Klakson berbunyi, sebuah mobil hitam merapat di gerbang depan. Jo yang semula duduk di kursinya, dengan sigap berlari kecil menembus rintik hujan yang lebih kalem menghujam tubuhnya. Ia membukakan pintu gerbang yang tertutup. Sementara itu, Grace yang baru saja terbangun dari tidurnya mengintip dari balik jendela pos satpam. Mobil hitam itu asing baginya, ia tak pernah mengingat siapa pemiliknya. Namun, ada hal menarik yang ia temukan di dalamnya. Pria yang selama ini menggodanya, ada di dalam mobil itu bersama seorang wanita.
Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 4 - Patroli Malam
Bagian 5: Janji
Setelah patroli perdana pada malam itu, Jo dan Grace lebih sering bertemu. Mereka bertemu pada malam hari untuk berpatroli bersama. Terkadang, sepulang kerja, Grace langsung menunggu jadwal patroli bersama Jo di pos satpam. Terkadang pula, Grace datang setelah tidur sejenak di rumahnya. Saat jadwal Jo bekerja pada siang hari, Grace juga seringkali bertemu dengan Jo di pantri. Mereka bagaikan sepasang merpati yang tak terpisahkan.
Akibat kebersamaan Jo dan Grace yang seringkali terlihat oleh beberapa karyawan, sebuah rumor pun menyebar. Kisah asmara satpam muda dan Nona Hulk pun menjadi berita utama yang disebarkan dari mulut ke mulut. Mulanya, rumor itu merebak di departemen keamanan. Lama-kelamaan, rumor itu semakin menjalar dengan cepat ke departemen lain bagai api yang melahap kayu bakar. Namun, tak ada yang berani membicarakan rumor itu kepada Jo ataupun Grace secara langsung. Keduanya juga tak begitu peduli dengan rumor yang melibatkan nama mereka.
Saat istirahat makan siang, Grace sengaja pergi ke pantri untuk menghampiri Jo. Sebab, ia tahu pria itu selalu beristirahat di pantri setiap ada kesempatan. Benar saja, saat membuka pintu, pria itu sedang menyeduh kopi. Tampaknya, pria itu menelan biji kopi setiap hari untuk mengganjal perutnya.
“Jo, nanti malam patroli, ya?” Grace menyambar secangkir kopi yang baru saja diseduh Jo. Ia menyeruput kopi yang sama sekali belum dicicipi oleh Jo sambil bersandar pada pantri.
“Malam ini bukan jadwalku untuk patroli malam.”
“Apa aku terlihat peduli?” Grace mendekatkan wajahnya dengan wajah Jo lalu menyeringai.
Jo mendesah pelan. Ia merebut kembali cangkir kopi yang dipegang Grace, membuat bibir Grace tersulut kopi yang masih mengepul. Gadis itu meringis sambil mengusap bibirnya yang kepanasan.
“Kau patroli saja sendirian,” ucap Jo sambil menyeruput kopinya.
“Aku tak tahu tempat ini, bisa-bisa aku menyasar.”
“Apa aku terlihat peduli?” Jo melirik Grace sambil menyeringai. Puas hati ia membalas ucapan Grace seperti apa yang diucapkan gadis itu kepada dirinya sebelumnya.
Grace mendecakkan lidahnya. Ia memutar bola matanya sambil bergumam, “Menyebalkan.”
“Kau bisa menelusuri lantai atas sekarang, alih-alih bersantai di sini.”
“Kau gila, haruskah aku menghabiskan waktu makan siangku yang sempit untuk menelusurinya sendirian?”
“Mengapa tidak? Kau punya kesempatan untuk itu,” tandas Jo. Ia meletakkan kopinya di atas meja lalu duduk di kursi.
Grace melipat kedua tangannya. “Nona Kim akan menyemburku dengan omelannya kalau melihatku berkeliaran seperti itu.”
“Apa aku terlihat peduli?” tanya Jo lagi dengan kalimat yang sama persis seperti sebelumnya. Kalimat itu seketika menjadi kalimat favoritnya.
“Jo, aku serius.” Grace mendekati Jo lalu menumpu kedua tangannya di atas meja. Permukaan kopi meriak karena getaran yang ditimbulkan dari sentuhan telapak tangan Grace pada meja. Kini, posisi wajah Grace lebih tinggi daripada Jo sehingga pria itu harus mendongak untuk memandang wajah Grace. “Aku harus segera mengetahui seluruh isi gedung secepatnya.”
Jo mengerutkan dahi. “Kenapa harus secepatnya?”
Grace mengatupkan bibirnya. Ia menghela napas. “Lebih cepat lebih baik.”
“Kenapa lebih baik?” Jo bertanya lagi.
“Kau ini banyak tanya!” Grace menggebrak meja sehingga riak permukaan kopi di gelas Jo bergetar lebih cepat.
“Itu tak menjawab pertanyaanku, Grace.”
Grace mengusap wajahnya. “Waktuku singkat, Jo.”
“Berapa lama lagi?” Jo memandang wajah Grace yang kian memerah karena naik darah.
“Tiga minggu.”
“Bukankah kontrakmu masih empat bulan lagi?”
Grace memutar bola matanya. “Setelah itu, aku gila-gilaan dengan proyek lain.”
Jo mengangguk. “Masuk akal.”
“Jadi?” Grace menatap Jo dalam-dalam walaupun pria itu tak tertarik menatapnya.
Pintu pantri yang terbuka mengejutkan keduanya. Grace melangkah mundur menjauhi Jo. Pandangannya terpaku pada seorang wanita tinggi dengan riasan wajah nyentrik yang sedang berdiri di bibir pintu.
“Berpacaran saat jam kerja, huh?” tanya wanita itu sambil melipat kedua tangan di dadanya.
“B-bukan begitu, Nona Kim. Aku… aku hanya—“
“Jika kau tak makan siang, kembali bekerja. Kau tahu, pekerjaan kita masih banyak, Grace!”
Grace melirik Jo yang melongo saat memandang Nona Kim. Pria itu sama sekali tak membantu saat Grace disudutkan oleh wanita cerewet itu. Sudah bisa dipastikan, Jo seperti melihat hantu merah yang gentayangan sebab bulu-bulu di lengannya tiba-tiba berdiri begitu wanita itu datang.
“Tunggu apalagi? Cepat, kembali bekerja!” suara Nona Kim yang melengking membuyarkan pikiran Grace.
“Ah, iya,” sahut Grace. Ia melangkahkan kakinya untuk meninggalkan pantri. Grace melirik Jo saat melewatinya lalu berbisik, “Sudah kukatakan barusan, langsung kejadian, kan?”
Jo mengangguk pelan, sebisa mungkin gerakannya tak begitu mencolok di mata Nona Kim. Kemudian, ia berbisik saat Grace mendekati pintu pantri. “Malam ini jam sebelas, di depan gerbang.”
Grace membentuk bulatan dengan dua jarinya, tanda bahwa ia setuju dengan usul Jo. Kemudian, ia pun keluar dari pantri dan menghilang di balik dinding yang menyekat ruangan.
Malam ini adalah janji pertama untuk bertemu dengan Grace di luar jam kantor. Jo menyunggingkan senyumnya sambil menyesap kopinya saat matanya terpaku pada pintu yang tertutup perlahan. Seketika bibirnya terbakar dengan cairan kopi yang masih mengepul. “Sial, panas!”
***
Matahari undur diri dan berganti posisi dengan bulan. Malam itu, bulan bersinar terang dan terbingkai sempurna pada jendela raksasa yang menempel di dinding. Lampu-lampu lorong sudah mati sebagian, hanya satu ruangan yang masih terang sebab di dalam ruangan itu terdapat seorang pegawai yang masih sibuk dengan mesin dan papan ketiknya.
Sore itu, Grace sudah bersiap-siap untuk pulang. Janji dengan Jo tak mungkin ia lupakan. Rencananya, ia akan tidur sejenak lalu kembali ke kantor untuk berpatroli malam bersama Jo. Namun, rencananya yang sudah disusun sedemikian rupa tiba-tiba berantakan setelah Nona Kim menghampirinya dengan setumpuk kertas berjilid-jilid.
Buku-buku yang disusun dari ratusan bahkan ribuan kertas itu berdebuk saat menghantam permukaan meja kerja Grace. Jari-jari Grace seketika lemas saat melihat tumpukan kertas berjilid itu. Ia menengadah untuk memandang wajah orang yang baru saja meletakkannya di atas meja.
“Kalau bisa, kau lembur malam ini. Tenggat waktu tinggal seminggu untuk menyelesaikan semua ini.” Nona Kim meletakkan satu per satu jilid kertas yang sampulnya berbeda-beda sambil menjelaskan rincian pekerjaan yang harus dikerjakannya satu per satu setiap kali ia membuka sampul pada satu jilid dokumen.
“Apakah aku harus mengerjakan ini semua sendirian?”
Nona Kim mengangguk sambil memainkan kukunya yang dipoles dengan cat berwarna merah darah. “Iya.”
“Mengapa tidak berbagi tugas dengan yang lainnya? Aku mengerjakan ini dalam seminggu, mustahil, aku masih punya pekerjaan yang la—“
Nona Kim mendesis sehingga membuat Grace berhenti berbicara. “Kerjakan saja, rekanmu yang lain sudah mendapatkan porsinya masing-masing. Oh iya, lagipula, itu tugas dari Tuan Ray. Kuharap kau melakukannya dengan baik.”
“Tapi, sebanyak ini?” Grace melirik tumpukan kertas berjilid yang hampir setinggi kepalanya.
“Selamat mengerjakan tugasmu!” Nona Kim menepuk bahu Grace lalu segera meninggalkan ruangan kerja itu.
Grace mendengus kesal. Ia meremas rambutnya hingga rambutnya yang dikucir rapi jadi acak-acakan. “Sial, pria kurang ajar itu sekarang ingin bermain-main denganku.”
Grace menatap layar monitornya yang menampilkan aplikasi untuk mengetik dengan kertas putih kosong yang terpampang. Lantas, ia mengusap wajahnya. Mau tidak mau, ia harus segera menyelesaikannya. Sekitar sembilan jilid dokumen tebal harus dikerjakan gadis itu dalam waktu satu minggu, belum lagi pekerjaan yang datang saat jam kerja normal, itu baru beban yang diterima saat ia bekerja di anak perusahaan milik Ray. Ditambah lagi beban yang harus ia pikul karena mengabdi kepada Jun. Bahunya kini benar-benar terasa berat memikul tanggung jawab yang semakin sarat.
Grace melirik jam yang menggantung di dinding. Empat jam, seharusnya dia bisa menyelesaikan setidaknya satu dari sembilan jilid pekerjaan tambahan yang harus dikerjakan. Ia meregangkan jari-jari hingga berbunyi lalu mulai bertempur dengan pekerjaannya sembari berharap ada waktu untuk menemui Jo walaupun hanya untuk membatalkan janji.
Jari-jari Grace menari di atas papan ketik. Suara jari dan papan ketik yang berdetik bersenandung bersama dengan jarum detik yang terpampang di dinding. Keheningan semakin lama semakin pekat. Kegelapan juga perlahan merambat. Lampu-lampu lorong mulai dimatikan, hanya lampu ruang kerjanya saja yang menyala.
Berulang kali, mata Grace melirik jam dinding. Waktunya semakin sempit sedangkan pekerjaannya belum selesai sesuai target. Grace meningkatkan kecepatan jari-jarinya, suara papan ketik semakin nyaring dan iramanya semakin membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia yakin, Jo sekarang sudah berada di perjalanan untuk bertemu dengannya.
Saat matanya fokus pada layar, suara deritan pintu terdengar. Grace tak melirik ke arah pintu, ia tak begitu peduli dengan orang yang datang.
“Aku belum selesai, jangan dikunci dulu,” ucap Grace.
“Kau suka dengan pekerjaanmu yang baru?”
Suara itu sangat familiar di telinga Grace. Jari Grace berhenti bergerak. Ia melirik ke arah seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya. “Kau suka melihatku menderita?”
Lantas, pria itu duduk di sofa yang terletak dekat jendela raksasa. Ia mendongak menatap rembulan yang bersinar terang. “Rembulan di luar sana bercahaya begitu indah. Padahal tadinya aku datang ke sini untuk memandang rembulanku, ternyata sekarang sedang mendung, ya?”
“Kalau kau datang untuk menggangguku, lebih baik kau keluar saja.” Grace kembali menggerakkan jari-jarinya. Ia tak ingin waktunya terbuang sia-sia hanya untuk menanggapi ucapan pria yang sama sekali tak berguna.
“Tutup saja pekerjaanmu, lalu pulang bersamaku.”
“Itu sama sekali tak akan menyelamatkanku dari amukan Nona Kim,” gumam Grace.
Pria itu tertawa. Ia bangkit dan berjalan mendekati Grace kemudian kedua kakinya terpasak di lantai. Ia berdiri di samping meja kerja gadis itu sambil kedua tangannya bertumpu pada permukaan meja. Matanya menilik wajah gadis itu. “Kau tak kenal aku? Aku, Raymond Arnoldi, yang bisa membuat Nona Kim berhenti mengomelimu bahkan berhenti muncul di hadapanmu. Selain itu, aku juga bisa mengurangi beban pekerjaanmu.”
“Caranya?” Grace berhenti mengetik.
Pria itu menyeringai sambil melirik jari-jari Grace yang tiba-tiba berhenti. “Tutup saja pekerjaanmu, lalu pulanglah bersamaku.”
Grace berpikir sejenak. Tinggal setengah jam lagi menuju janji temu dengan Jo. Jika dipikirkan kembali, pekerjaan Grace baru selesai dua per tiganya sedangkan ia harus menyelesaikannya malam ini juga. Namun, kendalanya adalah ia dikejar waktu untuk janji temu bersama Jo. Waktu yang tersisa tak akan cukup untuk menyelesaikan pekerjaannya itu, jika bersamaan dengan janji untuk bertemu Jo.
Maka, Grace pun mengambil keputusan. Jika pekerjaannya tak selesai, setidaknya pekerjaannya berkurang dan malam ini ia bisa pergi untuk menemui Jo. Urusan Ray yang ingin mengantarnya pulang, dia bisa saja beralasan untuk turun di tengah jalan.
“Hanya untuk malam ini saja.” Grace mematikan komputernya. Cahaya meredup dari layar. Grace segera menyambar tas tangannya lalu bangkit.
Ray menyeringai. Ia berjalan keluar diikuti Grace di belakangnya. Grace pun mematikan lampu ruang kerjanya. Kemudian, bersama dengan bosnya, ia menaiki mobil hitam yang pernah dilihatnya sebelumnya saat patroli malam pertama kali bersama Jo. Mobil melesat meninggalkan area gedung perkantoran.
Sementara itu, Jo sudah siap menanti Grace sejak pukul setengah sepuluh di bawah pohon rindang yang tertanam di samping gerbang kantor. Jalanan terlihat gelap tidak sepenuhnya dicakup oleh cahaya lampu jalanan. Bahkan, keberadaan Jo tak bisa dilihat dari jarak seratus meter. Ini adalah janji pertemuan yang pertama, Jo tidak ingin membuat Grace menunggu untuk kencan pertamanya.
Setelah menanti hampir satu jam lamanya, Jo melihat mobil hitam yang tak asing untuknya sedang melintasi gerbang kantor. Jo sudah biasa melihat mobil itu pulang selarut ini, biasanya pemiliknya selalu pergi bersama seorang wanita di sisinya.
Mobil hitam itu melesat pergi dari kantor melewati Jo yang sedang menanti seseorang. Jo mungkin tak ada urusan apa pun dengan pemilik mobil itu tetapi mata Jo tak bisa teralihkan dari mobil yang kian jauh darinya. Sebab, seseorang yang dia tunggu justru pergi bersama si pemilik mobil hitam.
Dada Jo terasa sesak saat melihat seseorang yang ia tunggu justru duduk bersebelahan dengan sang pemimpin perusahaan pada hari kencan pertamanya. Sungguh, ia berharap agar gadis itu tidak melakukan hal yang bahkan tidak sanggup ia bayangkan.
***
Jo duduk di trotoar sambil menanti Grace. Barangkali, gadis itu lupa bahwa ia punya janji dengannya. Jo akan tetap setia menunggu walaupun setengah hatinya saat ini sudah hangus terbakar api kecemburuan. Ia memandang rembulan yang berseri. “Kenapa kau berseri saat aku sedang mengalami hal seperti ini, sedangkan saat itu kau malah bersembunyi? Kau senang melihatku seperti ini, huh?”
Jo menyomot kerikil kecil dan melemparnya ke tiang listrik dengan kekuatan penuh hingga batu dan tiang besi itu berdenting dengan keras. Jo kembali duduk di trotoar, mungkin ia akan menanti di sana sampai Grace kembali.
“Kudengar, kau dekat dengan Jo.” Ray membuka pembicaraan setelah beberapa menit disapu keheningan.
“Iya, kami memang dekat.”
Grace memandang ke luar jendela. Sudah sejak awal, ia ingin sekali melompat keluar dari mobil itu. Perasaan resah itu berkecamuk dalam dadanya. Namun, Grace mengulurnya hingga setengah perjalanan agar tak terlalu mencurigakan.
“Apakah benar kau berpacaran dengan Jo?” tanya Ray.
Grace melirik Ray. Wajahnya benar-benar datar, air mukanya begitu keruh menyiratkan macam-macam pemikiran yang menggumpal di dalam benaknya.
“Kau tukang gosip juga seperti karyawan-karyawanmu, ya?”
“Bukan begitu. Maksudku, setidaknya, aku mengonfirmasinya langsung kepadamu. Sejujurnya, aku tak begitu suka dengan rumor yang merebak tetapi untuk rumor yang satu ini… aku merasa kalah saing dengan seorang satpam.”
“Status sosialmu tak berpengaruh apa-apa untuk urusan asmaraku.”
Lengang sejenak.
“Kau mau naik pangkat?” tanya Ray sesekali melirik Grace yang sedari tadi membuang muka.
“Mengapa kau menanyakan hal itu tiba-tiba? Aku bahkan tak tertarik sama sekali.”
“Baiklah.” Ray kembali menatap lurus ke depan. “Hubungi aku jika kau tertarik. Maka, kita akan membicarakannya lagi di ruang kerjaku.”
Grace menoleh setelah mendengar ucapan Ray. Itu adalah ruangan yang ia tuju. Hanya dengan memegang kartu AS, Grace bisa mendapatkan akses eksklusif untuk masuk ke sana. Namun, seketika Grace teringat pada Jo sesaat setelah membicarakan ruang kerja Ray. Waktu Jo dan perjuangan patroli itu akan sia-sia dalam hitungan detik saja.
Grace melirik jam tangannya, jarum jam menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh menit. Jo pasti sedang menunggunya. Sebenarnya, perjalanan dari kantor menuju rumahnya tidak memakan begitu banyak waktu. Akan tetapi, setengah jam telah berlalu sia-sia sebab pria itu mengambil akses jalan yang panjang untuk mengulur waktu bersamanya.
“Turunkan aku di depan!” Grace menunjuk sebuah halte yang sepi. “Rumahku tak jauh dari sini. Aku akan naik taksi.”
“Tidak, aku akan mengantarmu ke rumah.”
Alih-alih menginjak rem, Ray justru menginjak pedal gas saat melewati halte itu. Grace mengusap wajahnya. Pikirannya terus berjalan, ia memperhatikan trotoar di sisi jalan sambil mencari tempat untuk bersembunyi.
Grace memberhentikan Ray saat melewati sebuah toko kecil. “Berhenti!”
Ray menginjak rem sekaligus membuat tubuh keduanya tersungkur karena rem mendadak.
“Sudah sampai, rumahku ada di gang kecil ini. Mobilmu tak akan bisa masuk. Jadi, aku turun di depan sini saja. Terima kasih atas tumpangannya.”
Grace terburu-buru menyandang tas di bahunya lalu keluar dari mobil Ray. Ia pun melangkah sesantai mungkin memasuki gang kecil yang diterangi oleh remang cahaya lampu. Gang itu agak gelap, membuat tubuh Grace yang semula terbingkai bias cahaya lampu, seketika dilahap kegelapan begitu memasuki gang kecil itu.
Mobil hitam melaju dengan cepat meninggalkan tempat pemberhentian Grace setelah sepuluh menit berlalu. Pria itu benar-benar gigih untuk mendekati Grace, bahkan ia sampai rela menunggu untuk memastikan bahwa Grace tak membohonginya. Grace mengintip dari balik dinding, mobil itu sudah menghilang dari pandangannya. Ia pun berjalan cepat ke tepi jalan untuk memberhentikan kendaraan apa pun yang lewat.
Setelah menunggu, sebuah taksi melintas di depannya. Ia memberhentikannya lalu naik dengan tergesa-gesa. Mobil taksi langsung menancap gas setelah gadis itu menutup pintunya. Jarum jam kini sudah menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh menit. Jarak pemberhentiannya dengan kantornya sangat jauh, ini akibat Ray yang sengaja membawanya berkeliling kota untuk mengulur waktu.
“Tuan, bisa lebih cepat?” pinta Grace.
Jantung Grace berdebar kencang seolah diburu waktu. Sudah terlambat hampir satu jam, Grace berharap Jo ada di sana. Beberapa puluh meter dari sana, Grace melihat Jo sedang duduk di atas motornya. Taksi semakin merapat ke area perkantoran, Grace merogoh tasnya dan mengambil uang sedapatnya dari dalam tas.
“Bawa saja uang kembaliannya, Tuan.”
Berdebam. Grace membanting pintu taksi saat tatapan bingung dari sopir taksi itu menyudutkannya. Namun, Grace tidak peduli. Satu-satunya hal yang ia pedulikan adalah Jo. Pria itu menaiki motornya saat Grace sedang mencari uang di dalam tasnya untuk membayar ongkos taksi. Grace berlari mengejar pria itu tetapi laju motor pria itu jauh lebih cepat daripada dia.
Grace terengah-engah sambil memegang kedua lututnya. Seseorang menepuk bahunya, Grace menoleh ke arahnya.
“Uangnya kurang, Nona,” ucap sopir taksi yang baru saja ditumpangi taksinya oleh Grace.
Grace mengangguk paham. Ia melangkah gontai menghampiri taksi yang terparkir di bahu jalan. “Iya, antar saya pulang, Tuan. Nanti uangnya saya bayarkan sekalian dengan ongkos pulang.”
Sepanjang perjalanan, Grace terdiam memandang ke luar jendela. Kekecewaan meredam perasaannya hingga membuatnya tenggelam. Waktu tak mengizinkan mereka untuk bertemu walaupun hanya sepersekian detik saja.
— B E R S A M B U N G —
Baca kelanjutan kisah: Reverse
Ditulis oleh: Michiko