17 Desember 2015

Vila Kematian Bagian 2

11:15 AM 0 Comments
Bulu kudukku semakin meremang, tubuhku kaku tak bisa digerakkan, lidahku kelu tak bisa berteriak. Kakiku semakin membeku dan terus merambat sampai otakku hingga aku hilang kesadaran.

 ***

Cerita Pendek: Vila Kematian

Kubuka mataku perlahan, meremang beralih terang. Tempat ini berbeda dari tempat semalam, aku sudah berada di bawah naungan atap. Kupandang sekelilingku untuk memastikan, semakin meyakinkanku aku sudah berada di villa. Kevin tertidur dengan posisi duduk di lantai. Tak ingin membangunkannya, aku bergerak perlahan. Namun, usahaku sia-sia. Ia akhirnya membuka mata karena gerakan kecil dariku.

“Nes, tadi malam lu kenapa?” tanyanya penasaran ketika matanya baru saja terbuka. Tampaknya, ia mengkhawatirkanku semalaman.

“Gue? Memangnya gue kenapa?” Aku bingung dengan apa yang dia tanyakan secara tiba-tiba. Aku berpikir dia hanya mengigau. Aku benarkan posisi dudukku, ia pun berdiri dan duduk di sebelahku.

“Tadi malam, lu buru-buru suruh gue pergi. Dan lu tiba-tiba pingsan di sana. Gue gak mengerti, lu kenapa?”

Aku tersentak mendengar pernyataannya. Dia tidak melihatnya? Lalu kenapa itu—harus—terjadi padaku saja sedangkan yang lain tidak. Aku berkecamuk dalam pikiran yang semakin membuatku kalut. Kevin masih menunggu jawabanku. “Lu gak lihat itu, Kev?”

“Lihat apa?” jawabnya polos.

Aku memandang Kevin sejenak. “Kep...”

“Nes, tadi malam lu tidur di sini?” Shera memotong perkataanku secara tiba-tiba membuat aku dan Kevin terkejut.

Kevin memutar kepalanya, sedangkan aku sama sekali tak bisa mengalihkan pikiranku dari hal yang terjadi tadi malam. Aku menghentikan pembicaraanku.

“Pintu kamar cewek lu kunci, kan?” tanya Kevin.

Shera menggaruk tengkuknya seolah sedang mengingat kejadian semalam. Ia menepuk dahi. “Aduh! Iya, gue lupa masih ada Vanes di luar. Sorry ya, Nes.”

Pintu kamar sebelah pun terbuka. Rangga keluar dari kamar sambil meregangkan ototnya. Wajahnya yang berantakan terlihat kusam dan matanya masih berkedip-kedip seolah harus memilih tidur atau bangun.
“Kev, lu gak tidur di kamar? Kamar gak dikunci juga.”

Shera beralih pandang ke arah Kevin, “Lu habis ngapain sama Vanes tadi malam, Kev?”

Kevin mendecakkan lidahnya. “Eh, pikiran lu pada kotor semua ya. Tadi malam gue jalan keluar cari angin sama Vanes tiba-tiba dia pingsan tanpa alasan. Gue bawa ke villa, mau gue bawa ke kamar cewek eh malah di kunci. Ya gue baringin si Vanes di sofa lah. Masa di kamar mandi.”

“Terus kenapa lu gak tidur di kamar?” selidik Rangga.

“Lu kira cewek tidur di ruang tamu aman apa? Kalau ada yang perkosa gimana? Nanti malah gue yang disalahin, ninggalin anak orang sendirian di ruang tamu.”

“Tapi lu gak apa-apain Vanes, kan?” selidik Shera.

“Sumpah, demi Tuhan gue gak apa-apain Vanes! Vanes pingsan, mana mungkin gue apa-apain dia. Gue gak sebejat itu lah,” tegas Kevin.

“Ada apa sih, pagi-pagi sudah ribut aja!” protes Keni.

Perdebatan ini semakin membuatku pusing. Kupingku semakin panas karena kesalahpahaman ini.

“Sudah cukup!” bentakku. Semua tiba-tiba hening dan mengalihkan perhatiannya padaku. “Gue gak melakukan apa pun sama Kevin, oke? Tadi malam gue pingsan dan Kevin bawa gue ke Villa. Gue bangun dan melihat Kevin tidur terduduk di lantai. Cukup?”

“Lu pingsan kenapa, Nes?” tanya Keni penasaran.

 “Lu merasa ada yang aneh gak sih sama villa ini?” Aku memegang dahiku mengingat semuanya. Semua masih terdiam memperhatikanku. Aku menggigit bibirku ragu. “Tadi malam gue lihat hal yang gak biasa.”

“Lu lihat apa sih, Nes?” desak Kevin.

“Serius lu gak lihat apa-apa, Kev?” desakku pada Kevin. Kevin menggelengkan kepalanya pertanda ia benar-benar tidak tahu. “Lu percaya gak sih, tadi malam gue lihat kepala yang terpisah sama badannya?”

Hening sejenak, mereka masih mencerna perkataanku. Shera tertawa, “Nes, jadi lu sekarang kemakan omongan orang-orang?”

“Sher, please, gue melihat dengan mata kepala gue. Cewek yang tadi malam beli bakso itu makan kepala manusia!” tegasku.

 “Bercanda lu gak lucu, Nes. Sudahlah!” Shera menggelengkan kepalanya tidak percaya. Ia berjalan ke dapur meninggalkan kami.

“Lu serius, Nes?” Kevin tak yakin.

“Ya ampun, Kev, serius! Gue gak bohong sama sekali!” tegasku berusaha meyakinkan Kevin.
Kevin mengusap punggungku. “Sudah, lupakan aja. Mungkin tadi malam lu berhalusinasi.”

“Tapi Kev...”

“Aaaa...!” jerit seseorang menghentikan perkataanku. Pikiranku langsung tertuju pada Shera yang ada di kamar mandi. Dengan terburu-buru kami beranjak ke dapur untuk menghampirinya.

“Sher! Sher!” Rangga mengetuk pintu kamar mandi. Kamar mandinya terkunci tapi Shera tidak keluar juga. Rangga mencoba mendobrak pintu dan akhirnya ia sanggup menerobosnya.

Shera berjongkok di sudut kamar mandi, ketakutan akan sesuatu. Aku membantunya bangkit, tubuhnya benar-benar lemas. “Sher, lu kenapa?”

Air matanya terus menetes dan memandangku dengan tatapan kosong. “Gue takut, gue takut.”

Aku menoleh memandang setiap sudut kamar mandi. Kevin mengecek setiap sudut kamar mandi, tidak ditemukan jejak apa pun kecuali keran wastafel yang menyala.

“Keran itu... keran itu, mengeluarkan darah,” jawab shera terbata sambil menunjuk ke arah keran yang menyala.

“Hanya air,” Kevin menyentuh air yang mengalir deras dari keran itu.

Aku mengusap punggung Shera dan merangkulnya keluar kamar mandi. Kubawa ia kembali ke ruang depan untuk duduk dan menenangkan diri. Keni membawakan air minum untuknya. Wajah Shera tampak pucat dan tidak bersemangat. Keni mengusap punggungnya lembut untuk menenangkannya. “Mungkin lu hanya berhalusinasi, Sher. Gue tahu lu gak suka cerita yang berbau mistis, jadi lu kepikiran deh.”

Shera masih bungkam. Ia terus meneteskan air mata walau pandangannya menandakan pikirannya kosong. Indra keluar dari kamar dan mendapati Shera meneteskan air matanya. Indra menghampirinya, “Sayang, kamu kenapa?”

Tangisan Shera semakin menjadi. Indra berusaha menenangkannya dengan sebuah pelukan dan belaian lembut di rambutnya. Ia memandang kami yang sedang berdiri menyaksikannya seolah melemparkan pertanyaan, “Dia kenapa?”

Kami tetap terdiam dalam suasana seperti ini. Indra menghapus air matanya, “Sudah, sepertinya ada masalah yang membebani kamu. Kita main keluar ya, biar kamu lupa.”

Shera mengangguk pelan pertanda menyetujuinya.

Kami bersiap. Tidak perlu mandi, karena kabut tebal yang dingin akan membasuh kulit kami. Kami pun meninggalkan villa dan pergi ke tempat rekreasi di puncak. Kami bermain di lapangan dan berfoto di gazebo yang kami sewa. Cuaca yang dingin mendukung kami untuk memesan cokelat panas. Pemandangan yang unik, lapangan dikelilingi pepohonan yang hijau. Tempat strategis untuk meletakkan kafe di sana.

Untuk mengabadikan momen yang jarang terjadi ini, kami berfoto. Dengan latar gazebo dan lapangan yang hijau, aku memotret momen ini. Saat aku memotret mereka dan melihat hasilnya, ada asap putih yang menghalangi wajah mereka. Mungkin efek cahaya yang berlebihan atau kabut awan yang semakin menebal.

Aku mencoba untuk memotretnya lagi. Hasilnya, kulihat lebih janggal dari sebelumnya. Seorang wanita berdiri dibelakang Rangga. Ia cantik dan persis dengan wanita yang aku lihat tadi malam. Pose yang anggun, wajah yang cantik, dan senyum yang manis, membuatku tidak bisa mengalihkan perhatian dari foto itu. Foto itu semacam menyuruhku untuk tetap memandanginya sampai aku akhirnya aku tersadar wanita itu berada di dimensi yang berbeda.

Aku menghapus foto itu, tetapi tidak bisa. Berulang kali aku mencoba menghapusnya, tetap tidak bisa.

“Kenapa Nes?” tanya Keni.

“Mending ganti latar deh, suasananya gak mendukung.

“Padahal gazebonya bagus,” ucap Keni kecewa. Akhirnya, kami berpindah tempat untuk mengganti latar. Setelah berfoto, aku lihat hasilnya. Semuanya bagus, wanita itu tidak ikut narsis dengan kami. 

Setelah puas bersenang-senang, kami pun kembali ke villa. Terlalu lelah dan butuh istirahat setelah bermain seharian. Tapi, aku tidak bisa melewatkan buku novelku. Akhirnya, aku mengambil buku novel dan membacanya sejenak. Dengan asyiknya aku membaca novel, aku mendengar suara pintu yang dibanting.

Aku kira ada yang kesal dan membanting pintu. Biasanya, itu Indra, karena ia orang yang sensitif dan emosian. Aku keluar dari kamar, melihat Indra sedang duduk di sofa ruang depan sambil asyik memainkan PSP-nya. Aku beralih pandang pada Rangga yang berdiri di ambang pintu.

“Ga, tadi lu banting pintu ya? Berisik tau!” tuduhku.

Kok lu jadi salahin gue? Gue baru saja mau masuk ke dalam villa.

Suara ketukan pintu terdengar. Aku yakin itu bukan Rangga, karena tangannya aman di dalam saku celana. Aku berjalan mengikuti sumber suara yang semakin lama semakin nyaring saat aku mendekat.

“Vanes, mau ke mana?” tanya Keni yang baru saja berjalan dari dapur.

Aku tetap berjalan dan Keni tetap mengikutiku. “Gue penasaran sama ruangan ini. Semenjak kita datang ke sini, ruangan ini belum pernah terbuka, kan?”

Keni mengangguk setuju, “Iya, padahal kuncinya menggantung di sini.”

Rasa penasaranku semakin menggebu. Aku mengikuti hasratku untuk membuka pintu ruangan yang sama sekali belum pernah kami buka selama berada di Villa. Pintu ruangan terbuka secara perlahan, sedikit demi sedikit menampakkan banyak barang yang masih bisa dipakai tetapi sudah berdebu, ruangan ini semacam gudang. Langkah kakiku memasuki ruangan itu, Keni tetap mengikutiku.

BRAKK! Pintu ruangan tertutup dengan sendirinya, membuat kami melompat karena terkejut. Aku kembali ke daun pintu, berusaha membuka pintu itu. Tetapi, pintu itu terkunci. Aku menggedor pintu itu keras dengan harapan ada yang mendengar dan membantu kami membukakan pintu. Tapi berulang kali kami meminta tolong, tidak ada yang mendengar ataupun membukakan pintu untuk kami.

Keni menjerit dan menghilang dari sisiku. Aku melihat sekelilingku dan suara Keni tetap memekik keras bergema di dalam ruangan. “Ken?!”

Keni menarik kakiku seolah memohon pertolongan padaku. Namun, kakinya terseret lebih kuat daripada tenaganya untuk mempertahankan diri dengan memegang kakiku. Tangannya pun terlepas, Keni menghilang dari pandanganku. Jerit histerisnya membuatku takut. Aku berusaha membuka pintu dan akhirnya pintu terbuka, dengan cepat aku keluar dari sana dan pintu gudang itu kembali terkunci rapat.

Aku menggedor pintu itu lagi. “Ken! Keni!”

Suara jeritan Keni menggema di telingaku, aku menangis histeris mendengar jeritannya yang terus memanggil namaku. Aku heran, mengapa tidak ada yang mendengar teriakanku yang bergitu nyaring. Ke mana teman-temanku? Kenapa mereka tidak datang saat aku membutuhkan mereka? Aku menangis histeris, penyesalan dan amarah berkecamuk di dalam jiwaku.


“Keni!” Aku meneteskan air mata tiada henti. Bahuku terasa berat. Bulu kudukku meremang, ada tangan yang menyentuh bahuku. Aku menoleh ke belakang, “Aaa!”
***
Ikuti kelanjutan kisahnya: Vila Kematian

Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini

16 Desember 2015

Vila Kematian Bagian 1

5:01 PM 0 Comments
Cerita Pendek: Villa Kematian


Aku adalah Vanesa. Aku seorang mahasiswa semester tiga. Di hari libur semester ini, aku memutuskan untuk pergi berlibur. Pikiranku terlalu berat karena tugas-tugas yang mencekik keseharianku. Bahkan ketika aku tertidur pun rasanya tetap dihantui oleh tugas-tugas yang belum aku selesaikan.

Aku menghubungi teman-teman dekatku untuk mengajaknya mereka berlibur ke puncak. Beruntung, mereka setuju untuk ikut walaupun mereka lebih memilih tinggal di villa daripada mendirikan tenda. Tidak apa, aku yakin mereka khawatir dengan binatang buas yang berkeliaran di musim hujan ini.

Uang saku sudah aku kumpulkan sejak liburan belum dimulai karena aku tahu liburan kali ini aku membutuhkan banyak uang untuk menyewa villa dan jalan-jalan di puncak. Setelah uang yang aku kumpulkan mencukupi, inilah saatnya aku dan teman-temanku –Shera, Keni, Rangga, Kevin, dan Indra pergi ke tempat tujuan.

Kami berhenti di sebuah villa, villa yang cukup bagus. Dengan latar pemandangan yang menyegarkan pikiran. Namun, ada satu yang janggal. Orang-orang menyebutnya villa kematian. Mereka percaya, villa itu tidak aman. Setiap orang yang datang ke sana tidak akan pernah tenang semasa hidupnya. Bahkan, penjaga dan pengurus villa itu pun tak pernah berani menginap satu malam di sana.

Hah. Mitos murahan. Kami tidak pernah percaya hal yang seperti itu. Memangnya, apa sih yang membuat mereka berkata kalau villa itu merupakan villa kematian? Menurutku, itu hanyalah urban legend belaka karena villa ini memang letaknya agak jauh dan sepi sehingga jarang orang yang mau menginap di sini.

Kami masuk ke dalam villa. Villa yang awalnya sunyi kini terhiasi suara kami yang rusuh ketika memindahkan barang-barang kami dari bagasi mobil ke dalam villa. Kepalaku terus berputar, mataku menyapu setiap sudut ruangan. Villa ini tidak sama seperti apa yang mereka katakan. Dindingnya yang masih bersih tidak menandakan kalau villa ini sudah tua, langit-langit dan kusen yang masih mulus pun tidak menandakan kalau ini villa yang lapuk. Sepertinya orang-orang hanya termakan oleh cerita-cerita yang disebarkan dari mulut ke mulut.

Villa ini memang nyaman. Namun, ada satu yang membuat tidak nyaman. Di dalam villa ini udaranya sangat panas, baru saja menginjakkan kaki beberapa menit sudah bisa mengucurkan keringat dari tubuh. Tidak tahan dengan udara yang seperti ini, aku pun ingin mandi. Padahal udara di luar sangatlah dingin, bahkan aku sampai berpikir tidak akan menyentuh air selama berada di tempat ini.

Teman-temanku membenahi barang-barangnya. Aku mengambil handuk dan bersiap untuk mandi. Aku berjalan beberapa langkah dan menemukan dapur, ada sebuah pintu berwarna cokelat terbuat dari kayu di ujung sana. Aku berjalan mendekat dan membuka.

Wow.

Kamar mandi yang cukup mewah. Rasanya tidak sia-sia menyewa villa ini, fasilitas yang memuaskan bahkan ini terasa berlebihan. Aku masuk ke dalam kamar mandi dan membuka keran di wastafel. Ah, percuma saja berfasilitas mewah tapi tidak ada airnya. Aku keluar lagi dari kamar mandi dan menghampiri Kevin yang kebetulan dia sedang mengagumi bagian dapur.

“Kev, gue mau mandi nih.”

“Terus kenapa? Tinggal mandi saja sih. Emang lu kira gue mau mengintip lu?”  

Yeee...bukan begitu, kerannya mati. Tolong benerin dong, pintaku.

Kevin mendecak pelan. Aku yakin dari mimik wajahnya ia malas untuk membantuku, tapi ya sudahlah terima saja. Ia masuk ke dalam kamar mandi, aku menunggunya di ambang pintu.

Kevin membuka keran, air mengalir dengan derasnya. “Nes, ini nyala. Lu bohongin gue ya?”

“Tapi tadi itu kerannya mati, Kev!” kataku ragu. Mana bisa secepat itu? Bahkan tidak ada satu menit yang lalu keran ini mati.

“Bilang saja mau modusin gue, biar bisa lebih lama sama gue.”

What?! Mana ada? Buat apa gue modusin lu.”

“Kali aja, lu naksir sama gue gitu. Hahaha.” Tawanya lepas seolah puas menertawakanku.

PRANG! Seperti suara tutup panci jatuh dari ketinggian. Suara itu menghentikan tawa Kevin.

“Suara apa itu?” Kevin waswas.

Mata kami berdua langsung tersorot ke rak piring. Tidak ada apa pun yang jatuh di sana. Lalu suara apa itu? Mungkin suara itu di tempat lain.

“Sudahlah, katanya lu mau mandi itu airnya sudah keluar.” Kevin keluar kamar mandi dan membiarkanku untuk melakukan rencanaku sebelumnya.

Aku terpaku sejenak masih memikirkan hal yang baru saja terjadi. Tiba-tiba udara disana jadi dingin. Aku mengurungkan niatku untuk mandi.

“Gak jadi,” gumamku pelan dan mengikuti Kevin di belakangnya untuk meninggalkan dapur.

“Jorok,” gumamnya.

Aku tidak menanggapi apa yang ia katakan. Pikiranku semakin berkecamuk dalam kekalutan. Apa yang terjadi padaku hari ini sungguh tidak biasa atau memang ini hanya sebuah kebetulan saja.

Malam ini kami tidak keluar dari villa, terlalu sibuk di dalam dan cuaca pun mendukung kami untuk terlelap dan tidur di bawah selimut karena dinginnya malam. Memang, malam ini tidak dimeriahkan dengan api unggun atau pun lagu yang menemani keheningan malam. Tapi suara kami cukup memecah kesunyian karena beberapa lelucon Indra yang cukup menggelitik perut dan membuat kami tergelak sampai sakit perut.

“Sstt..., suara desis menghentikan gelak tawa kami. Kami saling melempar pandangan seolah menuduh orang yang mendesis.

Kok hening?” tanya Rangga.

Kami pun tertawa karena kecanggungan itu. Indra kembali menggelitik perut dengan beberapa leluconnya. Bahana tawa pun membunuh kesunyian malam. Kali ini kami digertak dengan suara tangisan bayi yang terdengar nyaring di sekitar kami. Kami terdiam dan suara itu perlahan semakin melemah. Suasana lebih hening dari sebelumnya.

Suara ketukan pintu mengejutkan kami. Dengan suara teriak dari beberapa temanku, kami langsung beralih pada pintu yang tertutup di dekat sofa tempat kami berkumpul. Kevin berdiri dan memberanikan diri untuk membukakan pintu.

Seorang wanita berdiri dengan pakaian putihnya, senyuman dari tetangga sebelah menenangkan detak jantung Kevin yang awalnya berdendang seperti genderang.

“Maaf mengganggu malamnya, Nak. Ini ada sekaleng biskuit untuk kalian, soalnya di sini tidak ada warung jadi agak susah untuk mencari cemilan,” ucapnya lembut.

Kevin menerimanya, “Terima kasih, Bu. Maaf merepotkan, maaf juga kami berisik sampai anak ibu menangis.”

“Anak saya? Anak saya sudah besar semua, Nak.”

Kevin agak terkejut dengan pernyataan itu. “Emm, lalu siapa yang menangis ya? Tadi suara tangisannya terdengar nyaring sekali.”

 Ibu Lina tampak gelisah. “Emm, saya kurang tahu, Nak. Saya pamit pulang ya.”

Kevin mengangguk dan Ibu Lina beranjak pergi dengan tergesa-gesa. Kevin masih terdiam di ambang pintu menatap kepergian Ibu Lina.

“Woy! Jangan bengong disitu, Kev!” seru Rangga.Kevin memutar kepalanya dan menutup pintu.

“Kata orang Sunda itu ya, bisi nongtot jodo,” celetuk Indra.

“Hah?” seru kami bersamaan dan melemparkan tatapan bingung kami pada Indra.

“Katanya sih kalau mau punya jodoh jadi susah.”

“Bisa kayak begitu ya?” Kevin tertawa.

“Wah, berarti nanti lu diputusin pacar lu.” Shera tertawa.

“Halah, percaya amat sama yang begituan.”

Ken, Nes, kita tidur yuk! Gue ngantuk nih.” Shera menguap dan meregangkan tubuhnya.

“Benar juga, tidur yuk!” Rangga ikut menguap setelah melihat Shera menguap.

“Tidur duluan saja,” jawabku dan Kevin bersamaan. Hening sejenak, aku dan Kevin saling pandang.

“Ciee...” sahut mereka yang mendengar aku dan Kevin bicara bersamaan.

“Gue udah punya cewek, woy!”

“Masih bisa putus,” Keni tertawa.
“Eh lagian enak di dia, rugi di gue.”

Mendengar perkataan Kevin barusan membuatku naik pitam. “Eh, emangnya gue mau ama lu?”

Kevin memandangiku tanpa kata yang terlontar. Seolah sorotan matanya mengatakan, “Siapa lu?”

Satu per satu temanku masuk ke dalam kamar. Sedangkan aku dan Kevin masih beradu pandang. Aku menghindari tatapannya dan baru menyadari teman-temanku sudah masuk kamar. Aku hanya duduk terdiam dan menunggu sampai aku mengantuk di sebelah Kevin.

Kevin mulai jenuh berada di sisiku tanpa bicara apa pun. Ia beranjak dari tempat duduknya dan meregangkan tubuhnya. “Nes, mau ikut gak?”

“Ke mana?” tanyaku.

“Keluar, cari angin. Di sini suntuk.”

“Heleh, curi-curi kesempatan ya lu gak ada si Alya di sini.”

Kevin mendelikkan pandangannya dan membuka pintu. “Terserah lu. Kalau gak mau ikut jagain villa ya, takut ada yang...”

“Iya, iya gue ikut!” Aku memotong pembicaraannya dan beranjak dari sofa.

Apa yang Kevin bicarakan aku tidak mau mendengarnya. Yang penting saat ini aku aman dan tidak sendirian. Kondisi villa itu semakin membuatku tidak nyaman dan semakin meningkatkan kepercayaanku pada urban legend yang belum terbukti itu.

“Alya gak lu ajak sekalian, Kev?”

“Lagi sibuk, bilangnya sih mau nyusul tapi entahlah jadi atau gak.”

Bulu kudukku semakin meremang disapu angin malam. Aku memeluk tubuhku sendiri dan mengusap tengkuk berulang kali untuk mencari kehangatan.

“Lu kenapa? Kedinginan?” tanya Kevin. Aku mengangguk tanpa jawaban yang terlontar dari mulutku. Kevin melepaskan jaketnya dan menggantungkannya di bahuku seolah ia sedang menyelimutiku. “Lagian lu pake jaket tipis.”

Thanks,” gumamku. Kevin tak menjawab dan kami masih berjalan menelusuri jalanan yang basah karena hujan tadi siang. Tubuhku sudah merasa lebih baik, aku melepaskan jaket Kevin yang terbalut. Kukembalikan jaket itu padanya.

“Lu pakai saja. Gue sudah nyaman begini,” kata Kevin menolak. Aku tahu Kevin berbohong, bibir pucatnya terlihat jelas di bawah sinar lampu jalan yang meremang.

Trang~Trang~! Suara ketukan mangkok terdengar beberapa kali. Aku menoleh ke sumber suara, ada gerobak lewat di depan kami.

Tengah malam begini ada tukang bakso?”

“Namanya juga cari nafkah, lu mau?”

Aku menggelengkan kepalaku. Tukang bakso itu berhenti tepat beberapa langkah di depan kami. Seorang perempuan menghampiri tukang bakso tersebut. Entah kapan perempuan itu sudah berada di sekitar sini, padahal tadi hanya kami berdua yang ada di sini. Entah kapan perempuan itu memanggil tukang bakso sehingga ia berhenti. Aku penasaran, bagaimana mungkin tukang bakso tengah malam begini masih berkeliaran dan melayani pelanggan. Bakso itu juga cukup besar, apa perempuan itu sanggup makan bakso sebesar itu? Pikiranku terlarut sampai aku menyadarinya.

“Kev, ayo kita pergi dari sini,” aku menyeret lengan Kevin. Kevin menyelaraskan langkah kakinya dengan langkah kakiku yang tergesa-gesa.

“Nes, lu kenapa sih? Santai aja kenapa?” protesnya.

Aku tetap melangkah dengan tergesa-gesa sambil menyeret Kevin yang berada di belakangku tanpa mengucapkan satu pun kata untuk menjelaskan. Langkahku tiba-tiba terhenti ketika sesuatu menghalangi jalanku.


Bulu kudukku semakin meremang, tubuhku kaku tak bisa digerakkan, lidahku kelu tak bisa berteriak. Kakiku semakin membeku dan terus merambat sampai otakku hingga aku hilang kesadaran.
***
Ikuti kelanjutan kisahnya: Vila Kematian

Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini

It Is Over

2:54 PM 0 Comments
Cover: It's Over


Mataku membengkak. Tangisan mengisi keheningan malamku. Air mataku terus berjatuhan tak bisa kuhentikan. Mataku perih, terasa kering karena aku kuras. Kelenjar air mataku mengkerut kehabisan persediaan air mata. Tisu yang mengisi sebuah kotak kini tersisa beberapa lembar. Tisu itu menyerap semua air mata yang terjatuh. Kini lembaran tisu itu tak berarti seperti suatu hal yang aku tangisi. Mengapa? Mengapa semua harus terjadi kepadaku? Aku pun tak mengerti. Aku melakukan apa hingga terjadi seperti ini? Bukan aku yang salah! Aku bukanlah seseorang yang harus terus disalahkan.

“Mengapa?!” Aku berteriak sambil mengacak ranjangku yang rapi. Aku seperti orang gila yang bingung sendiri akan perjalanan hidup. Aku frustasi. Teriakku memecah kesunyian malam itu. Namun, siapa peduli? Hatiku lebih sakit daripada telinga orang yang mendengar jeritanku malam itu.

Aku tersudut di kamarku. Rambutku berantakan, kamarku juga. Entah apa yang merasukiku, aku frustasi akan semua yang terjadi. Aku tak tahu harus dengan cara apa menjalani semua ini.

“Jangan salahkan aku lagi! Ini sudah cukup!” Aku menutup telingaku, menjambak rambutku sendiri, dan memejamkan mataku berharap mataku tak akan memandang dunia ini lagi.

Air mataku mengalir lagi. Aku benar-benar bertingkah seperti pasien Rumah Sakit Jiwa. Aku mengambil foto yang terpajang di meja sebelah ranjangku. Menatap tajam pada sosok didalam gambar tersebut. Aku seolah mengajaknya bicara. Namun, gambar itu hanyalah menampakan senyuman penuh dustanya. 

“Jangan salahkan aku, aku tak berbuat apa-apa. Sebenarnya siapa yang harus disalahkan? Aku atau kamu?!” Aku terisak didalam tangisku yang sia-sia. “Mengapa semuanya selalu berbalik padaku?! Kamu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku.”

Aku kesal karena ia tak menjawabku. Aku melempar foto itu hingga kacanya pecah. Aku memeluk tubuhku sendiri berharap semua ini hanya mimpi. “Mengapa? Mengapa harus begini? Aku tak sanggup jika kamu terus menyalahkan aku atas semua kesalahan yang kamu perbuat. Apa kamu tak pernah berpikir rasanya dicambuk tanpa kesalahan? Sakit!”

Aku mengingatnya kembali. Sebelum aku mulai gila seperti ini.

***

“Aku tak mau percaya lagi denganmu!” bentakku memukulnya dengan kekuatan yang aku punya. Ia tetap menepis tanganku dan memintaku untuk menjelaskan semua yang aku bicarakan. Aku tak peduli apapun reaksinya, aku tak akan menghentikan pukulan itu.

“Tenanglah!” Ia menggenggam tanganku yang tak mampu terlepas dari genggamannya.

“Lepaskan aku! Kamu lelaki sialan!” Aku melawan genggaman tangannya dan terus memakinya tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Amarahku telah sampai pada puncak, memecahkan termometer pada pikiranku.

Aku hilang kendali tak mampu berpikir apa pun. Segala yang kukatakan, bahkan yang kulakukan benar-benar tak kusadari. Aku tetap memberontak, meski dia terus menggenggam tanganku.

“Tenanglah! Jelaskan padaku apa yang terjadi?” Ia memeluk tubuhku dengan erat. Aku menolak pelukannya, mendorongnya kuat hingga ia melepas pelukannya.

“Lelaki sialan! Kurang ajar! Janjimu kosong, aku tak percaya lagi padamu!!!” aku membentaknya. Tak kusadari air mataku jatuh begitu saja.

Ia menghapus air mataku, aku menepis tangannya. Ia menggenggam kedua pipiku dan menciumku. Namun, aku tak segan untuk menamparnya dengan telapak tanganku.

Ia menyentuh pipi yang habis kutampar. Ia menatapku bingung, “Kamu ini kenapa?! Jelaskan, aku tak mengerti!”

“Kamu lelaki tak tahu diuntung! Kamu bilang kamu gak akan pernah menduakan aku!”

“Aku gak pernah menduakan kamu!” seketika nada suaranya mulai tegas.

“Kamu bohong! Lelaki pendusta! Kamu hanya memanfaatkan aku kan?”

“Cha, aku gak mengerti apa maksud kamu! Aku manfaatin kamu?”

“Iya! Kamu hanya jadiin aku pembantu kamu kan? Sebagai penopang hidup kamu, kamu kuras harta aku. Kamu bilang hanya aku yang ada di hati kamu, dan kamu manis seperti orang baik di hadapan aku.”

“Cha! Aku tak pernah seperti yang kamu bilang!” Ia marah ketika aku berbicara padanya dengan kata-kata yang mungkin menyinggungnya.

“Apa buktinya kalau kamu gak begitu?! Kamu sama seperti lelaki lain! Kamu manis didepanku seperti kucing tapi ketika kamu ada di belakangku? HAHA, kamu seperti anjing yang bermain dengan wanita lain!”

“Anjing?! Kamu bilang seperti anjing?”

“YA! Kamu seperti anjing!”

Ia mengepalkan tangannya geram. “Apa maksudmu sampai kamu berkata begitu?! Apa salah aku hah?!”

“Kamu masih bertanya? Kamu ini pura-pura gak tahu atau goblok hah?!”

“Kamu jelaskan! Aku bukan pembaca pikiran yang bisa mengerti apa yang kamu pikirkan!” bentaknya.

Aku tak menyangka dia membentakku begitu. Baru satu kali ini dia membentakku, berbicara dengan raut wajah yang mengkerut, dan urat leher yang terbentuk.

Tak kusadari, air mataku jatuh. “Kamu pasti tahu kejadian kemarin! Kemarin kamu melihatku, tapi kamu sama sekali tak mengerti perasaan aku!”

“Maksudmu apa? Apa kaitannya dengan perasaanmu?!”

“Kamu gak sadar juga?! Kamu pegangan tangan dengannya! Kamu peluk dia! Dan aku yang melihat kamu seperti itu, tersayat hati aku Dim! Aku pergi tapi kamu gak peduli!”

“Hahaha, itu sepupuku, bodoh!” Ia memukul tembok yang digunakannya untuk bertumpu. Seraya membuatku kaget juga karena bentakannya.

“Bohong! Aku lihat kamu peluk mesra dengannya! Aku lihat tatapan kamu, seakan punya perasaan dengannya! Kamu diamkan aku, saat aku cemburu seperti itu! Kamu tak merasa bersalah, tak mengirim pesan untuk aku, tak menelpon aku juga! Kamu tak ada pedulinya denganku. Apa kamu sudah pacaran dengannya? Atau bahkan pernah ‘melakukannya’ dengannya ya?! Ayo mengaku!” aku menuduhnya tanpa bukti.

PLAKK!!

Dia menamparku. “Apa maksudmu hah?! Pikiranmu terlalu jauh! Aku tak mungkin melakukannya dan aku masih punya cita-cita! Jaga bicaramu!”

“Lalu mengapa kamu gak telpon aku waktu itu? Kenapa kamu gak kejar aku waktu itu?! Hah!”

“Ck, kenapa kamu jadi posesif begini, hah?!”

“Apa salahnya aku mau menjaga pacarku sendiri agar tak bermain dibelakangku?!”

“Aku tak pernah bermain dibelakangmu! Dan berhentilah menjadi posesif seperti ini!”

“Kamu melarang aku untuk menjaga kamu?! Kamu keberatan?! Cobalah kamu ada di posisiku! Kamu juga posesif terhadap aku, aku jalan dengan kakakku sendiri kamu pun cemburu! Kamu teror aku dengan nomor barumu! Mengancam membunuh kakakku sendiri kalau aku jalan dengannya! Apa itu namanya bukan posesif? Itu over! Overposesif!”

“Kenapa semua jadi menyalahkan aku, hah?!”

“Terserah! Mau yang salah kamu, ibumu, nenekmu, kakekmu, aku tak peduli!”

“Tak perlu membawa nama ibuku!” bentaknya lagi.

“Lelaki murahan!” umpatku.

“Apa kamu bilang?!”

PLAKK!!

Dia menamparku lagi. Pipiku memerah karena tamparannya. Ku memegang pipiku yang usai ditampar olehnya. Memastikan kalau pipiku tak jatuh ke lantai karena tamparan ganasnya.

“Kamu tega melakukan ini?!” Aku membendung air mataku yang meluap dari sarangnya.

“Iya! Aku tega melakukannya! Lalu kenapa?!”

“Aku ini pacarmu! Harusnya kamu menjaga aku, bukan menamparku!”

“Tidak lagi, Kita putus! It’s over and never ever getting back together!” Ia memukul tembok yang digunakannya bertumpu, tanpa pamit ia pergi meninggalkan aku yang terdiam merintih akan sakitnya tamparan dan sakitnya sayatan dalam hati ini.

***

Setan itu keluar. Aku baru tersadar dari perlakuanku barusan. Namun, terlambat Cha! Dimas telah pergi meninggalkanmu dan sepertinya tak mau lagi mengenalmu.

Aku memaki diriku sendiri, tak segan juga menyakiti diri sendiri. Semua berakhir! Dimas pergi meninggalkan aku, aku tak memiliki siapa-siapa lagi. Ini semua berakhir? Mengapa harus terjadi?
Aku menangis lagi diatas ranjangku yang hancur karena ku acak-acak. Aku melempar bantal, guling, menarik selimut dan melemparnya sembarang. Aku merasa diri ini terkutuk! Aku dirasuki setan yang membuat hubunganku dengannya berakhir.

Aku mengambil ponselku berniat mengirim pesan untuk meminta maaf padanya. Namun, aku berpikir berulang kali untuk mengirim pesan itu. Kata-kata yang keluar dari mulutku telah menyayat hatinya, perlakuanku telah membuat memar ditubuhnya, bahkan dia telah menamparku. Apa aku tak punya rasa malu untuk menghubunginya terus menerus dikala dia sudah merasa jijik denganku?
Sudahlah, ini semua telah berakhir. Kusebut namanya berulang kali. Ku mengambil pas foto yang telah pecah kulempar beberapa menit yang lalu. Aku menatap senyuman pada foto itu, air mataku menetes tepat pada wajahnya.

Kupeluk pas foto itu, kupejamkan mataku sambil mengingat masa masa bersamanya.

“Dimas...” ku terus menyebut namanya. Air mataku menetes setiap ku panggil namanya. Pas foto itulah yang mampu kupeluk, bahkan sesungguhnya aku berharap dialah yang aku peluk saat ini.
Semakin erat aku peluk pas foto itu, semakin aku terlarut dalam kenanganku. Aku tak mampu menahan semua ini, ingin kulepaskan semua dalam teriakan. Namun, keadaan tak memungkinkan.

Tuhan... Aku harap semuanya kembali. Aku berharap ini hanya mimpi...
Aku butuh mesin waktu untuk mencegah kejadian ini, tapi... percuma, semua sudah berakhir.

***

Aku telah membentaknya. Aku juga memukulnya. Ada apa dengan diriku ini? Mengapa aku berubah? Setan apa yang telah merasukiku?

Aku hampir saja memiliki niat untuk membunuhnya. Semua kekacauan ini, pertengkaran ini mengendalikanku. Aku kehilangan kuasa atas diriku, aku tak mampu menguasai perasaan, pikiran bahkan perlakuanku.

Sebenarnya siapa yang salah? Aku atau dia? Apa aku terlalu cemburu sehingga dia meninggalkanku? Apa aku terlalu posesif seperti yang dia katakan? Apa aku terlalu berburuk sangka padanya sehingga aku tak percaya perkataannya? Apa aku keterlaluan sehingga dia... menamparku?

Aku rasa aku memang salah. Aku yang salah, aku terlalu cemburu padanya! Aku terlalu posesif! Aku juga selalu berburuk sangka dan selalu mencurigainya. Aku memang bukan pacar yang baik untuknya! Tindakanku juga keterlaluan sehingga aku menyakiti hatinya. Itulah mengapa ia menamparku.

Tapi, aku cemburu karena aku sayang dia! Aku posesif seperti ini pun karena aku tak ingin dia selingkuh. Aku berburuk sangka untuk memastikan kalau dia jujur dan tak membohongiku. Aku... Keterlaluan seperti ini juga... karena aku ingin menjaga hatinya dan menyadarkannya.

Aku diambang kebingungan. Antara kesalahan dan kebenaran aku bingung, mengingat semua telah terjadi dan terlanjur... Aku menangis lagi. Aku menangis menghabiskan malam yang buruk ini.
Aku tak mampu mengatasi segala yang telah ku perbuat. Aku memang pecundang! Yang tak mau bertanggung jawab atas perbuatanku dan hanya mampu menyesalinya –dengan air mata.

***

Tangis yang membuatku menumpahkan segalanya, membuat dada yang sesak perlahan lega. Kulepaskan beban dalam aura negatif yang kujatuhkan bersama air mata. Tangis yang terlalu lama membuatku pusing –sakit kepala ini karena terlalu banyak menangis.

Meski bebanku terlepaskan dan membuat lega, tapi tidak untuk dadaku –penyakit asma ku kambuh. Rasanya sakit, nafasku tersengal. Ingin kupanggil mama, tapi itu tak mungkin. Aku tak ingin mama memarahiku lagi, karena aku menangis karena cinta.

Mama selalu melarangku untuk memikirkan cinta jika itu akan menyangkut kesehatan dan prestasiku –itulah mamaku, overprotektif. Tapi, aku yakin mama begitu karena sayang kepadaku.

Aku masih menggenggam foto Dimas yang tadi kupeluk. Aku berusaha menahan sakit pada dadaku, merangkak dengan penuh upaya ke ranjang yang menanti. Tidak lupa ku seret juga pas foto yang ada di tangan kiriku. Kurebahkan tubuhku diatas ranjangku yang sudah hancur teracak. Kupandang foto itu lagi, aku tersenyum sambil menitikkan air mataku.

Aku ingin sekali mengakhiri hidupku. Apalagi jika ku pandang foto itu, rasanya aku ingin memejamkan mata untuk selamanya. Apa harus kubakar foto itu untuk melupakannya dan mengakhiri segala keterpurukan ini?

Tapi, aku takkan membiarkan semua ini berakhir. Aku takkan membiarkan semua ini membuatku terpuruk hancur. Biarlah kenangan menjadi sebuah kenangan. Dan akan ku cegah masa lalu mengakhiri harapanku.

***

Kamu tahu Dim? Aku hancur! Kamu hancurkan hati aku, kamu ledakkan hingga hati aku menyebar membentuk serpihan. Serpihan hati aku hilang, dan itu kamu! Kamu tak mengerti apa maksud aku dalam menjagamu, merasa memilikimu sepenuhnya. Karena AKU SAYANG KAMU!

Disaat aku sayang kamu, aku mau jaga kamu, kamu bilang aku posesif. Dan kamu justru bilang ini tak akan berlanjut. Ini tak abadi? Tolong, jangan katakan itu. Aku masih sayang kamu...

Kamu hancurkan hati aku, kamu patahkan hati aku, kamu lukai hati aku, kamu sayat hati aku. Luka abadi yang kamu sirat dihati aku tak akan mudah aku lupakan. Aku telah memohon padamu untuk tak meninggalkanku, aku telah memohon padamu untuk tetap bersamaku, aku telah memohon padamu untuk menemaniku. Tapi, apa buktinya? Kamu bilang kita tak akan pernah bersatu!

Kamu bilang kita ini tak cocok, tak mungkin bersatu. Aku yakin pandangan kamu salah, aku yakin itu hanya karena kamu emosi berkata begitu. Aku tak mampu melepaskan kamu secepat itu.
Kupejamkan mataku, mengecup pas foto dalam pelukan. Dadaku sesak kembali, air mataku terurai kembali. Aku tak akan membuat semua ini usai.

***

Aku yakin ini masih berlanjut, dia akan kembali padaku. Aku yakin  ini belum usai dan takkan pernah usai. Aku yakin jika dia tak kembali padaku, pasti ada pengganti dia untukku. Aku tak mungkin menjadi perawan tua, aku juga tak mungkin sendiri seumur hidup.

Kecuali jika dia berusaha untuk merenggut segala kebahagiaanku. Tetapi tak akan aku biarkan, sekalipun aku harus mempertaruhkan nyawaku demi kebahagiaan hidupku. Aku takkan membiarkan harapanku hancur, mimpiku sirna, hidupku kelam.

Aku takkan pernah membiarkannya usai. Sekalipun dia harus menghancurkanku, ini takkan usai! Meski dada ini sesak, kuyakin aku belum usai.

Nafasku semakin pendek, aku semakin sulit untuk mengambil oksigen diudara. Aku mengambil tabung oksigen, tapi habis. Aku tak mampu keluar, bahkan bangun dari tempat tidurku pun itu sulit!
Aku merangkak berencana memanggil mama. Namun, aku terjatuh dan menutup mataku. Entah, apa yang terjadi saat itu.

***

Ditulis oleh:


Michiko

Baca juga kisah romansa lainnya: Klik di sini