Tampilkan postingan dengan label Cerita Bersambung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Bersambung. Tampilkan semua postingan

22 Januari 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 1: Sarang Buaya]

7:00 PM 10 Comments

“Aku tak percaya kau melakukan ini kepadaku!”


Jeritan hati itu menggema dalam benaknya. Kekecewaan menggelembung mengisi rongga dadanya dan menghancurkan hatinya berkeping-keping bagai serpihan kaca. Kini, ia berdiri di antara dua tembok besar yang mengapit dirinya dan siap menjepitnya dengan kuat tanpa ampunan. Dilema. Antara harus membunuhnya atau melindunginya. 

Seketika, dadanya berat oleh penyesalan. Seharusnya, ia tidak mencintainya. Jika ia tidak mencintainya, maka tangannya kini sudah gesit memiting seseorang yang menyudutkannya dengan sebuah pistol. Peluru melesat, desingannya berdengung mendobrak gendang telinga. Korban jiwa mungkin berjatuhan jika hal itu tak dihentikan. Namun, keraguan masih berputar-putar di dalam kepalanya. Benar kata pepatah, cinta itu buta—dan membutakan. 

Mimpi buruk menghantui seorang gadis setiap malam. Mimpi yang begitu mengerikan terlintas setiap malam bagai bunga bangkai yang menghiasi tidurnya, jauh lebih buruk daripada kenyataan yang harus dihadapi. Pengkhianatan itu selalu membuatnya harus menanggung rasa sakit itu sendiri. Berhari-hari mencoba berlari dari mimpi buruk yang terus menghampiri. Namun, saat ini dia sedang tidak bermimpi. 

Petaka itu bermula ketika telepon genggam gadis itu berdering di pagi hari. Matanya masih rapat melekat satu sama lain, ia baru saja bangun dari tidurnya. Tangannya meraba-raba meja kecil di samping tempat tidurnya. Telepon genggam itu sempat jatuh ke lantai sebab gadis itu tak mencari dengan matanya yang terbuka. 

“Grace, ke markas. Sekarang.” Suara di ujung telepon membuka kedua mata gadis itu lebar-lebar. Suara itu tak asing lagi di telinganya, anak buah Jun yang setia bertahun-tahun mengabdi sebelum dirinya. 

Bergegas, gadis itu pergi menuju markas dengan mengenakan blazer hitam sambil berjalan menelusuri sepanjang koridor menuju ruangan bosnya. Gedung itu tak pantas disebut markas sebab penampilannya berbeda dengan penampilan yang ada di film laga aksi yang para pembunuhnya tinggal di markas gelap dan tersembunyi, persis seperti tikus yang tinggal di gorong-gorong. Hal itu amat berbeda dengan markas milik Jun yang terletak di sebuah gedung yang mirip dengan kantor perusahaan biasa. Namun, di dalamnya terdapat orang-orang berdarah dingin yang tak segan untuk menghabisi lawannya hanya dengan satu jentikan jari. 

Dua pria berbadan besar menjaga pintu di depan ruangan. Penampilannya rapi tak seperti penjahat pada umumnya, tak ada bekas luka di wajah mereka. Mereka sama sekali tidak mirip seorang penjahat jika dilihat dari luar, lebih mirip karyawan biasa dengan setelan kemeja dan celana kain hitam. Orang yang melihat dari luarnya saja tak akan menyangka kalau mereka bekerja sebagai tukang membunuh. Grace sudah biasa melihat pemandangan itu, dua orang itu kelihatannya ramah tetapi kekuatannya luar biasa. Namun, Grace masih bisa menandingi kekuatan keduanya di arena pertarungan. Tanpa menghiraukan keduanya, Grace masuk ke dalam ruangan. 

Ruangan luas menyambut penglihatan Grace ketika ia membuka pintu. Tak ada siapa pun di dalam sana, termasuk anak buah berbadan besar yang setia menemani tuannya. Hanya ada Grace dan seorang pria yang duduk dengan kaki dinaikkan ke atas meja di seberang sana. Pria itu duduk begitu santai tanpa beban dan rasa sungkan. 

Grace kini sudah berdiri di depan meja kerja pria itu. “Kau memanggilku?” 

“Tugas baru untukmu, sayang.” 

“Tugas apalagi yang akan kau berikan untukku?” 

“Apa lagi? Oh, sayang, rupanya kau sudah muak dengan tugas-tugas yang kuberikan, ya?” Laki-laki itu mulai menurunkan kakinya dan menautkan jemari kedua tangannya. Kedua tangannya yang bertumpu di atas meja membuat tubuhnya condong ke depan. Matanya dengan tajam menilik paras Grace yang jelita. 

Gadis itu menatap ngeri melihat gerak-gerik pria yang tenang tetapi mencurigakan. “Bukan begitu, Jun. Akan tetapi, kau selalu saja bertindak terlalu jauh kepada mereka yang hanya melakukan kesalahan kecil. Menurutku, itu terlalu berlebi—“ 

“Menurutmu!” celetuk pria itu. Suaranya terdengar lebih keras dari sebelumnya, membuat gadis itu berhenti berbicara. Pria itu mendekat ke arah gadis itu sambil menodongkan moncong pistol di depan wajah gadis itu. Jari pria itu siap menarik pelatuknya. Sekali saja peluru itu melesat, maka hancurlah tengkorak gadis itu. “Tutup mulutmu, sayang. Kau tak pernah merasakan rasa sakit yang melekat dalam hatiku. Mereka hanya bisa menancapkan tombak dengan lidah mereka. Mungkin, mereka menganggapnya hanya angin lalu, gurauan belaka, tapi tidak bagiku.” 

Jun berjalan mengitari gadis itu. Moncong pistol yang ada di genggamannya membelai pipi mulus gadis yang ada di dekatnya. Ujung pistolnya menyusuri tulang pipi Grace yang tinggi. Kini, Jun berada di belakang gadis itu. Ia menyibak rambut panjang gadis itu dan diletakkannya tangan besar Jun di bahu gadis itu. Moncong pistol itu mengetuk pelipis gadis yang berdiri dengan kegentarannya. 

“Namun, kali ini, aku sedang berbaik hati. Aku tak akan memintamu menghabisi orang-orang yang menurutmu tidak bersalah.” Suara yang semula tegas mengancam itu terdengar lebih pelan tetapi bisikannya tetap tajam. “Aku harus merenggut seluruh harta warisan dari orang yang bahkan tak pantas untuk mendapatkannya.” 

“Apa maksudmu?” Gadis itu gemetaran. Matanya melirik dengan rasa takut, ia mencoba menatap Jun. Tangannya yang gemetar, ia kepalkan sejak moncong pistol itu mengetuk pelipisnya. 

“Bawakanlah kepala kakakku, Cantik.” 

“Tak mungkin—“ 

“MUNGKIN!” Teriakan pria itu menggema dalam ruangan kerjanya membuat gadis itu terperangah. Pria itu mendelik, matanya merah seperti sedang dirasuki iblis. “Kau mau tahu apa yang tidak mungkin? Aku tak mendapatkan sepeser pun harta warisan dari si Tua Bangka. Semua harta warisan itu jatuh kepada si penjilat tak berguna itu! Bagaimana mungkin itu terjadi? Mereka pikir, aku adalah seekor kucing peliharaan yang bodoh?” 

Pria itu tertawa kecut. Grace hanya bisa terdiam, sejak tadi ia sudah disergap rasa takut oleh dua hal. Pertama, moncong pistol yang siap mengoyak dan meledakkan kepalanya dan yang kedua oleh amukan Jun yang sama sekali belum pernah ia lihat sebelumnya. 

“Jadi, kau mau menerima tugas ini, Grace sayang? Atau, lebih baik aku menghabisimu saja sebagai pelampiasan cakaran kucing ini?” Jun menekan moncong pistol pada pelipis gadis itu hingga kepalanya yang kaku tergerak. 

Grace menghela napas dalam. Dia tak mau terlibat lagi dengan Jun tetapi peluru sudah siap menembus tengkoraknya. Bak keluar dari kejaran singa kemudian masuk ke dalam sarang buaya, kehidupannya justru tambah sengsara setelah bertekuk lutut dan menundukkan kepalanya kepada Jun. Kehidupan baik yang diharapkannya dahulu, titik terang yang dilihatnya dalam keputusasaan, rupanya hanya fatamorgana dan harapan yang fana. Tak ada pilihan lain. Ia sudah menyerahkan jiwa dan raganya, mengabdi seumur hidup. Grace mengangguk pelan. 

Moncong pistol yang menyudutkan gadis itu pun diturunkannya. Tangan yang mencengkeram bahu gadis itu pun dilepaskannya. Jari-jari laki-laki itu kini membelai pipi lembut gadis itu kemudian mencengkeramnya, membuat gadis itu menolehkan wajahnya dengan paksa. Wajah Jun kini hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari wajah Grace, hidung keduanya nyaris saling beradu. Mata keduanya saling berpandangan, yang satu menatap tajam, yang satunya lagi menatap ngeri. 

“Tiga bulan. Jika kau tak bisa membawa berita itu, wajah cantikmu ini yang akan kucabik.” Jun melepaskan cengkeraman tangannya pada pipi gadis itu dengan kasar. Ia kembali duduk di singgasananya. 

*** 

Debak-debuk kencang samsak tinju membahana di arena pertarungan. Tendangan kakinya benar-benar kuat sehingga samsak bergelayutan tak berdaya. Rasa geramnya tak kunjung habis walaupun ia melampiaskannya pada samsak tinju. 

“Hidung. Belang. Sialan!” Grace menggerutu setiap kakinya menendang samsak di hadapannya. 

Napasnya sudah tersengal semenjak tenaga yang dimilikinya sudah dikerahkan sepenuhnya. Keringat mengalir di pelipisnya hingga membuat anak rambutnya basah. Grace menutup tendangannya dengan menjejak samsak. 

“Kalau aku tahu akan berakhir seperti ini, aku tak akan pernah mau ikut dengannya.” 

Grace menyambar botol minum yang dia letakkan. Ia guyurkan air di dalam botol itu ke atas ubun-ubunnya yang panas. Berharap jika air itu akan meredam kepalanya yang menguarkan uap kemarahan. Air itu membasahi rambut dan kaus yang melekat pada tubuh Grace yang atletis, mengalir dari kening dan dagunya lalu turun membasahi perutnya yang nyaris terbagi enam. 

“Ini terakhir kalinya aku terlibat denganmu.” 

Grace menatap samsak itu tajam sambil menunjuk selembar kertas foto yang sudah ringsek setelah diterjang tendangan hebatnya secara bertubi-tubi. Wajah yang terpampang di foto itu pun sudah lecet. Hanya dengan cara inilah Grace melampiaskan amarahnya setelah diperlakukan semena-mena oleh Jun. 

Pria itu tak benar-benar menjanjikan masa depannya. Ia justru membawanya masuk ke dalam lubang hitam tak berujung yang menjebaknya. Tak ada jalan keluar untuk berhenti tenggelam lebih dalam. Cahaya putih itu seketika menjadi kelam, lebih kelam dari masa lalunya. 

Terlilit utang dan ikatan dengan seorang pedagang wanita penghibur mulanya terlihat sangat mengerikan baginya. Seolah itu adalah jalan kehidupannya yang kekal walaupun ia sudah berada pada titik keputusasaan. Namun, Jun tiba-tiba datang bak malaikat yang mengembangkan sayapnya untuk menyelamatkan Grace dari keterpurukannya. Ia datang demi menjanjikan kepastian atas segala harapannya, memperlihatkan titik terang untuk merangkak ke arah lubang putih tanpa dosa. 

Bohong. Semua tak seindah kelihatannya, bahkan jauh lebih buruk daripada sebelumnya. Bisnis kotor, perlakuan keji, segala pekerjaan yang jauh lebih kejam dan kelam daripada kisah hidup sebelumnya justru harus dijalaninya. Sungguh, jika ia bisa lari, ia akan lari sejauh mungkin dan tak akan pernah kembali. 

— B E R S A M B U N G 


Baca kelanjutan kisah: Reverse

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 1: Sarang Buaya]

Ditulis Oleh: Michiko

17 Desember 2015

Vila Kematian Bagian 3

3:01 PM 0 Comments
“Keni!” Aku meneteskan air mata tiada henti. Bahuku terasa berat. Bulu kudukku meremang, ada tangan yang menyentuh bahuku. Aku menoleh ke belakang, “Aaa!”

***

Cerita Pendek: Villa Kematian


Aku terbangun mengakhiri seluruh mimpi buruk ini. Nafasku tersengal ketika aku membuka mataku dan melihat sekelilingku baik-baik saja. Aku melihat ke dalam pelukanku, novel yang tadi kubaca masih berada dalam genggaman. Rupanya tadi hanya sebuah mimpi buruk. 

Aku beranjak dari tempat tidur, kepalaku terasa berat. Keadaan sama persis di dalam mimpi. Indra sedang memainkan PSP-nya dan Rangga berdiri di ambang pintu. Aku memutar kepalaku, Keni persis berada di dapur.

“Kevin sama Shera mana?” tanyaku.

“Lagi di luar, beresin barang.”

Suara ketukan pintu itu terdengar dan mengejutkanku. Keni yang sedang berada di dapur langsung berjalan keluar untuk memastikan.

“Keni! Jangan!” cegahku.

“Lu kenapa sih, Nes? Gue hanya mau memastikan saja.” Keni kembali melangkah. Aku langsung menerkamnya dan menghalangi langkahnya.

“Jangan! Abaikan saja, itu hanya tikus.”

Suara ketukan itu semakin keras. Suara erangan Indra menggema mengisi ruangan. “Arrgh! Jadi kalah. Suara apa sih itu? Jadi bete gue!”

Indra beranjak dari sofa dan keluar villa. Langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan Kevin yang membawa barang dari bagasi mobil. Indra melewatinya, suasana hatinya mulai kacau karena suara ketukan yang semakin nyaring. Kevin yang penasaran menghampiri pintu itu.

“Kevin, jangan!”

Kevin berdiri di depan pintu yang tertutup rapat. Ia memandangi kunci yang menggantung. “Ruangan apa nih? Ada kuncinya tapi gak pernah dibuka.”

“Jangan dibuka!” seruku.

Kevin tidak menghiraukanku, ia membuka pintu itu. Ia tersentak melihat ke dalam, “Wow, gudang ternyata.”

Keni melepaskan cengkraman tanganku. Ia berjalan mendekati Kevin, “Jadi ada gudang di sini? Barangnya banyak banget.”

Keni dan Kevin masuk ke dalam gudang tersebut, aku tidak berani untuk ikut masuk. Mimpi tadi, bukan sekedar mimpi tetapi seperti kenyataan. Aku terpaku di luar ruangan, menunggu Kevin dan Keni puas memandangi seisi gudang. Namun, beberapa langkah mereka menginjakkan kaki di dalam pintu gudang langsung tertutup rapat. Lamunanku langsung buyar ketika mendengar nyaringnya suara pintu gudang.

“Kevin! Keni!” Aku segera menarik gagang pintu itu, tetapi tidak terbuka seolah pintu itu terkunci dari dalam ruangan. “Rangga! Indra! Shera! Bantu gue!”

Rangga langsung menghampiriku. Ia langsung mendesak dan berusaha membuka gagang pintu.

“Woy! Keluarin gue dari sini!” teriak Kevin dari dalam.

Jeritan melengking seorang perempuan terdengar dari dalam. Keni memekik meminta pertolongan. “Kevin tolong! Aaa!”

Suara Kevin juga terdengar jelas berteriak bersamaan dengan Keni. Rangga masih berusaha mendobrak pintu. “Keni! Keni! Sayang?!”

Sunyi dan hening, suara dari dalam gudang tidak terdengar lagi. Rangga terus berusaha mendobrak pintu dan akhirnya ia berhasil menerobos masuk. Tubuhnya langsung kaku dan tersentak, kekecewaan, penyesalan, dan amarah menjalan di tubuhnya. Urat kemarahannya tampak jelas di wajahnya. Aku masuk ke dalam untuk memastikan keadaan. Tubuh bersimbah darah membuat lidahku kelu. Marah pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak bisa mencegah Keni dan Kevin untuk tidak masuk ke dalam ruangan terkutuk ini? Aku jatuh terduduk penuh penyesalan, meratapi kepergian Keni yang tewas secara tragis. Air mata jatuh membasahi pipi, aliran deras di ujung mata ini menahan sakit pelepasan yang tidak wajar ini.

Kami memanggil polisi untuk datang mengidentifikasi Keni yang tewas secara tragis. Kevin dimintai keterangan tentang hal itu, karena ialah satu-satunya saksi yang berada pada lokasi kejadian. Setelah beberapa jam menunggu, Kevin selesai diinterogasi. Kami masih duduk di ruang tunggu untuk mendiskusikannya.

“Lu semua sekarang percaya apa yang gue katakan tadi pagi kan? Semakin lama kita tinggal di villa itu, semuanya semakin gak beres.”

“Nes, lu hanya terpukul tentang kejadian ini,” sahut Indra.

“Dra! Di situasi begini lu masih bisa bilang gue terpukul? Teman kita hilang satu, Dra! Lu gak pantas bilang begitu.”

“Sudahlah, jangan buat Rangga semakin sedih. Dia sudah kehilangan Keni, sekarang kalian malah ribut begini,” celetuk Kevin.

“Gue gak percaya, ini bisa terjadi sama kita.” Rangga menggelengkan kepalanya.

“Hari sudah mulai gelap, lebih baik kita balik ke villa dan istirahat. Setelah itu, besok pagi kita pulang.”

“Gue gak ikut pulang sama kalian, gue mau balikin jenazah Keni ke orangtuanya. Gue mau menghadiri pemakamannya.”

“Lu mau pulang naik apa, Ga?” tanya Shera.

“Dari sini gak terlalu jauh dari kota, gue bisa naik bis atau taksi buat balik.”

“Ya sudah, lu hati-hati di jalan.”

Rangga beranjak dari tempat duduknya. Ia keluar dari kantor. Kami kembali berunding lagi. Suara klakson terdengar nyaring di depan kantor polisi. Kami langsung beranjak dari tempat duduk dan melihat situasi di luar. Sontak saja aku menutup mulut dan membendung air mata. Satu temanku kembali tewas secara tragis. Ia tertabrak mobil truk yang melintas ketika hendak menyebrang. Pikiranku semakin berkecamuk dalam kekalutan.

“Kita gak bisa diam, kita harus cari sumber masalah ini. Gue gak mau kehilangan kalian,” tegasku.

“Tapi kita mau cari ke mana, Nes? Mereka semua sudah memperingati kita tapi kita saja yang gak percaya bahkan menertawakan mereka. Lalu sekarang kita mau memohon mereka buka mulut?” desak Indra.

“Dra! Gue gak mengerti sama jalan pikiran lu. Kenapa lu berlagak seperti orang yang tahu segalanya. Seolah lu gak mau tahu tentang kejadian aneh yang menimpa kita semua.”

“Bukan begitu, gue hanya...”

“Apa lu rencana di balik semua ini?” tuduh Kevin.

Pandangan kami pun langsung tertuju pada Kevin dan Indra. Mata Kevin menyorot tajam seolah menyudutkannya.
Indra tampak gelisah. “Lu ngomong apaan sih, Kev?”

“Kalau begitu kita harus cari kebenarannya,” tegas Kevin.

Kami pun segera memasuki mobil. Kami menelusuri jalanan berkabut awan menuju ke arah villa. Target pertama kami adalah penjaga villa, Kang Ujang.

“Kang, saya boleh tanya, villa ini dulunya dihuni siapa ya?”

“Memangnya kenapa?” tanya Kang Ujang dengan logat sundanya.

“Kami merasa villa itu janggal,” celetuk Kevin.

“Kang Ujang teh memang sudah lama kerja di sini, mungkin sekitar sepuluh tahun. Tapi, semenjak Kang Ujang kerja di sini, villa ini sudah kosong tidak ada yang menempati.”

“Terus Kang Ujang pernah merasa ada kejanggalan di villa ini?”

“Oh, kalau kejanggalan mah Kang Ujang sudah biasa. Kang Ujang teh kalau lagi patroli malam suka mendengar suara bayi menangis. Di ujung sana itu tuh, yang deket ayunan, Kang Ujang juga lihat perempuan duduk di ayunan. Kadang malah lihat lelaki bawa-bawa sirah­ di tangannya. Hiyy, jadi merinding kalau mengingat kejadian itu teh.

“Siapa yang memperkerjakan Kang Ujang di sini?”

“Ibu Eli, kenapa gitu?”

“Siapa Ibu Eli?”

“Yang punya villa ini, Kang.”

“Boleh minta alamatnya? Kami mau bertemu dengan orangnya.”

“Ibu Eli rumahnya jauh, di Bandung. Yakin kalian mau ketemu?”

“Iya, Kang, gak apa-apa. Yang penting kami tahu apa sebabnya kami bisa dihantui begini.”

“Ya sudah, kalau begitu,” Kang Ujang mengambilkan sepotong kertas bertuliskan nama dan alamat. Ia memberikan kartu nama itu kepada kami.

Kami pun pergi menuju alamat yang dituju. Beberapa jam dalam perjalanan, akhirnya kami sampai pada tempat tujuan. Sebenarnya, tidak sopan bertamu malam-malam begini. Tapi apa boleh buat, jika tidak segera bertindak semua akan semakin berantakan. Kami turun dari mobil dan mengetuk pintu.

“Maaf, adik-adik ini siapa?” tanya seorang perempuan paruh baya yang membukakan pintu.

“Kami yang menyewa villa,” jawab Shera.

Perempuan itu tampak kaget ketika kami menjawabnya, ia tampak menyembunyikan sesuatu. Ia segera menarik gagang pintu untuk menutupnya kembali. “Ada apa? Saya tidak menerima tamu malam-malam seperti ini.”

Aku mencegahnya untuk menutup pintu. “Bu, tolong kami. Beri kami informasi tentang villa itu, kami sudah kehilangan dua teman kami. Kami mohon.”

Perempuan itu berpikir sejenak sambil bergantian memandang kami. Tatapan nanar kami membuatnya terenyuh dan mempersilakan kami untuk masuk. Kami pun mengikuti Ibu Eli masuk ke dalam rumahnya, terkecuali Indra. Ia terlelap di dalam mobil.

“Apa yang ingin kalian ketahui tentang villa itu?” tanyanya waswas.

“Kami ingin mengetahui sejarah villa tersebut, bagaimana mungkin orang-orang bisa menyebutnya villa kematian?”

“Waktu itu...”

~Flashback~

Ketika itu, saya merupakan pembantu rumah yang sekarang sudah menjadi villa itu. Saya bekerja pada seorang ibu rumah tangga yang cantik dan baru selesai melahirkan. Suaminya juga tampan dan mereka memiliki dua anak. Anak pertama, masih umur sembilan tahun, mungkin saat ini ia sudah seumuran dengan kalian. Anak yang kedua, masih bayi dan baru saja dilahirkan.

Dahulu, mereka keluarga yang harmonis. Bahkan saya, dianggap menjadi bagian keluarga oleh mereka. Namun, hidup kadang tidak selalu berada di atas. Sang kepala keluarga jatuh miskin, ia harus beralih profesi menjadi tukang bakso.

Sampai pada saatnya, ia putus asa dengan nasibnya. Ia jadi sering mabuk-mabukan dan menyewakan istrinya pada lelaki kesepian. Terpaksa, istrinya yang menggantikannya untuk berjualan. Setiap istrinya menolak, ia akan disiksa oleh kepala keluarga itu. Akhirnya, istrinya putus asa dengan perlakuan suaminya yang keji.

Istrinya menyimpan amarah dan dendam di dalam dirinya. Ketika suatu malam, suaminya baru pulang setelah ia mabuk-mabukan dan tertidur pulas. Ia mengendap-endap masuk ke dalam kamar dan menebas kepala suaminya. Saya merasa takut, menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Saat ia keluar kamar, ia membawa kepala suaminya ke dapur dan memasukkannya ke dalam panci bakso yang akan ia jajakan esok harinya.

Bayinya menangis mendengar keributan itu, saya tidak tega mendengar tangisan bayi yang tidak berdosa itu. Namun, saya takut. Saya tidak berani mengamankan bayi itu karena majikan saya sudah menjadi gila dengan pisau di genggamannya. Tangisan bayi itu semakin menjadi, pisau pun sudah mengambil nyawanya. Hati, jantung, usus dari bayi mungil itu sudah ia keluarkan dan ia masukkan ke dalam panci itu lagi.

“Aaaa!”

Suara teriakan dari luar menghentikan cerita dari Ibu Eli. Perhatian kami pula teralihkan, bisa jadi itu suara Indra. Kevin beranjak dari tempat duduknya.

“Biar aku yang mengecek,” Kevin berjalan keluar untuk memantau situasi. Beberapa menit kemudian, ia masuk ke dalam.

“Indra hanya mengigau, dia sedang tidur.”

~Flashback continue~
Melihatnya saya semakin tidak tega. Anak pertama pun terbangun dan memanggil ibunya, tapi saya langsung menutup mulutnya agar tidak berkata apa pun pada situasi itu. Saya menyuruhnya untuk pergi sejauh-jauhnya, saya menyuruhnya untuk kabur lewat gudang. Di gudang itu, ada dua pintu. Satu pintu berada di dalam rumah dan satu pintu lagi ada di belakang rumah.

Saya ikut masuk untuk mengantarkannya keluar, ia berlari dengan kencang menjauhi villa. Saya berusaha untuk bersembunyi dari intaian majikan saya. Namun, rupanya ketika saya mencoba bersembunyi, majikan saya sudah berada di belakang saya. Saya menjerit meminta tolong tetapi tidak ada yang membantu saya.


Ia menusukkan pisau di genggamannya ke punggung saya dan menariknya ke bawah sampai ia meninggalkan luka yang dalam dan mengambil jantung saya.
***
Ikuti kelanjutan kisahnya: Vila Kematian

Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini

Vila Kematian Bagian 2

11:15 AM 0 Comments
Bulu kudukku semakin meremang, tubuhku kaku tak bisa digerakkan, lidahku kelu tak bisa berteriak. Kakiku semakin membeku dan terus merambat sampai otakku hingga aku hilang kesadaran.

 ***

Cerita Pendek: Vila Kematian

Kubuka mataku perlahan, meremang beralih terang. Tempat ini berbeda dari tempat semalam, aku sudah berada di bawah naungan atap. Kupandang sekelilingku untuk memastikan, semakin meyakinkanku aku sudah berada di villa. Kevin tertidur dengan posisi duduk di lantai. Tak ingin membangunkannya, aku bergerak perlahan. Namun, usahaku sia-sia. Ia akhirnya membuka mata karena gerakan kecil dariku.

“Nes, tadi malam lu kenapa?” tanyanya penasaran ketika matanya baru saja terbuka. Tampaknya, ia mengkhawatirkanku semalaman.

“Gue? Memangnya gue kenapa?” Aku bingung dengan apa yang dia tanyakan secara tiba-tiba. Aku berpikir dia hanya mengigau. Aku benarkan posisi dudukku, ia pun berdiri dan duduk di sebelahku.

“Tadi malam, lu buru-buru suruh gue pergi. Dan lu tiba-tiba pingsan di sana. Gue gak mengerti, lu kenapa?”

Aku tersentak mendengar pernyataannya. Dia tidak melihatnya? Lalu kenapa itu—harus—terjadi padaku saja sedangkan yang lain tidak. Aku berkecamuk dalam pikiran yang semakin membuatku kalut. Kevin masih menunggu jawabanku. “Lu gak lihat itu, Kev?”

“Lihat apa?” jawabnya polos.

Aku memandang Kevin sejenak. “Kep...”

“Nes, tadi malam lu tidur di sini?” Shera memotong perkataanku secara tiba-tiba membuat aku dan Kevin terkejut.

Kevin memutar kepalanya, sedangkan aku sama sekali tak bisa mengalihkan pikiranku dari hal yang terjadi tadi malam. Aku menghentikan pembicaraanku.

“Pintu kamar cewek lu kunci, kan?” tanya Kevin.

Shera menggaruk tengkuknya seolah sedang mengingat kejadian semalam. Ia menepuk dahi. “Aduh! Iya, gue lupa masih ada Vanes di luar. Sorry ya, Nes.”

Pintu kamar sebelah pun terbuka. Rangga keluar dari kamar sambil meregangkan ototnya. Wajahnya yang berantakan terlihat kusam dan matanya masih berkedip-kedip seolah harus memilih tidur atau bangun.
“Kev, lu gak tidur di kamar? Kamar gak dikunci juga.”

Shera beralih pandang ke arah Kevin, “Lu habis ngapain sama Vanes tadi malam, Kev?”

Kevin mendecakkan lidahnya. “Eh, pikiran lu pada kotor semua ya. Tadi malam gue jalan keluar cari angin sama Vanes tiba-tiba dia pingsan tanpa alasan. Gue bawa ke villa, mau gue bawa ke kamar cewek eh malah di kunci. Ya gue baringin si Vanes di sofa lah. Masa di kamar mandi.”

“Terus kenapa lu gak tidur di kamar?” selidik Rangga.

“Lu kira cewek tidur di ruang tamu aman apa? Kalau ada yang perkosa gimana? Nanti malah gue yang disalahin, ninggalin anak orang sendirian di ruang tamu.”

“Tapi lu gak apa-apain Vanes, kan?” selidik Shera.

“Sumpah, demi Tuhan gue gak apa-apain Vanes! Vanes pingsan, mana mungkin gue apa-apain dia. Gue gak sebejat itu lah,” tegas Kevin.

“Ada apa sih, pagi-pagi sudah ribut aja!” protes Keni.

Perdebatan ini semakin membuatku pusing. Kupingku semakin panas karena kesalahpahaman ini.

“Sudah cukup!” bentakku. Semua tiba-tiba hening dan mengalihkan perhatiannya padaku. “Gue gak melakukan apa pun sama Kevin, oke? Tadi malam gue pingsan dan Kevin bawa gue ke Villa. Gue bangun dan melihat Kevin tidur terduduk di lantai. Cukup?”

“Lu pingsan kenapa, Nes?” tanya Keni penasaran.

 “Lu merasa ada yang aneh gak sih sama villa ini?” Aku memegang dahiku mengingat semuanya. Semua masih terdiam memperhatikanku. Aku menggigit bibirku ragu. “Tadi malam gue lihat hal yang gak biasa.”

“Lu lihat apa sih, Nes?” desak Kevin.

“Serius lu gak lihat apa-apa, Kev?” desakku pada Kevin. Kevin menggelengkan kepalanya pertanda ia benar-benar tidak tahu. “Lu percaya gak sih, tadi malam gue lihat kepala yang terpisah sama badannya?”

Hening sejenak, mereka masih mencerna perkataanku. Shera tertawa, “Nes, jadi lu sekarang kemakan omongan orang-orang?”

“Sher, please, gue melihat dengan mata kepala gue. Cewek yang tadi malam beli bakso itu makan kepala manusia!” tegasku.

 “Bercanda lu gak lucu, Nes. Sudahlah!” Shera menggelengkan kepalanya tidak percaya. Ia berjalan ke dapur meninggalkan kami.

“Lu serius, Nes?” Kevin tak yakin.

“Ya ampun, Kev, serius! Gue gak bohong sama sekali!” tegasku berusaha meyakinkan Kevin.
Kevin mengusap punggungku. “Sudah, lupakan aja. Mungkin tadi malam lu berhalusinasi.”

“Tapi Kev...”

“Aaaa...!” jerit seseorang menghentikan perkataanku. Pikiranku langsung tertuju pada Shera yang ada di kamar mandi. Dengan terburu-buru kami beranjak ke dapur untuk menghampirinya.

“Sher! Sher!” Rangga mengetuk pintu kamar mandi. Kamar mandinya terkunci tapi Shera tidak keluar juga. Rangga mencoba mendobrak pintu dan akhirnya ia sanggup menerobosnya.

Shera berjongkok di sudut kamar mandi, ketakutan akan sesuatu. Aku membantunya bangkit, tubuhnya benar-benar lemas. “Sher, lu kenapa?”

Air matanya terus menetes dan memandangku dengan tatapan kosong. “Gue takut, gue takut.”

Aku menoleh memandang setiap sudut kamar mandi. Kevin mengecek setiap sudut kamar mandi, tidak ditemukan jejak apa pun kecuali keran wastafel yang menyala.

“Keran itu... keran itu, mengeluarkan darah,” jawab shera terbata sambil menunjuk ke arah keran yang menyala.

“Hanya air,” Kevin menyentuh air yang mengalir deras dari keran itu.

Aku mengusap punggung Shera dan merangkulnya keluar kamar mandi. Kubawa ia kembali ke ruang depan untuk duduk dan menenangkan diri. Keni membawakan air minum untuknya. Wajah Shera tampak pucat dan tidak bersemangat. Keni mengusap punggungnya lembut untuk menenangkannya. “Mungkin lu hanya berhalusinasi, Sher. Gue tahu lu gak suka cerita yang berbau mistis, jadi lu kepikiran deh.”

Shera masih bungkam. Ia terus meneteskan air mata walau pandangannya menandakan pikirannya kosong. Indra keluar dari kamar dan mendapati Shera meneteskan air matanya. Indra menghampirinya, “Sayang, kamu kenapa?”

Tangisan Shera semakin menjadi. Indra berusaha menenangkannya dengan sebuah pelukan dan belaian lembut di rambutnya. Ia memandang kami yang sedang berdiri menyaksikannya seolah melemparkan pertanyaan, “Dia kenapa?”

Kami tetap terdiam dalam suasana seperti ini. Indra menghapus air matanya, “Sudah, sepertinya ada masalah yang membebani kamu. Kita main keluar ya, biar kamu lupa.”

Shera mengangguk pelan pertanda menyetujuinya.

Kami bersiap. Tidak perlu mandi, karena kabut tebal yang dingin akan membasuh kulit kami. Kami pun meninggalkan villa dan pergi ke tempat rekreasi di puncak. Kami bermain di lapangan dan berfoto di gazebo yang kami sewa. Cuaca yang dingin mendukung kami untuk memesan cokelat panas. Pemandangan yang unik, lapangan dikelilingi pepohonan yang hijau. Tempat strategis untuk meletakkan kafe di sana.

Untuk mengabadikan momen yang jarang terjadi ini, kami berfoto. Dengan latar gazebo dan lapangan yang hijau, aku memotret momen ini. Saat aku memotret mereka dan melihat hasilnya, ada asap putih yang menghalangi wajah mereka. Mungkin efek cahaya yang berlebihan atau kabut awan yang semakin menebal.

Aku mencoba untuk memotretnya lagi. Hasilnya, kulihat lebih janggal dari sebelumnya. Seorang wanita berdiri dibelakang Rangga. Ia cantik dan persis dengan wanita yang aku lihat tadi malam. Pose yang anggun, wajah yang cantik, dan senyum yang manis, membuatku tidak bisa mengalihkan perhatian dari foto itu. Foto itu semacam menyuruhku untuk tetap memandanginya sampai aku akhirnya aku tersadar wanita itu berada di dimensi yang berbeda.

Aku menghapus foto itu, tetapi tidak bisa. Berulang kali aku mencoba menghapusnya, tetap tidak bisa.

“Kenapa Nes?” tanya Keni.

“Mending ganti latar deh, suasananya gak mendukung.

“Padahal gazebonya bagus,” ucap Keni kecewa. Akhirnya, kami berpindah tempat untuk mengganti latar. Setelah berfoto, aku lihat hasilnya. Semuanya bagus, wanita itu tidak ikut narsis dengan kami. 

Setelah puas bersenang-senang, kami pun kembali ke villa. Terlalu lelah dan butuh istirahat setelah bermain seharian. Tapi, aku tidak bisa melewatkan buku novelku. Akhirnya, aku mengambil buku novel dan membacanya sejenak. Dengan asyiknya aku membaca novel, aku mendengar suara pintu yang dibanting.

Aku kira ada yang kesal dan membanting pintu. Biasanya, itu Indra, karena ia orang yang sensitif dan emosian. Aku keluar dari kamar, melihat Indra sedang duduk di sofa ruang depan sambil asyik memainkan PSP-nya. Aku beralih pandang pada Rangga yang berdiri di ambang pintu.

“Ga, tadi lu banting pintu ya? Berisik tau!” tuduhku.

Kok lu jadi salahin gue? Gue baru saja mau masuk ke dalam villa.

Suara ketukan pintu terdengar. Aku yakin itu bukan Rangga, karena tangannya aman di dalam saku celana. Aku berjalan mengikuti sumber suara yang semakin lama semakin nyaring saat aku mendekat.

“Vanes, mau ke mana?” tanya Keni yang baru saja berjalan dari dapur.

Aku tetap berjalan dan Keni tetap mengikutiku. “Gue penasaran sama ruangan ini. Semenjak kita datang ke sini, ruangan ini belum pernah terbuka, kan?”

Keni mengangguk setuju, “Iya, padahal kuncinya menggantung di sini.”

Rasa penasaranku semakin menggebu. Aku mengikuti hasratku untuk membuka pintu ruangan yang sama sekali belum pernah kami buka selama berada di Villa. Pintu ruangan terbuka secara perlahan, sedikit demi sedikit menampakkan banyak barang yang masih bisa dipakai tetapi sudah berdebu, ruangan ini semacam gudang. Langkah kakiku memasuki ruangan itu, Keni tetap mengikutiku.

BRAKK! Pintu ruangan tertutup dengan sendirinya, membuat kami melompat karena terkejut. Aku kembali ke daun pintu, berusaha membuka pintu itu. Tetapi, pintu itu terkunci. Aku menggedor pintu itu keras dengan harapan ada yang mendengar dan membantu kami membukakan pintu. Tapi berulang kali kami meminta tolong, tidak ada yang mendengar ataupun membukakan pintu untuk kami.

Keni menjerit dan menghilang dari sisiku. Aku melihat sekelilingku dan suara Keni tetap memekik keras bergema di dalam ruangan. “Ken?!”

Keni menarik kakiku seolah memohon pertolongan padaku. Namun, kakinya terseret lebih kuat daripada tenaganya untuk mempertahankan diri dengan memegang kakiku. Tangannya pun terlepas, Keni menghilang dari pandanganku. Jerit histerisnya membuatku takut. Aku berusaha membuka pintu dan akhirnya pintu terbuka, dengan cepat aku keluar dari sana dan pintu gudang itu kembali terkunci rapat.

Aku menggedor pintu itu lagi. “Ken! Keni!”

Suara jeritan Keni menggema di telingaku, aku menangis histeris mendengar jeritannya yang terus memanggil namaku. Aku heran, mengapa tidak ada yang mendengar teriakanku yang bergitu nyaring. Ke mana teman-temanku? Kenapa mereka tidak datang saat aku membutuhkan mereka? Aku menangis histeris, penyesalan dan amarah berkecamuk di dalam jiwaku.


“Keni!” Aku meneteskan air mata tiada henti. Bahuku terasa berat. Bulu kudukku meremang, ada tangan yang menyentuh bahuku. Aku menoleh ke belakang, “Aaa!”
***
Ikuti kelanjutan kisahnya: Vila Kematian

Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini