16 Desember 2015

It Is Over

2:54 PM 0 Comments
Cover: It's Over


Mataku membengkak. Tangisan mengisi keheningan malamku. Air mataku terus berjatuhan tak bisa kuhentikan. Mataku perih, terasa kering karena aku kuras. Kelenjar air mataku mengkerut kehabisan persediaan air mata. Tisu yang mengisi sebuah kotak kini tersisa beberapa lembar. Tisu itu menyerap semua air mata yang terjatuh. Kini lembaran tisu itu tak berarti seperti suatu hal yang aku tangisi. Mengapa? Mengapa semua harus terjadi kepadaku? Aku pun tak mengerti. Aku melakukan apa hingga terjadi seperti ini? Bukan aku yang salah! Aku bukanlah seseorang yang harus terus disalahkan.

“Mengapa?!” Aku berteriak sambil mengacak ranjangku yang rapi. Aku seperti orang gila yang bingung sendiri akan perjalanan hidup. Aku frustasi. Teriakku memecah kesunyian malam itu. Namun, siapa peduli? Hatiku lebih sakit daripada telinga orang yang mendengar jeritanku malam itu.

Aku tersudut di kamarku. Rambutku berantakan, kamarku juga. Entah apa yang merasukiku, aku frustasi akan semua yang terjadi. Aku tak tahu harus dengan cara apa menjalani semua ini.

“Jangan salahkan aku lagi! Ini sudah cukup!” Aku menutup telingaku, menjambak rambutku sendiri, dan memejamkan mataku berharap mataku tak akan memandang dunia ini lagi.

Air mataku mengalir lagi. Aku benar-benar bertingkah seperti pasien Rumah Sakit Jiwa. Aku mengambil foto yang terpajang di meja sebelah ranjangku. Menatap tajam pada sosok didalam gambar tersebut. Aku seolah mengajaknya bicara. Namun, gambar itu hanyalah menampakan senyuman penuh dustanya. 

“Jangan salahkan aku, aku tak berbuat apa-apa. Sebenarnya siapa yang harus disalahkan? Aku atau kamu?!” Aku terisak didalam tangisku yang sia-sia. “Mengapa semuanya selalu berbalik padaku?! Kamu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku.”

Aku kesal karena ia tak menjawabku. Aku melempar foto itu hingga kacanya pecah. Aku memeluk tubuhku sendiri berharap semua ini hanya mimpi. “Mengapa? Mengapa harus begini? Aku tak sanggup jika kamu terus menyalahkan aku atas semua kesalahan yang kamu perbuat. Apa kamu tak pernah berpikir rasanya dicambuk tanpa kesalahan? Sakit!”

Aku mengingatnya kembali. Sebelum aku mulai gila seperti ini.

***

“Aku tak mau percaya lagi denganmu!” bentakku memukulnya dengan kekuatan yang aku punya. Ia tetap menepis tanganku dan memintaku untuk menjelaskan semua yang aku bicarakan. Aku tak peduli apapun reaksinya, aku tak akan menghentikan pukulan itu.

“Tenanglah!” Ia menggenggam tanganku yang tak mampu terlepas dari genggamannya.

“Lepaskan aku! Kamu lelaki sialan!” Aku melawan genggaman tangannya dan terus memakinya tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Amarahku telah sampai pada puncak, memecahkan termometer pada pikiranku.

Aku hilang kendali tak mampu berpikir apa pun. Segala yang kukatakan, bahkan yang kulakukan benar-benar tak kusadari. Aku tetap memberontak, meski dia terus menggenggam tanganku.

“Tenanglah! Jelaskan padaku apa yang terjadi?” Ia memeluk tubuhku dengan erat. Aku menolak pelukannya, mendorongnya kuat hingga ia melepas pelukannya.

“Lelaki sialan! Kurang ajar! Janjimu kosong, aku tak percaya lagi padamu!!!” aku membentaknya. Tak kusadari air mataku jatuh begitu saja.

Ia menghapus air mataku, aku menepis tangannya. Ia menggenggam kedua pipiku dan menciumku. Namun, aku tak segan untuk menamparnya dengan telapak tanganku.

Ia menyentuh pipi yang habis kutampar. Ia menatapku bingung, “Kamu ini kenapa?! Jelaskan, aku tak mengerti!”

“Kamu lelaki tak tahu diuntung! Kamu bilang kamu gak akan pernah menduakan aku!”

“Aku gak pernah menduakan kamu!” seketika nada suaranya mulai tegas.

“Kamu bohong! Lelaki pendusta! Kamu hanya memanfaatkan aku kan?”

“Cha, aku gak mengerti apa maksud kamu! Aku manfaatin kamu?”

“Iya! Kamu hanya jadiin aku pembantu kamu kan? Sebagai penopang hidup kamu, kamu kuras harta aku. Kamu bilang hanya aku yang ada di hati kamu, dan kamu manis seperti orang baik di hadapan aku.”

“Cha! Aku tak pernah seperti yang kamu bilang!” Ia marah ketika aku berbicara padanya dengan kata-kata yang mungkin menyinggungnya.

“Apa buktinya kalau kamu gak begitu?! Kamu sama seperti lelaki lain! Kamu manis didepanku seperti kucing tapi ketika kamu ada di belakangku? HAHA, kamu seperti anjing yang bermain dengan wanita lain!”

“Anjing?! Kamu bilang seperti anjing?”

“YA! Kamu seperti anjing!”

Ia mengepalkan tangannya geram. “Apa maksudmu sampai kamu berkata begitu?! Apa salah aku hah?!”

“Kamu masih bertanya? Kamu ini pura-pura gak tahu atau goblok hah?!”

“Kamu jelaskan! Aku bukan pembaca pikiran yang bisa mengerti apa yang kamu pikirkan!” bentaknya.

Aku tak menyangka dia membentakku begitu. Baru satu kali ini dia membentakku, berbicara dengan raut wajah yang mengkerut, dan urat leher yang terbentuk.

Tak kusadari, air mataku jatuh. “Kamu pasti tahu kejadian kemarin! Kemarin kamu melihatku, tapi kamu sama sekali tak mengerti perasaan aku!”

“Maksudmu apa? Apa kaitannya dengan perasaanmu?!”

“Kamu gak sadar juga?! Kamu pegangan tangan dengannya! Kamu peluk dia! Dan aku yang melihat kamu seperti itu, tersayat hati aku Dim! Aku pergi tapi kamu gak peduli!”

“Hahaha, itu sepupuku, bodoh!” Ia memukul tembok yang digunakannya untuk bertumpu. Seraya membuatku kaget juga karena bentakannya.

“Bohong! Aku lihat kamu peluk mesra dengannya! Aku lihat tatapan kamu, seakan punya perasaan dengannya! Kamu diamkan aku, saat aku cemburu seperti itu! Kamu tak merasa bersalah, tak mengirim pesan untuk aku, tak menelpon aku juga! Kamu tak ada pedulinya denganku. Apa kamu sudah pacaran dengannya? Atau bahkan pernah ‘melakukannya’ dengannya ya?! Ayo mengaku!” aku menuduhnya tanpa bukti.

PLAKK!!

Dia menamparku. “Apa maksudmu hah?! Pikiranmu terlalu jauh! Aku tak mungkin melakukannya dan aku masih punya cita-cita! Jaga bicaramu!”

“Lalu mengapa kamu gak telpon aku waktu itu? Kenapa kamu gak kejar aku waktu itu?! Hah!”

“Ck, kenapa kamu jadi posesif begini, hah?!”

“Apa salahnya aku mau menjaga pacarku sendiri agar tak bermain dibelakangku?!”

“Aku tak pernah bermain dibelakangmu! Dan berhentilah menjadi posesif seperti ini!”

“Kamu melarang aku untuk menjaga kamu?! Kamu keberatan?! Cobalah kamu ada di posisiku! Kamu juga posesif terhadap aku, aku jalan dengan kakakku sendiri kamu pun cemburu! Kamu teror aku dengan nomor barumu! Mengancam membunuh kakakku sendiri kalau aku jalan dengannya! Apa itu namanya bukan posesif? Itu over! Overposesif!”

“Kenapa semua jadi menyalahkan aku, hah?!”

“Terserah! Mau yang salah kamu, ibumu, nenekmu, kakekmu, aku tak peduli!”

“Tak perlu membawa nama ibuku!” bentaknya lagi.

“Lelaki murahan!” umpatku.

“Apa kamu bilang?!”

PLAKK!!

Dia menamparku lagi. Pipiku memerah karena tamparannya. Ku memegang pipiku yang usai ditampar olehnya. Memastikan kalau pipiku tak jatuh ke lantai karena tamparan ganasnya.

“Kamu tega melakukan ini?!” Aku membendung air mataku yang meluap dari sarangnya.

“Iya! Aku tega melakukannya! Lalu kenapa?!”

“Aku ini pacarmu! Harusnya kamu menjaga aku, bukan menamparku!”

“Tidak lagi, Kita putus! It’s over and never ever getting back together!” Ia memukul tembok yang digunakannya bertumpu, tanpa pamit ia pergi meninggalkan aku yang terdiam merintih akan sakitnya tamparan dan sakitnya sayatan dalam hati ini.

***

Setan itu keluar. Aku baru tersadar dari perlakuanku barusan. Namun, terlambat Cha! Dimas telah pergi meninggalkanmu dan sepertinya tak mau lagi mengenalmu.

Aku memaki diriku sendiri, tak segan juga menyakiti diri sendiri. Semua berakhir! Dimas pergi meninggalkan aku, aku tak memiliki siapa-siapa lagi. Ini semua berakhir? Mengapa harus terjadi?
Aku menangis lagi diatas ranjangku yang hancur karena ku acak-acak. Aku melempar bantal, guling, menarik selimut dan melemparnya sembarang. Aku merasa diri ini terkutuk! Aku dirasuki setan yang membuat hubunganku dengannya berakhir.

Aku mengambil ponselku berniat mengirim pesan untuk meminta maaf padanya. Namun, aku berpikir berulang kali untuk mengirim pesan itu. Kata-kata yang keluar dari mulutku telah menyayat hatinya, perlakuanku telah membuat memar ditubuhnya, bahkan dia telah menamparku. Apa aku tak punya rasa malu untuk menghubunginya terus menerus dikala dia sudah merasa jijik denganku?
Sudahlah, ini semua telah berakhir. Kusebut namanya berulang kali. Ku mengambil pas foto yang telah pecah kulempar beberapa menit yang lalu. Aku menatap senyuman pada foto itu, air mataku menetes tepat pada wajahnya.

Kupeluk pas foto itu, kupejamkan mataku sambil mengingat masa masa bersamanya.

“Dimas...” ku terus menyebut namanya. Air mataku menetes setiap ku panggil namanya. Pas foto itulah yang mampu kupeluk, bahkan sesungguhnya aku berharap dialah yang aku peluk saat ini.
Semakin erat aku peluk pas foto itu, semakin aku terlarut dalam kenanganku. Aku tak mampu menahan semua ini, ingin kulepaskan semua dalam teriakan. Namun, keadaan tak memungkinkan.

Tuhan... Aku harap semuanya kembali. Aku berharap ini hanya mimpi...
Aku butuh mesin waktu untuk mencegah kejadian ini, tapi... percuma, semua sudah berakhir.

***

Aku telah membentaknya. Aku juga memukulnya. Ada apa dengan diriku ini? Mengapa aku berubah? Setan apa yang telah merasukiku?

Aku hampir saja memiliki niat untuk membunuhnya. Semua kekacauan ini, pertengkaran ini mengendalikanku. Aku kehilangan kuasa atas diriku, aku tak mampu menguasai perasaan, pikiran bahkan perlakuanku.

Sebenarnya siapa yang salah? Aku atau dia? Apa aku terlalu cemburu sehingga dia meninggalkanku? Apa aku terlalu posesif seperti yang dia katakan? Apa aku terlalu berburuk sangka padanya sehingga aku tak percaya perkataannya? Apa aku keterlaluan sehingga dia... menamparku?

Aku rasa aku memang salah. Aku yang salah, aku terlalu cemburu padanya! Aku terlalu posesif! Aku juga selalu berburuk sangka dan selalu mencurigainya. Aku memang bukan pacar yang baik untuknya! Tindakanku juga keterlaluan sehingga aku menyakiti hatinya. Itulah mengapa ia menamparku.

Tapi, aku cemburu karena aku sayang dia! Aku posesif seperti ini pun karena aku tak ingin dia selingkuh. Aku berburuk sangka untuk memastikan kalau dia jujur dan tak membohongiku. Aku... Keterlaluan seperti ini juga... karena aku ingin menjaga hatinya dan menyadarkannya.

Aku diambang kebingungan. Antara kesalahan dan kebenaran aku bingung, mengingat semua telah terjadi dan terlanjur... Aku menangis lagi. Aku menangis menghabiskan malam yang buruk ini.
Aku tak mampu mengatasi segala yang telah ku perbuat. Aku memang pecundang! Yang tak mau bertanggung jawab atas perbuatanku dan hanya mampu menyesalinya –dengan air mata.

***

Tangis yang membuatku menumpahkan segalanya, membuat dada yang sesak perlahan lega. Kulepaskan beban dalam aura negatif yang kujatuhkan bersama air mata. Tangis yang terlalu lama membuatku pusing –sakit kepala ini karena terlalu banyak menangis.

Meski bebanku terlepaskan dan membuat lega, tapi tidak untuk dadaku –penyakit asma ku kambuh. Rasanya sakit, nafasku tersengal. Ingin kupanggil mama, tapi itu tak mungkin. Aku tak ingin mama memarahiku lagi, karena aku menangis karena cinta.

Mama selalu melarangku untuk memikirkan cinta jika itu akan menyangkut kesehatan dan prestasiku –itulah mamaku, overprotektif. Tapi, aku yakin mama begitu karena sayang kepadaku.

Aku masih menggenggam foto Dimas yang tadi kupeluk. Aku berusaha menahan sakit pada dadaku, merangkak dengan penuh upaya ke ranjang yang menanti. Tidak lupa ku seret juga pas foto yang ada di tangan kiriku. Kurebahkan tubuhku diatas ranjangku yang sudah hancur teracak. Kupandang foto itu lagi, aku tersenyum sambil menitikkan air mataku.

Aku ingin sekali mengakhiri hidupku. Apalagi jika ku pandang foto itu, rasanya aku ingin memejamkan mata untuk selamanya. Apa harus kubakar foto itu untuk melupakannya dan mengakhiri segala keterpurukan ini?

Tapi, aku takkan membiarkan semua ini berakhir. Aku takkan membiarkan semua ini membuatku terpuruk hancur. Biarlah kenangan menjadi sebuah kenangan. Dan akan ku cegah masa lalu mengakhiri harapanku.

***

Kamu tahu Dim? Aku hancur! Kamu hancurkan hati aku, kamu ledakkan hingga hati aku menyebar membentuk serpihan. Serpihan hati aku hilang, dan itu kamu! Kamu tak mengerti apa maksud aku dalam menjagamu, merasa memilikimu sepenuhnya. Karena AKU SAYANG KAMU!

Disaat aku sayang kamu, aku mau jaga kamu, kamu bilang aku posesif. Dan kamu justru bilang ini tak akan berlanjut. Ini tak abadi? Tolong, jangan katakan itu. Aku masih sayang kamu...

Kamu hancurkan hati aku, kamu patahkan hati aku, kamu lukai hati aku, kamu sayat hati aku. Luka abadi yang kamu sirat dihati aku tak akan mudah aku lupakan. Aku telah memohon padamu untuk tak meninggalkanku, aku telah memohon padamu untuk tetap bersamaku, aku telah memohon padamu untuk menemaniku. Tapi, apa buktinya? Kamu bilang kita tak akan pernah bersatu!

Kamu bilang kita ini tak cocok, tak mungkin bersatu. Aku yakin pandangan kamu salah, aku yakin itu hanya karena kamu emosi berkata begitu. Aku tak mampu melepaskan kamu secepat itu.
Kupejamkan mataku, mengecup pas foto dalam pelukan. Dadaku sesak kembali, air mataku terurai kembali. Aku tak akan membuat semua ini usai.

***

Aku yakin ini masih berlanjut, dia akan kembali padaku. Aku yakin  ini belum usai dan takkan pernah usai. Aku yakin jika dia tak kembali padaku, pasti ada pengganti dia untukku. Aku tak mungkin menjadi perawan tua, aku juga tak mungkin sendiri seumur hidup.

Kecuali jika dia berusaha untuk merenggut segala kebahagiaanku. Tetapi tak akan aku biarkan, sekalipun aku harus mempertaruhkan nyawaku demi kebahagiaan hidupku. Aku takkan membiarkan harapanku hancur, mimpiku sirna, hidupku kelam.

Aku takkan pernah membiarkannya usai. Sekalipun dia harus menghancurkanku, ini takkan usai! Meski dada ini sesak, kuyakin aku belum usai.

Nafasku semakin pendek, aku semakin sulit untuk mengambil oksigen diudara. Aku mengambil tabung oksigen, tapi habis. Aku tak mampu keluar, bahkan bangun dari tempat tidurku pun itu sulit!
Aku merangkak berencana memanggil mama. Namun, aku terjatuh dan menutup mataku. Entah, apa yang terjadi saat itu.

***

Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah romansa lainnya: Klik di sini

Surat Terkutuk

2:42 PM 0 Comments
Untuk seseorang yang aku cinta.


Teruntuk kamu yang memandang secarik kertas busuk ini. 
Kamu yang memandang tulisan haram ini. 
Kamu yang memikirkan makna sampah ini. 
Bagaimana kabarmu? Kau selalu baik, bukan? Ya, aku tahu itu. Kau sakit? Maaf, aku tak mampu mengobatimu karena aku tahu hanya dia yang mampu mengobati segala lukamu.

Kau sakit, dia yang mengobati. Dia sakit, kau yang mengobati. Lalu bagaimana denganku? Aku disini sendiri, tiada yang mengobati dan tiada yang menemani. Apa aku terabaikan dikala kau dan dia bahagia? Apakah aku harus terpaku melihat kebersamaan dua insan yang saling mencinta sedangkan aku disini mematung dalam kesakitan yang mendalam?

Aku bingung. Hidupku suram ketika mendapatimu jalan berdua bersamanya. Aku tak tahu bagaimana melepas kerinduan ini. Sekadar melihatmu itu tak cukup bagiku. Sekadar menatapmu dari kejauhan tak terasa bagiku. Terlebih lagi jika aku melihatmu dengannya. Hatiku bukan lega tetapi terasa sesak dan ingin berteriak melepas semua beban di hatiku.

Kumohon berikanlah aku celah untuk memasuki hatimu. Sedikit balasan sudah cukup bagiku. Sedikit penghargaan atas pengorbananku membuat hatiku bahagia. Tak bisa kah satu kali saja kau berkorban untukku?
Kumohon, selama aku masih merindukanmu, buatlah aku selalu nyaman bersamamu. Selama aku masih menyayangimu, buatlah aku selalu tersenyum padamu. Selama aku mencintaimu, buatlah aku selalu bahagia karenamu. 

Mustahil, itu tak mungkin.

Aku tahu pengorbananmu hanya untuk dirinya. Kau telah membunuhku dengan cintamu. Meski pun ragaku ini masih hidup, tapi kau harus tahu cintaku ini sudah mati terbunuh api cinta yang selalu membara karena kau dan dirinya.

Salam hangatku untukmu mungkin tak terasa hangat. Namun, semoga dia bisa menghangatkanmu dengan kasihnya. 

Tertanda,

Orang yang mencintaimu dalam diam

Baca juga puisi dan surat yang lainnya klik di sini

Ditulis oleh:


Michiko 

Baby Dolly Ding Dong

2:27 PM 0 Comments
Cover: Baby Dolly Ding Dong

Aku berjalan di sepanjang koridor apartemen. Kutelusuri lorong-lorong gelap di sana. Aku baru saja pulang dari kampus. Kau bisa memanggilku Stella.

Aku memasuki ruangan gelap itu. Terdengar suara percikan air. Aku mengikuti suara aliran air itu. Semakin dekat, semakin jelas. Jelas terdengar, bukan aliran air tetapi sebuah bisikan kecil yang membuatku merinding. Bisikan menggelikan di telinga dan jelas terdengar. “Kau akan pergi bersamaku.”

Aku tak mengerti itu bisikan apa. Hantu? Aku tak percaya! Atau mungkin halusinasi? Mungkin saja, akhir-akhir ini aku kurang istirahat. Bulu kudukku berdiri. Aku tak berani melihat sekelilingku. Aku melanjutkan langkahku yang tertuju pada kamar mandi,. Kubuka pintu kamar mandi perlahan. Aku terkejut melihat shower yang menyala sendiri. Aku mematikan shower itu.

Malamnya, kubuka buku pelajaranku. satu per satu lembar kertas aku bolak-balik. Tangan kiriku menumpu dagu di atas meja. Kulihat sudah pukul 22.23, aku mulai mengantuk. Sesekali aku menguap untuk mendapat asupan oksigen yang mampu menyegarkan otakku. Kudengar suara seperti kotak musik yang mengalun melodi Fur Elise. Larut malam begini siapa yang menyetel musik? Alunan melodi itu terdengar semakin jelas melewati depan kamarku. Aku beranjak dari kursi. Kulangkahkan kakiku mendekati pintu.

Suara alunan musik itu menetap di depan pintu kamarku. Aku ingin memastikannya. Kubuka pintu perlahan. BRAKK!!! Suara pintu dibanting. Pemabuk? Aku mendengus kesal. Aku terkejut melihat sebuah boneka perempuan kecil yang biasa dimainkan anak kecil. Boneka itu tampak masih bagus walau kotor. Aku mengambil boneka itu dan memperhatikannya. Tatapan mata boneka itu seolah hidup. Lucu tetapi bernoda. Kuperhatikan noda itu, sepertinya darah. Kuraba noda itu, kuperhatikan perlahan. Itu memang darah, dan... masih basah.

Aku mengabaikannya. Aku membawa boneka itu dan meletakkannya di atas meja rias. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang dan perlahan mataku terpejam untuk terlelap tidur.
Pagi hari, aku meraba kasur ada sesuatu di sampingku. Aku membuka mataku perlahan sambil mengerjap. Aku berpikir itu hanya guling. Tapi, aku baru ingat aku tak punya guling. Mataku terbuka sepenuhnya secara tiba-tiba. Benda itu hilang dari genggaman tanganku.

Aku berniat untuk mencari sosok yang kuraba itu. Kulihat boneka itu tergeletak jauh dari meja rias. Perhatianku teralihkan ketika menangkap bayangan cermin yang ternodai. Aku baca tulisan itu. “MATI” dengan warna merah pekat. Kugoreskan tanganku untuk mengambil sampel warna tulisan.
Aku berbalik badan membelakangi cermin. Aku mulai berpikir macam-macam. Aku membalikkan tubuhku untuk memastikan tulisan itu tetapi kudapati cermin itu sudah bersih kembali. Kemana tulisan merah di cermin itu? Aku melupakannya sejenak. Aku berjalan ke kamar mandi. Kemudian menggantungkan handuk dan menyalakan shower. Ketika aku mencuci muka, aku merasakan sesuatu yang lebih kental di wajahku. Kubuka mataku pelan, “AAA!!!” Aku menjerit. Aku menjauhi shower itu, kuraih handuk yang menggantung. Shower yang kupakai untuk mandi itu bukan mengeluarkan air, tapi darah. Mataku membendung air mata. Aku takut.

Lembar kertas terbang dan tergeletak di lantai kamar mandi. Sebuah foto gadis remaja yang tinggal di kamar sebelah. Gadis tetangga itu tak pernah kelihatan seminggu ini. Walau mentalnya sedikit terganggu, tapi ia selalu berbicara sendiri.

Kulihat senyuman bahagianya sambil memeluk sebuah boneka. Boneka yang tak asing di mataku. Aku bergegas mengalihkan pandanganku. Shower berdarah itu kembali mengeluarkan air bersih. Aku membersihkan wajahku dari darah yang menempel di wajahku.

Saat aku mau berangkat, aku lihat boneka itu tergeletak di lantai. Aku berpikir boneka membawa petaka. Aku memasukkannya ke tas dan berniat untuk membuangnya.

Aku berjalan ke tempat pembuangan sampah. “Stella!” panggil seseorang di belakangku.

Langkahku terhenti. Aku memutar kepalaku untuk mencari sumber suara. Kudapati Kevin berjalan ke arahku hendak mendekatiku. Aku segera melemparkan boneka itu ke tempat sampah. Selamat tinggal pembawa sial, batinku. Kevin telah ada dihadapanku, “Stell, lu ngapain disini?”

“Gue cuma mau buang sampah. Oh iya, sekarang ada jadwal autopsy ya?”

“Iya, nanti malem kita lembur deh buat praktek autopsy.”

“Terus nunggu malam ini, kita ngapain?”

“Gimana kalo jalan-jalan aja?” usul Kevin dengan senyuman yang tersungging di bibirnya.

Brilliant!” pujiku.

Kevin berpikir sejenak, “Nggak seru juga sih kalo misalnya cuma berdua. Gimana kalo lu ajak Sheryl, gue ajak Pablo?”

“Ide cemerlang!” aku merogoh tasku dan mengambil ponsel. “Sher, ayo jalan... sama Kevin sama Pablo juga... Sampe sore lah, sekalian nunggu malem... Yah, masa lupa? Nanti malem ada jadwal praktek autopsy... Oke, gue tunggu di tempat biasa.” Klik! Aku menutup ponselku.

“Gimana?” tanya Kevin.

“Oke aja sih,” jawabku terdiam sejenak. “Pablo gimana?”

“Dia ada keperluan, gak jadi ikut.Ayo berangkat!”

Kevin memboncengku ke kedai dekat kampus. Aku memesan jus dan Kevin memesan mie bakso. Sheryl datang. “Sher, mau pesan apa?”

“Minum deh, sumpah gue haus banget. Panasnya kelewatan!”

Aku berjalan ke arah penjual jus. “Mbak, jus strawberry satu lagi!” sahutku.

“Tunggu sebentar ya.” Penjual jus itu mengambil sesuatu dari etalase. Mataku terbelalak. Astaga! Apa itu? Aku menelan ludahku tetapi tenggorokanku terasa kering, aku ingin menjerit. Kulihat hati manusia digenggam oleh penjual jus itu. Aku hampir jatuh. Namun, Kevin menahan tubuhku. “Stel, kenapa sih?”

“Kev, itu hati...” jawabku tergagap.

“Hati apa? Hati aku buat kamu? Haha...”

“Kev, serius... itu hati manusia!” jawabku tergagap sambil menunjuk benda yang penjual itu pegang.

“Lu sakit ya Stel? Itu strawberry.”

Aku mengucek mataku berulang kali. Itu memang strawberry. Napasku lega. “Kev, lu mau apa?”

“Pesan bakso jumbo, lama banget.”

Kevin membelakangiku, ia bercakap dengan penjual bakso yang bertetangga dengan penjual jus.
Kulihat bakso yang diangkat dari panci. KEPALA MANUSIA?! Aku berpikir itu hanya halusinasiku lagi. Aku mengucek mataku berulang kali. Bayangan itu tetaplah kepala manusia. Aku mengalihkan pandanganku, kulihat bakso di dalam mangkuk. Apalagi ini?! MATA MANUSIA?! Dadaku terasa sesak. Bumi terasa berguncang, aku kehilangan keseimbangan. Semua gelap.

Samar titik cahaya terlihat. Sekejap meremang dan beralih terang. Kevin dan Sheryl menatapku.
“Stel, are you okay?” tanya Sheryl.

“Ada apa?” tanyaku tak tahu apapun.

“Lu pingsan di kedai, kayak sesak napas gitu. Gue kaget barusan lu tiba-tiba jatuh disana. Gue bawa lu ke klinik depan kampus dan lu baru sadar sekarang.”

Aku memasang raut wajah tak percaya. Jadi, yang tadi terjadi itu bukan mimpi? Padahal aku berharap itu mimpi buruk yang pernah dialami.

“Lu sakit stel?” tanya Sheryl. Aku menggelengkan kepalaku. “Kalau sakit, nanti kita antar pulang.” Aku bangkit dan keluar klinik.

Sore hari, aku berjalan ke arah ruang autopsy bersama Kevin, Sheryl, dan mahasiswa yang lainnya. Aku melewati ruangan kosong. Aku melihat ke dalamnya, “Ha!” Mataku terbelalak melihat seseorang dengan wajah rusak menatap dendam ke arahku. Aku mengalihkan pandanganku lagi. Petaka apa lagi ini? Batinku. Aku menggigit bibirku, keringat dingin terasa menyelimuti tubuhku.

Hari ini, materi tentang mengidentifikasi fisik. Aku memperhatikan dengan saksama. Pulpen aku gunakan untuk menunjuk bagian-bagian tubuh mayat itu. Dosen bilang, mayat yang digunakan untuk autopsy itu mayat tak dikenal. Tapi, rasanya aku mengenal mayat yang sedang diidentifikasi ini.
Penjelasan sudah cukup. Mahasiswa diminta keluar ruangan. Aku, Kevin, Sheryl berjalan paling belakang. Pukul 20.22, aku rasa ada yang hilang. Aku baru teringat pulpenku hilang. Mungkin ketinggalan di ruang autopsy? Aku berbalik arah, Kevin menahanku. “Lu mau kemana?”

“Pulpen gue ketinggalan!” ucapku.

“Pulpen tinggal beli lagi elah.”

“Itu pulpen bulu dari nenek gue! Pulpen kesayangan gue!” aku tetap memberontak. Dan menembus Kevin yang menghalangi.

Aku membuka pintu ruang autopsy. Melangkah walau sedikit takut. Aku berjalan kearah mayat yang usai diidentifikasi. Aku mengambil pulpen di sebelahnya. Deg! Kakiku kaku tak bisa digerakkan. Aku berusaha melepas kakiku. Lampu meremang, berkedap-kedip seperti konslet. Aku mulai ketakutan. Aku berlari ke pintu tapi terkunci. Napasku tersengal. “Kevin! Sheryl!” aku menjerit meminta pertolongan mereka.

Aku menghimpit tembok dan bersandar dengan keadaan yang tegang. Lampu terus berkedip, keringatku terus menetes. Mataku tak henti menyorot setiap ruangan. Aku mengeluarkan ponselku. Dengan panik, aku menekan nomor Sheryl dan menelponnya. “Sher, tolongin gue... Gue terkunci di ruang autopsy..” aku berbicara tergagap.

“Stel, lu tunggu disana... Gue sama Kevin bakal bantuin lu keluar dari sana.”
Aku menunggu beberapa saat. Napasku tak normal, aku ketakutan. Tempat penyimpanan mayat terbuka satu per satu. Aku benar-benar takut. Mayat wanita yang baru saja aku identifikasi tadi bersin. Aku terkejut. “Kev... Sher... aku mohon...” Mayat wanita itu membuka matanya dan bangkit dari tidurnya. “Kev... Sher... Aku mohon!!” Aku berteriak semampuku. Air mata tak henti mengalir di sudut mataku. Wanita itu mendekatiku. Aku semakin panik, dengan sepenuh tenaga aku menarik gagang pintu.

“Stel!! Lu di dalam?!” teriakan dari luar terdengar seperti suara Kevin.

“Kevin! Keluarin gue dari sini Kev! Gue takut!” Aku menarik gagang pintu itu. Wanita itu semakin mendekat. Ia menggenggam tanganku. Aku memejamkan mataku begitu dalam. Tubuhku berbalik dengan sendirinya. Aku merasakan sentuhannya, dingin, kaku, lengket karena darah. Wanita itu menyentuh leherku dan mengelus pipiku. Aku tak berani melihatnya.

“Di mana bonekaku?” tanyanya.

Aku terdiam. Aku berpikir, Boneka? Boneka tadi malam? Dimana dia?Di tempat sampah. Siapa dia? Pemilik boneka itu? 

Suaranya semakin marah, “Dimana boneka milikku?!”

“Aku... aku... membuangnya.”

“Kembalikan padaku!” wanita itu mengguncang tubuhku.

Aku menangis dengan mata terpejam. “Ampuni aku... Beri aku waktu untuk mengambilnya.”

“Cepat kembalikan padaku!” sentaknya dengan nada suara yang tak aku inginkan.

Aku mendengar suara melodi Fur Elise. Genggaman tangan, suhu dingin tak terasa. Aku membuka mataku. Lampu kembali menyala, wanita tadi menghilang. Aku membuka pintu ruangan dengan tenaga yang aku punya. Pintu terbuka, aku memandang Kevin yang berdiri di depan pintu. Aku memeluknya erat. Air mataku mengalir membasahi bahunya. Kevin mengusap rambutku dan menenangkanku.

“Kev, bantu aku mencari boneka itu!” Aku menyeret tangan Kevin menuju tempat sampah pertama kali kita bertemu. Aku mengorek-ngorek tempat sampah dengan sibuk.

Kevin memakaikan sebuah kalung di leherku, “Gue sayang lu.”

Aku menoleh padanya, “Ini bukan saatnya lu bilang itu!”

“Kenapa?” ia bertanya tanpa dosa.

“Gue harus cari boneka itu!”

“Boneka apa?!” tanya Kevin kesal.

“Boneka yang tadi pagi gue buang!”

“Boneka anak perempuan?”

Kepalaku menoleh padanya seketika. “Kok lu tahu? Dimana boneka itu? Kembaliin!” Kevin mengeluarkan boneka itu dari tasnya. “Ya, itu! Kembaliin Kev!”

“Nggak! Gue nggak akan kembaliin! Boneka itu buat adik gue di rumah sakit jiwa!”

“Kev! Balikin boneka itu!” Aku menarik kerah baju Kevin sambil berteriak di wajahnya. “Kev, gue mohon! Kalau lu nggak balikin boneka itu, kita bakal dapat petaka!”

“Gak!!” Seketika tubuh Kevin menjauh dari genggamanku. Ia seperti ditarik oleh seseorang dan diseret ke jalan beraspal. Teriakannya merasuk gendang telingaku, ia meraung kesakitan. Tubuhnya terseret begitu cepat ke arah barat. Aku mengejarnya dengan secepat yang aku bisa. Namun, Kevin terseret lebih cepat dari kecepatan aku berlari. Aku memilih kembali ke kampus untuk memasuki ruang autopsy. Ruangan itu terkunci, “Kev! Kevin!” Aku berteriak memanggil nama Kevin.
Suara raungan kesakitan Kevin terdengar dari dalam. “KEVIN! GUE TAU LU DIDALAM, KELUAR!” Aku berteriak sambil berusaha mendobrak pintu itu. Suara jeritan Kevin masih terdengar. Air mataku menetes begitu saja. “KEV!”

Suara itu telah menghilang. Aku mendobrak pintu ruangan. Pintu tak terkunci, aku terjatuh tepat di ambang pintu. Tubuh Kevin luka tercabik-cabik di hadapanku. Aku tak mampu berkata apapun melihat keadaan Kevin mati dengan tragis tepat di hadapanku. Mulutnya terbuka, matanya melotot dan merah, air matanya terbendung di bola matanya. Aku menelpon Pablo walau hanya suara isak tangisku yang terdengar tapi Pablo tahu aku memintanya datang.

Aku menangis di hadapan tubuh Kevin. Kutarik kalung yang digantung Kevin beberapa saat lalu. Aku memandang sudut ruangan, arwah gadis membawa boneka yang kutemukan tersenyum. Ia menghilang begitu saja. Aku baru mengerti, seorang gadis yang ditabrak truk pada malam hari di jalan kemangi seminggu lalu dan boneka sebagai barang bukti itu adalah gadis tetanggaku yang terkena gangguan mental dan ia belum bisa istirahat dengan tenang tanpa bonekanya.
***
Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini