik Nona Kim dengan tatapannya yang tajam. Wajahnya berubah masam. "Percaya atau tidak, itu tak akan mengubah keadaan saat ini."

Nona Kim mendengus. Jelas ia merasa kesal, Jo tak mengakui kekalahannya. Ia meneguk air lagi di dalam gelas. "Informasi tambahan untukmu, sepertinya Grace akan meneken kontraknya."

"Apa?" tanya Jo. Ia bukan tidak mendengar ucapan Nona Kim, tapi ia berharap kalau ia tidak salah mendengar informasi itu. 

"Dia akan mengambil posisiku."

"Posisimu yang mana?" Jo bertanya ragu. Perasaannya waswas manakala pikirannya melayang bahwa Grace akan menjadi mainan presiden direktur.

"Sekretaris...." Nona Kim meneguk sisa air yang tersisa. Kemudian, ia menambahkan, "Sekretaris pribadi. Kau tahu sendiri apa yang akan menjadi tanggungjawabnya nanti."

Jo benar-benar ditampar kenyataan. Ia menggelengkan kepalanya. "Sinting. Tidak, itu tidak boleh terjadi."

"Kau pikir aku berharap kalau itu akan terjadi, Jo? Aku sudah nyaman dengan posisiku itu! Bisa-bisanya dia dengan mudah mendapatkan posisi itu."

"Katakan apa yang harus aku lakukan?" Jo menggigit bibirnya.

"Kau pahlawan kesiangan, Jo." Nona Kim meletakkan gelas kosong di atas permukaan meja. "Kau hanya punya dua hari untuk mencegah Grace sebelum Tuan Ray kembali."

***

Petang telah mengintip di balik awan yang memancarkan rona kemerahan. Jo berdiri di depan posnya menanti Grace keluar dari gedung kantor. Namun, sudah beberapa jam berlalu gadis itu tak kunjung keluar dari gedung tinggi itu. Jo mulai resah, kesabarannya mulai menipis dijejak kegelisahan. 

Tak lama berselang, akhirnya gadis yang ia tunggu keluar dari gedung. Tatapan matanya kosong. Ia mengawang entah ke mana, hanya saja tubuhnya bekerja seperti robot yang diarahkan oleh sebuah remote control. Grace melangkah tanpa tujuan yang jelas. Wajahnya benar-benar suram bak mentari telah kehilangan sinarnya.

"Grace!" Jo memanggilnya saat Grace melewati gerbang.

Namun, Grace tidak mendengarnya. Pikirannya entah tertinggal di mana. Raga Grace terlihat tak berisi semangat sama sekali. Ia terus melangkahkan kakinya semakin jauh dari area perkantoran. 

Jo memutuskan untuk menyusul Grace. Ia khawatir, sesuatu akan membisikkan hal-hal aneh di telinganya. Terlebih setelah melihat gelagat Grace layaknya mayat hidup yang dipaksa untuk tetap bekerja membuat kegelisahannya semakin berkecamuk.

Jo berjalan di belakang Grace. Ia mengawasi Grace dari belakang. Biasanya, sepulang dari kantor, Grace selalu pulang menggunakan taksi. Namun, malam ini, gadis itu tetap menekuri jalan seraya melangkah gontai. 

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Hanya tinggal enam hari, pikir Grace.

Jo menatap gadis itu iba. Tak pernah sekali pun ia melihat gadis pemarah itu murung hingga kehilangan sinarnya. Tak tahan melihatnya, Jo berlari menyusul langkah gadis itu. Ia merengkuh bahu gadis itu saat langkahnya sejajar dengan Grace.

Terkejut dengan rengkuhan yang ia kira orang asing, Grace menarik tangan yang menggantung di bahunya lantas memilin tangan seorang pria yang baru saja merengkuhnya. Tangan itu terlipat di belakang punggung pemiliknya hingga membuat Jo mengaduh. Tangkas, Grace mengentakkan lututnya pada kaki pria itu hingga membuatnya tersungkur.

Tak berdaya menahan ngilu pada bagian bahunya, Jo pun menyerah. "Ini aku, Grace! Ini aku!"

Grace melepaskan tangan Jo begitu menyadari pria yang baru saja dihantamnya. "Apa yang kau lakukan? Kau mengejutkanku, Jo! Maaf aku menyakitimu, aku kira kau orang mesum."

Jo meringis saat merasakan sisa-sisa ngilu di bahu dan lututnya yang bertumbuk pada permukaan paving. Lantas ia berdiri perlahan sambil menepuk debu pasir yang menempel pada celananya.

"Bisa-bisanya kau tak menyadari aku berjalan di belakangmu," gumam Jo.

"Iya, begitulah. Aku sedang memikirkan hal lain. Kenapa kau ada di sini?"

"Motorku kemarin mogok. Jadi, aku menitipkannya di bengkel."

"Kenapa kau tidak naik taksi saja?" Grace menyampirkan tas di bahunya dan kembali melangkah.

Jo ikut melangkah di samping Grace. "Ah, tempatnya dekat. Lagipula, aku melihatmu jalan sendirian. Jadi, kupikir akan lebih baik aku berjalan bersamamu. Berdua!" seru Jo sambil menyembulkan senyum.

"Kau tidak harus melakukannya, Jo." Grace memutar bola matanya.

"Omong-omong, kau tadi tidak pergi makan siang?"

Grace menggelengkan kepalanya. Ia menunduk, tak ingin bertemu pandang dengan Jo yang kini berada di samping kanannya.

"Padahal tadi aku menunggumu di pantri."

Grace melirik ke arah Jo ragu. Ia penasaran untuk apa pria itu menantinya di sana, tetapi ia urung bertanya. Alih-alih bertanya kenapa, Grace justru bergumam, "Aku tidak lapar, Jo."

"Kau mau makan bersamaku? Aku yang traktir!" Jo tersenyum. Matanya menatap gadis itu penuh harap agar Grace setuju.

Namun, harapan itu tidak menjadi kenyataan. Grace justru tertunduk dan menggelengkan kepalanya. Tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan Grace.

Senyum yang semula mengembang, perlahan memudar dari seri wajah Jo yang berbinar. Jo ikut diam. Sorot matanya tak mampu ia alihkan dari Grace yang tertunduk murung sejak awal. Ingin Jo memeluknya dan mendengarkan keluh kesah Grace. Ia ingin sekali mengusap punggung Grace dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Akan tetapi, Jo urung melakukannya. Sepanjang perjalanan, mereka terpisahkan sekat keheningan.

Mereka sudah dekat dengan bengkel yang ada perempatan jalan tempat motor Jo mogok pada hari sebelumnya. Jo mendapatkan ide lain untuk menghibur Grace tanpa harus memeluknya. "Grace, tunggu di sini!" Segera, Jo berlari ke arah bengkel tempat motornya menginap, mendahului langkah Grace.

Grace mengangkat wajahnya. Ia berhenti melangkah tepat di dekat tiang rambu lalu lintas. Entah apa yang ia pikirkan, ia mengikuti permintaan Jo. Padahal sejak awal, ia ingin menghindari pria itu bahkan memutuskan hubungan dengannya. Namun, rasa itu tak ingin melepaskannya dari Jo. Takdir seolah berkata sebaliknya, Jo tetap harus berada di sisi Grace.

Jo menggiring sepeda motornya keluar dari bangunan bengkel yang menguarkan aroma minyak, mesin berkarat, dan oli serta campuran karbon monoksida yang menggumpal menjadi satu di udara. Ia memosisikan sepeda motornya di bahu jalan dan mengeluarkan sebuah helm dari bawah jok motornya. 

Helm itu sengaja Jo bawa sejak pertama kali bertemu dengan Grace sebagai bentuk persiapan jika suatu hari ia akan berboncengan bersama Grace naik motor bututnya. Maka, inilah hari yang sudah dibayangkannya sejak lama. Jo memberikan helm yang ia simpan di bagasi motornya kepada Grace. "Pakailah."

Grace tidak segera mengambilnya. "Aku sudah bilang, aku tidak lapar, Jo."

"Siapa yang mau mengajakmu makan? Cepat pakai!" seru Jo. "Kau mau memakai helm ini sendiri atau aku yang memakaikannya padamu?"

Jo mengulurkan tangannya, berniat untuk memakaikan helm itu di kepala Grace. Namun, Grace segera menyambar helm itu agar tidak diambil alih oleh Jo. Grace mengenakan helm itu di kepalanya dengan terpaksa.

Jo telah bersiap menghidupkan mesinnya. Gumpalan asap berwarna abu-abu tersembur dari pipa knalpot. Mesin menderu menyabur suara Jo yang berucap, "Naiklah!"

Grace masih terpaku di tempatnya berdiri. Ia ragu, haruskah ia mengikuti permintaan Jo? Namun, belum sempat hatinya memutuskan, Jo sudah menarik lengan Grace dan membuat gadis itu menaiki motor itu.

"Kita mau ke mana, Jo?" tanya Grace setelah keheningan bertahan selama beberapa menit. Motor Jo sudah bergerak dan membawa mereka mengembara beberapa kilometer dari perempatan jalan. Suaranya tersabur deru angin yang menampar wajahnya. Kecepatan motor Jo yang tinggi membuat angin menerbangkan kegelisahan keduanya. 

"Jalan-jalan saja. Kau pasti butuh hiburan." Jo setengah berteriak sambil menekuri jalanan yang padat dengan mobil dan motor pada jam pulang kerja.

Waktu yang memburu Grace terasa lenyap dalam sekejap. Semua kegelisahan tentang sisa waktu yang dimilikinya terasa bukan apa-apa lagi. Ia hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang dimilikinya bersama Jo. Sebelum dirinya tak bisa bertemu lagi dengan pria itu. Untuk selamanya.

Gesit, Jo mengarahkan kemudi untuk menyalip celah-celah sempit di antara kedua mobil yang berimpitan. Tangan kiri Jo meraih pergelangan tangan Grace agar melingkar di pinggangnya, tanda Jo akan membawanya berlari sejauh mungkin dari masalah yang sedang berkecamuk di dalam benaknya. Jo menambah kecepatan laju motornya hingga wajah keduanya terasa tertampar angin dari arah berlawanan. Klakson kendaraan di sekitarnya juga berbunyi nyaring sebagai bentuk protes motor Jo yang mengebut tanpa melihat keadaan. Helm yang dipakai Grace nyaris terbang tertiup angin, membuat satu tangan Grace yang lain menahan helmnya agar tidak terbang dan hilang di tengah jalan.

Matahari senja mengikuti perjalanan mereka berdua hingga benda bercahaya itu berpamitan dengan waktu petang. Posisinya digantikan dengan bintang-bintang yang berkelip indah. Jalanan kian lengang setelah semakin jauh mereka berlari. Jalanan menanjak membawa keduanya berada di ketinggian yang cukup jauh dari perkotaan. 

Semakin jauh berlari, motor Jo batuk-batuk lagi. Kali ini, bukan karena mesinnya yang bermasalah tetapi jarum penunjuk bahan bakar menunjuk ke arah huruf E. Setelah membawa motornya mengebut kemarin, ia buru-buru membawa ke bengkel dan sekarang ia terbuai dalam momen yang ia nantikan selama ini sampai melupakan tugasnya untuk memberi minum kuda besinya.

***

Kedua pasang langkah kaki mengalun merdu menapaki jalan layang. Kerlip lampu-lampu rumah di kota bak bintang-bintang yang berserakan. Bulan purnama sempurna menampakkan wajahnya yang bercahaya dengan sedikit serabut awan tipis mengawal di sisinya. 

Kedua tangan Jo memegang kemudi, ia menggiring motornya untuk sampai ke puncak. Grace setia menemani di sampingnya. Tawa mereka pecah sepanjang jalan, mengingat detik-detik kejadian mogoknya Dodo, nama motor butut milik Jo. 

"Kau terlalu gila, Jo. Sekarang Dodo marah." Grace pecah dalam tawa.

Jo ikut tertawa. "Karena kau yang membuatku melakukan hal segila itu."

"Aku?" Grace menunjuk dirinya sendiri lalu tertawa. "Bagaimana mungkin? Lihatlah sekarang kita terdampar di mana? Bagaimana cara kita untuk pulang, Jo?"

"Mungkin, aku akan menggendongmu. Entahlah." Jo mengedikkan bahunya. 

Grace tertawa lepas sambil menepuk lengan Jo. "Sinting!"

Jo tidak keberatan dengan reaksi itu walaupun ia yakin lengannya akan memerah setelah itu. Ia jauh merasa lebih lega setelah melihat Grace tertawa. Kemudian, ia berhenti menggiring motornya dan membiarkannya bertengger di tepi jalan. Helm yang sejak tadi melekat di kepala, ia lepaskan.

"Kita istirahat sejenak, Grace." Jo mengawang jauh ke arah kota yang terlihat jauh lebih kecil. Jo menatap ke lampu yang berkumpul bagai konstelasi bintang. Ia memejamkan mata dan menghirup udara malam sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya. "Biarpun kita terdampar jauh dari kota, setidaknya kita tak merasakan beban lagi, Grace." 

Grace meletakkan helm di atas kaca spion, berjalan mendekati Jo yang berdiri di belakang pagar pembatas beton pada jembatan layang. Grace meletakkan tangannya di atas pagar pembatas, turut mengawang entah ke mana. "Sayangnya, kita tak pernah bisa lari dari kenyataan."

Jo manggut-manggut. "Iya, aku tahu. Ke mana pun kita berlari, kenyataan akan selalu mengikuti. Namun, setidaknya kita bisa melupakannya sejenak hingga kita siap menghadapinya."

Grace tersenyum kecut. Namun, aku tak akan bisa dan tak akan pernah siap.

"Grace," ucap Jo yang kemudian diikuti hening. Jo membalik badan, matanya memandang Grace. Ia menggamit tangan Grace. "Jika kau ingin bercerita, katakanlah padaku."

Grace menatap kedua mata Jo yang menatapnya begitu dalam. Jantungnya terasa berdebar kencang. Hatinya mendebat, ia tak boleh menatap pria itu lebih lama. Lantas, Grace membuang muka. Grace menarik tangannya yang berada pada genggaman tangan Jo. "Kau bicara apa sih, Jo?" 

Jo tidak ingin melepaskannya. Ia kembali menggamit tangan Grace dan menahannya dengan kedua tangannya. "Grace, lihat aku!"

"Jo—"

"Lihat aku!"

Kedua bola mata Grace bertemu dengan tatapan Jo. Tatapan keduanya bak dua kutub magnet yang tarik-menarik dengan kuat. Dunia terasa lebih luas dan lengang. Hanya ada mereka berdua di dalamnya.

"Jika kau ingin bercerita, katakanlah kepadaku. Jika kau ingin menangis, menangislah bersamaku. Jika kau ingin berlari, berlarilah bersamaku. Jangan pernah kau lakukan itu semua sendirian."

Pandangan Grace mengembun. Tatapannya redup. Ucapan Jo membangkitkan kecamuk huru-hara antara rasa dan logika. 

Logika meminta Grace untuk menjauhi pria itu atau semua rencana akan berantakan dan gadis itu akan kehilangan segalanya termasuk Jo. Namun, rasa meminta Grace untuk berada di bawah lindungan Jo. Kembang cinta yang semula kuncup kini mengembang sempurna setelah dipupuk. Sekalipun hayatnya terampas, setidaknya ia pernah tahu rasanya mencintai dan dicintai.

Jo menatap bola mata cokelat yang memantulkan cahaya itu. Perlahan tetesan embun menggenangi pelupuk mata kemudian terjun membentuk parit kecil di pipi gadis yang tengah ditatapnya. Jo pun mengusap air mata itu. Namun, tetesan air itu satu per satu mengalir membasahi pipinya tiada henti. Jo menarik tubuh Grace ke dalam pelukannya. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan dan katakan, selain menenangkan gadis itu dengan tepukan pelan di punggungnya.

Beberapa lama Grace puas meluapkan emosinya yang bercampur menjadi satu, Jo mulai mengajaknya kembali berbicara sembari mengusap sisa-sisa air mata yang meninggalkan bekas di pipinya. Bahu Jo basah dengan air mata tetapi Jo tak peduli dengan itu. 

"Grace, kau bisa berhenti kapan pun kau mau. Aku akan melindungimu dari siapa pun yang mau menyakitimu. Aku janji." 

Grace membuang muka. Ia tak bisa lagi menguras air matanya di hadapan pria itu. Grace melepaskan tangan Jo yang memegangi kedua pipinya. "Terima kasih atas ketersediaanmu, Jo. Aku mohon, jangan mengatakan hal ini lagi kepadaku. Kau membuatku berada dalam dilema yang tak berujung."

***

Baca keseluruhan kisah Reverse (Klik di sini)

Cerita bersambung: Reverse [Bagian 8 - Dilema Tak Berujung] 

Ditulis oleh: Michiko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar