Cover: It's Over |
Mataku membengkak. Tangisan mengisi keheningan malamku. Air mataku terus berjatuhan tak bisa kuhentikan. Mataku perih, terasa kering karena aku kuras. Kelenjar air mataku mengkerut kehabisan persediaan air mata. Tisu yang mengisi sebuah kotak kini tersisa beberapa lembar. Tisu itu menyerap semua air mata yang terjatuh. Kini lembaran tisu itu tak berarti seperti suatu hal yang aku tangisi. Mengapa? Mengapa semua harus terjadi kepadaku? Aku pun tak mengerti. Aku melakukan apa hingga terjadi seperti ini? Bukan aku yang salah! Aku bukanlah seseorang yang harus terus disalahkan.
“Mengapa?!” Aku berteriak sambil mengacak ranjangku yang rapi. Aku seperti orang gila yang bingung sendiri akan perjalanan hidup. Aku frustasi. Teriakku memecah kesunyian malam itu. Namun, siapa peduli? Hatiku lebih sakit daripada telinga orang yang mendengar jeritanku malam itu.
Aku tersudut di kamarku. Rambutku berantakan, kamarku juga. Entah apa yang merasukiku, aku frustasi akan semua yang terjadi. Aku tak tahu harus dengan cara apa menjalani semua ini.
“Jangan salahkan aku lagi! Ini sudah cukup!” Aku menutup telingaku, menjambak rambutku sendiri, dan memejamkan mataku berharap mataku tak akan memandang dunia ini lagi.
Air mataku mengalir lagi. Aku benar-benar bertingkah seperti pasien Rumah Sakit Jiwa. Aku mengambil foto yang terpajang di meja sebelah ranjangku. Menatap tajam pada sosok didalam gambar tersebut. Aku seolah mengajaknya bicara. Namun, gambar itu hanyalah menampakan senyuman penuh dustanya.
“Jangan salahkan aku, aku tak berbuat apa-apa. Sebenarnya siapa yang harus disalahkan? Aku atau kamu?!” Aku terisak didalam tangisku yang sia-sia. “Mengapa semuanya selalu berbalik padaku?! Kamu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku.”
Aku kesal karena ia tak menjawabku. Aku melempar foto itu hingga kacanya pecah. Aku memeluk tubuhku sendiri berharap semua ini hanya mimpi. “Mengapa? Mengapa harus begini? Aku tak sanggup jika kamu terus menyalahkan aku atas semua kesalahan yang kamu perbuat. Apa kamu tak pernah berpikir rasanya dicambuk tanpa kesalahan? Sakit!”
Aku mengingatnya kembali. Sebelum aku mulai gila seperti ini.
“Aku tak mau percaya lagi denganmu!” bentakku memukulnya dengan kekuatan yang aku punya. Ia tetap menepis tanganku dan memintaku untuk menjelaskan semua yang aku bicarakan. Aku tak peduli apapun reaksinya, aku tak akan menghentikan pukulan itu.
“Tenanglah!” Ia menggenggam tanganku yang tak mampu terlepas dari genggamannya.
“Lepaskan aku! Kamu lelaki sialan!” Aku melawan genggaman tangannya dan terus memakinya tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Amarahku telah sampai pada puncak, memecahkan termometer pada pikiranku.
Aku hilang kendali tak mampu berpikir apa pun. Segala yang kukatakan, bahkan yang kulakukan benar-benar tak kusadari. Aku tetap memberontak, meski dia terus menggenggam tanganku.
“Tenanglah! Jelaskan padaku apa yang terjadi?” Ia memeluk tubuhku dengan erat. Aku menolak pelukannya, mendorongnya kuat hingga ia melepas pelukannya.
“Lelaki sialan! Kurang ajar! Janjimu kosong, aku tak percaya lagi padamu!!!” aku membentaknya. Tak kusadari air mataku jatuh begitu saja.
Ia menghapus air mataku, aku menepis tangannya. Ia menggenggam kedua pipiku dan menciumku. Namun, aku tak segan untuk menamparnya dengan telapak tanganku.
Ia menyentuh pipi yang habis kutampar. Ia menatapku bingung, “Kamu ini kenapa?! Jelaskan, aku tak mengerti!”
“Kamu lelaki tak tahu diuntung! Kamu bilang kamu gak akan pernah menduakan aku!”
“Aku gak pernah menduakan kamu!” seketika nada suaranya mulai tegas.
“Kamu bohong! Lelaki pendusta! Kamu hanya memanfaatkan aku kan?”
“Cha, aku gak mengerti apa maksud kamu! Aku manfaatin kamu?”
“Iya! Kamu hanya jadiin aku pembantu kamu kan? Sebagai penopang hidup kamu, kamu kuras harta aku. Kamu bilang hanya aku yang ada di hati kamu, dan kamu manis seperti orang baik di hadapan aku.”
“Cha! Aku tak pernah seperti yang kamu bilang!” Ia marah ketika aku berbicara padanya dengan kata-kata yang mungkin menyinggungnya.
“Apa buktinya kalau kamu gak begitu?! Kamu sama seperti lelaki lain! Kamu manis didepanku seperti kucing tapi ketika kamu ada di belakangku? HAHA, kamu seperti anjing yang bermain dengan wanita lain!”
“Anjing?! Kamu bilang seperti anjing?”
“YA! Kamu seperti anjing!”
Ia mengepalkan tangannya geram. “Apa maksudmu sampai kamu berkata begitu?! Apa salah aku hah?!”
“Kamu masih bertanya? Kamu ini pura-pura gak tahu atau goblok hah?!”
“Kamu jelaskan! Aku bukan pembaca pikiran yang bisa mengerti apa yang kamu pikirkan!” bentaknya.
Aku tak menyangka dia membentakku begitu. Baru satu kali ini dia membentakku, berbicara dengan raut wajah yang mengkerut, dan urat leher yang terbentuk.
Tak kusadari, air mataku jatuh. “Kamu pasti tahu kejadian kemarin! Kemarin kamu melihatku, tapi kamu sama sekali tak mengerti perasaan aku!”
“Maksudmu apa? Apa kaitannya dengan perasaanmu?!”
“Kamu gak sadar juga?! Kamu pegangan tangan dengannya! Kamu peluk dia! Dan aku yang melihat kamu seperti itu, tersayat hati aku Dim! Aku pergi tapi kamu gak peduli!”
“Hahaha, itu sepupuku, bodoh!” Ia memukul tembok yang digunakannya untuk bertumpu. Seraya membuatku kaget juga karena bentakannya.
“Bohong! Aku lihat kamu peluk mesra dengannya! Aku lihat tatapan kamu, seakan punya perasaan dengannya! Kamu diamkan aku, saat aku cemburu seperti itu! Kamu tak merasa bersalah, tak mengirim pesan untuk aku, tak menelpon aku juga! Kamu tak ada pedulinya denganku. Apa kamu sudah pacaran dengannya? Atau bahkan pernah ‘melakukannya’ dengannya ya?! Ayo mengaku!” aku menuduhnya tanpa bukti.
PLAKK!!
Dia menamparku. “Apa maksudmu hah?! Pikiranmu terlalu jauh! Aku tak mungkin melakukannya dan aku masih punya cita-cita! Jaga bicaramu!”
“Lalu mengapa kamu gak telpon aku waktu itu? Kenapa kamu gak kejar aku waktu itu?! Hah!”
“Ck, kenapa kamu jadi posesif begini, hah?!”
“Apa salahnya aku mau menjaga pacarku sendiri agar tak bermain dibelakangku?!”
“Aku tak pernah bermain dibelakangmu! Dan berhentilah menjadi posesif seperti ini!”
“Kamu melarang aku untuk menjaga kamu?! Kamu keberatan?! Cobalah kamu ada di posisiku! Kamu juga posesif terhadap aku, aku jalan dengan kakakku sendiri kamu pun cemburu! Kamu teror aku dengan nomor barumu! Mengancam membunuh kakakku sendiri kalau aku jalan dengannya! Apa itu namanya bukan posesif? Itu over! Overposesif!”
“Kenapa semua jadi menyalahkan aku, hah?!”
“Terserah! Mau yang salah kamu, ibumu, nenekmu, kakekmu, aku tak peduli!”
“Tak perlu membawa nama ibuku!” bentaknya lagi.
“Lelaki murahan!” umpatku.
“Apa kamu bilang?!”
PLAKK!!
Dia menamparku lagi. Pipiku memerah karena tamparannya. Ku memegang pipiku yang usai ditampar olehnya. Memastikan kalau pipiku tak jatuh ke lantai karena tamparan ganasnya.
“Kamu tega melakukan ini?!” Aku membendung air mataku yang meluap dari sarangnya.
“Iya! Aku tega melakukannya! Lalu kenapa?!”
“Aku ini pacarmu! Harusnya kamu menjaga aku, bukan menamparku!”
“Tidak lagi, Kita putus! It’s over and never ever getting back together!” Ia memukul tembok yang digunakannya bertumpu, tanpa pamit ia pergi meninggalkan aku yang terdiam merintih akan sakitnya tamparan dan sakitnya sayatan dalam hati ini.
Setan itu keluar. Aku baru tersadar dari perlakuanku barusan. Namun, terlambat Cha! Dimas telah pergi meninggalkanmu dan sepertinya tak mau lagi mengenalmu.
Aku memaki diriku sendiri, tak segan juga menyakiti diri sendiri. Semua berakhir! Dimas pergi meninggalkan aku, aku tak memiliki siapa-siapa lagi. Ini semua berakhir? Mengapa harus terjadi?
Aku menangis lagi diatas ranjangku yang hancur karena ku acak-acak. Aku melempar bantal, guling, menarik selimut dan melemparnya sembarang. Aku merasa diri ini terkutuk! Aku dirasuki setan yang membuat hubunganku dengannya berakhir.
Aku mengambil ponselku berniat mengirim pesan untuk meminta maaf padanya. Namun, aku berpikir berulang kali untuk mengirim pesan itu. Kata-kata yang keluar dari mulutku telah menyayat hatinya, perlakuanku telah membuat memar ditubuhnya, bahkan dia telah menamparku. Apa aku tak punya rasa malu untuk menghubunginya terus menerus dikala dia sudah merasa jijik denganku?
Sudahlah, ini semua telah berakhir. Kusebut namanya berulang kali. Ku mengambil pas foto yang telah pecah kulempar beberapa menit yang lalu. Aku menatap senyuman pada foto itu, air mataku menetes tepat pada wajahnya.
Kupeluk pas foto itu, kupejamkan mataku sambil mengingat masa masa bersamanya.
“Dimas...” ku terus menyebut namanya. Air mataku menetes setiap ku panggil namanya. Pas foto itulah yang mampu kupeluk, bahkan sesungguhnya aku berharap dialah yang aku peluk saat ini.
Semakin erat aku peluk pas foto itu, semakin aku terlarut dalam kenanganku. Aku tak mampu menahan semua ini, ingin kulepaskan semua dalam teriakan. Namun, keadaan tak memungkinkan.
Tuhan... Aku harap semuanya kembali. Aku berharap ini hanya mimpi...
Aku butuh mesin waktu untuk mencegah kejadian ini, tapi... percuma, semua sudah berakhir.
Aku telah membentaknya. Aku juga memukulnya. Ada apa dengan diriku ini? Mengapa aku berubah? Setan apa yang telah merasukiku?
Aku hampir saja memiliki niat untuk membunuhnya. Semua kekacauan ini, pertengkaran ini mengendalikanku. Aku kehilangan kuasa atas diriku, aku tak mampu menguasai perasaan, pikiran bahkan perlakuanku.
Sebenarnya siapa yang salah? Aku atau dia? Apa aku terlalu cemburu sehingga dia meninggalkanku? Apa aku terlalu posesif seperti yang dia katakan? Apa aku terlalu berburuk sangka padanya sehingga aku tak percaya perkataannya? Apa aku keterlaluan sehingga dia... menamparku?
Aku rasa aku memang salah. Aku yang salah, aku terlalu cemburu padanya! Aku terlalu posesif! Aku juga selalu berburuk sangka dan selalu mencurigainya. Aku memang bukan pacar yang baik untuknya! Tindakanku juga keterlaluan sehingga aku menyakiti hatinya. Itulah mengapa ia menamparku.
Tapi, aku cemburu karena aku sayang dia! Aku posesif seperti ini pun karena aku tak ingin dia selingkuh. Aku berburuk sangka untuk memastikan kalau dia jujur dan tak membohongiku. Aku... Keterlaluan seperti ini juga... karena aku ingin menjaga hatinya dan menyadarkannya.
Aku diambang kebingungan. Antara kesalahan dan kebenaran aku bingung, mengingat semua telah terjadi dan terlanjur... Aku menangis lagi. Aku menangis menghabiskan malam yang buruk ini.
Aku tak mampu mengatasi segala yang telah ku perbuat. Aku memang pecundang! Yang tak mau bertanggung jawab atas perbuatanku dan hanya mampu menyesalinya –dengan air mata.
Tangis yang membuatku menumpahkan segalanya, membuat dada yang sesak perlahan lega. Kulepaskan beban dalam aura negatif yang kujatuhkan bersama air mata. Tangis yang terlalu lama membuatku pusing –sakit kepala ini karena terlalu banyak menangis.
Meski bebanku terlepaskan dan membuat lega, tapi tidak untuk dadaku –penyakit asma ku kambuh. Rasanya sakit, nafasku tersengal. Ingin kupanggil mama, tapi itu tak mungkin. Aku tak ingin mama memarahiku lagi, karena aku menangis karena cinta.
Mama selalu melarangku untuk memikirkan cinta jika itu akan menyangkut kesehatan dan prestasiku –itulah mamaku, overprotektif. Tapi, aku yakin mama begitu karena sayang kepadaku.
Aku masih menggenggam foto Dimas yang tadi kupeluk. Aku berusaha menahan sakit pada dadaku, merangkak dengan penuh upaya ke ranjang yang menanti. Tidak lupa ku seret juga pas foto yang ada di tangan kiriku. Kurebahkan tubuhku diatas ranjangku yang sudah hancur teracak. Kupandang foto itu lagi, aku tersenyum sambil menitikkan air mataku.
Aku ingin sekali mengakhiri hidupku. Apalagi jika ku pandang foto itu, rasanya aku ingin memejamkan mata untuk selamanya. Apa harus kubakar foto itu untuk melupakannya dan mengakhiri segala keterpurukan ini?
Tapi, aku takkan membiarkan semua ini berakhir. Aku takkan membiarkan semua ini membuatku terpuruk hancur. Biarlah kenangan menjadi sebuah kenangan. Dan akan ku cegah masa lalu mengakhiri harapanku.
Kamu tahu Dim? Aku hancur! Kamu hancurkan hati aku, kamu ledakkan hingga hati aku menyebar membentuk serpihan. Serpihan hati aku hilang, dan itu kamu! Kamu tak mengerti apa maksud aku dalam menjagamu, merasa memilikimu sepenuhnya. Karena AKU SAYANG KAMU!
Disaat aku sayang kamu, aku mau jaga kamu, kamu bilang aku posesif. Dan kamu justru bilang ini tak akan berlanjut. Ini tak abadi? Tolong, jangan katakan itu. Aku masih sayang kamu...
Kamu hancurkan hati aku, kamu patahkan hati aku, kamu lukai hati aku, kamu sayat hati aku. Luka abadi yang kamu sirat dihati aku tak akan mudah aku lupakan. Aku telah memohon padamu untuk tak meninggalkanku, aku telah memohon padamu untuk tetap bersamaku, aku telah memohon padamu untuk menemaniku. Tapi, apa buktinya? Kamu bilang kita tak akan pernah bersatu!
Kamu bilang kita ini tak cocok, tak mungkin bersatu. Aku yakin pandangan kamu salah, aku yakin itu hanya karena kamu emosi berkata begitu. Aku tak mampu melepaskan kamu secepat itu.
Kupejamkan mataku, mengecup pas foto dalam pelukan. Dadaku sesak kembali, air mataku terurai kembali. Aku tak akan membuat semua ini usai.
Aku yakin ini masih berlanjut, dia akan kembali padaku. Aku yakin ini belum usai dan takkan pernah usai. Aku yakin jika dia tak kembali padaku, pasti ada pengganti dia untukku. Aku tak mungkin menjadi perawan tua, aku juga tak mungkin sendiri seumur hidup.
Kecuali jika dia berusaha untuk merenggut segala kebahagiaanku. Tetapi tak akan aku biarkan, sekalipun aku harus mempertaruhkan nyawaku demi kebahagiaan hidupku. Aku takkan membiarkan harapanku hancur, mimpiku sirna, hidupku kelam.
Aku takkan pernah membiarkannya usai. Sekalipun dia harus menghancurkanku, ini takkan usai! Meski dada ini sesak, kuyakin aku belum usai.
Nafasku semakin pendek, aku semakin sulit untuk mengambil oksigen diudara. Aku mengambil tabung oksigen, tapi habis. Aku tak mampu keluar, bahkan bangun dari tempat tidurku pun itu sulit!
Aku merangkak berencana memanggil mama. Namun, aku terjatuh dan menutup mataku. Entah, apa yang terjadi saat itu.
Aku kesal karena ia tak menjawabku. Aku melempar foto itu hingga kacanya pecah. Aku memeluk tubuhku sendiri berharap semua ini hanya mimpi. “Mengapa? Mengapa harus begini? Aku tak sanggup jika kamu terus menyalahkan aku atas semua kesalahan yang kamu perbuat. Apa kamu tak pernah berpikir rasanya dicambuk tanpa kesalahan? Sakit!”
Aku mengingatnya kembali. Sebelum aku mulai gila seperti ini.
***
“Aku tak mau percaya lagi denganmu!” bentakku memukulnya dengan kekuatan yang aku punya. Ia tetap menepis tanganku dan memintaku untuk menjelaskan semua yang aku bicarakan. Aku tak peduli apapun reaksinya, aku tak akan menghentikan pukulan itu.
“Tenanglah!” Ia menggenggam tanganku yang tak mampu terlepas dari genggamannya.
“Lepaskan aku! Kamu lelaki sialan!” Aku melawan genggaman tangannya dan terus memakinya tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Amarahku telah sampai pada puncak, memecahkan termometer pada pikiranku.
Aku hilang kendali tak mampu berpikir apa pun. Segala yang kukatakan, bahkan yang kulakukan benar-benar tak kusadari. Aku tetap memberontak, meski dia terus menggenggam tanganku.
“Tenanglah! Jelaskan padaku apa yang terjadi?” Ia memeluk tubuhku dengan erat. Aku menolak pelukannya, mendorongnya kuat hingga ia melepas pelukannya.
“Lelaki sialan! Kurang ajar! Janjimu kosong, aku tak percaya lagi padamu!!!” aku membentaknya. Tak kusadari air mataku jatuh begitu saja.
Ia menghapus air mataku, aku menepis tangannya. Ia menggenggam kedua pipiku dan menciumku. Namun, aku tak segan untuk menamparnya dengan telapak tanganku.
Ia menyentuh pipi yang habis kutampar. Ia menatapku bingung, “Kamu ini kenapa?! Jelaskan, aku tak mengerti!”
“Kamu lelaki tak tahu diuntung! Kamu bilang kamu gak akan pernah menduakan aku!”
“Aku gak pernah menduakan kamu!” seketika nada suaranya mulai tegas.
“Kamu bohong! Lelaki pendusta! Kamu hanya memanfaatkan aku kan?”
“Cha, aku gak mengerti apa maksud kamu! Aku manfaatin kamu?”
“Iya! Kamu hanya jadiin aku pembantu kamu kan? Sebagai penopang hidup kamu, kamu kuras harta aku. Kamu bilang hanya aku yang ada di hati kamu, dan kamu manis seperti orang baik di hadapan aku.”
“Cha! Aku tak pernah seperti yang kamu bilang!” Ia marah ketika aku berbicara padanya dengan kata-kata yang mungkin menyinggungnya.
“Apa buktinya kalau kamu gak begitu?! Kamu sama seperti lelaki lain! Kamu manis didepanku seperti kucing tapi ketika kamu ada di belakangku? HAHA, kamu seperti anjing yang bermain dengan wanita lain!”
“Anjing?! Kamu bilang seperti anjing?”
“YA! Kamu seperti anjing!”
Ia mengepalkan tangannya geram. “Apa maksudmu sampai kamu berkata begitu?! Apa salah aku hah?!”
“Kamu masih bertanya? Kamu ini pura-pura gak tahu atau goblok hah?!”
“Kamu jelaskan! Aku bukan pembaca pikiran yang bisa mengerti apa yang kamu pikirkan!” bentaknya.
Aku tak menyangka dia membentakku begitu. Baru satu kali ini dia membentakku, berbicara dengan raut wajah yang mengkerut, dan urat leher yang terbentuk.
Tak kusadari, air mataku jatuh. “Kamu pasti tahu kejadian kemarin! Kemarin kamu melihatku, tapi kamu sama sekali tak mengerti perasaan aku!”
“Maksudmu apa? Apa kaitannya dengan perasaanmu?!”
“Kamu gak sadar juga?! Kamu pegangan tangan dengannya! Kamu peluk dia! Dan aku yang melihat kamu seperti itu, tersayat hati aku Dim! Aku pergi tapi kamu gak peduli!”
“Hahaha, itu sepupuku, bodoh!” Ia memukul tembok yang digunakannya untuk bertumpu. Seraya membuatku kaget juga karena bentakannya.
“Bohong! Aku lihat kamu peluk mesra dengannya! Aku lihat tatapan kamu, seakan punya perasaan dengannya! Kamu diamkan aku, saat aku cemburu seperti itu! Kamu tak merasa bersalah, tak mengirim pesan untuk aku, tak menelpon aku juga! Kamu tak ada pedulinya denganku. Apa kamu sudah pacaran dengannya? Atau bahkan pernah ‘melakukannya’ dengannya ya?! Ayo mengaku!” aku menuduhnya tanpa bukti.
PLAKK!!
Dia menamparku. “Apa maksudmu hah?! Pikiranmu terlalu jauh! Aku tak mungkin melakukannya dan aku masih punya cita-cita! Jaga bicaramu!”
“Lalu mengapa kamu gak telpon aku waktu itu? Kenapa kamu gak kejar aku waktu itu?! Hah!”
“Ck, kenapa kamu jadi posesif begini, hah?!”
“Apa salahnya aku mau menjaga pacarku sendiri agar tak bermain dibelakangku?!”
“Aku tak pernah bermain dibelakangmu! Dan berhentilah menjadi posesif seperti ini!”
“Kamu melarang aku untuk menjaga kamu?! Kamu keberatan?! Cobalah kamu ada di posisiku! Kamu juga posesif terhadap aku, aku jalan dengan kakakku sendiri kamu pun cemburu! Kamu teror aku dengan nomor barumu! Mengancam membunuh kakakku sendiri kalau aku jalan dengannya! Apa itu namanya bukan posesif? Itu over! Overposesif!”
“Kenapa semua jadi menyalahkan aku, hah?!”
“Terserah! Mau yang salah kamu, ibumu, nenekmu, kakekmu, aku tak peduli!”
“Tak perlu membawa nama ibuku!” bentaknya lagi.
“Lelaki murahan!” umpatku.
“Apa kamu bilang?!”
PLAKK!!
Dia menamparku lagi. Pipiku memerah karena tamparannya. Ku memegang pipiku yang usai ditampar olehnya. Memastikan kalau pipiku tak jatuh ke lantai karena tamparan ganasnya.
“Kamu tega melakukan ini?!” Aku membendung air mataku yang meluap dari sarangnya.
“Iya! Aku tega melakukannya! Lalu kenapa?!”
“Aku ini pacarmu! Harusnya kamu menjaga aku, bukan menamparku!”
“Tidak lagi, Kita putus! It’s over and never ever getting back together!” Ia memukul tembok yang digunakannya bertumpu, tanpa pamit ia pergi meninggalkan aku yang terdiam merintih akan sakitnya tamparan dan sakitnya sayatan dalam hati ini.
***
Aku memaki diriku sendiri, tak segan juga menyakiti diri sendiri. Semua berakhir! Dimas pergi meninggalkan aku, aku tak memiliki siapa-siapa lagi. Ini semua berakhir? Mengapa harus terjadi?
Aku menangis lagi diatas ranjangku yang hancur karena ku acak-acak. Aku melempar bantal, guling, menarik selimut dan melemparnya sembarang. Aku merasa diri ini terkutuk! Aku dirasuki setan yang membuat hubunganku dengannya berakhir.
Aku mengambil ponselku berniat mengirim pesan untuk meminta maaf padanya. Namun, aku berpikir berulang kali untuk mengirim pesan itu. Kata-kata yang keluar dari mulutku telah menyayat hatinya, perlakuanku telah membuat memar ditubuhnya, bahkan dia telah menamparku. Apa aku tak punya rasa malu untuk menghubunginya terus menerus dikala dia sudah merasa jijik denganku?
Sudahlah, ini semua telah berakhir. Kusebut namanya berulang kali. Ku mengambil pas foto yang telah pecah kulempar beberapa menit yang lalu. Aku menatap senyuman pada foto itu, air mataku menetes tepat pada wajahnya.
Kupeluk pas foto itu, kupejamkan mataku sambil mengingat masa masa bersamanya.
“Dimas...” ku terus menyebut namanya. Air mataku menetes setiap ku panggil namanya. Pas foto itulah yang mampu kupeluk, bahkan sesungguhnya aku berharap dialah yang aku peluk saat ini.
Semakin erat aku peluk pas foto itu, semakin aku terlarut dalam kenanganku. Aku tak mampu menahan semua ini, ingin kulepaskan semua dalam teriakan. Namun, keadaan tak memungkinkan.
Tuhan... Aku harap semuanya kembali. Aku berharap ini hanya mimpi...
Aku butuh mesin waktu untuk mencegah kejadian ini, tapi... percuma, semua sudah berakhir.
***
Aku hampir saja memiliki niat untuk membunuhnya. Semua kekacauan ini, pertengkaran ini mengendalikanku. Aku kehilangan kuasa atas diriku, aku tak mampu menguasai perasaan, pikiran bahkan perlakuanku.
Sebenarnya siapa yang salah? Aku atau dia? Apa aku terlalu cemburu sehingga dia meninggalkanku? Apa aku terlalu posesif seperti yang dia katakan? Apa aku terlalu berburuk sangka padanya sehingga aku tak percaya perkataannya? Apa aku keterlaluan sehingga dia... menamparku?
Aku rasa aku memang salah. Aku yang salah, aku terlalu cemburu padanya! Aku terlalu posesif! Aku juga selalu berburuk sangka dan selalu mencurigainya. Aku memang bukan pacar yang baik untuknya! Tindakanku juga keterlaluan sehingga aku menyakiti hatinya. Itulah mengapa ia menamparku.
Tapi, aku cemburu karena aku sayang dia! Aku posesif seperti ini pun karena aku tak ingin dia selingkuh. Aku berburuk sangka untuk memastikan kalau dia jujur dan tak membohongiku. Aku... Keterlaluan seperti ini juga... karena aku ingin menjaga hatinya dan menyadarkannya.
Aku diambang kebingungan. Antara kesalahan dan kebenaran aku bingung, mengingat semua telah terjadi dan terlanjur... Aku menangis lagi. Aku menangis menghabiskan malam yang buruk ini.
Aku tak mampu mengatasi segala yang telah ku perbuat. Aku memang pecundang! Yang tak mau bertanggung jawab atas perbuatanku dan hanya mampu menyesalinya –dengan air mata.
***
Tangis yang membuatku menumpahkan segalanya, membuat dada yang sesak perlahan lega. Kulepaskan beban dalam aura negatif yang kujatuhkan bersama air mata. Tangis yang terlalu lama membuatku pusing –sakit kepala ini karena terlalu banyak menangis.
Meski bebanku terlepaskan dan membuat lega, tapi tidak untuk dadaku –penyakit asma ku kambuh. Rasanya sakit, nafasku tersengal. Ingin kupanggil mama, tapi itu tak mungkin. Aku tak ingin mama memarahiku lagi, karena aku menangis karena cinta.
Mama selalu melarangku untuk memikirkan cinta jika itu akan menyangkut kesehatan dan prestasiku –itulah mamaku, overprotektif. Tapi, aku yakin mama begitu karena sayang kepadaku.
Aku masih menggenggam foto Dimas yang tadi kupeluk. Aku berusaha menahan sakit pada dadaku, merangkak dengan penuh upaya ke ranjang yang menanti. Tidak lupa ku seret juga pas foto yang ada di tangan kiriku. Kurebahkan tubuhku diatas ranjangku yang sudah hancur teracak. Kupandang foto itu lagi, aku tersenyum sambil menitikkan air mataku.
Aku ingin sekali mengakhiri hidupku. Apalagi jika ku pandang foto itu, rasanya aku ingin memejamkan mata untuk selamanya. Apa harus kubakar foto itu untuk melupakannya dan mengakhiri segala keterpurukan ini?
Tapi, aku takkan membiarkan semua ini berakhir. Aku takkan membiarkan semua ini membuatku terpuruk hancur. Biarlah kenangan menjadi sebuah kenangan. Dan akan ku cegah masa lalu mengakhiri harapanku.
***
Disaat aku sayang kamu, aku mau jaga kamu, kamu bilang aku posesif. Dan kamu justru bilang ini tak akan berlanjut. Ini tak abadi? Tolong, jangan katakan itu. Aku masih sayang kamu...
Kamu hancurkan hati aku, kamu patahkan hati aku, kamu lukai hati aku, kamu sayat hati aku. Luka abadi yang kamu sirat dihati aku tak akan mudah aku lupakan. Aku telah memohon padamu untuk tak meninggalkanku, aku telah memohon padamu untuk tetap bersamaku, aku telah memohon padamu untuk menemaniku. Tapi, apa buktinya? Kamu bilang kita tak akan pernah bersatu!
Kamu bilang kita ini tak cocok, tak mungkin bersatu. Aku yakin pandangan kamu salah, aku yakin itu hanya karena kamu emosi berkata begitu. Aku tak mampu melepaskan kamu secepat itu.
Kupejamkan mataku, mengecup pas foto dalam pelukan. Dadaku sesak kembali, air mataku terurai kembali. Aku tak akan membuat semua ini usai.
***
Aku yakin ini masih berlanjut, dia akan kembali padaku. Aku yakin ini belum usai dan takkan pernah usai. Aku yakin jika dia tak kembali padaku, pasti ada pengganti dia untukku. Aku tak mungkin menjadi perawan tua, aku juga tak mungkin sendiri seumur hidup.
Kecuali jika dia berusaha untuk merenggut segala kebahagiaanku. Tetapi tak akan aku biarkan, sekalipun aku harus mempertaruhkan nyawaku demi kebahagiaan hidupku. Aku takkan membiarkan harapanku hancur, mimpiku sirna, hidupku kelam.
Aku takkan pernah membiarkannya usai. Sekalipun dia harus menghancurkanku, ini takkan usai! Meski dada ini sesak, kuyakin aku belum usai.
Nafasku semakin pendek, aku semakin sulit untuk mengambil oksigen diudara. Aku mengambil tabung oksigen, tapi habis. Aku tak mampu keluar, bahkan bangun dari tempat tidurku pun itu sulit!
Aku merangkak berencana memanggil mama. Namun, aku terjatuh dan menutup mataku. Entah, apa yang terjadi saat itu.
***
Ditulis oleh:
Michiko
Baca juga kisah romansa lainnya: Klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar