6 Januari 2016

Time Management

8:48 PM 0 Comments
Time Management

Berhubung jadwalku belakangan ini padat, aku juga sedang persiapan untuk ujian kelulusan, mungkin aku nggak akan terus-terusan posting di blog sampai aku punya waktu senggang. Karena jadwalku yang padat ini, sudah pasti aku membutuhkan cara untuk mengatur waktu ketika ada acara. Bagi kamu yang sibuk dan sering bingung kalau ada hal yang harus dilakukan bersamaan, di sini aku mau berbagi tips untuk mengatur waktu.

Kerap kali kita kewalahan dengan waktu. Harus melakukan ini dan itu secara bersamaan. Pikiran jadi terpecah belah nggak karuan. Bingung mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Apalagi kalau harus mengejar deadline. Rasanya mencekik banget. Kita harus berjuang mati-matian untuk kejar deadline bahkan sampai harus begadang dan menyita waktu pokok untuk melakukan kegiatan yang lain. Repot banget, kan?

Tetapi kamu nggak akan kerepotan kalau kamu bisa mengatur waktu. Memang, agak sulit untuk disiplin waktu apalagi manusia-manusia Indonesia yang menganut paham "Jam Karet". Namun, cobalah sedikit berubah jadi lebih baik. Waktu itu hal yang paling berharga. Waktu nggak akan kembali walaupun jumlahnya sepersejuta sekon. Makanya, jangan pernah sia-siakan waktu. Kesempatan gak pernah datang dua kali. Hari ini bisa santai, tapi besok? Maka dari itu, aturlah waktu dengan sebaik mungkin. Caranya...

1. 24/3

Apa maksudnya?
Maksudnya adalah membagi 24 jam waktu yang kita punya dalam sehari untuk tiga hal. Delapan jam untuk tidur, delapan jam untuk belajar, delapan jam untuk sosial. Normalnya, manusia tidur selama delapan jam. Delapan jam itu bisa dipecah lagi untuk istirahat, tidur siang, dan tidur malam. Delapan jam untuk belajar bisa digunakan untuk bekerja, mengerjakan tugas, atau belajar. Delapan jam yang tersisa digunakan untuk bersosialisasi seperti menghabiskan waktu bersama keluarga, mengobrol sejenak agar nggak terlalu stres.

2. Everyday is working day

Sekali pun hari libur, jangan pernah malas-malasan. Cobalah untuk mengerjakan tugas yang belum selesai. Kalau gak ada tugas, mulailah berkarya dan mengembangkan skill. Bisa juga mengisi hari libur dengan melakukan hobi di dunia luar misalnya berenang, travelling, hanging out, fotografi, dan lainnya. Eits, hobi tidur dan hobi online gak termasuk ya. Setidaknya, ada waktu buat kamu santai dan menyegarkan pikiran. Karena kalau bermalas-malasan di hari libur, biasanya rasa malas itu akan menempel sampai esok harinya.

3. The important one is the main

Urutkan suatu acara atau kegiatan berdasarkan prioritas. Hal-hal yang menurut kamu adalah prioritas harus diselesaikan terlebih dahulu. Fokuskan pikiran terhadap hal tersebut dan bekerja secara maksimal. Jangan sampai mengerjakan beberapa hal dalam satu waktu. Serius, itu nggak akan memberikan hasil yang maksimal.

4. First invitation is priority

Kalau menurutmu semua hal itu penting dan harus diprioritaskan, maka urutkan hal itu berdasarkan waktu kamu menerima pekerjaan tersebut. Misalnya, kamu mendapat undangan rapat dan acara keluarga secara bersamaan. Kamu harus memilih di antara keduanya, mana yang kamu prioritaskan itulah yang akan kamu pilih. Kalau keduanya penting, urutkan berdasarkan waktu undangan. Siapa cepat, dia dapat.

5. Make a list about your activities

Buatlah daftar kegiatan sehari-harimu, dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Kalau nggak sanggup untuk menuliskannya setiap hari, minimal tulislah apa saja yang harus kamu lakukan hari ini. Tulis acara yang harus dihadiri, kegiatan yang harus dilakukan, tugas yang didapatkan, target yang harus dicapai sehingga kamu nggak lupa dan mempersiapkan semuanya.

6. Perhitungan waktu

Perkirakan waktu untuk setiap hal yang kamu kerjakan. Berapa lama waktu yang dihabiskan untuk mengerjakan sesuatu hal? Dengan begitu, kamu bisa disiplin terhadap jadwal yang kamu buat. Biasakan melakukan sesuatu dengan tepat waktu. Terlambat sedikit saja, bisa membuat jadwal kegiatan yang tersusun rapi menjadi berantakan.

7. Jangan malas

Malas adalah penyakit utama setiap orang. Biasanya timbul karena media sosial, gadget, televisi, radio, kasur, dan alat yang mengganggu lainnya. Gejala yang timbul dari kemalasan adalah kebanyakan rebahan, nggak mau berkarya, banyak tidur dan banyak alasan. Cobalah tinggalkan sejenak hal yang membuat kamu malas selama masih ada hal lain yang lebih penting untuk dikerjakan. Setelah semua selesai barulah boleh malas.

Ingat guys!
今天不努力工作,明天努力找工作。
Jintian bu nuli gongzuo, mingtian nuli zhao gongzuo. 
Artinya: Hari ini tidak rajin bekerja, besok rajin mencari kerja.

Ini pepatah dari China. Di mana orang yang bermalas-malasan untuk belajar hari ini, maka pekerjaan pun akan malas untuk menghampirinya. So, ayo bangun dan berkarya!

Baca juga tips-tips kehidupan yang lainnya di sini

Have a nice day


Michiko ♡

3 Januari 2016

Roda Kehidupan

12:59 AM 0 Comments

Secercah harapan datang dari sebuah angan 
Bayang-bayang melayang di alam bawah sadar 
Mimpi 
Sesuatu yang diimpikan tak pernah lepas dari hasrat untuk menggapainya 
Takkan tercapai mimpi itu jika masih tetap duduk menanti kepastian 
Seolah mimpi yang akan menghampiri dan membuat semua menjadi kenyataan
Namun, tahapan inilah yang paling indah
Tanpa gerak sedikit pun dapat dibayangkan indahnya angan
Namun, hanya sebuah fatamorgana dan menyenangkan sesaat

Mencoba menggapainya dengan segala usaha dan kemampuan
Melakukan apa pun demi tercapainya mimpi
Terobsesi dengan apa pun yang bisa mewujudkan mimpi 
tanpa melihat banyak duri-duri yang siap menusuk kaki setiap mencoba untuk melangkah
Memang sakit tertancap duri yang menghalangi setiap langkah untuk mencapai sebuah mimpi
Namun, semua dapat terlewati dengan semangat untuk mencapainya

Langkah demi langkah mengantarkan raga pada sebuah mimpi yang menunggu di sana 
Duduk manis meringis pada jiwa yang tertatih untuk menggapainya 
Mengolok nafsu dalam jiwa agar tetap bergejolak 
Memancing emosi untuk tetap kuat bertahan 
Sampai mimpi itu kudapat, kugenggam erat agar ia tak pergi sesuka hati

Namun, roda pedati teruslah berputar 
Membawa diri terjun bebas dari kejayaan 
Menggenggam erat segala yang telah diperoleh untuk tetap bertahan 
Namun, roda terus memaksaku untuk jatuh 
Jemari yang menggenggam erat sebuah mimpi terlepas satu per satu 
Hingga tiada tempat untuk bergantung lagi 
Terhempas tubuhku beserta seluruh angan dan jiwaku 
Membantingku ke tanah, meninggalkan langit tempatku bergantung 
Terhempas
Terseret
Terinjak 
Raga lelah beralih menjadi lemah
Tiada upaya untuk tetap berada di atas 
Hingga raga jatuh dan terluka 
Harus diperjuangkan lagi mimpi yang pernah hilang dari genggaman,
menggenggamnya erat tanpa pernah melepaskannya

Baca juga puisi-puisi yang lain di sini

Ditulis oleh:


Michiko

2 Januari 2016

Kado Ulang Tahun Nonny

6:09 PM 0 Comments
Hari ini kawanku ulang tahun. Delapan belas tahun, tua ya? Cieee yang sudah tua. 

Aku terjaga semalaman, membaca-baca tulisannya sambil tertawa dan kagum karena bahasanya yang alay [read: majas]. Scrolling up and down buat lihat siapa saja sih yang mengucapkan "selamat ulang tahun" untuknya. Wow. Banyak. Berarti banyak banget orang yang sayang dia.

Aku? Mengucapkan selamat ulang tahun? Emm, nggak dulu deh. Nanti saja, aku ucapkan terakhir kali. Aku nggak mau kalau ketika aku mengucapkan "selamat ulang tahun" ternyata ucapanku nggak terbaca karena tenggelam dengan ucapan dari orang lain. Kan sakitnya tuh di sini. Aku nggak bisa kasih apa-apa di hari ulang tahunnya ini, misalnya jam weker atau cincin yang mengukir nama kita berdua gitu. Hahaha. 
Maaf, bukannya pelit atau gak mau bermodal sedikit, yang mau aku sampaikan hanya doa setulus hati.Cielah. Semoga Allah, melindungi kamu, tercapai semua angan dan cita-cita kamu. Mudah-mudahan, diberi umur panjang, sehat selama-lamanya. 
#backsound: JAMRUD - Selamat Ulang Tahun.

Nggak banyak sih yang bisa aku katakan, karena bagaimana ya... mau merayakannya masa orang yang kehilangan umurnya dirayakan, seolah itu tuh seperti senang kalau orangnya cepat mati. Aku sih hanya bisa doakan yang terbaik. Semoga kamu semakin rajin, semakin pintar, semakin sholeha, semakin bertakwa kepada Sang Pencipta. Aku juga mau ucapkan terima kasih, aku belum sempat mengucapkannya secara langsung. Terima kasih sudah mau jadi kawanku, yang mengajakku berbuat kebaikan, menuntunku untuk tetap berjalan di tengah kesulitan, mengukir indahnya kenangan di tengah kepedihan. Asik.

Dia [re: Nonny] ini kawanku sejak zaman purba. Sedikit cerita nih tentang persahabatan aku, aku bertemu dia waktu MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik). Badannya kurus, mungil, gak kayak aku bantet, tapi itu dulu ya. Orangnya kelihatan pendiam, tapi karena tugas properti untuk MOPD harus dikerjakan bersama, dari situ dia sudah mulai agak berkicau sedikit walaupun aku nggak sadar kalau itu dia. 

Setelah seminggu berlalu, kelas dipisah lagi. Aku berpisah sama dia, aku di IPA 4 dan dia di IPA 7. Tapi... you know what? Aku mencoba masuk kelas karantina olimpiade fisika dan aku bertemu manusia itu lagi. Ya, si mungil, hahaha. Dari sana lah aku mulai dekat dengannya dan saling terbuka. Bahkan sampai aku sering dikatain gila sama dia (huhuhuhu) karena tingkahku yang katanya "nggak waras". Semenjak itu, aku dan dia kayak si kembar yang tak terpisahkan gitu. Ke sana ke mari bersama.

Dok. Pribadi: Momen ketika study tour ke Pantai Pandawa, Bali

Kita punya banyak kesamaan, jadi aku merasa nyaman saja dekat dan bersahabat dengannya. Dari mulai golongan darah sampai jalan hidup pun sama. Terharu banget gitu ya, hidup bisa satu alur begitu. Jadi, bisa nyambung aja di segala obrolan yang ngalor ngidul.

Lemme describe about her.

Dia bergolongan darah O.
Lahir 2 Januari 1998.
Alamat rumah? Jangan kepo deh. Nanti dia diapelin orang, siapa yang bingung. 
Cita-citanya jalan-jalan jauh sama aku. HAHAHAHA.
Hobinya? Foto selfie. 

Hobinya sama kayak hobiku. Foto selfie, cantik sedikit, cekrek! Cantik banyak, cekrek! Cantik banget, cekrek cekrek! Ke mana-mana kalau aku bersama dia pasti take shoots melulu kayak lagi gelar photoshoot on the road, entah mau beribu kali atau sekali yang penting momen saat itu terabadikan.
Momen yang paling banyak foto selfie-nya? Waktu ke bali, pinjam tongsis dan narsis. Waktu dia main ke rumahku, narsis habis lah. Sampai buat video di hari itu, tapi aku belum punya videonya. Gimme that videooooo!

Aku dan dia memang punya banyak kesamaan, tapi minat kami berbeda. Dia suka menulis, aku suka menggambar. Dia suka hal yang berbau penelitian, aku suka hal yang berbau relasi dan bahasa. Ya, tapi aku dan dia tetap Bhineka Tunggal Ika. 
Baca juga kisah-kisah indah tentang pertemanan yang lainnya di sini

Tahun ini, tahun di mana kami menghabiskan waktu bersama. Hiks. Sedih ya. This year, we will graduate and continue to the college university. Mudah-mudahan, kamu bisa masuk  ke kampus yang kamu minati ya.

Nanti kita sama-sama sibuk, mungkin jarang ada waktu buat smsan atau bahkan telfonan. Tapi jangan kamu lupakan kenangan yang pernah kita ukir bersama. Nanti aku telfon kamu deh, tapi kalau ada pulsa HAHAHAHAHA.

Terima kasih untuk ukiran kasih yang menyamarkan luka di hati. Semangat!

Selamat ulang tahun, mudah-mudahan hidupmu selalu bahagia dan diberkahi oleh Allah.


Michiko ♡

17 Desember 2015

Vila Kematian Bagian 3

3:01 PM 0 Comments
“Keni!” Aku meneteskan air mata tiada henti. Bahuku terasa berat. Bulu kudukku meremang, ada tangan yang menyentuh bahuku. Aku menoleh ke belakang, “Aaa!”

***

Cerita Pendek: Villa Kematian


Aku terbangun mengakhiri seluruh mimpi buruk ini. Nafasku tersengal ketika aku membuka mataku dan melihat sekelilingku baik-baik saja. Aku melihat ke dalam pelukanku, novel yang tadi kubaca masih berada dalam genggaman. Rupanya tadi hanya sebuah mimpi buruk. 

Aku beranjak dari tempat tidur, kepalaku terasa berat. Keadaan sama persis di dalam mimpi. Indra sedang memainkan PSP-nya dan Rangga berdiri di ambang pintu. Aku memutar kepalaku, Keni persis berada di dapur.

“Kevin sama Shera mana?” tanyaku.

“Lagi di luar, beresin barang.”

Suara ketukan pintu itu terdengar dan mengejutkanku. Keni yang sedang berada di dapur langsung berjalan keluar untuk memastikan.

“Keni! Jangan!” cegahku.

“Lu kenapa sih, Nes? Gue hanya mau memastikan saja.” Keni kembali melangkah. Aku langsung menerkamnya dan menghalangi langkahnya.

“Jangan! Abaikan saja, itu hanya tikus.”

Suara ketukan itu semakin keras. Suara erangan Indra menggema mengisi ruangan. “Arrgh! Jadi kalah. Suara apa sih itu? Jadi bete gue!”

Indra beranjak dari sofa dan keluar villa. Langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan Kevin yang membawa barang dari bagasi mobil. Indra melewatinya, suasana hatinya mulai kacau karena suara ketukan yang semakin nyaring. Kevin yang penasaran menghampiri pintu itu.

“Kevin, jangan!”

Kevin berdiri di depan pintu yang tertutup rapat. Ia memandangi kunci yang menggantung. “Ruangan apa nih? Ada kuncinya tapi gak pernah dibuka.”

“Jangan dibuka!” seruku.

Kevin tidak menghiraukanku, ia membuka pintu itu. Ia tersentak melihat ke dalam, “Wow, gudang ternyata.”

Keni melepaskan cengkraman tanganku. Ia berjalan mendekati Kevin, “Jadi ada gudang di sini? Barangnya banyak banget.”

Keni dan Kevin masuk ke dalam gudang tersebut, aku tidak berani untuk ikut masuk. Mimpi tadi, bukan sekedar mimpi tetapi seperti kenyataan. Aku terpaku di luar ruangan, menunggu Kevin dan Keni puas memandangi seisi gudang. Namun, beberapa langkah mereka menginjakkan kaki di dalam pintu gudang langsung tertutup rapat. Lamunanku langsung buyar ketika mendengar nyaringnya suara pintu gudang.

“Kevin! Keni!” Aku segera menarik gagang pintu itu, tetapi tidak terbuka seolah pintu itu terkunci dari dalam ruangan. “Rangga! Indra! Shera! Bantu gue!”

Rangga langsung menghampiriku. Ia langsung mendesak dan berusaha membuka gagang pintu.

“Woy! Keluarin gue dari sini!” teriak Kevin dari dalam.

Jeritan melengking seorang perempuan terdengar dari dalam. Keni memekik meminta pertolongan. “Kevin tolong! Aaa!”

Suara Kevin juga terdengar jelas berteriak bersamaan dengan Keni. Rangga masih berusaha mendobrak pintu. “Keni! Keni! Sayang?!”

Sunyi dan hening, suara dari dalam gudang tidak terdengar lagi. Rangga terus berusaha mendobrak pintu dan akhirnya ia berhasil menerobos masuk. Tubuhnya langsung kaku dan tersentak, kekecewaan, penyesalan, dan amarah menjalan di tubuhnya. Urat kemarahannya tampak jelas di wajahnya. Aku masuk ke dalam untuk memastikan keadaan. Tubuh bersimbah darah membuat lidahku kelu. Marah pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak bisa mencegah Keni dan Kevin untuk tidak masuk ke dalam ruangan terkutuk ini? Aku jatuh terduduk penuh penyesalan, meratapi kepergian Keni yang tewas secara tragis. Air mata jatuh membasahi pipi, aliran deras di ujung mata ini menahan sakit pelepasan yang tidak wajar ini.

Kami memanggil polisi untuk datang mengidentifikasi Keni yang tewas secara tragis. Kevin dimintai keterangan tentang hal itu, karena ialah satu-satunya saksi yang berada pada lokasi kejadian. Setelah beberapa jam menunggu, Kevin selesai diinterogasi. Kami masih duduk di ruang tunggu untuk mendiskusikannya.

“Lu semua sekarang percaya apa yang gue katakan tadi pagi kan? Semakin lama kita tinggal di villa itu, semuanya semakin gak beres.”

“Nes, lu hanya terpukul tentang kejadian ini,” sahut Indra.

“Dra! Di situasi begini lu masih bisa bilang gue terpukul? Teman kita hilang satu, Dra! Lu gak pantas bilang begitu.”

“Sudahlah, jangan buat Rangga semakin sedih. Dia sudah kehilangan Keni, sekarang kalian malah ribut begini,” celetuk Kevin.

“Gue gak percaya, ini bisa terjadi sama kita.” Rangga menggelengkan kepalanya.

“Hari sudah mulai gelap, lebih baik kita balik ke villa dan istirahat. Setelah itu, besok pagi kita pulang.”

“Gue gak ikut pulang sama kalian, gue mau balikin jenazah Keni ke orangtuanya. Gue mau menghadiri pemakamannya.”

“Lu mau pulang naik apa, Ga?” tanya Shera.

“Dari sini gak terlalu jauh dari kota, gue bisa naik bis atau taksi buat balik.”

“Ya sudah, lu hati-hati di jalan.”

Rangga beranjak dari tempat duduknya. Ia keluar dari kantor. Kami kembali berunding lagi. Suara klakson terdengar nyaring di depan kantor polisi. Kami langsung beranjak dari tempat duduk dan melihat situasi di luar. Sontak saja aku menutup mulut dan membendung air mata. Satu temanku kembali tewas secara tragis. Ia tertabrak mobil truk yang melintas ketika hendak menyebrang. Pikiranku semakin berkecamuk dalam kekalutan.

“Kita gak bisa diam, kita harus cari sumber masalah ini. Gue gak mau kehilangan kalian,” tegasku.

“Tapi kita mau cari ke mana, Nes? Mereka semua sudah memperingati kita tapi kita saja yang gak percaya bahkan menertawakan mereka. Lalu sekarang kita mau memohon mereka buka mulut?” desak Indra.

“Dra! Gue gak mengerti sama jalan pikiran lu. Kenapa lu berlagak seperti orang yang tahu segalanya. Seolah lu gak mau tahu tentang kejadian aneh yang menimpa kita semua.”

“Bukan begitu, gue hanya...”

“Apa lu rencana di balik semua ini?” tuduh Kevin.

Pandangan kami pun langsung tertuju pada Kevin dan Indra. Mata Kevin menyorot tajam seolah menyudutkannya.
Indra tampak gelisah. “Lu ngomong apaan sih, Kev?”

“Kalau begitu kita harus cari kebenarannya,” tegas Kevin.

Kami pun segera memasuki mobil. Kami menelusuri jalanan berkabut awan menuju ke arah villa. Target pertama kami adalah penjaga villa, Kang Ujang.

“Kang, saya boleh tanya, villa ini dulunya dihuni siapa ya?”

“Memangnya kenapa?” tanya Kang Ujang dengan logat sundanya.

“Kami merasa villa itu janggal,” celetuk Kevin.

“Kang Ujang teh memang sudah lama kerja di sini, mungkin sekitar sepuluh tahun. Tapi, semenjak Kang Ujang kerja di sini, villa ini sudah kosong tidak ada yang menempati.”

“Terus Kang Ujang pernah merasa ada kejanggalan di villa ini?”

“Oh, kalau kejanggalan mah Kang Ujang sudah biasa. Kang Ujang teh kalau lagi patroli malam suka mendengar suara bayi menangis. Di ujung sana itu tuh, yang deket ayunan, Kang Ujang juga lihat perempuan duduk di ayunan. Kadang malah lihat lelaki bawa-bawa sirah­ di tangannya. Hiyy, jadi merinding kalau mengingat kejadian itu teh.

“Siapa yang memperkerjakan Kang Ujang di sini?”

“Ibu Eli, kenapa gitu?”

“Siapa Ibu Eli?”

“Yang punya villa ini, Kang.”

“Boleh minta alamatnya? Kami mau bertemu dengan orangnya.”

“Ibu Eli rumahnya jauh, di Bandung. Yakin kalian mau ketemu?”

“Iya, Kang, gak apa-apa. Yang penting kami tahu apa sebabnya kami bisa dihantui begini.”

“Ya sudah, kalau begitu,” Kang Ujang mengambilkan sepotong kertas bertuliskan nama dan alamat. Ia memberikan kartu nama itu kepada kami.

Kami pun pergi menuju alamat yang dituju. Beberapa jam dalam perjalanan, akhirnya kami sampai pada tempat tujuan. Sebenarnya, tidak sopan bertamu malam-malam begini. Tapi apa boleh buat, jika tidak segera bertindak semua akan semakin berantakan. Kami turun dari mobil dan mengetuk pintu.

“Maaf, adik-adik ini siapa?” tanya seorang perempuan paruh baya yang membukakan pintu.

“Kami yang menyewa villa,” jawab Shera.

Perempuan itu tampak kaget ketika kami menjawabnya, ia tampak menyembunyikan sesuatu. Ia segera menarik gagang pintu untuk menutupnya kembali. “Ada apa? Saya tidak menerima tamu malam-malam seperti ini.”

Aku mencegahnya untuk menutup pintu. “Bu, tolong kami. Beri kami informasi tentang villa itu, kami sudah kehilangan dua teman kami. Kami mohon.”

Perempuan itu berpikir sejenak sambil bergantian memandang kami. Tatapan nanar kami membuatnya terenyuh dan mempersilakan kami untuk masuk. Kami pun mengikuti Ibu Eli masuk ke dalam rumahnya, terkecuali Indra. Ia terlelap di dalam mobil.

“Apa yang ingin kalian ketahui tentang villa itu?” tanyanya waswas.

“Kami ingin mengetahui sejarah villa tersebut, bagaimana mungkin orang-orang bisa menyebutnya villa kematian?”

“Waktu itu...”

~Flashback~

Ketika itu, saya merupakan pembantu rumah yang sekarang sudah menjadi villa itu. Saya bekerja pada seorang ibu rumah tangga yang cantik dan baru selesai melahirkan. Suaminya juga tampan dan mereka memiliki dua anak. Anak pertama, masih umur sembilan tahun, mungkin saat ini ia sudah seumuran dengan kalian. Anak yang kedua, masih bayi dan baru saja dilahirkan.

Dahulu, mereka keluarga yang harmonis. Bahkan saya, dianggap menjadi bagian keluarga oleh mereka. Namun, hidup kadang tidak selalu berada di atas. Sang kepala keluarga jatuh miskin, ia harus beralih profesi menjadi tukang bakso.

Sampai pada saatnya, ia putus asa dengan nasibnya. Ia jadi sering mabuk-mabukan dan menyewakan istrinya pada lelaki kesepian. Terpaksa, istrinya yang menggantikannya untuk berjualan. Setiap istrinya menolak, ia akan disiksa oleh kepala keluarga itu. Akhirnya, istrinya putus asa dengan perlakuan suaminya yang keji.

Istrinya menyimpan amarah dan dendam di dalam dirinya. Ketika suatu malam, suaminya baru pulang setelah ia mabuk-mabukan dan tertidur pulas. Ia mengendap-endap masuk ke dalam kamar dan menebas kepala suaminya. Saya merasa takut, menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Saat ia keluar kamar, ia membawa kepala suaminya ke dapur dan memasukkannya ke dalam panci bakso yang akan ia jajakan esok harinya.

Bayinya menangis mendengar keributan itu, saya tidak tega mendengar tangisan bayi yang tidak berdosa itu. Namun, saya takut. Saya tidak berani mengamankan bayi itu karena majikan saya sudah menjadi gila dengan pisau di genggamannya. Tangisan bayi itu semakin menjadi, pisau pun sudah mengambil nyawanya. Hati, jantung, usus dari bayi mungil itu sudah ia keluarkan dan ia masukkan ke dalam panci itu lagi.

“Aaaa!”

Suara teriakan dari luar menghentikan cerita dari Ibu Eli. Perhatian kami pula teralihkan, bisa jadi itu suara Indra. Kevin beranjak dari tempat duduknya.

“Biar aku yang mengecek,” Kevin berjalan keluar untuk memantau situasi. Beberapa menit kemudian, ia masuk ke dalam.

“Indra hanya mengigau, dia sedang tidur.”

~Flashback continue~
Melihatnya saya semakin tidak tega. Anak pertama pun terbangun dan memanggil ibunya, tapi saya langsung menutup mulutnya agar tidak berkata apa pun pada situasi itu. Saya menyuruhnya untuk pergi sejauh-jauhnya, saya menyuruhnya untuk kabur lewat gudang. Di gudang itu, ada dua pintu. Satu pintu berada di dalam rumah dan satu pintu lagi ada di belakang rumah.

Saya ikut masuk untuk mengantarkannya keluar, ia berlari dengan kencang menjauhi villa. Saya berusaha untuk bersembunyi dari intaian majikan saya. Namun, rupanya ketika saya mencoba bersembunyi, majikan saya sudah berada di belakang saya. Saya menjerit meminta tolong tetapi tidak ada yang membantu saya.


Ia menusukkan pisau di genggamannya ke punggung saya dan menariknya ke bawah sampai ia meninggalkan luka yang dalam dan mengambil jantung saya.
***
Ikuti kelanjutan kisahnya: Vila Kematian

Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini

Vila Kematian Bagian 2

11:15 AM 0 Comments
Bulu kudukku semakin meremang, tubuhku kaku tak bisa digerakkan, lidahku kelu tak bisa berteriak. Kakiku semakin membeku dan terus merambat sampai otakku hingga aku hilang kesadaran.

 ***

Cerita Pendek: Vila Kematian

Kubuka mataku perlahan, meremang beralih terang. Tempat ini berbeda dari tempat semalam, aku sudah berada di bawah naungan atap. Kupandang sekelilingku untuk memastikan, semakin meyakinkanku aku sudah berada di villa. Kevin tertidur dengan posisi duduk di lantai. Tak ingin membangunkannya, aku bergerak perlahan. Namun, usahaku sia-sia. Ia akhirnya membuka mata karena gerakan kecil dariku.

“Nes, tadi malam lu kenapa?” tanyanya penasaran ketika matanya baru saja terbuka. Tampaknya, ia mengkhawatirkanku semalaman.

“Gue? Memangnya gue kenapa?” Aku bingung dengan apa yang dia tanyakan secara tiba-tiba. Aku berpikir dia hanya mengigau. Aku benarkan posisi dudukku, ia pun berdiri dan duduk di sebelahku.

“Tadi malam, lu buru-buru suruh gue pergi. Dan lu tiba-tiba pingsan di sana. Gue gak mengerti, lu kenapa?”

Aku tersentak mendengar pernyataannya. Dia tidak melihatnya? Lalu kenapa itu—harus—terjadi padaku saja sedangkan yang lain tidak. Aku berkecamuk dalam pikiran yang semakin membuatku kalut. Kevin masih menunggu jawabanku. “Lu gak lihat itu, Kev?”

“Lihat apa?” jawabnya polos.

Aku memandang Kevin sejenak. “Kep...”

“Nes, tadi malam lu tidur di sini?” Shera memotong perkataanku secara tiba-tiba membuat aku dan Kevin terkejut.

Kevin memutar kepalanya, sedangkan aku sama sekali tak bisa mengalihkan pikiranku dari hal yang terjadi tadi malam. Aku menghentikan pembicaraanku.

“Pintu kamar cewek lu kunci, kan?” tanya Kevin.

Shera menggaruk tengkuknya seolah sedang mengingat kejadian semalam. Ia menepuk dahi. “Aduh! Iya, gue lupa masih ada Vanes di luar. Sorry ya, Nes.”

Pintu kamar sebelah pun terbuka. Rangga keluar dari kamar sambil meregangkan ototnya. Wajahnya yang berantakan terlihat kusam dan matanya masih berkedip-kedip seolah harus memilih tidur atau bangun.
“Kev, lu gak tidur di kamar? Kamar gak dikunci juga.”

Shera beralih pandang ke arah Kevin, “Lu habis ngapain sama Vanes tadi malam, Kev?”

Kevin mendecakkan lidahnya. “Eh, pikiran lu pada kotor semua ya. Tadi malam gue jalan keluar cari angin sama Vanes tiba-tiba dia pingsan tanpa alasan. Gue bawa ke villa, mau gue bawa ke kamar cewek eh malah di kunci. Ya gue baringin si Vanes di sofa lah. Masa di kamar mandi.”

“Terus kenapa lu gak tidur di kamar?” selidik Rangga.

“Lu kira cewek tidur di ruang tamu aman apa? Kalau ada yang perkosa gimana? Nanti malah gue yang disalahin, ninggalin anak orang sendirian di ruang tamu.”

“Tapi lu gak apa-apain Vanes, kan?” selidik Shera.

“Sumpah, demi Tuhan gue gak apa-apain Vanes! Vanes pingsan, mana mungkin gue apa-apain dia. Gue gak sebejat itu lah,” tegas Kevin.

“Ada apa sih, pagi-pagi sudah ribut aja!” protes Keni.

Perdebatan ini semakin membuatku pusing. Kupingku semakin panas karena kesalahpahaman ini.

“Sudah cukup!” bentakku. Semua tiba-tiba hening dan mengalihkan perhatiannya padaku. “Gue gak melakukan apa pun sama Kevin, oke? Tadi malam gue pingsan dan Kevin bawa gue ke Villa. Gue bangun dan melihat Kevin tidur terduduk di lantai. Cukup?”

“Lu pingsan kenapa, Nes?” tanya Keni penasaran.

 “Lu merasa ada yang aneh gak sih sama villa ini?” Aku memegang dahiku mengingat semuanya. Semua masih terdiam memperhatikanku. Aku menggigit bibirku ragu. “Tadi malam gue lihat hal yang gak biasa.”

“Lu lihat apa sih, Nes?” desak Kevin.

“Serius lu gak lihat apa-apa, Kev?” desakku pada Kevin. Kevin menggelengkan kepalanya pertanda ia benar-benar tidak tahu. “Lu percaya gak sih, tadi malam gue lihat kepala yang terpisah sama badannya?”

Hening sejenak, mereka masih mencerna perkataanku. Shera tertawa, “Nes, jadi lu sekarang kemakan omongan orang-orang?”

“Sher, please, gue melihat dengan mata kepala gue. Cewek yang tadi malam beli bakso itu makan kepala manusia!” tegasku.

 “Bercanda lu gak lucu, Nes. Sudahlah!” Shera menggelengkan kepalanya tidak percaya. Ia berjalan ke dapur meninggalkan kami.

“Lu serius, Nes?” Kevin tak yakin.

“Ya ampun, Kev, serius! Gue gak bohong sama sekali!” tegasku berusaha meyakinkan Kevin.
Kevin mengusap punggungku. “Sudah, lupakan aja. Mungkin tadi malam lu berhalusinasi.”

“Tapi Kev...”

“Aaaa...!” jerit seseorang menghentikan perkataanku. Pikiranku langsung tertuju pada Shera yang ada di kamar mandi. Dengan terburu-buru kami beranjak ke dapur untuk menghampirinya.

“Sher! Sher!” Rangga mengetuk pintu kamar mandi. Kamar mandinya terkunci tapi Shera tidak keluar juga. Rangga mencoba mendobrak pintu dan akhirnya ia sanggup menerobosnya.

Shera berjongkok di sudut kamar mandi, ketakutan akan sesuatu. Aku membantunya bangkit, tubuhnya benar-benar lemas. “Sher, lu kenapa?”

Air matanya terus menetes dan memandangku dengan tatapan kosong. “Gue takut, gue takut.”

Aku menoleh memandang setiap sudut kamar mandi. Kevin mengecek setiap sudut kamar mandi, tidak ditemukan jejak apa pun kecuali keran wastafel yang menyala.

“Keran itu... keran itu, mengeluarkan darah,” jawab shera terbata sambil menunjuk ke arah keran yang menyala.

“Hanya air,” Kevin menyentuh air yang mengalir deras dari keran itu.

Aku mengusap punggung Shera dan merangkulnya keluar kamar mandi. Kubawa ia kembali ke ruang depan untuk duduk dan menenangkan diri. Keni membawakan air minum untuknya. Wajah Shera tampak pucat dan tidak bersemangat. Keni mengusap punggungnya lembut untuk menenangkannya. “Mungkin lu hanya berhalusinasi, Sher. Gue tahu lu gak suka cerita yang berbau mistis, jadi lu kepikiran deh.”

Shera masih bungkam. Ia terus meneteskan air mata walau pandangannya menandakan pikirannya kosong. Indra keluar dari kamar dan mendapati Shera meneteskan air matanya. Indra menghampirinya, “Sayang, kamu kenapa?”

Tangisan Shera semakin menjadi. Indra berusaha menenangkannya dengan sebuah pelukan dan belaian lembut di rambutnya. Ia memandang kami yang sedang berdiri menyaksikannya seolah melemparkan pertanyaan, “Dia kenapa?”

Kami tetap terdiam dalam suasana seperti ini. Indra menghapus air matanya, “Sudah, sepertinya ada masalah yang membebani kamu. Kita main keluar ya, biar kamu lupa.”

Shera mengangguk pelan pertanda menyetujuinya.

Kami bersiap. Tidak perlu mandi, karena kabut tebal yang dingin akan membasuh kulit kami. Kami pun meninggalkan villa dan pergi ke tempat rekreasi di puncak. Kami bermain di lapangan dan berfoto di gazebo yang kami sewa. Cuaca yang dingin mendukung kami untuk memesan cokelat panas. Pemandangan yang unik, lapangan dikelilingi pepohonan yang hijau. Tempat strategis untuk meletakkan kafe di sana.

Untuk mengabadikan momen yang jarang terjadi ini, kami berfoto. Dengan latar gazebo dan lapangan yang hijau, aku memotret momen ini. Saat aku memotret mereka dan melihat hasilnya, ada asap putih yang menghalangi wajah mereka. Mungkin efek cahaya yang berlebihan atau kabut awan yang semakin menebal.

Aku mencoba untuk memotretnya lagi. Hasilnya, kulihat lebih janggal dari sebelumnya. Seorang wanita berdiri dibelakang Rangga. Ia cantik dan persis dengan wanita yang aku lihat tadi malam. Pose yang anggun, wajah yang cantik, dan senyum yang manis, membuatku tidak bisa mengalihkan perhatian dari foto itu. Foto itu semacam menyuruhku untuk tetap memandanginya sampai aku akhirnya aku tersadar wanita itu berada di dimensi yang berbeda.

Aku menghapus foto itu, tetapi tidak bisa. Berulang kali aku mencoba menghapusnya, tetap tidak bisa.

“Kenapa Nes?” tanya Keni.

“Mending ganti latar deh, suasananya gak mendukung.

“Padahal gazebonya bagus,” ucap Keni kecewa. Akhirnya, kami berpindah tempat untuk mengganti latar. Setelah berfoto, aku lihat hasilnya. Semuanya bagus, wanita itu tidak ikut narsis dengan kami. 

Setelah puas bersenang-senang, kami pun kembali ke villa. Terlalu lelah dan butuh istirahat setelah bermain seharian. Tapi, aku tidak bisa melewatkan buku novelku. Akhirnya, aku mengambil buku novel dan membacanya sejenak. Dengan asyiknya aku membaca novel, aku mendengar suara pintu yang dibanting.

Aku kira ada yang kesal dan membanting pintu. Biasanya, itu Indra, karena ia orang yang sensitif dan emosian. Aku keluar dari kamar, melihat Indra sedang duduk di sofa ruang depan sambil asyik memainkan PSP-nya. Aku beralih pandang pada Rangga yang berdiri di ambang pintu.

“Ga, tadi lu banting pintu ya? Berisik tau!” tuduhku.

Kok lu jadi salahin gue? Gue baru saja mau masuk ke dalam villa.

Suara ketukan pintu terdengar. Aku yakin itu bukan Rangga, karena tangannya aman di dalam saku celana. Aku berjalan mengikuti sumber suara yang semakin lama semakin nyaring saat aku mendekat.

“Vanes, mau ke mana?” tanya Keni yang baru saja berjalan dari dapur.

Aku tetap berjalan dan Keni tetap mengikutiku. “Gue penasaran sama ruangan ini. Semenjak kita datang ke sini, ruangan ini belum pernah terbuka, kan?”

Keni mengangguk setuju, “Iya, padahal kuncinya menggantung di sini.”

Rasa penasaranku semakin menggebu. Aku mengikuti hasratku untuk membuka pintu ruangan yang sama sekali belum pernah kami buka selama berada di Villa. Pintu ruangan terbuka secara perlahan, sedikit demi sedikit menampakkan banyak barang yang masih bisa dipakai tetapi sudah berdebu, ruangan ini semacam gudang. Langkah kakiku memasuki ruangan itu, Keni tetap mengikutiku.

BRAKK! Pintu ruangan tertutup dengan sendirinya, membuat kami melompat karena terkejut. Aku kembali ke daun pintu, berusaha membuka pintu itu. Tetapi, pintu itu terkunci. Aku menggedor pintu itu keras dengan harapan ada yang mendengar dan membantu kami membukakan pintu. Tapi berulang kali kami meminta tolong, tidak ada yang mendengar ataupun membukakan pintu untuk kami.

Keni menjerit dan menghilang dari sisiku. Aku melihat sekelilingku dan suara Keni tetap memekik keras bergema di dalam ruangan. “Ken?!”

Keni menarik kakiku seolah memohon pertolongan padaku. Namun, kakinya terseret lebih kuat daripada tenaganya untuk mempertahankan diri dengan memegang kakiku. Tangannya pun terlepas, Keni menghilang dari pandanganku. Jerit histerisnya membuatku takut. Aku berusaha membuka pintu dan akhirnya pintu terbuka, dengan cepat aku keluar dari sana dan pintu gudang itu kembali terkunci rapat.

Aku menggedor pintu itu lagi. “Ken! Keni!”

Suara jeritan Keni menggema di telingaku, aku menangis histeris mendengar jeritannya yang terus memanggil namaku. Aku heran, mengapa tidak ada yang mendengar teriakanku yang bergitu nyaring. Ke mana teman-temanku? Kenapa mereka tidak datang saat aku membutuhkan mereka? Aku menangis histeris, penyesalan dan amarah berkecamuk di dalam jiwaku.


“Keni!” Aku meneteskan air mata tiada henti. Bahuku terasa berat. Bulu kudukku meremang, ada tangan yang menyentuh bahuku. Aku menoleh ke belakang, “Aaa!”
***
Ikuti kelanjutan kisahnya: Vila Kematian

Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini