Tampilkan postingan dengan label cerita pendek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita pendek. Tampilkan semua postingan

19 Desember 2019

Teror Hantu Blogger

9:59 PM 0 Comments


Gue adalah seorang admin sebuah blog misteri yang terkenal. Gue suka banget membuat kisah-kisah horor dan menantang diri sendiri untuk uji nyali di tempat yang katanya angker dan berhantu. Menurut gue, semua urban legend dan kisah misteri yang meluas di masyarakat itu hanya desas-desus warga sekitar saja, semacam isapan jempol belaka. Walaupun gue adalah seorang pemilik blog misteri yang suka dengan konten horor dan semacamnya, sebenarnya gue gak percaya kalau hantu itu benar-benar ada. Gue yakin bahwa hantu-hantu yang mereka semua sebut menyeramkan, berbahaya, dan mengerikan itu sebenarnya adalah fantasi dan ketakutan mereka yang berlebihan sehingga mereka dapat menciptakan sosok bayangan dari pikiran mereka sendiri, kemudian "sosok ciptaan" itu mereka anggap sebagai hantu. Menurut gue, percaya pada hantu adalah pemikiran yang gak banget untuk manusia yang hidup di zaman yang sudah benar-benar maju dan mengedepankan rasionalitas.

Malam ini, gue belum tidur. Jarum jam menunjukkan pukul dua dan jarum detiknya bergerak dalam kegelapan. Ruangan kamar menerima sedikit cahaya remang dari lampu di teras yang menerobos tirai jendela kamar. Hening. Suara detik jarum jam terdengar lebih nyaring dari biasanya, bahkan gue bisa mendengar napas gue sendiri. Di tengah kesunyian malam ini gue masih terjaga, kebiasaan begadang ini sudah gak ada obatnya lagi. Padahal, terkadang gue butuh waktu lebih lama untuk tidur ketika gue kelelahan tetapi ujungnya tetap sama--gue hanya bisa tidur setelah jam tiga.

Belakangan ini, gue sibuk dengan pekerjaan di kantor sampai gue gak sempat untuk memeriksa komentar dari penggemar setia blog gue. Gue juga beberapa hari belakangan gak mempublikasikan postingan yang baru karena memang belum ada waktu. Bukan masalah gue gak bisa menyempatkan diri untuk mengurus blog, tetapi tanggung jawab gue gak hanya mengurus blog saja, gue juga punya pekerjaan yang gue prioritaskan yang mana pekerjaan itu memakan waktu sangat banyak dan terkadang saat pekerjaan sudah selesai pun energi gue justru sudah habis terkuras. Malam ini, gue menyempatkan diri untuk memeriksa keadaan blog gue saat ini, lumayan kerjaan untuk mengisi waktu luang gue karena kebetulan malam ini mata gue masih kuat untuk melek beberapa jam ke depan.

Sebelumnya, gak afdol kalau gue memantau blog tanpa ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok. Gue bangun dari tempat tidur lalu berjalan ke arah pintu. Tangan gue terulur untuk menarik gagang pintu kamar lalu menariknya sampai daun pintu terbuka perlahan. Sedikit demi sedikit daun pintu menampilkan keadaan ruang tengah yang kosong, sepi, dan hanya diterangi dengan cahaya remang-remang yang menerobos tirai jendela. Biasanya, gue mematikan seluruh lampu kalau gue akan pergi tidur dan hanya lampu kamar mandi yang gue biarkan menyala. Tetapi, malam ini keadaan ruang tengah yang cukup gelap agak membuat gue merinding. Sejujurnya, gue gak terlalu suka dengan kegelapan, apalagi kesepian tanpa sang kekasih. Halah.

Gue melangkah keluar dari kamar yang nyaman, di depan pintu gue bisa melihat bayangan diri gue sendiri pada layar televisi selebar 21 inch. Kemudian, gue berjalan melintasi ruang tengah yang sepi tanpa menyalakan lampu karena letak saklar begitu jauh dari tempat gue berdiri. Sunyi. Derap langkah kaki terdengar di telinga gue sendiri. Gue berjalan melewati sofa panjang yang membelakangi pintu kamar lalu berbelok ke arah pintu dapur yang menyekat antara dapur dan ruang tengah. Cahaya di dapur lebih terang daripada ruang tengah, walaupun masih tetap remang-remang cahayanya. Sisa cahaya dari lampu kamar mandi yang terletak di ujung ruang dapur memberikan penerangan yang cukup untuk dapur seukuran 2x2 meter ini sehingga gue gak perlu untuk menyalakan lampu dapur.

Gue membuka pintu lemari penyimpanan makanan, suaranya berderit dan mengisi kesunyian malam. Lalu tangan gue terulur untuk mengambil sebungkus kopi dari dalamnya. Kemudian, gue meraih sebuah gelas mug kesayangan gue yang merupakan hadiah dari penggemar blog gue. Gelas mug itu adalah gelas mug berwarna putih dengan gambar logo blog pada kedua sisi di sebelah gagangnya. Gue suka banget dengan mug itu, walaupun ada banyak mug berjajar di rak tetapi gue pasti akan mengambil mug putih itu. Suara keresek terdengar nyaring saat gue membuka bungkusan kopi, suaranya agak mengganggu sebab gue jadi tahu betapa sunyi keadaan malam ini dan gue benar-benar sendirian tanpa kawan. Gue berdeham untuk memecah keheningan kemudian bersenandung kecil untuk meredam kesunyian. Gua tuangkan bubuk kopi ke dalam gelas mug. Dapur tiba-tiba gelap gulita selama satu per sekian detik, bahkan gelapnya hanya mirip seperti satu kedipan mata. Gue terkejut. Dengan cepat, gue menoleh ke samping kiri tepat ke arah pintu kamar mandi yang terbuka. Lampu kamar mandi masih menyala saat gue melirik ke arah kamar mandi. Gue termenung sejenak. Beberapa pikiran datang sesaat sebelum gue menyimpulkan apa yang terjadi. Untuk memastikannya, gue melangkah ke arah kamar mandi. Gue julurkan kepala gue melewati kusen pintu dan melirik ke arah langit-langit kamar mandi, cahayanya lebih redup dari biasanya. Mungkin, ini saatnya untuk mengganti lampu kamar mandi.

Gue kembali ke pantri dan melanjutkan kegiatan gue yang baru saja diinterupsi. Kali ini, gue gak terlalu santai dan lebih terburu-buru. Gue menyambar gagang mug lalu menempatkannya di bawah keran dispenser berwarna merah. Bunyi suara gelembung air di dalam galon memecah keheningan beberapa saat. Gue bersiul sambil memperhatikan gelembung air di dalam galon bergerak ke atas. Permukaan air panas perlahan-lahan mulai naik memenuhi gelas mug.

Tiba-tiba, panci berjatuhan dari tumpukannya. Keras suara dentingannya membuat gue terperanjat. Jantung gue terasa seperti mau loncat dan keluar dari mulut gue. Gue langsung menolehkan kepala ke ke arah panci yang berserakan di atas lantai dekat pintu yang menyekat antara ruang tengah dan dapur.

"Goblok!" umpat gue entah pada siapa. "Anjir, bikin kaget aja lu."

Dengan segera, gue letakkan gelas mug di atas pantri sambil mengelus dada dan mengatur ritme napas gue yang tersengal karena kaget. Gue berjalan ke arah panci-panci yang berserakan dan memungutnya satu per satu. Saat gue mencondongkan badan gue ke depan untuk meraih panci di lantai, sekelebat bayangan muncul di sudut kanan pandangan gue. Bayangan itu muncul dengan singkat, bergerak dari arah kamar gue melintasi ruang tengah kemudian bergerak menuju ke arah televisi di seberang pintu kamar. Mata gue mengikuti pergerakan bayangan itu, kemudian bayangan itu menghilang saat menembus dinding ruang tengah. Gue mengucek kedua mata gue dengan punggung tangan untuk memastikan apa yang barusan gue lihat. Namun,  hanya ruang tengah yang gelap dan kosong tanpa ada jejak apa pun yang bisa gue lihat. Bergegas, gue pungut semua panci dan gue rapikan di tempat semula. Tanpa pikir panjang, gue langsung berdiri dan menyambar sendok kecil dan mug berisi kopi yang belum diaduk. Gue melangkahkan kaki meninggalkan dapur sambil memutar kepala sendok searah dengan arah gerakan jarum jam. Ketika gue melintasi ruang tengah, mata gue menelusuri setiap sudut ruangan untuk mencari sosok bayangan yang tadi gue lihat. Gue memandang ke arah dinding yang berada di belakang televisi sejenak.

Apa yang barusan gue lihat? Apakah itu hantu? Mana mungkin, gak ada yang namanya hantu. Pasti itu hanya imajinasi gue saja, gue hanya kelelahan karena kurang istirahat. Gue berbalik badan kembali melangkahkan kaki menuju ke kamar dan gue menutup pintu kamar dengan rapat tanpa menguncinya.

Gue meletakkan segelas kopi di atas meja. Meja itu terletak di dekat jendela nako yang tertutup tirai. Gue sengaja meletakkan meja di dekat jendela karena gue terbiasa merokok sambil bekerja atau sekadar berselancar di dunia maya. Gue geser sebagian tirai yang menutupi jendela lalu menarik tuas besi pada jendela untuk membuka jendela. Kaca dan besi yang bersinggungan terbuka dan menciptakan suara "krepyak". Udara malam yang dingin semilir menembus celah jendela mengisi sirkulasi udara di kamar gue. Gue menyalakan laptop berwarna silver lalu duduk sambil mengangkat satu kaki untuk bertumpu di atas kursi. Layar laptop menyorotkan cahaya di tengah kegelapan kamar. Silau. Gue sulut satu batang rokok yang gue jepit di antara kedua bibir sampai kepulan asap menyembur dari celah mulut dan lubang hidung. Gue hisap ujung batang rokok. Mouse kecil hilang dalam genggaman tangan besar gue saat gue mengarahkan kursor di layar. Sambil menjepit batang rokok di mulut, gue mengetik alamat domain blog gue. Beberapa detik kemudian, halaman blog pun muncul. Gue baca satu per satu komentar dari pembaca setia blog gue. Sesekali gue hisap ujung rokok setiap kali mulut gue terasa asam. 

Kak, bahas tentang hantu blogger dong:D

Kak.. katanya hantu blogger nyata?? Bahas kuy..

Min pernah denger hantu blogger kagak? Katanya dia bakal teror orang yang bahas tentang dia di blog.. Berani kagak lw? :P

Gan , elu suka uji nyali kan ? Bahas hantu blogger kek , kalo elu beneran diganggu sama hantu blogger , ceritain di mari yak ...

Gue memegang gagang gelas mug lalu menyesap kopi yang sudah gak terlalu panas. Jujur, gue terlalu lama gak berselancar di dunia maya dan gue belum pernah mendengar tentang kisah Hantu Blogger. Rasa penasaran gue mulai terpancing. Gue mencari tahu siapa itu Hantu Blogger setelah membaca segala kisah yang diceritakan oleh blogger lainnya. Menarik. Mereka bercerita tentang semua teror atau bahkan kesan saat mencoba mengorek cerita tentang Hantu Blogger. Gue bisa memanfaatkan keyword ini untuk menaikkan jumlah pengunjung blog gue dengan sedikit dramatisir. Sebelum gue mulai mengulas Hantu Blogger, gue harus mencari sumber terpercaya agar informasi yang gue sampaikan kepada pembaca bukan hoax. Walaupun nantinya gue akan sedikit memberi bumbu dramatisir, setidaknya gue harus bermain sedikit lebih rapi.

Gue langsung membuka tab baru dan mencari kisah-kisah tentang Hantu Blogger dari berbagai sumber. Beberapa situs muncul dalam mesin penelusuran, sebagian besar menceritakan tentang pengalamannya saat diganggu Hantu Blogger ketika sedang menulis kisah tentangnya. Namun, semua kisah itu gak cukup buat gue. Gue perlu banyak informasi tentang Hantu Blogger--dari mana asal mula kisah ini berawal, siapa dia, dan mengapa dia bisa disebut sebagai Hantu Blogger. Gue menghabiskan beberapa puluh menit untuk menelusuri tentang Hantu Blogger dan membaca berbagai situs yang membahas Hantu Blogger. Penelusuran gue terhenti saat gue menemukan alamat domain blog yang katanya adalah blog milik si Hantu Blogger. Awalnya, gue gak langsung percaya dengan link itu, karena gue takut kalau ternyata link itu adalah link virus atau click bait dan semacamnya. Tetapi, setelah menelusuri web itu gue semakin yakin kalau link yang tertera di sana bukanlah link hacker atau semacamnya. Jadi, gue memberanikan diri untuk membuka link yang tertera pada postingannya. Tab baru terbuka mengarah pada sebuah situs blog yang terlihat sederhana dan penuh dengan postingan cerita sehari-hari, mirip seperti sebuah buku harian yang dapat diakses oleh peselancar dunia maya.

Beberapa postingan pada blog milik "Hantu Blogger" gue baca satu per satu dari postingan yang terlama. Tulisannya mirip seperti seorang yang sudah ahli dalam permainan seni bahasa. Gue juga beberapa kali tercengang setiap membaca tulisannya. Gaya bahasanya tingkat tinggi seperti seorang sastrawan. Gue menghisap batang rokok yang semakin lama semakin pendek sambil membaca seluruh isi tulisannya di blog. Ada hal yang mengganjal dari seluruh postingan yang gue baca, isi dari seluruh postingannya kebanyakan adalah kesedihan dan keputusasaan. Gue gak tahu seberat apa beban hidup yang dia rasakan, tetapi kalau saat itu gue ada di sana bersama dia, gue ingin memeluknya. Sejauh yang gue pahami dari isi blognya, gue menyimpulkan bahwa Hantu Blogger memiliki kisah hidup yang amat menyedihkan.

Gue menyesap lagi kopi yang masih tersisa setengahnya di dalam mug. Gue membuka laman entri untuk menuliskan kisah Hantu Blogger. Mata gue  mulai terfokus pada layar laptop dan jari-jari gue mulai bergerak menari-nari di atas tombol keyboard. Beberapa saat kemudian, angin berhembus cukup kencang, angin dingin menyeruak masuk ke dalam kamar sehingga tirai jendela melambai-lambai. Gue bangkit dari tempat duduk untuk menutup jendela. Sesaat sebelum mendorong tuas besi untuk menutup jendela, gue berhenti untuk mengintip pada celah jendela. Samar-samar, terlihat seorang perempuan berdiri seorang diri di tepi jalan yang disinari cahaya temaram. Apakah itu tetangga sebelah yang baru pulang lembur? Gue pikir begitu. Gue tak acuh. Gue dorong tuas besi dan jendela pun tertutup rapat.

Gue kembali duduk tanpa menutup tirai jendela. Gue bersiap untuk melanjutkan tulisan gue. Sial. Gue menatap layar laptop dengan penuh umpatan keluar dari mulut gue. Tulisan gue tiba-tiba berantakan karena disisipi banyak huruf f. Mengapa keyboard harus eror di saat seperti ini? Merepotkan. Gue menghela napas lalu menyesap kopi hingga hanya tersisa ampasnya saja. Gue rapikan tulisan gue dengan penuh kesabaran. Setelah tulisan gue kembali rapi, gue melanjutkan tulisan gue. Jemari gue kembali menari di atas keyboard. Sampai beberapa saat kemudian, mata gue mulai terasa berat dan jari-jari gue juga mulai terasa lelah. Gue menoleh ke arah  jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul tiga dan menitnya menunjuk pada angka dua. Gue meregangkan sendi-sendi jari gue lalu kembali terfokus pada laptop di depan gue guna melanjutkan tulisan gue. Gue tetap memaksakan diri walaupun beberapa kali mulut gue terbuka lebar karena mulai mengantuk. Gue tambahkan kecepatan jari-jari untuk mengetik tulisan gue agar cepat selesai. 

Mata gue tiba-tiba terbelalak saat sebuah tangan terulur dari belakang melewati bahu gue. Jarinya yang panjang dan kukunya yang tajam menunjuk pada sebuah kata. Sebuah bisikan terdengar di telinga gue membuat bulu kuduk meremang, "Typo, Bang."

Napas gue tertahan. Jari-jari gue beku seketika dan perut gue terasa tegang. Mata gue tetap terpaku ke arah layar laptop, gak sedikit pun ada keinginan untuk berbalik. Gue terlalu takut untuk menoleh ke belakang karena gue yakin itu bukan manusia. Rumah ini hanya dihuni oleh gue. Sendirian. Gak ada orang lain. Gue pun menelan ludah dengan bersusah payah guna membasahi tenggorokan gue yang kering. Setelah gue bergelut dengan segala ketegangan, tangan itu bergerak mundur dan menghilang dari pandangan gue. Gue gak tahu pasti apakah dia sudah pergi atau belum, tetapi tangan itu sudah menghilang. Gue memang takut, tapi rasa penasaran gue lebih besar. Gue kembali menelan ludah dan mengumpulkan nyali gue untuk memeriksanya. Sumpah ini pertama kalinya gue percaya kalau hantu itu ada. Gue memutar kepala ke belakang perlahan-lahan. Perut gue mencelus. Bola mata gue bergerak memutar untuk memeriksa setiap sudut ruangan. Kosong, gak ada apa pun atau siapa pun. 

Gue bernapas lega. Rupanya, semua itu hanya halusinasi gue karena terbawa suasana saat sedang memanipulasi kisah Hantu Blogger. Gue pun memutar kepala gue untuk kembali menatap layar laptop. Sesaat sebelum memandang ke layar laptop, sekelebat bayangan menarik perhatian gue. Gue pun mengalihkan pandangan ke arah jendela yang gak tertutup tirai. Dua buah telapak tangan menempel di jendela dan di antara kedua telapak tangan itu terdapat wajah menyeramkan yang menyeringai. Gue terperanjat sampai kursi yang gue duduki terpental ke belakang. Gue terjengkang dari kursi. Dengan tergesa-gesa gue bangkit dan berlari tunggang langgang ke arah pintu untuk menyambar gagang pintu. Setelah gagang pintu gue pegang dengan erat, gue tarik gagang pintu berulang kali sekuat tenaga, tetapi pintu sama sekali gak terbuka seolah terkunci. Tangan gue berkeringat dingin saat memegang gagang pintu. Kaki gue gemetaran dan lemas untuk berdiri. Sosok itu masih menyeringai seram di depan jendela. Keringat dingin bercucuran membasahi pelipis gue. Jantung berdebar kencang seolah mau loncat. Kaki gue lemas dan gue gak sanggup lagi untuk berdiri. Dengan penuh ketakutan, gue hilang kesadaran di dalam kegelapan.
 ****


Kelopak mata terbuka. Gue mengedipkan kelopak mata gue untuk menstabilkan cahaya yang masuk ke mata. Kamar gak segelap tadi malam, cahaya matahari menembus tirai hijau yang menutupi jendela. Hari sudah pagi, gue bangkit dari tempat tidur gue. Gue merenung sejenak sambil duduk di tepian kasur, gue mencoba mengingat kejadian semalam. Bola mata gue bergerak memutar untuk memastikan semua posisi barang-barang di kamar gue tetap pada posisi sebelumnya. Kamar gue rapi, gak berantakan seperti tadi malam. Gue rasa kejadian itu hanya sebuah mimpi dan semua itu gak nyata. Hantu memang benar-benar gak ada. 

Gue bangkit dari tempat tidur lalu berjalan ke arah jendela untuk membuka tirai. Namun, langkah gue tiba-tiba terhenti saat melihat layar laptop menyala dan menampilkan sebuah halaman blog yang tidak asing bagi gue. Sebuah laman postingan dengan judul "Meet and Greet Present" terpampang pada layar laptop. Gue mengira mungkin itu adalah hasil penulusuran gue semalam yang belum selesai saat gue sedang mengulik kisah Hantu Blogger. Gue mengurungkan niat untuk membuka tirai jendela lalu duduk di kursi. Gue baca perlahan-lahan seluruh isi postingan dari judul sampai isinya. Gue baca dengan teliti. Paragraf demi paragraf. Kalimat demi kalimat. Kata demi kata. Rupanya, dia pernah memberi sebuah hadiah berupa mug putih kepada idolanya dan dia menyampaikan bahwa dia ingin mempunyai blog yang terkenal seperti milik idolanya. Pada postingannya, tertulis:

"Aku ingin bertemu dengan Radit Wijaya suatu saat nanti walaupun aku sudah mati."
Gue terkejut saat nama lengkap gue tertulis di sana. Berulang kali gue baca kalimat itu untuk memastikan kembali bahwa gue gak salah baca. Apakah nama idolanya sama dengan nama gue? Gue penasaran. Gue menebak kalau dia menulis postingan itu setelah berlangsungnya acara "Meet and Greet". Gue kembali menggeser laman ke bagian tanggal postingan ini dipublikasikan. God damn! Tanggal postingan itu bersamaan dengan digelarnya acara "Meet and Greet" bersama Sobat Kemenyan. Mungkinkah Hantu Blogger ini adalah penggemar gue?

 Gak mungkin. Ini gak mungkin. Pasti kebetulan.

Gue menutup laptop gue tanpa mematikan mesinnya terlebih dahulu. Kedua tangan gue berusaha memijat pelipis gue. Gue pun menggelengkan kepala gue dengan cepat untuk melupakan apa yang baru saja gue baca. Gue bangkit dari tempat duduk gue lalu tangan gue mencengkeram tirai hijau dengan kuat. Gue perlu udara segar untuk menenangkan pikiran gue sendiri. Gue tarik tirai sampai terbuka dengan cepat.

Gue terperanjat saat gue mendapati noda bekas telapak tangan tercetak pada kaca jendela kamar.

***

Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah horor lainnya di sini

31 Oktober 2019

Uluran Tangan Tak Berwujud

12:31 AM 0 Comments
Bosan. Aku duduk manis di atas jok angkutan umum antarkota yang posisinya terletak di bagian paling belakang. Di sisi kananku terdapat jendela lebar yang terpampang membatasi pandanganku akan dunia luar yang sedang sibuk berputar. Mataku terpaku pada kendaraan yang melintas berlawanan arah dengan pemandangan bangunan-bangunan yang bergerak melintas sekilas pada penglihatanku. Sinar matahari menyorot lurus ke arah mataku menembus kaca film yang melapisi kaca jendela angkutan umum antarkota ini, cahayanya tidak begitu terik sebab waktu sudah memasuki sore hari ketika aku melirik ke arah jam tangan analog yang melekat pada pergelangan tanganku. Hari ini, aku tidak terburu-buru untuk kembali pada rutinitasku yang membosankan karena saat ini aku sedang membutuhkan suasana atau pengalaman baru yang mungkin dapat aku pelajari hikmah dan manfaatnya—daripada hanya sekadar duduk di kursi sambil mendengarkan cerita-cerita dosen yang terkadang ngalor ngidul tidak berarah jauh melenceng dari topik pembahasan mata kuliah. 

Sesekali aku menyandarkan punggungku ke belakang sambil menghela napas. Barangkali aku bisa mempercepat laju bis dengan embusan napasku seperti embusan asap knalpot pada bus ini agar aku cepat sampai di tujuan tapi semua itu mustahil, hanya imajinasiku saja. Sesekali pula aku menyandarkan kepalaku ke samping kanan sehingga pelipisku menyentuh kaca jendela bus yang bergetar karena pergerakan mesin. Getarannya mengocok isi kepalaku seperti segelas susu kocok, kepalaku pusing dan membuatku terasa mual. Aku kembali menegakkan kepalaku yang bersandar pada kaca jendela agar tidak menyentuhnya lagi.  

Aku tidak bisa berselonjor saat kakiku terasa pegal atau ketika pinggangku butuh sedikit peregangan agar tidak terasa kaku karena aku tidak memiliki banyak ruang gerak—di sisi kiriku terdapat tiga orang laki-laki yang duduk berdampingan dan kami berempat duduk saling berhimpitan. Jika boleh aku menebak umur mereka, mungkin laki-laki di sebelahku ini sudah memiliki seorang cucu sebab di ujung kelopak matanya terdapat kerutan yang menandakan bahwa sepertinya beliau beberapa tahun lebih tua dari ayahku. Bapak tua ini memeluk tas besar berwarna biru tua yang beliau letakkan di atas pangkuannya. Di sebelah kiri bapak tua itu, duduk seorang laki-laki muda mungkin seumuranku atau ia sedikit lebih tua dariku. Pemuda itu memiliki perawakan jangkung dan kaki yang jenjang sebab bisa kulihat kakinya menapak cukup jauh jika dibandingkan orang-orang di sekitarnya. Ia memeluk tas ransel hitam yang ia letakkan di atas pangkuannya. Sedangkan pria di sebelah kiri pemuda itu, aku tidak dapat melihatnya dengan jelas karena terhalang perawakan dua laki-laki yang aku sebutkan sebelumnya. Di depanku, dua orang wanita paruh baya duduk bersebelahan, terdiam memperhatikan jalanan di luar jendela angkutan—atau mungkin tertidur pulas. Kemudian, pada sebuah jok yang terletak di dekat pintu yang terbuka lebar, seorang laki-laki berkumis—mungkin seumuran dengan ayahku—duduk sambil mencondongkan badannya ke depan dan menundukkan kepala memperhatikan aspal yang bergerak mundur ketika bus ini melaju. Dua buah jok lebar yang terletak di belakang sopir terisi penuh dengan dua orang yang duduk pada masing-masing jok, begitu pula jok yang letaknya di samping sopir juga terisi penuh oleh dua orang yang duduk berhimpitan. Angkutan umum ini sudah penuh tetapi tetap saja sopir bus selalu berhenti ketika ada calon penumpang yang memberhentikannya di tepi jalan sehingga beberapa penumpang yang baru saja menaiki bus harus berdiri dengan kedua kakinya di sepanjang perjalanan. Hal itu membuat suasana di dalam angkutan umum ini semakin sesak.

Tidak ada yang menarik dari sebuah angkutan yang sesak. Aku masih tetap merasa bosan walaupun angkutan umum ini ramai dan sesak. Tidak ada seseorang pun yang dapat aku ajak untuk berbicara—sebenarnya aku terlalu malu untuk membuka percakapan—aku sibuk dengan pemikiranku sendiri yang tidak berarah. Mataku mulai terasa berat karena diriku yang dibalut rasa bosan. Mulutku terbuka lebar menghisap udara segar yang ada di sekitarku sebanyak-banyaknya, aku menguap—entah karena mengantuk atau bosan, bisa jadi keduanya. Sopir kembali menginjak rem dan membuat aku tersungkur dan wajahku hampir membentur sandaran jok depan yang tepat berada di depan wajahku. Beruntung, tanganku lebih gesit untuk menahan tubuhku sebelum kepalaku membentur sandaran jok di depanku. Ada calon penumpang yang hendak menumpang pada angkutan umum ini. Angkutan yang semula kupikir sangat sesak dan tidak dapat diisi penumpang lagi, rupanya masih menyisakan ruang untuk calon penumpang itu. Mungkin ada beberapa penumpang yang turun sebelumnya karena angkutan yang semula sesak ini mulai terasa lebih longgar. Barangkali begitu tetapi aku tidak menyadarinya karena terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri.

Biasanya, aku tidak peduli pada calon penumpang yang akan menumpang pada angkutan umum ini. Tetapi, dua orang calon penumpang yang akan menumpang ini menarik perhatianku karena angkutan umum ini berhenti cukup lama sehingga mataku terpaku ke arah pintu masuk.

Seorang laki-laki muda, sepertinya seumuranku, menaiki tangga angkutan lalu mencari posisi yang tepat untuk berdiri. Ia berdiri mengisi celah antara jok kanan di depanku dan jok kiri yang terletak di dekat pintu. Ia menggendong tas ransel hitam yang terdapat tulisan nama sebuah yayasan di dekat resleting tasnya. Pemuda itu mengenakan jaket berwarna cokelat yang kelihatan agak kebesaran sehingga lengan jaketnya menjuntai ke bawah menutupi tangannya. Satu lagi pemuda laki-laki yang mengenakan jaket abu-abu berusaha menaiki tangga angkutan ini menyusul di belakangnya. Kedua tangan pemuda berjaket abu-abu itu berpegangan pada kedua sisi pintu, ia berusaha mendorong badannya untuk menaiki tangga angkutan agar bisa masuk. Bisa aku dengar percakapan kecil mereka.

"Tolong bantu pegang ini," ucap pemuda berjaket abu-abu.

Awalnya, aku tidak paham apa maksudnya meminta bantuan untuk memegang "sesuatu". Namun akhirnya, aku paham apa yang ia maksud saat mendapati pemuda berjaket abu-abu itu menyodorkan sebuah tongkat kruk kepada pemuda berjaket cokelat. Rupanya, salah satu kaki pemuda berjaket abu-abu itu tidak dapat berfungsi dengan baik. Pemuda berjaket cokelat itu menerima tongkat kruk dan memegangnya dengan tangan kanannya. Ia menoleh ke kanan lalu kembali melirik kawannya dengan cepat, ia terlihat kebingungan, sepertinya ia ingin membantu pemuda berjaket abu-abu untuk menaiki tangga namun sulit.

Aku heran. Mengapa ia harus kebingungan? Lagipula dia hanya perlu mengulurkan tangan kirinnya dan memegang tongkat kruk dengan tangan kanannya.

Setelah itu, pemuda berjaket cokelat itu menyelipkan bantalan ketiak tongkat kruk di ketiak kirinya lalu mencondongkan badannya ke depan sambil mengulurkan tangan kanannya untuk membantu pemuda berjaket abu-abu masuk ke dalam angkutan. Satu lagi yang mengejutkan, aku baru saja mengetahui jika pemuda berjaket cokelat itu rupanya hanya memiliki satu tangan saat aku melihat ia mengempit tongkat kruk di ketiaknya. Kain lengan jaket cokelat yang menjuntai itu terlihat amat tipis seperti tak berisi di bagian bawahnya, amat berbeda saat kutelusuri ke bagian atas dekat bahu masih terlihat tebal berisi karena bahu dan lengan atasnya. Sebelumnya, aku mengira jika lengan jaketnya yang kebesaran itu hanya menutupi kedua tangannya.

Angkutan umum ini kembali melaju. Aku fokus memperhatikan dua orang penumpang yang baru saja menaiki angkutan ini. Pemuda berjaket cokelat itu bertumpu dengan kedua kakinya sambil tangan kanannya memegang pipa besi yang tergantung di atas langit-langit angkutan, sedangkan pemuda berjaket abu-abu itu duduk di dekat pintu sambil memegangi tongkat kruk miliknya. Perhatianku terpaku pada pemuda berjaket cokelat yang sedang berdiri sambil bergelantungan pada pipa besi, badannya terayun-ayun setiap angkutan ini berbelok ke kanan dan ke kiri sebab ia hanya mengerahkan seluruh beban tubuhnya pada satu tangannya.

Saat angkutan berhenti untuk menurunkan penumpang, tubuh pemuda berjaket cokelat itu terayun ke depan hampir tersungkur. Beruntung, tangannya mencengkeram pipa besi dengan kuat sehingga ia tidak terjungkal setiap kali sang sopir menginjak rem. Seorang penumpang turun dari angkutan, meninggalkan sebuah tempat duduk, aku pikir pemuda itu akan menduduki tempat duduk yang kosong itu karena keadaannya yang tidak memungkinkan untuk tetap berdiri sepanjang perjalanan. Ternyata, dugaanku salah. Ia justru mempersilakan seorang laki-laki yang mungkin berumur empat puluh tahun untuk menduduki tempat duduk yang kosong tersebut.

"Mas saja yang duduk," tolak bapak tersebut dengan halus. Sepertinya bapak itu tahu kalau pemuda berjaket cokelat itu lebih membutuhkan kursi itu daripada dirinya.

Pemuda berjaket cokelat itu tersenyum sambil melangkah ke samping kiri dan melekatkan punggungnya pada jok di sebelah kirinya untuk memberi jalan kepada bapak itu. "Tujuan saya dekat kok, sebentar lagi juga sampai. Silakan bapak duduk saja."

Akhirnya, bapak itu pun mengalah dan berjalan melewati celah yang diberikan oleh pemuda berjaket cokelat itu kemudian menduduki kursi kosong yang baru saja disediakan untuknya. Pemuda berjaket cokelat itu kembali pada posisi semula.

Beberapa menit kemudian, jarak yang ditempuh angkutan ini sudah cukup jauh. Aku kembali terheran. Pemuda berjaket cokelat ini tidak kunjung turun padahal tadi ia berkata kalau tujuannya sudah dekat. Aku pikir, mungkin sebentar lagi. Namun, aku kembali terheran lagi saat bapak yang dipersilakan untuk duduk olehnya turun dari angkutan lebih dulu daripada ia. Aku kembali berdebat dengan pemikiranku sendiri. Mungkin pemuda ini mengutamakan orang yang lebih tua sehingga ia mempersilakan tempat duduk untuk bapak yang tadi.

Tempat duduk kembali kosong. Bukankah seharusnya  pemuda itu bisa duduk tanpa ragu? Sebab para penumpang yang berdiri hanya beberapa dan jauh terlihat lebih muda daripada ia. Namun, pemuda itu tidak melakukannya. Ia menoleh sejenak memperhatikan keadaan sekitarnya. Ada sekitar tiga orang yang tidak duduk, salah satunya adalah seorang mahasiswi yang menyandarkan kepalanya pada sandaran jok di depannya sebagai tumpuan kepalanya. Ia terlihat lemas dan agak pucat, mungkin ia mabuk perjalanan. Pemuda berjaket cokelat itu memberikan tempat duduk kosong itu kepada mahasiswi tersebut. Mahasiswi itu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih dengan sebuah anggukan kepala menyapa pemuda itu. Ia melewati pemuda itu lalu duduk di tempat yang baru saja pemuda itu berikan.

Beberapa menit berlalu, jarak yang ditempuh pun semakin jauh. Pemuda berjaket cokelat itu menurunkan tas ransel hitam dari punggungnya. Ia cukup kesulitan saat menopang ransel itu agar tidak membentur orang lain dan tidak pula terhempas ke bawah atau menggelinding ke arah pintu keluar. Tidak hanya itu, ia lebih kesulitan lagi untuk menahan keseimbangan tubuhnya saat ia sedang membuka resleting tas untuk mengambil sesuatu di dalamnya. Angkutan tetap melaju dan membuat pemuda itu harus menahan tubuhnya hanya dengan topangan kedua kakinya yang terbuka selebar bahu. Setelah selesai dengan urusannya, pemuda itu kembali meraih pipa besi di atas kepalanya dan membiarkan tasnya tergeletak di bawah sana.

Beberapa waktu berlalu, angkutan pun berhenti. Pemuda berjaket cokelat itu melangkahkan kaki menuju pintu keluar sambil menyeret tas yang tergeletak di depan kakinya. Aku pikir, ia akan meninggalkan temannya—pemuda berjaket abu-abu—lalu membiarkan temannya turun dari angkutan sendirian. Dugaanku lagi-lagi salah. Pemuda berjaket cokelat itu meletakkan tasnya di atas tanah lalu kembali mendekati pintu angkutan. Ia mengambil tongkat kruk dari tangan temannya lalu membungkuk untuk meletakkannya di atas permukaan trotoar. Ia kembali berdiri tegak lalu mengulurkan tangannya untuk membantu pemuda berjaket abu-abu berdiri.

Pemuda berjaket abu-abu itu memegang tangannya lalu mengerahkan beban tubuhnya dengan berpegangan pada tangan temannya. Ketika ia sudah berdiri, tangan kanan pemuda berjaket cokelat melingkar pada pinggangnya lalu mengangkat tubuhnya tanpa keraguan sedikitpun sampai ia menapakkan kakinya di atas tanah. Pemuda berjaket cokelat pun meraih tongkat kruk yang tergeletak di tanah lalu memberikannya kepada pemiliknya.

Wow.

Aku benar-benar tak mampu berucap sepatah kata pun.

Pemuda itu melakukan hal yang terbaik yang mampu ia lakukan untuk orang lain. Walaupun dirinya sendiri memiliki kekurangan fisik, tetapi ia memiliki kelebihan nurani yang amat besar.

Aku kembali termenung. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri sambil menatap ke arah dua telapak tanganku yang menengadah. Aku mempunyai dua tangan dan sepuluh jari yang masih utuh, apa yang sudah aku lakukan untuk membantu orang lain dengan kedua tanganku ini? Jika pemuda itu mampu membantu banyak orang dengan satu tangan saja, mengapa aku belum melakukan apa pun untuk orang lain?


Illustration by Nadhira Shafa


Jika seseorang yang hanya memiliki satu tangan saja dapat membantu orang lain, bagaimana dengan kita yang mempunyai dua tangan yang masih utuh? Pasti bisa membantu orang lain lebih banyak lagi, bukan?

Sudahkah kau membantu orang lain hari ini?

27 Oktober 2019

Kesempatan Kedua

8:24 AM 0 Comments

Malam ini dengan cepat aku merebahkan tubuhku di atas hamparan balok empuk berisi kapuk. Kelopak mataku melekat satu sama lain ketika aku melepaskan segala penat. Dapat aku akui, hari ini aku cukup kelelahan karena kegiatan yang aku lakukan. Bagaimana tidak? Aku mondar-mandir seharian hanya untuk mengejar orang-orang yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Jika aku tidak punya tanggung jawab dalam organisasi ini, mungkin aku tidak akan sudi untuk melakukannya. Terlebih lagi, para petinggi itu mana peduli dengan waktu dan tenagaku yang terkuras hanya untuk menunggu waktu senggang mereka. Buang-buang waktu saja. Cih.

Aku menghela napas dalam dan mengeluarkan segala penat beriringan dengan embusan napasku. Mataku kembali terbuka, kudapati langit-langit kamarku yang agak menyilaukan karena pantulan cahaya lampu. Lelah. Aku hanya ingin mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Namun, kacau. Semua itu batal begitu saja ketika notifikasi handphone-ku berbunyi berulang kali dengan getaran yang menggelitik kulit pahaku. Aku merogoh saku dan mengambil benda yang berulang kali mengacaukan rencanaku di malam yang menenangkan ini. Aku menatap layar handphone yang tidak kalah menyilaukan daripada lampu yang tergantung di atas langit-langit kamarku. 

Sial. 

Apa lagi ini?

Pengacau.

Batinku tiba-tiba kelut-melut. Beban apalagi yang harus aku pikul selain mengejar orang-orang yang sibuk sendiri? Haruskah ditambah dengan si pengacau satu ini? Sial.

Mual. Seperti ada sesuatu yang berenang-renang di dalam perutku ketika aku membaca kata-kata yang terpaut satu sama lain membentuk kalimat menjijikan yang sama sekali tidak pernah ingin aku baca. 



Jari-jariku bergerak dengan gesit untuk membalasnya. Singkat, padat, dan menyakitkan. Hanya dua kata saja tetapi maknanya penuh dengan kemarahanku yang membuncah. Punya rencana apa lagi si bodoh ini?

Apakah dia sadar apa yang baru saja dia kirimkan kepadaku? Apa dia tidak ingat apa saja yang pernah dia lakukan sehingga aku membalas pesannya dengan ucapan seperti itu?

Aku masih ingat dengan jelas, bahkan masih bisa aku rasakan jemarinya yang mengunci kedua pergelangan tanganku. Genggaman tangannya begitu erat sehingga membuat kulit pergelangan tanganku memerah karena tekanan kuat yang ia berikan. Tubuhnya amat dekat mungkin hanya berjarak beberapa sentimeter saja dariku. Wajahnya pun amat dekat dengan wajahku bahkan hidung kami hampir bersentuhan dengan kulit wajahku sebab dapat aku rasakan napasnya menerpa wajahku. Ia berusaha mendaratkan bibirnya di atas kulit wajahku, entah di mana tetapi aku yakin tujuan utamanya adalah bibirku. 

"Apa maumu?" bentakku sambil menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri menghindari tatapannya. 

"Hanya sebuah ciuman saja."

"Tidak mau!" Aku berteriak di hadapan wajahnya sambil menggerakkan kedua tanganku berusaha melepaskan genggaman tangannya yang mencengkeram tanganku begitu kuat. Seberapa besar pun usahaku untuk melepaskan cengkeraman tangannya, aku tetap tidak dapat melawan kekuatannya yang lebih besar. Ibarat hewan, mungkin aku hanya seekor ayam yang melawan seekor musang.

Tangannya bergerak cepat memegang kedua pipiku lalu menarik wajahku mendekat ke arah wajahnya. Bibirnya mendarat tepat di atas bibirku. Kami berciuman—lebih tepatnya ia menciumku—beberapa detik. Ciuman itu terlepas ketika kedua tanganku yang bebas mendorong tubuhnya sampai ia terpental mundur dan menjauh dariku. Tanganku berayun tanpa keraguan dan telapak tanganku mendarat keras tepat di atas pipinya. Suara benturan kulit cukup keras menggema di telingaku, pasti sakit sebab aku juga merasakan panas pada telapak tanganku. Ia memegang pipi kirinya sambil meringis. Aku mengeraskan rahangku, berusaha menahan amarah dan tangisan. Mataku menatap ke arahnya dengan penuh amarah. Pandanganku kabur karena terhalang air mata yang terbendung di pelupuk mataku. Dapat aku rasakan wajahku mulai memanas, merah padam. Tanganku mengepal seakan aku sedang menggenggam kuat kemarahanku. Belum puas dengan satu tamparan, rasanya ingin aku menghantam wajahnya dengan kepalan tangan untuk melepaskan kemarahanku tetapi aku urungkan dengan satu tarikan napas yang amat dalam. 

Butiran air mata jatuh di pelupuk mataku sesaat setelah aku menghela napas panjang. Aku melangkah pergi meninggalkan dia tanpa sepatah kata pun setelah menamparnya dengan keras. Aku tidak merasa bersalah telah menampar seorang "pacar" karena melindungi diriku sendiri. Baru menjalin hubungan selama empat bulan saja, ia berusaha melecehkan harga diriku di tempat sepi seperti itu. Walaupun setelah kejadian itu, kami masih tetap melanjutkan hubungan kami. Aku memaafkannya karena ia mengaku salah dan khilaf. Itulah awal kebodohan yang aku lakukan, seharusnya saat itu aku putus kontak saja sekalian dan memblokir dirinya dari kehidupanku.

Walaupun hubungan kami tetap berlanjut, aku merasa ada yang berbeda setelah kejadian itu. Hubungan kami semakin lama semakin hambar. Sebelumnya, ia selalu berpamitan jika akan melakukan sesuatu agar aku tidak perlu mencarinya ketika ia menghilang. Dia juga jarang menanggapi candaanku atau pertanyaanku dan aku harus menunggu beberapa jam untuk mendapatkan balasan pesan darinya. Suatu hari, kami pernah berencana untuk pergi jalan-jalan sekadar keliling kota atau menonton film tetapi mendadak ia membatalkan rencana itu secara sepihak. Tentu saja aku tidak bisa memaksanya, mungkin ada urusan yang lebih penting ketimbang jalan-jalan. Aku maklum.

Beberapa hari, aku jarang bertemu dengannya atau bahkan sekadar melihatnya—padahal seharusnya kami bisa berpapasan walaupun hanya di tempat parkir. Beberapa pesan aku kirimkan kepadanya untuk menanyakan keadaannya tetapi dia selalu menjawab seadanya dan tidak mudah bagiku memahami balasan pesannya yang amat singkat. 

"Di, aku mau tanya," ucap Kamila membuka percakapan.

Aku melirik ke arah Kamila yang berada di sisi kiriku. "Ada apa?"

"Kamu sudah putus belum sih?" Kamila bertanya dengan nada pelan, seperti ragu.

Aku mengangkat bahu. Entah apa yang harus aku katakan kepadanya, sebab aku pun tak yakin dengan status hubunganku saat ini. Mau menjawab belum putus pun, sepertinya tidak juga. Aku merasa seperti tidak memiliki tanggungan untuk mencintai seseorang—bahkan aku tidak merasa dicintai.

"Kemarin aku lihat dia jalan dengan Sela," ucapnya.

"Oh...." Aku mengangguk. Jawabanku santai, tidak terkejut sama sekali bahkan tidak sedih sekali pun.

"Gila. Oh doang?" Kamila memastikan. Jelas, ia pasti terkejut melihat reaksiku.

Aku mengangkat bahuku sekali lagi, tanda tidak peduli. "Ya biarkan saja, tunggu dia mengaku sendiri."

Aku tidak terkejut setelah mengetahui informasi dari Kamila walaupun aku baru mendengarnya pertama kali. Mungkin rasa ini telah hilang dan logika mulai berkembang. Aku tidak lagi mencarinya atau bahkan menanyakan kabar pun hanya sesekali saja sebagai formalitas belaka. Sampai pada akhirnya, aku menerima sebuah pesan perpisahan dengan kata-kata yang amat manis tetapi penuh kepalsuan. 

Dila, sepertinya aku dan kamu sudah tidak cocok lagi. Kita sudah berbeda, pemikiran kita tidak lagi sama. Mungkin ini saatnya bagi kita untuk mengakhiri kisah kita. Jangan lupakan kenangan kita selama ini ya, I love you.
Pecundang. Bahkan untuk mengakhiri hubungan pun ia tidak mau bertemu langsung denganku. Kenangan apa yang dia maksud? Kenangan buruk mungkin. Empat bulan dia berusaha merayuku dan dua bulan ia menghilang karena mencari "sesuatu" yang tidak bisa ia dapatkan dariku. Bahkan empat hari setelah aku menerima pesan itu, ia sudah menunjukkan kemesraan dengan pacar barunya seolah aku hanya angin lalu. Halah, "I love you" tahi ayam.

Setelah itu, aku tak peduli lagi dengannya. Urusan hidupnya bukan lagi urusanku—bahkan tidak akan pernah menjadi urusanku. Bertahun-tahun kami tidak pernah berbicara, paling hanya sekadar sapa yang terpaksa. Lagipula, aku sangat amat jauh lebih baik ketika tidak melihatnya. Bukan tersakiti, bukan. Hanya saja, ada semacam rasa ingin meludahi. 

Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat untuk membuyarkan ingatanku yang sama sekali tak ingin kuingat kembali.
Sekarang, ia kembali dengan kedok silaturahmi. Memang ini semua salahku. Mengapa aku harus menanggapi si pengganggu yang satu ini? Aku pikir dengan memaafkan masa lalu akan membuat hidupku lebih tenang dan lepas dari dosa dengki. Rupanya, salah besar. Masa lalu itu justru menghantui dan berusaha untuk menginvasi kehidupan baruku. Brengsek. 

Setelah kau hancurkan hatiku di masa lalu, untuk apa kau kembali setelah aku merasa sangat sangat sangat jauh lebih baik tanpamu? Mengorek luka lama atau menanam luka baru? Atau mungkin hanya ingin mempermainkanku dan membuatku bertekuk lutut padamu? Bajingan.

Aku menghela napasku dalam mencoba menenangkan pikiranku yang mulai semrawut. Setiap kali aku mencoba mengembuskan napas, decakan keluar dari mulutku menggantikan ketenangan menjadi sebuah kekesalan yang harus aku telan sendirian. Suasana hatiku semakin tidak stabil dan membuatku benar-benar kesal. Aku melempar handphone-ku ke atas kasur sejauh mungkin dari tubuhku tanpa ragu sedikit pun. Biar saja handphone-ku terbentur atau rusak, toh aku tak memedulikannya. Hariku hancur. Malam tenangku hancur. Suasana hatiku hancur. Hancurkan saja semuanya, tak perlu tanggung-tanggung. 


Orang bilang, kembali menjalin hubungan dengan mantan itu seperti membaca buku dua kali: akan tetap berakhir dengan cerita yang sama.
Orang bilang, kembali menjalin hubungan dengan mantan itu akan membantumu belajar dari kesalahan yang telah lalu.

Orang bilang, jika kau menjalin hubungan dengan orang yang baru maka kau harus memulainya dari awal.

Persetan dengan mantan. Aku tidak akan pernah memberikan kesempatan kedua pada mantan yang meninggalkan jejak kotor pada alur cerita hidupku. 

Aku kembali melirik handphone-ku yang tergeletak dengan posisi menelungkup di atas kasurku. Aku raih kembali handphone-ku. Layar percakapan masih terbuka, ada beberapa pesan yang belum terbaca di sana. Masih dari orang yang sama. Aku tidak penasaran dengan isi pesan yang ia kirimkan, bagiku tidak penting. Tanpa melirik isi pesan yang ia kirim sama sekali, aku menyentuh layar handphone-ku. Tuntas sudah urusanku. Aku tersenyum puas dan genggaman tanganku melonggar sehingga membuat handphone-ku terjun bebas dari genggaman tangan menuju ke atas kasur lalu memantul ke arah lain dengan jarak beberapa sentimeter dari titik benturannya. 

Childish? Tidak. Aku hanya tidak ingin membiarkan seseorang yang memberikan dampak buruk bagi kehidupanku menginvasi lembaran baru dalam kehidupanku.

Hey, kau mau maaf dariku? Tentu saja akan aku berikan.

Hey, apakah kau meminta kesempatan kedua dariku?
Ha ha ha. Jangan harap. Kau tahu, aku adalah Adila dan sekarang aku sudah berada di lain hati.

7 Juni 2018

Warashibe Chōja (Saudagar Jerami)

5:20 PM 0 Comments
Jangan ragu untuk melakukan kebaikan sekecil apa pun. Sebab, kebaikan yang kau lakukan akan mendatangkan kebaikan yang lebih besar.
わらしべ長者 (Warashibe Chōja)

Pada zaman dahulu kala, di suatu tempat, hidup seorang laki-laki bernama Tarō. Tarō setiap hari rajin bekerja, tetapi ia tidak pernah mendapatkan sesuatu yang baik. Suatu hari, Tarō berdoa kepada Dewi Kwan Im.

"Aku harap ada sesuatu yang baik datang kepadaku. Aku mohon."

Setelah itu, pada malam harinya, Tarō bermimpi. Di dalam mimpinya, ia berbicara kepada Dewi Kwan Im.

"Tarō, jagalah sesuatu yang kau pungut besok. Kemudian, berjalanlah ke arah timur sambil membawanya. Niscaya akan ada hal baik datang kepadamu."

Keesokan paginya, ketika ia berjalan menelusuri jalan, ia tersandung. Kemudian, ia tersadar, ia membawa setangkai jerami di tangannya. Tarō membawa jerami itu dengan hati-hati dan mulai berjalan ke arah timur. Karena ia merasa kesepian berjalan sendiri, ia pun menangkap seekor serangga. Ia mengikat serangga itu pada jerami yang ia bawa lalu ia pergi berjalan lagi.

Setelah beberapa saat, ada seorang bayi tengah menangis. Ibunya memeluknya sambil menyanyikan lagu untuknya, tetapi bayi itu terus menangis. Ibunya kebingungan. Namun, ketika Tarō menunjukkan serangga, bayi itu berhenti menangis lalu mulai tertawa.

Ibunya bayi itu berkata kepada Tarō, "Bolehkah jerami dan serangga itu untuk saya?"

Tarō memberikan jerami dan serangga kepada bayi itu. Ibunya bayi itu sangat berterimakasih, ia memberikan tiga buah jeruk kepada Tarō. Tarō membawa ketiga jeruk itu, kemudian lanjut pergi berjalan ke arah timur. Kali ini, ada seorang wanita muda yang cantik duduk lemah lesu di jalanan. Di sebelahnya, berdiri seorang kakek tua terlihat khawatir.

"Apa yang terjadi?"

Ketika Tarō bertanya, kakek itu menjawab, "Katanya, Nona ini sedang sakit dan ia ingin minum air. Di manakah sumber air berada?"

Tetapi, tidak ada air di mana pun.

"Oh, ini ada tiga buah jeruk. Makanlah!"

Tarō memberikan jeruknya kepada wanita itu. Setelah wanita itu memakan semua jeruk, ia jadi pulih kembali.

"Terima kasih banyak."

Kakek dan wanita itu amat berterimakasih, mereka memberikan kain yang indah kepada Tarō.

Tarō membawa kain itu kemudian pergi berjalan lagi ke arah timur. Sore pun telah tiba. Kemudian, kali ini ada seekor kuda yang tergeletak di jalan. Samurai yang berdiri di sebelah kuda itu berkata kepada Tarō, "Hei! Kuda ini untukmu. Sekarang, dia sedang tidak sehat tetapi ini kuda yang bagus. Sebagai gantinya, kain indah yang kau bawa, kau berikan untukku."

Setelah berkata begitu, samurai itu meletakkan kudanya lalu membawa pergi kain indah itu. Tarō kebingungan. Namun, karena ia merasa kasihan kepada kuda itu, ia pun duduk di sebelah kuda itu lalu berdoa kepada Dewi Kwan Im. 

"Kumohon, bantulah kuda yang menyedihkan ini."
Tarō terus menerus berdoa tiada henti sampai pagi.

Ketika pagi telah tiba, kuda itu membuka matanya. Kemudian, ketika melihat ke arah Tarō ia langsung berdiri dan meringkik. Tarō sangat bersyukur, ia pun mulai berjalan ke arah timur bersama kuda itu. Tarō dan kuda itu tiba di kota. Di sana ada banyak rumah besar. Ketika berjalan melewati sebuah rumah besar, seorang laki-laki yang bekerja sebagai pembantu rumah itu berkata, "Kau membawa kuda yang keren ya. Pemilik rumah ini sangat menyukai kuda. Tunggu di situ sebentar!"

Segera, pemilik rumah itu keluar dari dalam rumahnya. Ketika melihat kuda itu, ia berkata kepada Tarō, "Wah, ini kuda yang hebat! Bolehkah kuda itu untuk saya? Sebagai tanda terima kasih, saya akan memberikan banyak ladang yang saya punya."

Demikianlah, satu batang jerami dan berakhir menjadi ladang yang luas. Tarō pun bersungguh-sungguh bekerja menggarap ladang itu dan menjadi orang kaya. Maka dari itu, semua orang menjuluki Tarō "Warashibe Chōja (Saudagar Jerami)".

***

Baca juga cerita pendek lainnya di sini

Diterjemahkan oleh: 


Nadhira Shafa

Picture source: web-japan.org

6 Januari 2017

Mosquito and the Lizard

9:36 PM 0 Comments
Suatu hari ada seekor cicak. Cicak itu berjalan di atas dinding. Merayap. Terus merayap sampai ke atap.

Ngiunggg ngiunggg.
Seekor nyamuk betina datang menghampiri. Dengung nyamuk yang nyaring membuat cicak mengejarnya.

"Sial! Cicak itu mengincarku!" dengus sang nyamuk sambil terbang menghindari cicak itu. Sang nyamuk mempercepat gerakannya. Ia mengepakkan sayapnya lebih kuat sehingga cicak tak dapat menggapai nyamuk karena gerakan nyamuk terlalu gesit. 

Cicak itu tak kuat mengejar nyamuk yang terbang dengan gesit. Kemudian, ia memutuskan untuk melompat dari dinding. Cicak itu merebahkan tangannya dan terbang mengikuti nyamuk betina yang tadi hinggap di kaki seorang manusia. Dengan kekuatan aliran darah dingin yang bersumber di bawah kulitnya, cicak itu asik terbang melayang mengikuti nyamuk yang terbang ke arah jendela untuk mencari jalan keluar.

"What the f#$@!" Sang nyamuk terkejut ketika melihat cicak terbang di belakangnya. Wush! Nyamuk betina terbang semakin kencang karena merasa terancam setelah menyadari cicak sedang mengincarnya. 

Cicak yang tidak memiliki bakat untuk terbang, kehilangan kendali. Energinya habis. Ia terbang ke sana ke mari dengan arah tak menentu. Berpusing ke kanan, berpusing ke kiri tak beraturan. Tubuhnya perlahan berubah warna menjadi biru.

Syunggg! Nyamuk betina keluar dari ventilasi jendela dan berhasil melarikan diri dari sang cicak. Cicak kehilangan jejak dari si nyamuk betina. Tubuhnya semakin lama semakin membiru karena energinya habis digunakan untuk terbang. Plukkk. Cicak terjatuh tepat di atas dada manusia yang tadi dihinggapi nyamuk. Dengan kesadaran yang lemah, cicak tak tahu di mana posisinya, yang ia tahu hanya ada gunung besar dan tebing yang curam. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, cicak itu merangkak penuh perjuangan melewati gunung dan lembah. Berulang kali ia terguncang karena manusia yang dihinggapinya berulang kali menggaruk dadanya.

Setelah berjuang melewati gunung dan lembah, cicak menghadapi jajaran tebing curam yang menjulang. Dengan usaha kerasnya, ia memanjat tebing curam. Meskipun berkali-kali terjatuh tetapi ia bangkit lagi. Dengan penuh perjuangan, ia sampai pada puncaknya, dagu manusia. Saat ia mencapai puncak, ternampaklah dua buah gua kecil di ujung sana. Namun, sebelum menuju ke gua kecil, terdapat sebuah kawah gelap dan dalam. Cicak itu berusaha melompati kawah gelap itu walau kadang beberapa kali terpeleset hingga hampir jatuh ke dalamnya. Setelah berhasil melaluinya, ia pun mencari perlindungan dari serangan makhluk liar lainnya. Cicak memasuki salah satu lubang pada dua buah gua kembar di hadapannya.

Selamat datang mimpi buruk. Cicak itu masuk ke dalam hidung manusia dengan penuh asa. Gelap. Lembab. Berlendir. Rasa lelahnya mampu dikalahkan oleh rasa penasaran. Cicak terus berjalan hingga menemukan lubang. Entah sebuah jalan keluar atau ia terjebak di gua semakin dalam. Setelah melaluinya, cicak terkesima melihat berbagai alat canggih. Layar besar, tuas, dan tombol berkelap-kelip di hadapannya. Tanpa pikir panjang, cicak menghampiri seperangkat alat canggih yang bisa dibilang seperti monitor utama penggerak tubuh manusia. Kebingungan melihat banyaknya tombol, ia menekan tombol hijau dekat tuas. Kemudian, pada layar monitor tampak langit-langit kamar dan lampu. Semakin penasaran, cicak menggerakan tuas yang berdiri tegak di hadapannya.

Srekkk. Berguncanglah tempat itu ketika ia menariknya dan layar monitor berubah tampilan menjadi sebuah lemari. Kemudian, cicak memutar tuas, dan tampilan layar monitor menyorot seluruh sudut ruangan. Akhirnya, cicak paham bahwa ruangan itu adalah ruangan kendali manusia.

Setelah memahaminya, ia mengotak-atik berkas dan memutar ulang kejadian yang dialami manusia. Cicak memutarnya secara acak di monitor kendali, kebetulan ia menemukan sebuah rekaman di mana sesuatu yang ia kenal hinggap di kaki manusia yang ia kendalikan. Tidak lain, nyamuk yang ia kejar. Dengan kemampuan scan barcode pada alat kendali manusia, cicak mampu mendeteksi keberadaan sang nyamuk melalui bau, suara, dan bentuk nyamuk secara akurat.

Data berhasil tersimpan.

Seluruh data tentang nyamuk sudah tersimpan, cicak memulai pencarian dengan mengendalikan tubuh manusia. Manusia itu bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan keluar atas kehendak si cicak. Beberapa meter berjalan, manusia sudah berada di luar rumah dan posisinya berada di taman berputar-putar untuk mendeteksi keberadaan nyamuk. Lampu ruang kendali berkedip menjadi merah, tanda target telah ditemukan. Tangan manusia bergerak mengambil kaleng yang ada pada genangan air di taman.

Ngiunggg. Suara dengung nyamuk nyaring terdengar. Lampu kembali berkedip tanda memang nyamuk ini lah yang sesuai dengan scan data yang cicak cari. Dengan mudah, nyamuk itu dicapit dengan dua jari manusia. Cicak yang mampu melihat dari monitor, mendekatkan nyamuk yang tertangkap ke depan pandangan manusia. Nyamuk betina yang mulanya berusaha melepaskan diri, berhenti memberontak dan melihat tepat ke kedua bola mata manusia. Ternampak cicak sedang melihat ke arahnya dari dua bola mata hitam itu.

"Hey, cicak! Apa maumu?! Jangan makan aku! Aku punya banyak jentik, mereka tidak bisa hidup tanpa aku!"

Ilustrasi Cicak dan Nyamuk

Cicak terdiam tak berucap. Cicak hanya menyeringai dengan tatapan jahat.

"Katakan apa maumu?! Kamu jahat! Dasar, cicak jahat! Makan saja aku!" teriak nyamuk tersulut amarahnya.

Cicak yang tak tahan mendengarnya pun mendekatkan mulutnya pada mikrofon. Suara cicak menggema dari mulut manusia yang dikendalikannya, "Ckckckck." 

Nyamuk mengerti apa yang diucapkannya. Ia bergeming setelah menuduh si cicak dengan asal. "Oh, jadi sebenarnya kamu hanya ingin berteman denganku? Benarkah? Kalau begitu keluarlah kamu dari tubuh manusia itu."

"Ckckck!" Suara cicak menggema dari mulut manusia lagi.

"Baiklah, buka mulut manusia ini dan kita bertemu di sana. Lalu, kita tinggalkan manusia ini bersama."

Cicak mendorong tuas dan membuka mulut manusia itu, sedangkan nyamuk melepaskan diri dari capitan manusia dan terbang ke mulut manusia untuk menjemput cicak. Melihat nyamuk sudah terbang ke tempat mereka akan bertemu, cicak pun berlari dan mencari jalan menuju kerongkongan manusia. Ia memilih sebuah lubang yang besar dan ketika itu kerongkongan tertutup sehingga sang cicak harus melompati tenggorokan manusia.

Hup! Cicak melompat dan mendarat di lidah. Nyamuk sudah menunggunya tepat di depannya.

"Hai cicak, namaku Mosquito," sapa nyamuk sambil mengepakkan sayapnya.

Hap! Seketika lidah cicak menjulur dan melahap nyamuk. Nyam nyam nyam. Santapan lezat untuk cicak. Usai melahap nyamuk, cicak hendak pergi meninggalkan tubuh manusia. Namun, lidah manusia ini lembab dan licin sehingga cicak harus berhati-hati agar tidak terpeleset. Perlahan cicak berjalan. Namun kakinya tidak dapat menempel seperti pada dinding. Nahas, cicak pun tertelan dan masuk ke kerongkongan. Ia mencoba menyelamatkan diri, tetapi percuma tubuhnya habis termakan asam lambung dan mati.

Tamat.

Ewww. Jijik hahahaha.

Baca juga kisah-kisah petualangan lainnya klik di sini

Ditullis oleh:


Michiko 

1 Juli 2016

Aku dan Senja

12:01 PM 0 Comments
Hello!
Aku baru balik nih. Berapa lama nggak nulis? Gara-gara kebanyakan malasnya. Jadi, aku pos di blog semaunya aja hehehe. 

Sekarang ada pembahasan baru nih, gosip terhangat sehangat tahu bulat lima ratusan yang digoreng dadakan gurih nyoy. Ah, jadi pengen tahu bulat. 
Hari ini, aku mau cerita tentang si doi. Kode-kode sedikit lah ya. Hari ini dia ulang tahun. Sebenarnya tulisan ini jadi ajang kode keras gitu deh hahaha. Semoga dia gak baca, mau ditaruh di mana muka aku kalau dia tahu aku bercerita tentang dia? Haduh, malu.

Aku sudah pernah cerita tentang dia sedikit, dia dikisahkan dalam postingan Secret Admirer. Disebutkan bahwa, aku menjadi penggemar rahasianya selama lima tahun. Jadi panggil saja dia Senja karena dia ini sangat tampan di kala senja. Nggak deng, bercanda. Pokoknya, kalau urusan asal-usul nama samaran cuma aku doang yang tahu kisahnya deh, soalnya ini rahasia.

Baca rahasia seorang penggemar rahasia: Secret Admirer


Jadi begini awal mula ceritanya...

HEY AKU DEG-DEGAN.
Ini adalah kisah cintaku di zaman SMP, cinta monyet yang masih bertahan sampai saat ini. 

Aku adalah seorang murid baru di sebuah sekolah Islam terpadu yang cukup dikenal untuk kalangan sekolah yang baru berdiri. Yap, aku merupakan siswa pindahan. Aku masuk ke sekolah ini setelah tiga bulan dimulainya pembelajaran. Di sekolah ini, kelas perempuan dan laki-laki dipisah. Namanya juga sekolah Islam terpadu, harus ada sekat jarak antara perempuan dan laki-laki. 

Nah, dari sini lah dimulainya kisah itu. Kelas perempuan saat semester pertama ada di lantai dua, sedangkan kelas laki-laki ada di lantai satu. Awalnya, kami nggak saling kenal sama sekali. Benar-benar nggak kenal. Jangankan berkenalan, tatap mata atau melihat wajahnya sekali saja sudah malu banget. Semester pertama, aku sama sekali nggak mengenal laki-laki dan banyak sekali desas-desus yang berkata kalau aku ini jutek bin judes. Emang iya sih, soalnya aku memang agak kasar kalau berhadapan dengan laki-laki. Entah kenapa, tapi itu reaksi yang selalu aku berikan kalau berurusan dengan laki-laki.

Semester kedua, kelas perempuan dan kelas laki-laki ditukar. Kelas laki-laki di lantai dua, sedangkan kelas perempuan ada di lantai satu. Dikarenakan kelas perempuan bersebelahan dengan tangga, jadi nggak jarang para siswi duduk di anak tangga, sekadar untuk nongkrong saat istirahat. Tahu sendiri lah ya, jalan untuk lewat kalau dipakai sebagai tempat untuk duduk dan bersantai, nggak bisa dipakai sebagai jalur untuk lewat. Tangga itu menjadi salah satu akses yang bisa dilewati oleh kaum Adam yang mau pergi ke kantin. Biasanya kalau risih, mereka lebih memilih untuk menggunakan tangga di ujung gedung. Tetapi kadang ada juga yang nekat sih melangkahi para siswi yang sedang duduk di tangga. Biasanya, yang berani lewat itu cowok yang agak "bandel" dan kepedean dan sok ganteng walaupun beberapa emang ada yang ganteng. 

Ternyata, kebiasaan duduk di tangga, nggak cuma jadi kebiasaan para siswi tapi para siswa juga sama. Bedanya, mereka nongkrong di anak tangga yang bagian atas yang ada di sebelah kelasnya. Dari sini nih, aku mulai mengenal Senja. Nggak. Bukan berkenalan secara langsung. Lebih tepatnya, digodain oleh guru yang masih muda, yang bisa dibilang gaul lah sama para siswa. Guru ini biasanya ikut nongkrong di tangga atas bareng sama para siswa, sekadar bercanda atau curhat. 

Awal mulanya, saat sedang istirahat jam pertama. Aku baru selesai jajan dan mau kembali ke kelas. Aku sedang melepas sepatu karena di kelas memang nggak boleh pakai sepatu. Saat sedang sibuk lepas sepatu, aku dipanggil sama guru gaul yang lagi duduk di anak tangga atas. Lalu aku menoleh ke atas dengan jajanan yang penuh di kedua tangan. Aku menggubris panggilan guru itu, ya iyalah, masa dipanggil guru nggak menoleh.

Saat itu, aku melihat seorang laki-laki berambut ikal dengan baju biru motif kotak-kotak dan celana putih. Dia duduk tepat di sebelah guru yang memanggilku. Aku cuma sekadar tahu, nama dia Senja.  

Seperti biasa, laki-laki kalau iseng bagaimana sih? Guru itu tiba-tiba berceletuk, "Nad, ada salam dari Senja."

Nah, saat itu aku yang notabene adalah wanita kasar dan jutek, jelas nggak suka kalau digoda seperti itu. Aku mendengus, bibirku ditekuk, dan mendelik judes. Setelah itu, aku pun lewat aja tanpa peduli dengan perkataan guru yang hobinya memasang-masangkan siswa siswi. Aku sadar sih, emang reaksi aku itu agak kurang ajar. Hahaha. Tetapi sebenarnya, aku deg-degan, malu atau senang, entahlah. Bahkan sampai kepikiran juga. Namanya juga bocah, diciein sedikit bisa langsung baper [read: bawa perasaan]. Ternyata, setelah kejadian itu, perasaan aku jadi terasa ada yang beda. Nggak berhenti dalam waktu sehari dua hari saja. Perasaan itu malah berlanjut sampai aku naik kelas. 

Saat itu, sebenarnya aku sudah punya orang yang aku suka. Memang hanya sekadar suka aja, bukan pacar. Tetapi setelah kejadian itu, aku malah nggak bisa melupakannya. Jadi, hatiku terbagi dua. Aku menjadi fans berat seseorang dan--baru sadar--suka dengan Senja juga. Aku mencoba untuk memilih salah satu, Senja bukan pilihanku walaupun perasaan itu sebenarnya masih tersimpan di dalam. Aku nggak mengembangkan perasaanku pada Senja karena lebih fokus dengan orang satunya. Selama satu semester, aku nggak terlalu fokus terhadap perasaanku pada Senja. Jadi, aku nggak terlalu penasaran siapa orang yang dia suka, seperti apa latar belakangnya, atau apa saja hal-hal yang dia suka. 

Semester selanjutnya, aku merasakan hal yang berbeda. Perasaan yang aku simpan dalam-dalam, justru muncul lebih besar. Perasaan suka pada Senja tiba-tiba muncul, mungkin karena saat itu aku juga sedang berpikir realistis karena merasa nggak memungkinkan untuk suka dengan orang yang jauh lebih tua daripada aku apalagi jarak umur yang begitu jauh. Saat itu lah, aku mulai terfokus dengan Senja. Aku mulai penasaran tentang dia, latar belakangnya, siapa orang yang pernah dia suka dan siapa orang yang dia suka saat ini.

Setelah mengulik banyak fakta tentang Senja, ada suatu hal yang mengejutkan. Jelas, aku juga menyesal baru mengetahuinya. Aku mengetahuinya lewat Senja secara langsung melalui SMS. Iya, kami diam-diam kontakan, walaupun memang ada aturan bahwa siswa dan siswi nggak boleh berhubungan lewat mana pun. Tahu sendiri lah, label Islam terpadu dilarang berbicara hal tidak penting kepada yang bukan mahram. Tapi lupakan saja soal itu, kembali ke hal yang mengejutkan saja. Aku terkejut ketika mengetahui orang yang disukai Senja. Senja suka dengan sahabatku sendiri. Benar-benar sahabat dekatku, orang yang selalu pergi ke mana-mana dan mengobrol banyak hal denganku. Walaupun itu masa lalu, tetapi jelas itu cukup membuat aku terkejut. 

Fakta menarik lainnya, yang nggak kalah mengejutkan, ternyata sahabatku juga masih menyukai Senja. Kami baru dekat sejak semester tiga dan dia nggak pernah cerita apa pun tentang orang yang dia suka. Saat masih semester satu, dia pernah suka juga dengan Senja, lalu rasa itu ia kubur dan dia nggak pernah membicarakan tentang perasaannya pada Senja kepada siapa pun, termasuk aku. Ah, kisah cinta macam apa ini. Aku sepertinya memang ditakdirkan hanya menjadi seorang figuran dalam kisah romantis seseorang. Dengan keadaan yang seperti itu, mana mungkin aku bercerita tentang Senja, kan? Bisa-bisa aku dicap sebagai seorang pengkhianat, bahkan persahabatan kami bisa terancam hanya karena menyukai laki-laki yang sama. Sering banget sahabat aku ini menanyakan tentang orang yang aku suka, tetapi aku nggak berani mengungkapkan yang sebenarnya. Jadi, aku jawab orang yang suka adalah orang yang umurnya jauh lebih tua daripada aku, orang yang pernah aku suka sebelum aku menyukai Senja. Nama Senja jangan sampai disebut dalam keadaan ini. Orang-orang di kelasku pun, jadi tahu kalau aku suka dengan orang yang jauh lebih tua daripada aku, padahal saat itu sebenarnya aku sudah move on dan hatiku tertambat pada Senja. Walaupun sahabatku pernah bilang, nggak masalah kalau misalnya aku suka dengan Senja, tetapi untukku rasanya kurang etis saja sih apalagi dia belum melupakan Senja. 

Berbicara tentang SMS dengan lawan jenis, sebenarnya aku mendapatkan nomor Senja nggak mudah dan mencari topik untuk mempertahankan obrolan juga sulit. Apalagi di bawah ancaman peraturan kalau berhubungan dengan lawan jenis akan dipanggil ke ruang kepala sekolah. Ngeri juga. Tetapi dengan kedok kepentingan, aku menghubungi Senja lewat salah satu media sosial dan mendapatkan nomornya. Setelah mendapatkan nomornya, aku bimbang harus aku hubungi atau nggak, antara mau dan malu. Akhirnya, aku menghubungi dia. Awalnya, mengangkat topik tentang OSIS, saat itu kami tergabung dalam divisi OSIS yang sama. Semakin lama, semakin sering kami berkomunikasi. Awalnya penting, lama-lama jadi basa-basi nggak penting, bahkan sampai aku tahu siapa saja orang yang pernah disukai Senja karena kami sering berbalas SMS. Kadang, aku curi-curi pandang ke arah Senja ketika sedang rapat OSIS. 

Selama satu semester aku bertahan, berusaha menutupi semua. Aku pura-pura nggak tertarik kalau ada yang membicarakan Senja. Lama kelamaan, salah tingkah juga. Aku nggak bisa mengontrol reaksiku saat ada suatu hal yang berkaitan dengan Senja. Ternyata, rasa itu makin membuncah dan nggak mau disembunyikan lagi sehingga menimbulkan kecurigaan. Bukan Senja yang curiga, tetapi teman-teman satu kelasku. Senja sih mana peka soal begituan. Lagi pula, mustahil juga Senja akan membalas perasaanku kalau dia tahu tentang perasaanku. Toh saat itu aku juga jelek, sedangkan Senja... sulit membayangkannya kalau kami bersanding. Bisa jadi kisah Beauty and The Beast, tapi aku yang jadi beast.

Satu tahun jabatan berakhir, jabatan dalam organisasi pun harus berakhir. Saat-saat terakhir untuk menghubungi Senja dengan kedok mengoordinasikan laporan pertanggungjawaban. Kami makin asyik SMS-an, dia juga nggak seformal dulu dan lebih banyak curhat. Aduh jadi nyaman, bau-baunya aku berada di friendzone. Aku nggak masalah sih, lebih baik Senja nggak tahu perasaanku daripada dia menjaga jarak setelah mengetahuinya. Setelah pengumpulan laporan pertanggungjawaban, aku nggak pernah berhubungan dengan Senja lagi selama tiga bulan. Aku juga nggak galau atau sedih sih karena saat itu aku sibuk persiapan Ujian Nasional dan membuat novel. Aku jadi nggak terlalu sering memikirkan Senja, lagi pula aku masih bisa kok melirik Senja di ruangan sebelah kalau akan pergi ke kantin karena ruang kelas kami bersebelahan. Dasar mata nakal. Di semester itu pula, desas-desus menyebar ke penjuru kelas bahwa aku menyukai Senja. Saat itu pula, hubunganku dengan sahabatku menjadi renggang, mungkin karena dia tahu juga aku suka dengan Senja. Barangkali dia merasa terkhianati. Maafkan aku ya, perasaan aku nggak bisa berhenti untuk menyukai Senja. 

Menjelang Ujian Nasional, kelas sembilan diajak rekreasi dan doa bersama. Hitung-hitung sebagai ajang untuk refreshing setelah diserang try out bertubi-tubi. Saat itu aku sedang dekat dengan Big Mama dan si Tomboy. Mereka menemaniku yang sedang makan di bus pariwisata, sedangkan yang lain sedang menikmati makan siangnya di taman. Saat itu, rupanya Senja duduk di belakangku. Si Tomboy yang usil dan suka ceplas-ceplos, dengan entengnya berbicara dengan Senja.

"Senja, mau makan nggak?" 

"Mau. Mana makanannya?" Senja sih mau-mau saja kalau dikasih makanan.

Si Tomboy menunjukku dengan dagu. "Tuh, minta ke Nad."

Aku yang sedang menggigit ayam, melirik ke arah si Tomboy, melotot dengan galak. Sialan, bisa-bisanya si Tomboy usil begitu.

Si Tomboy tertawa. Dia malah memprovokasi. "Nggak apa-apa, Nad. Terakhir, sebelum kelulusan biar dia tahu."

"Mana?" Senja mencari makanan. Entah dia mendengar ucapan si Tomboy barusan atau nggak. Sepertinya sih kedengaran, tapi dia pura-pura nggak peka.

"Senja, mau makan bareng Nad, nggak?" Si Tomboy tersenyum usil sambil menunjukku. "Tuh, diajak makan bareng sama Nad."

Aku melotot, memandang si Tomboy dengan tatapan galak. Emang, ini orang minta digetok kayaknya.

Senja melirik ke arahku, lalu dia tersenyum. "Nggak ada makanannya hehehe."

Si Tomboy tiba-tiba merebut wadah makanan yang aku pegang, menyodorkannya kepada Senja. Senja mengintip ke dalam isi wadah. Aku hanya bisa mengerutkan alis, mulai kesal dijahili si Tomboy terus-terusan.

"Ayam, bukan?" Senja melirik si Tomboy. "Nggak mau ah, tadi sudah kenyang makan ayam. Kirain makanan yang lain." Senja berlenggang melintas dan pergi.

Dasar si Tomboy menyebalkan! Kejadian ini bikin aku merasa malu banget, tetapi ada sedikit rasa berbunga-bunga juga sih karena sudah lama aku nggak berkomunikasi dengan Senja. Kejadian itu, membuat aku menghindar setiap kali akan berpapasan dengan Senja. Melihat wajah Senja, membuat aku malah teringat kejadian di dalam bus.

Setelah pulang rekreasi, semester terakhir di sekolah itu, kami mulai fokus belajar untuk menghadapi Ujian Nasional. Satu angkatan dipecah menjadi beberapa kelas, kalau nggak salah lima kelas, diurutkan berdasarkan ranking try out berturut-turut. Saat itu, aku masuk ke kelas A bersama orang-orang yang hampir semua pintar. Ternyata, Senja juga termasuk di dalamnya. Aku satu kelas dengan Senja. Senang tapi malu, aku belum bisa melupakan kejadian itu dan pipiku selalu memanas setiap kali berpapasan dengan Senja. Kelas A seringkali dibiarkan belajar mandiri, dibebaskan juga menentukan lokasi belajar asalkan tidak berpecah. Namanya juga masih pelajar, surganya sudah pasti kantin, jadi kami memilih kantin untuk belajar. Kami belajar bersama, membentuk dua lingkaran, satu lingkaran untuk sekelompok laki-laki, satu lingkaran untuk sekelompok perempuan. Kadang kami saling diskusi menemukan jawaban bersama. Sejak saat itu, aku nggak canggung lagi untuk berkomunikasi dengan Senja--tampaknya dia juga sudah lupa. 

Setelah ujian berakhir, kelas sembilan latihan untuk pertunjukan acara perpisahan. Kabarnya, Senja akan mendaftar di sekolah yang sama denganku. Wah, kesempatan untuk SMS-an lagi dengan Senja. Basa-basi menanyakan pendaftaran sekolah. Sudah lama banget aku nggak menghubungi Senja, mungkin hampir satu tahun. Akhirnya, kami saling bertukar informasi sambil menyelipkan sedikit curhat dan canda. Sampai tiba waktunya untuk pergi. Aku kira pendaftaran sekolah akan ditutup sebelum digelarnya acara perpisahan sehingga aku nggak ikut perpisahan. Aku merantau sebelum waktunya.

Kamu tahu apa yang terjadi setelah itu?

Saat aku berhenti di perjalanan untuk mampir di sebuah restoran untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan yang panjang lagi, teleponku berbunyi. Nomor yang nggak dikenal muncul di layar. Sebenarnya, aku enggan mengangkatnya karena takut telepon jahil tetapi akhirnya aku angkat juga karena takut ada hal yang penting.

"Halo, assalamu'alaikum." Suara di ujung telepon menyapa, suaranya lembut dan adem.

"Wa'alaikum salam. Maaf, ini siapa?" Aku bertanya karena nggak mengenali suaranya. Aku yakin itu bukan suara teman sekelasku karena mereka kalau berbicara nyaring seperti monyet Ragunan.

"Ini ibunya Senja."

S H O C K!

K A G E T.

Aku menarik napas dalam dan menahannya. Aku nggak mau suara napasku mengganggu dan menyinggung ibunya Senja. Gugup.

"Kata Senja, Nad mau masuk ke sekolah yang sama juga, ya?"

Ih, Senja cerita tentang aku ke ibunya. Aku senyum-senyum malu, nggak jelas. 

"Iya, Tante."

"Boleh tanya, nggak? Pendaftaran sekolah sebenarnya sampai tanggal berapa?"

"Sampai tanggal sekian Mei, Tante." Anggaplah aku menyebutkan tanggal. Jujur, aku lupa. "Tapi nanti kayaknya ada gelombang yang kedua."

"Oh begitu." Ibunya Senja terdiam sejenak. "Katanya, Senja mau ikut perpisahan dulu. Kasihan masa-masa terakhir dengan teman-teman."

"Oh begitu ya, Tante." Aku mengangguk walaupun ibunya Senja nggak bisa melihat anggukanku. "Masih bisa kok nanti ikut gelombang kedua."

"Ya sudah, nanti Senja ikut yang gelombang dua saja. Sekarang Nad sudah berangkat?"

Aku mengangguk lagi. "Iya, sudah, Tante."

"Sudah sampai mana?"

Aku melirik papan reklame restoran. "Sudah sampai Pekalongan. Ini lagi istirahat buat makan."

"Oh gitu, kalau gitu hati-hati di jalan ya, Sayang." 

S-A-Y-A-N-G. Suara lembut ibunya Senja membuat aku meleleh. Aku tersenyum lebar. "Iya, Tante, terima kasih ya."

"Iya, Sayang, sama-sama. Tante tutup ya, assalamu'alaikum."

Telepon terputus. Aku melompat senang nggak karuan. Senyuman merekah dan wajah memerah. Ibuku sampai penasaran apa yang membuatku kegirangan.

"Telepon dari siapa?"

"Calon mertua."

Bodo amat. Aku keceplosan tiba-tiba bilang begitu di depan ibuku. Aku terlalu senang. Jantungku berdebar dengan kencang. Senang sekali dipanggil "sayang" oleh orang tuanya Senja. Aku semakin baper lah.

Itulah perjalananku menjadi penggemar rahasia Senja selama tiga tahun. Sebenarnya, aku masih bingung. Apakah aku masih menyukai Senja atau nggak? Karena aku masih menutup pintu hati dan nggak membiarkan orang lain masuk untuk mengisi. Setiap aku mau membuka hati, aku malah teringat Senja lagi. Bisa dibilang ini sudah tahun ke-lima aku menjadi penggemar rahasianya. 

Baca juga kisah-kisah bucin lainnya klik di sini

Sekian kisah tentang Senja. Sepertinya sepotong kisah ini sudah terlalu panjang. Jadi, kapan-kapan lagi aku menceritakannya.

Have a nice day,


Michiko ♡

19 Januari 2016

Trouble Maker

1:28 AM 0 Comments
你好朋友们。^^
Ni hao pengyou men.
Halo teman-teman. 
Setelah selesai menjalani ujian praktik dan try out, akhirnya aku bisa bebas buat posting di blog lagi. Kangen gak? Hahaha. Hari ini mau bahas tentang apa ya? Bagaimana kalau bahas trouble maker? Bukan, bukan Trouble Maker Hyuna dan Hyunseung lho ya. Ini trouble maker di kelas Mandarin. Yup, kisah d'trebbles.

d'trebbles
(n) Julukan para trouble maker di kelas Mandarin. Bukan geng tetapi sekelompok orang dari komunitas satu kelas yang mengikuti kelas Mandarin. Berisi empat ekor manusia yang terlahir tak sempurna karena kesempurnaan hanyalah milikNya.

Sebelum masuk ke kisahnya, ayo kenalan dulu dengan anggota d'trebbles. 
Nad as Baobao (宝宝) 
Baobao artinya darling, baby. Orangnya pendek, badannya kurus tapi pipinya tembem. Baobao punya karakter sebagai orang yang cuek, ceplas-ceplos, dan berani. Kadang keberaniannya itu nggak tanggung-tanggung, malah dicap seperti orang yang nggak tahu sopan santun. 
Rani as Baobei (宝贝)
Baobei artinya treasure, darling, baby. Tinggi badannya sama kayak Baobao, badannya normal nggak kurus dan nggak gendut juga, pipinya lebih tembem daripada Baobao. Baobei punya karakter sebagai orang yang lembut, sopan, dan sensitif. Suaranya berat, mungkin tenor, mirip suara laki-laki dan agak serak. 
Farah as Qin ai (亲爱)
Qin'ai artinya dear, beloved, darling. Orangnya lebih pendek dari Baobei, kulitnya agak gelap mungkin sawo matang, berkacamata, agak semok. Qinai punya karakter sebagai orang yang ceria, suka tertawa, dan agak cengeng. Biasanya dia suka nangis kalau lagi bahas ujian Bahasa Mandarin. 
Rivi as Qing lü (情侣)
Qinglu artinya sweetheart, lovers. Orangnya lebih tinggi daripada Baobao, agak berisi, kulitnya kuning langsat. Qinglu punya karakter sebagai orang yang lembut, peduli sesama, dan penurut. Dia jauh lebih dewasa dari tiga anggota yang lain karena seperti punya sifat keibuan, jadi mommy d'trebbles.

Kalau ada sekelompok trouble maker, berarti ada yang terganggu atau ada suatu hal yang dikacaukan dong. Tentu saja, ada. D'trebbles adalah pengacau kelas Mandarin, yang paling berisik di kelas Mandarin daripada murid dari kelas lain. Selain mengganggu ketenangan kelas, D'trebbles juga suka mengganggu pengajar kelas Mandarin, kami menyebutnya Laoshi (老师).

Gambarnya mirip Laoshi kalau sedang marah (nyelip buat thumbnail)

Laoshi (老师) berasal dari bahasa Mandarin yang artinya guru. Ya, kami—anak-anak kelas Mandarin—memanggil mommy besar dengan sebutan Laoshi. Laoshi ini badannya besar, pipinya juga besar, cantik, pertama bertemu dengannya ia berambut pendek tapi sekarang sudah agak panjang sebahu. Pernah dapat beasiswa ke China makanya sekarang ia mengajar bahasa Mandarin di sekolahku. Karakter Laoshi ini seperti kerang. Luarnya keras tapi dalamnya lembut dan berharga. 

Ini adalah kisah ketika aku berada di bangku SMA. Kata orang, zaman SMA adalah masa-masa yang nggak pernah terlupakan. Mungkin, ini akan menjadi salah satu kenangan yang nggak terlupakan itu. Aku mau menceritakannya di blog ini, siapa tahu ketika aku sudah dewasa nanti, aku bisa membaca postingan ini lagi dan teringat masa-masa jahilin Laoshi bersama d'trebbles.

D'trebbles lahir karena sebuah kelas lintas minat yang diadakan oleh sekolah. Kami berempat berasal dari satu kelas yang sama, yaitu kelas MIA 4. Semester pertama, sekolah menyuruh seluruh murid kelas 10 untuk memilih kelas lintas minat, boleh kelas bahasa asing atau IPS. Kami berempat dipertemukan di kelas ini, kelas bahasa Mandarin. Sebagai siswa baru, jelas belum kenal siswa dari kelas tetangga, lagian dari kelas sendiri aja malah belum kenal semua. Oleh karena itu, kami yang latar belakangnya dari kelas yang sama dan bertemu di sebuah kelas peminatan yang sama, akhirnya memutuskan untuk selalu bersama dan duduk bersebelahan di laboratorium bahasa.

Pertama kali duduk di laboratorium bahasa, kami duduk di baris paling depan yang jauh dari meja pengajar. Saat pertama kali duduk di kelas itu, tegang dan hening. Nggak ada murid yang berani ngobrol sama sekali. Laoshi galak banget. Melihat ada yang mengobrol, nanti Laoshi akan menyuruh orangnya untuk mengobrol di depan kelas. Mendengar ada yang salah, langsung diomelin dan dikasih ceramah. Pokoknya dingin banget, kayak guru killer. Bahkan sekelas nggak ada yang berani bertanya walaupun nggak paham materi pembelajarannya. Seseram itu, guys. Kami lebih mirip seperti anjing yang sedang dilatih, bergeming dan nggak berkutik. Sampai setiap pelajaran bahasa Mandarin, pasti mengeluh dan malas banget untuk masuk ke kelasnya karena kegarangan Laoshi mengalahkan galaknya Kak Ros. Setiap masuk kelas pasti diceramahi, diomeli, pokoknya kuping bakal panas setiap jam pelajaran usai. Laoshi suka mendesak murid-muridnya buat belajar, belajar, dan terus belajar. Kalau sudah masuk kelas bahasa Mandarin, sepuluh menit bakal terasa seperti tiga puluh menit. Waktu terasa lambaaat banget! Nggak bohong deh, nggak betah banget. Asli.

"Kalau nggak mengerti, tanya!" Begitu kata Laoshi. Laoshi sering banget bilang begini kalau murid-muridnya diam karena nggak bisa jawab pertanyaannya. Padahal, boro-boro mau nanya, napas aja ditahan saking takutnya.

Suatu hari, pada pertemuan kelas bahasa Mandarin yang ke-sekian, ada sebuah materi yang sama sekali nggak bisa dimengerti. Biasanya, kalau nggak ngerti sih kami cuma asal tebak aja, mungkin maksudnya ini atau itu, karena nggak berani tanya Laoshi. Akan tetapi, kebetulan pas hari itu benar-benar nggak bisa dimengerti, bahkan dipikirin sampai otak bolong pun nggak paham maksudnya. Mau nggak mau, jalan satu-satunya ya bertanya. Rasanya saat itu, bingung dan takut. Kayak mau masuk ke goa yang isinya singa yang lagi lapar. Keringat dingin, jantung deg-degan, pokoknya tegang lah kayak menghadapi situasi antara hidup dan mati.

"Nad, tanyain ke Laoshi dong," Qinai menyuruh aku untuk bertanya.

"Ran, tanyain ke Laoshi dong," aku melemparnya ke Baobei.

"Riv, tanyain ke Laoshi dong," Baobei melemparnya lagi ke Qinglu.

"Nad, tanyain ke Laoshi dong." Sialan, malah dilemparin lagi oleh Qinglu ke aku. "Kamu kan berani."

Akhirnya, daripada sesi tanya jawab ditutup dan Laoshi ngamuk lagi karena murid-muridnya nggak paham, aku pun memberanikan diri untuk bertanya. Tepuk tangan, cepat!
Hatiku cenat-cenut. Peluhku menetes. Salah tingkah. Malu. Lidahku kelu. Merinding romaku. Otakku beku. Tubuhku lunglai. Pokoknya, Laoshi, I heart you! 

Bagaimana respon Laoshi setelah aku bertanya? 
DUAR! Hatiku meledak. Pengen aku lempar kursi gitu. Laoshi jawab pertanyaan dengan intonasi yang sinis dan jutek abis. Setelah itu, aku iyain aja walaupun nggak mengerti sepenuhnya. Padahal aku cuma mau tanya kata le (了) doang, tanganku sampai berkeringat dingin sedingin es batu. Itulah interaksi pertama kali dengan Laoshi. Respon yang didapat pun cukup menyayat hati, kayak habis ditolak mentah-mentah sama gebetan. 

Setelah tragedi itu, aku mulai mempelajari karakter Laoshi. Kira-kira apa yang bisa membuat Laoshi luluh dan nggak galak lagi? D'trebbles sering banget ngomongin tentang Laoshi, kadang sambat gara-gara Laoshi yang galak, kadang juga cari solusi untuk meredam kegarangannya. Akhirnya, ketemulah solusi untuk meluluhkan Laoshi. Apa hal yang bisa membuat Laoshi luluh? Pertemanan dan candaan. 

Akhirnya keempat bocah nakal ini menyusun strategi buat PDKT dengan Laoshi. Awalnya, basa-basi aja dengan pertanyaan-pertanyaan dan berusaha peka dengan materi yang Laoshi sampaikan. Meskipun otak kami nggak pernah jalan kalau ada di kelas bahasa Mandarin. Berusaha memperhatikan Laoshi yang sedang mengajar, mata tetap tersorot ke arah papan tulis yang berisi tulisan hanzi. Pura-pura mengerti maksud tulisannya, padahal cuma bisa baca wo (我) dan ni (你) doang. Pokoknya, kami rela untuk melek aja, memperhatikan walau otaknya kopong. Intinya, Laoshi cuma mau dihargai saat sedang mengajar. Beberapa kali bertanya, responnya selalu sinis tetapi lama kelamaan jadi biasa. 

Benar kata pepatah, witing tresno jalaran soko kulino. Saat kami duduk di bangku kelas sebelas, Laoshi semakin lunak. D'trebbles sering banget menyisipkan candaan setiap Laoshi menyampaikan materi pembelajaran. Sejak saat itu, entah karena d'trebbles yang emang kurang didikan atau murid-murid kelas lain yang terlalu sopan, kelas bahasa Mandarin jadi berisik dan santai. Untungnya, itu nggak menyulut amarah Laoshi sih karena kami masih tetap memperhatikan walaupun hasil UTS dan UAS mepet batas tuntas. Biar saja lah ya, teman-teman kelas bahasa Mandarin juga nilainya sama. Jadi, ada kawan sepenanggungan hahaha. Laoshi jadi lebih sering berbaur dengan muridnya. Kadang nyindir juga, menindas d'trebbles karena dianggap pembangkang yang beretika. 

Pelajaran bahasa Mandarin jadi nggak menyeramkan seperti awal masuk kelas. Laoshi lebih sering mengajak murid-muridnya untuk bernyanyi bersama, mendengarkan lagu-lagu berbahasa Mandarin. Kadang kalau jenuh belajar, Laoshi mengajak nonton film-film China juga. Tahu sendiri biasanya pelajar emang paling suka kalau di kelas nggak belajar. Mending dengar kisah hidup guru daripada buka buku. Mending menonton film daripada menonton papan tulis. Hanya saja, biasanya sebelum bebas dari materi pembelajaran, Laoshi punya syarat: "Kalau mau nonton film, kalian harus sudah mengerti materi dan dapat nilai bagus untuk UTS/UAS ya?"
Iyain aja dulu, masa depan nggak ada yang tahu. Bagus nggak bagus hasilnya, tergantung nanti aja ke depannya, yang penting nonton film. 

Sekarang, d'trebbless sudah duduk di bangku kelas dua belas. Harusnya sih, agak kalem sedikit gitu ya. Meminta restu, taubat sedikit karena mau ujian. Eh ini, malah sama saja berisik dan urakan kayak biasanya. Saat kelas dua belas, materi pembelajaran bahasa Mandarin nggak terlalu banyak karena sudah dihabiskan materinya waktu kelas sebelas pakai sistem kebut. Alhasil, di kelas dua belas kami hanya belajar tentang hobi dan menambah kosa kata tentang profesi. Kelas bahasa Mandarin juga lebih sering kosong karena Laoshi sibuk. Sekarang, Laoshi nggak cuma handle anak-anak bandel kayak kami, tetapi handle ekskul pramuka juga. Kalau pelajaran kosong, kami lebih sering diberi tugas, walaupun nggak pernah kami kerjain sih. Sebab, Laoshi bilang soal-soalnya buat latihan ujian sekolah. 

Setiap jam pelajaran dikosongkan, laboratorium bahasa terasa hampa. Soalnya, nggak ada siswa lain yang datang ke kelas bahasa Mandarin, kecuali d'trebbless. Yup, d'trebbless adalah setan penjaga laboratorium bahasa. Laboratorium nggak ada yang pakai, ruangannya juga ber-AC, jadi enak untuk dipakai santai daripada kelas yang panas. Nggak jarang, d'trebbless menggila saat jam kosong. Berlagak dugem, padahal lagunya mellow. Menari gila di laboratorium. Foto narsis berempat. Pokoknya, kami berempat melakukan apa yang bisa kami lakukan aja. Laoshi datang atau nggak, pokoknya kami akan ada di sana saat pelajarannya. 

Baca juga kisah-kisah anehku di sekolah dan kampus klik di sini

Kenapa d'trebbless tetap datang ke laboratorium bahasa?
Kami terlanjur sayang dengan Laoshi. Kami kangen Laoshi, tapi nggak kangen dengan materi pembelajarannya ya. Mau aja gitu datang ke sana buat menemui Laoshi, sekadar berbagi cerita atau bercanda, menghabiskan sisa waktu bersama sebelum kelulusan SMA. Setelah itu, mungkin D'trebbless nggak akan selalu bersama lagi. Bahkan nggak bakal sering bertemu dengan Laoshi karena pasti d'trebbless sudah mulai sibuk dengan urusannya masing-masing such as assignment, job, event,  and their own life.

Itulah alasan mengapa tadi aku tulis bahwa Laoshi seperti kerang. Awal berjumpa, keras banget dan tangguh sampai sulit untuk disentuh hatinya. Tetapi ternyata setelah membuka cangkangnya, bisa dilihat di dalamnya begitu lunak dan terdapat mutiara yang berharga di dalamnya. Awal bertemu dengan Laoshi memang rasanya mencekam, tapi setelah tiga tahun bersama Laoshi, d'trebbless punya kenangan.

Thank you, Laoshi. You're like a mommy for us.
Thank you, d'trebbless. We have been living as partner in crime for three years.
See you guys on top!

Sincerely,


Baobao ♡