11 Desember 2020

Belajar Bersyukur dari Drama Korea: 18 Again

5:00 PM 0 Comments

Drama korea seringkali dijadikan kambing hitam karena kisahnya yang kelewat uwu alias gemas gitu. Orang-orang yang nggak pernah nonton drama korea kebanyakan punya pemikiran stereotip kalau drama korea itu cuma kisah cinta antara cewek bucin dan cowok yang kelewat romantis. Walaupun aku akui memang banyak drama korea yang begitu, jangan salah, banyak banget makna yang terkandung dalam kisahnya. Nggak selalu jadi kisah romantis yang picisan kok. Drama korea juga banyak memberikan pesan-pesan tentang kehidupan yang bermakna. Salah satunya adalah drama korea '18 Again'.


Disclaimer

Postingan ini mungkin akan mengandung spoiler drama korea 18 Again. Bagi yang belum menonton dan benci dengan spoiler, kalian tetap bisa baca isi postingan ini dengan skip bagian spoiler setelah membaca sinopsis. Kalau beberapa dari kalian siap dengan spoiler yang akan diberikan pada postingan ini, silakan baca dari awal sampai akhir.


Poster Drama Korea '18 Again'

Sebelum masuk ke dalam pembahasan utama, mari ketahui sedikit tentang drama ini. 

Judul: 18 Again

Direktur: Ha Byung Hoon

Penulis: Kim Do Yeon, An Eun Bin, Choi Yi Ryun

Jumlah Episode: 16 Episode

Jadwal Tayang: 7 September sampai 10 November 2020 (Setiap Senin dan Selasa pukul 21:30 KST)

Channel: JTBC

Sumber: Asianwiki.com


Sinopsis Drama

Masa-masa ketika berusia 18 tahun itu gold age banget. Kita bisa melakukan apa aja yang kita sukai, juga sebagai tolakan untuk menggapai mimpi. Drama Korea '18 Again' menceritakan kisah tentang seorang laki-laki yang harus menjalani hidup sebagai seorang ayah sejak dia berusia 18 tahun. Kehadiran kedua anak kembarnya ini membuat kedua orang tuanya harus menunda mimpi mereka karena harus mengurus kedua buah hatinya. Mereka banting tulang, hidup susah untuk membesarkan kedua anaknya. Suatu hari, sang Ayah (Hong Dae Young) mengucapkan kata-kata yang mengungkapkan penyesalannya mengapa harus mengorbankan mimpinya ketika masih muda karena "kecelakaan" itu. Hong Dae Young berpikir, seandainya dulu dia nggak meninggalkan lapangan basket saat pertandingan kejuaraan, mungkin hidupnya akan jauh lebih baik daripada saat ini. 


Suatu malam, Hong Dae Young galau karena tiba-tiba digugat cerai oleh istrinya. Akhirnya, dia mampir ke lapangan basket dan melempar bola basket ke ring. Keajaiban pun terjadi. Tiba-tiba dia jadi muda kembali. Sejak saat itulah, kisah ini dimulai. Banyak kisah yang nggak pernah Dae Young ketahui semasa dia menjadi seorang ayah. Dia nggak tahu alasan istrinya menggugat cerai, dia nggak tahu tentang mimpi anak-anaknya, sampai akhirnya dia sendiri yang membuka mata dan melihat apa yang sebenarnya terjadi pada anggota keluarganya.


[!!!] SPOILER ALERTKlik di sini untuk lompati spoiler ] 


Hong Dae Young hidup sebagai seorang pekerja reparasi barang. Dia sering diperlakukan semena-mena oleh pelanggannya dan atasannya. Tetapi dia tahan amarah itu, dia nggak mau resign dari pekerjaannya karena mau menghidupi kedua anaknya yang sudah berusia delapan belas tahun. Lagipula dia juga sebentar lagi akan dipromosikan. Jadi, dia legowo aja gitu jadi tukang reparasi walaupun sering diperlakukan semena-mena. 


Suatu hari, istrinya tiba-tiba memberikan surat cerai kepada sang suami tanpa menyebutkan alasan mengapa dia menggugat cerai suaminya, malah disuruh mikir sendiri. Jelas, Dae Young nggak mau menandatangani surat itu karena dia nggak tahu alasannya. Dae Young yang galau itu mencari hal untuk melepaskan beban pikirannya, dia pun akhirnya mengajak kedua anaknya makan bersama sekalian tanya tentang rencana hidup anaknya. Ketika ditanya terkait masa depannya setelah lulus, Hong Si A (anak perempuan) berkata kalau dia nggak mau melakukan apa-apa setelah sekolah. Sedangkan ketika bertanya kepada anak yang satunya, Hong Siwoo (anak laki-laki), tentang minatnya dalam bermain basket, Si Woo berkata kalau dia nggak tertarik main basket untuk mengikuti jalur ayahnya. Akhirnya, percakapan mereka berhenti di sana.

Suatu malam, Dae Young menghadiri sebuah pertemuan perusahaan. Saat itu pula, dia merasa senang karena sebentar lagi dipromosikan. Namun, kejadian malam itu nggak sesuai rencana. Alih-alih dipromosikan, dia malah dimutasi ke Busan. Ternyata, yang dipromosikan malah orang dalam alias keluarga atasannya. Malam itu, dia nggak terima dengan keputusan itu tetapi hal itu nggak mengubah keputusan atasannya. Justru dia tambah diinjak-injak oleh atasannya dan membuat dia marah. Dia pun mengamuk. Dia menghajar atasannya dan dia berhenti bekerja saat itu juga. 

Sepulangnya dari pertemuan itu, dia galau dan bingung karena sekarang jadi seorang pengangguran bahkan lebih buruk daripada menjalani pekerjaan sebagai tukang reparasi. Akhirnya, pemikiran itu mulai muncul, seandainya dulu dia tetap bermain basket mungkin saat itu dia bakal menjadi pemain basket profesional atau seenggaknya dia punya karir yang cemerlang. Akhirnya, dia mampir ke lapangan basket sekolahnya yang dulu (SMA Serim) dan mengambil bola basket. Dia perhatikan bola itu lama banget dan berpikir seandainya ada cara untuk kembali. Kemudian, dia melemparkan bola itu ke ring. Keajaiban pun terjadi, dia jadi muda kembali.

Sepulang dari lapangan basket, dia pergi ke sebuah minimarket. Dia juga belum menyadari kalau rupanya sudah berubah menjadi seorang pemuda. Saat dia akan membeli bir, dia dimintai kartu identitas. Dae Young yang sudah tua merasa lucu karena diminta kartu identitas. Saat melihat ke penjaga kasir, dia langsung berteriak marah. Ternyata, penjaga kasir itu adalah anak perempuannya, Hong Si A. Hong Si A bekerja part time di minimarket itu tanpa pengetahuannya. Namun, Si A yang nggak tahu kalau itu bapaknya, jelas takut karena diserang orang asing dan melaporkan dia kepada pemilik toko serta mengancam akan memanggil polisi. Dae Young yang marah pun melihat ke pintu kaca, dia melihat bayangan wajahnya yang menjadi muda dan seumuran dengan anaknya. Dia kaget bukan kepalang saat melihat wajahnya. Akhirnya, dia kabur dan nggak melanjutkan keributan di toko itu.

Selama bertengkar dengan istrinya, dia tinggal di rumah teman dekatnya, Go Dok Jin. Saat pulang, Dok Jin kaget karena ada orang asing masuk ke dalam rumahnya. Dia mengeluarkan senjata untuk mengusir orang asing itu yang ternyata adalah Dae Young yang sudah berubah jadi pemuda. Setelah beberapa lama keributan terjadi sampai rumah jadi kapal pecah, Dok Jin pun menyadari kalau itu adalah Dae Young. Dok Jin pun menanyakan cara Dae Young bisa kembali muda tetapi Dae Young sendiri nggak tahu caranya. Itu hanya terjadi secara tiba-tiba, begitu saja. Dae Young pun ingin memanfaatkan keajaiban itu. Dia punya satu permintaan, dia ingin sekolah lagi dengan Dok Jin berpura-pura sebagai ayahnya. 

Hong Dae Young pun membuat identitas baru dengan nama Go Woo Young. Ini lah hari pertama dia kembali sekolah dan menjalani hidup sebagai seorang pemuda. Dia nggak mau melewatkan kesempatan yang telah dianugerahkan kepadanya, dia mau meraih mimpi yang semasa muda pernah disia-siakannya. Kebetulan, saat dia masuk sekolah, dia sekelas dengan kedua anaknya. Saat itu pula, dia tahu perangai anaknya di sekolah.

Dae Young yang saat itu akan pergi ke toilet mendengar seseorang meminta dibukakan pintu dari luar. Ternyata, orang yang terkunci di dalam toilet adalah anaknya sendiri, Hong Si Woo. Dae Young kaget saat mengetahui Si Woo dirundung teman sekolahnya. Belum sempat menjawab pertanyaan Dae Young, Si Woo sudah bergegas pergi. Dae Young nggak tahu soal perundungan yang dihadapi Si Woo. Saat itu pula, ia merasa nggak enak hati karena nggak pernah mengetahui kehidupan anaknya yang bisa dibilang sengsara di sekolah. 

Dae Young ingin menanyakan alasan Si Woo dirundung kawannya. Saat Dae Young berniat mengejar Si Woo, dia malah dihadang anak perempuannya. Dia dibawa ke atap oleh Si A dan dirundung di sana. Dae Young terkejut melihat perangai anak perempuannya di sekolah. Dia pun merasa seperti bukan melihat anaknya. Dae Young yang kesal pun, mengungkit tentang Si Woo yang dirundung kepada Si A. Akan tetapi, Si A nggak terkejut sama sekali. Dia sebenarnya sudah mengetahui tentang perundungan Si Woo. Hanya saja dia nggak pernah melaporkannya kepada Dae Young.

Di kantin sekolah, Dae Young menghampiri Si Woo yang sedang makan. Datanglah Goo Ja Sung dan kawanannya, anggota tim basket yang merundung Si Woo. Dae Young melihat langsung Ja Sung yang merundung Si Woo dengan melempar bola basket ke kepala Si Woo. Emosi Dae Young pun meluap, dia mencoba melindungi anaknya dan menjadi kawan untuk Si Woo dengan identitas Woo Young. 

Dae Young stres melihat perangai kedua anaknya di sekolah dan nasib Si Woo yang dirundung di depan matanya. Dia pun mampir ke halaman belakang sekolah untuk merokok. Saat dia sampai di sana, dia melihat seorang pelajar perempuan juga merokok di halaman belakang. Saat dihampiri, ternyata itu adalah Si A. Dae Young berseru marah melihat anak perempuannya merokok di sekolah. Namun, Si A justru balas berteriak kalau Dae Young juga sama tukang merokok. Sejak saat itu, ingin sekali Dae Young mengungkapkan identitasnya dan mengaku kalau dia adalah bapaknya karena Si A nggak mau mendengarkan dia. Akan tetapi, dia mengurungkan niatnya. 

Kebetulan Woo Young yang mau merokok itu ketahuan gurunya. Dia pun melaporkan diri kalau dia merokok bersama Si A. Mereka berdua pun dimarahi di ruang guru bersama. Saat dimarahi gurunya di ruang guru, gurunya menyuruh orang tuanya untuk datang. Kemudian, Jung Da Jung (ibunya Si A sekaligus istrinya Dae Young) dan Go Dok Jin (ayah gadungan Woo Young) datang menemui gurunya. Itulah pertama kalinya Da Jung bertemu Woo Young. Dae Young terkejut saat melihatnya dan menutupi wajahnya tetapi Da Jung nggak menyadari kalau itu adalah Dae Young, dia cuma menganggap kalau Woo Young punya wajah yang mirip dengan Dae Young saat masih muda sehingga dia sempat salah paham kalau Woo Young adalah anak hasil perselingkuhan Dae Young yang dititipkan kepada Dok Jin. Setelah melalui kesalahpahaman itu, akhirnya Da Jung mengerti dan menganggap Woo Young hanya sebatas teman anaknya, Si Woo. 

Namun, sudut pandang Dae Young terhadap Da Jung nggak berubah, dia tetap perhatian kepada Da Jung dan melidunginya selayaknya istrinya sendiri walaupun dia nggak bisa mengungkap identitas Woo Young yang sebenarnya. Saat Da Jung berhasil bekerja di JBC, yang mana dulu mimpinya adalah menjadi seorang presenter, alih-alih pura-pura nggak tahu, Woo Young malah ikut mendukung Da Jung dan turut senang mendengarnya. Woo Young pun sering memberikan perhatian kepada Da Jung dan banyak cerita tentang Si A dan Si Woo. Sejak saat itu, Dae Young tahu seberapa sulitnya Da Jung menghadapi Si A dan Si Woo selama dia nggak berada di sisi Da Jung. Dae Young juga mulai mendekati kedua anaknya sebagai Woo Young agar dia bisa mengetahui lebih jauh tentang anaknya.

Suatu malam, Dae Young melihat Si Woo bermain basket sendirian. Padahal, saat ditanya, Si Woo pernah bilang kalau dia nggak tertarik main basket seperti ayahnya. Dae Young pun menghampiri Si Woo. 
"Kukira kamu nggak tertarik untuk bermain basket."
Siwoo yang masih sibuk bermain basket berkata, "Siapa bilang aku nggak tertarik?"
Mendengarnya, Dae Young paham kalau Si Woo sebenarnya memiliki ketertarikan terhadap basket. Namun, Si Woo berbohong kepada ayahnya. Dae Young yang saat itu berada di posisi Woo Young hanya diam, nggak berkomentar karena Si Woo hanya melihat dirinya sebagai Woo Young, kawan baru yang nggak tahu apa-apa tentang Si Woo. 

Melihat ketertarikan anaknya, Dae Young pun berniat untuk membantu Si Woo agar bisa bergabung dengan tim basket. Keesokan harinya, Dae Young pun mengajak Si Woo untuk melawan Goo Ja Sung, si anggota tim basket, penyebab Si Woo nggak mau gabung tim basket. Woo Young menantang Ja Sung untuk melakukan pertandingan basket dua lawan dua dengan perjanjian jika Woo Young dan Si Woo menang, maka Ja Sung harus berhenti merundung Si Woo dan Si Woo boleh bergabung dengan tim basket. Setelah bertanding, Woo Young dan Si Woo pun memenangkan pertandingan. Sejak kemenangan itu, Si Woo dan Woo Young pun bergabung dengan tim basket SMA Serim.

Di sekolah, saat jam pelajaran olahraga, Si A sakit dan jatuh pingsan. Dae Young dengan cepat kilat menggendong Si A dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Saat Si A tertidur, Dae Young memperhatikan wajah Si A, dia merindukan anaknya yang saat itu sudah beranjak dewasa. Dia pun mengelus rambut Si A. Si A yang terbangun langsung menepis tangannya juga marah karena melihat Woo Young mengelus rambutnya. Padahal saat itu Dae Young sangat khawatir tentang kesehatan Si A. 

Saat berada di rumah sakit, Si A dijenguk oleh teman kecilnya, Seo Ji Ho. Mereka berdua mengobrol di halaman rumah sakit. Saat itu pula, Dae Young menguping pembicaraan mereka. Si A mengatakan kepada Ji Ho, bahwa ayahnya nggak pernah peduli dengan mereka. Bahkan saat Si A sakit pun ayahnya nggak tahu tentang itu. Dae Young yang mendengar ungkapan perasaan Si A merasa sedih. Dia ingin mengatakan bahwa dia, ayahnya, ada di sana bersama Si A. Namun, wujudnya sebagai Woo Young membuatnya urung untuk mengungkapkannya. Di saat yang bersamaan, Dae Young mendapatkan telepon dari Da Jung. Da Jung menanyakan keberadaan Dae Young, Dae Young jelas nggak bisa mengatakannya. Jadi, dia jawab kalau dia ada di Busan. Namun, Da Jung tahu kalau Dae Young berbohong karena dia menerima surat pemecatan dari kantornya. Saat itu lah, Dae Young merasa menjadi seorang ayah yang tidak pernah mengerti keadaan keluarganya sendiri. 

Beberapa hari berlalu, Da Jung terus mendesak Dae Young untuk hadir di sidang perceraian tetapi Dae Young kukuh nggak mau datang karena alasan Da Jung nggak punya alasan jelas untuk menggugat cerai. Dae Young bahkan sempat mengira kalau itu terjadi karena Da Jung selingkuh. Akan tetapi, Dok Jin yang saat itu bersamanya, menyuruh Dae Young untuk mengingat kembali apa yang telah Dae Young perbuat sampai Da Jung meminta cerai. Setelah diingat kembali, ternyata alasannya karena ucapan penyesalan yang pernah diucapkan Dae Young saat mabuk. 

Saat itu Dae Young menghadiri acara reuni, teman-teman seangkatannya memamerkan karir dan kekayaan, sedangkan Dae Young hanya bekerja sebagai seorang tukang reparasi. Teman-temannya memandang Dae Young dengan sebelah mata dan Dae Young merasa kesal. Dia pun minum sampai mabuk dan melampiaskan amarahnya kepada Da Jung. Saat itu dia berkata bahwa dia menyesal bertemu dengan Da Jung sehingga mengalami kesengsaraan. Dae Young yang mengingatnya, menyesali ucapannya. Dia pun mengakui kesalahannya dan datang ke sidang perceraian. Dia meminta maaf kepada Da Jung secara langsung dengan wujudnya sebagai Woo Young.

Sejak melihat kehidupan istri dan anaknya dari sudut pandang Woo Young, Dae Young menyesal. Dia bahkan nggak merasa menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya. Untuk menebus rasa bersalahnya, Dae Young tetap berada di sisi Da Jung dan kedua anak-anaknya. Dae Young juga merangkul dan memperhatikan kedua anaknya sambil menjalani kehidupan barunya sebagai Woo Young, siswa SMA. Dia juga menikmati masa mudanya lagi dan mencapai mimpinya untuk bermain basket kembali.

Woo Young dan Si Woo masuk ke dalam tim untuk pertandingan kejuaraan, saat itu Si Woo meminta waktu sendiri. Woo Young pun meninggalkan Si Woo di lapangan basket dan pada saat yang bersamaan dia menerima telepon dari Si Woo. Si Woo meminta ayahnya untuk datang, tetapi Dae Young yang masih berwujud Woo Young beralasan kalau ia tidak bisa datang untuk menonton pertandingannya. Hal itu membuat Si Woo sedih. Dae Young yang saat itu bersamanya, kembali menghampiri Si Woo. Si Woo pun bercerita alasan dia bergabung dengan tim basket untuk membanggakan ayahnya. Dae Young yang mengetahuinya, merasa bingung karena dia nggak bisa memberikan dukungan kepada anaknya sebagai seorang ayah.

Saat bimbingan konseling tentang karir, Dae Young sempat menguping tentang rencana karir Si A. Si A memutuskan untuk nggak melanjutkan kuliah. Awalnya, dia terkejut mendengarnya. Saat mengobrol dengan Si A dan bertanya alasannya, ternyata Si A ingin masuk ke sekolah tata rias dan tertarik dengan make up, maka dari itu dia kerja part time untuk mengumpulkan uang. Banyak kisah yang nggak diketahui oleh Dae Young sebagai seorang ayah, tetapi dia bisa tahu saat dia menjadi Woo Young. Itu lah alasan dia nggak mau mengungkapkan rahasianya.

Namun, hari demi hari, kenangan kebersamaan itu justru kembali membuat Dae Young gagal move on. Kesenangan itu berubah menjadi sebuah penyesalan, apalagi ketika mengetahui kalau kedua anaknya sangat merindukan ayahnya dan ingin bertemu dengannya. Si A selalu cerita kalau dia merindukan ayahnya, walaupun ayahnya menyebalkan tetapi ayahnya tetap sayang kepada Si A. Si Woo juga bercerita kepada Woo Young bahwa dia masuk ke tim basket karena ingin membanggakan ayahnya tetapi ayahnya nggak bisa hadir di pertandingannya. Namun, Dae Young nggak bisa melakukan apa-apa karena dia berwujud sebagai seorang pelajar SMA. 

Dae Young akhirnya sadar, bahwa apa yang dilalui selama hidupnya ini semua demi anaknya dan keluarganya. Hal itu membuat dia ingin kembali menjalani hidup normal sebagai seorang Hong Dae Young bukan Woo Young. Dia pun memutuskan untuk mengaku kepada Da Jung bahwa Woo Young sebenarnya adalah Dae Young. 

Setelah beberapa lama berusaha untuk meyakinkan Da Jung bahwa Woo Young adalah Dae Young, akhirnya Da Jung pun percaya. Dae Young pun mengajak Da Jung balikan dan kembali pacaran seperti anak muda. Sebab, saat Da Jung masih muda dia sibuk membesarkan kedua anaknya sehingga nggak pernah merasakan pacaran ala anak muda. Namun, hubungan mereka justru menuai pandangan aneh dari orang-orang sekitar yang mengira bahwa Woo Young adalah anaknya Da Jung. Saat itulah, Da Jung kembali berpikir untuk melepaskan Dae Young seutuhnya, terlebih karena perbedaan umur mereka saat itu. 

Malam sebelum pertandingan, Da Jung mengungkapkan alasan ia menggugat cerai Dae Young karena ingin membebaskan Dae Young agar nggak seterusnya hidup dalam penyesalan. Sedangkan, saat itu Dae Young benar-benar ingin kembali bersama Da Jung dan kedua anaknya. Namun, Da Jung tetap bersikeras untuk meninggalkannya. 

Hari patah hati untuk Dae Young pun tiba. Dia menangis dan merajuk, ingin hidupnya kembali seperti semula. Dia berlari ke lapangan basket SMA Serim, melempar bola ke ring berulang kali. Berharap keajaiban itu akan kembali. Akan tetapi, setiap dia melihat ke cermin, wajahnya nggak berubah juga. 

Tiba hari pertandingan basket dimulai, Da Jung mengurungkan niatnya untuk menonton Si Woo bermain basket. Sebab, dia tahu bahwa Woo Young juga akan bermain di sana. Sedangkan, semalam dia mencoba melepaskan Dae Young dan meninggalkannya. Dia nggak mau kalau setelah mematahkan hati Dae Young, Dae Young akan pergi mengejarnya seperti delapan belas tahun lalu, awal mula kehancuran karir Dae Young. Da Jung nggak mau mengulanginya. Dia nggak mau menghancurkan hidup Dae Young untuk kedua kalinya. Akhirnya, dia pergi dan berjalan menyusuri jembatan. 

Saat Da Jung menelusuri jembatan, Woo Young berdiri di depannya, menghadang Da Jung. Da Jung terkejut melihat Woo Young yang nggak berada di lapangan basket. Da Jung pun marah karena pilihan yang dibuat Dae Young untuk nggak ikut pertandingan basket (lagi). Da Jung nggak mau Dae Young menyesali hidupnya untuk kedua kalinya. Dia juga merasa bersalah karena delapan belas tahun yang lalu mengaku hamil saat Dae Young sedang bertanding. 

Dae Young pun berkata, "Ini semua bukan salahmu. Ini berkat kau. Tidak akan ada penyesalan lagi. Melihat kedua anakku tumbuh, lebih membahagiakan daripada saat aku memenangkan pertandingan basket. Aku tidak menyadari betapa berharganya momen itu. Setiap ada masalah, aku justru menghadapinya dengan penyesalan. Memimpikan kehidupan yang tidak pernah aku jalani. Aku bertanya-tanya, apakah aku akan bahagia hanya karena bermain basket? Sekarang, aku tahu kehidupan seperti apa yang aku inginkan. Kamu tidak menghancurkan hidupku. Kamu memberikan kesempatan untukku dan keputusan yang aku ambil saat itu adalah keputusan yang terbaik dalam hidupku. Aku tidak akan melewatkan kesempatan itu."

Lewat pengakuan itu, rupa Dae Young pun kembali seperti semula. Da Jung yang sangat merindukan Dae Young pun merasa sangat senang melihat Dae Young kembali. 

Setelah itu, Dae Young pun datang bersama Da Jung untuk menonton pertandingan Si Woo. Datang untuk menyemangati Si Woo yang saat itu merasa kehilangan Woo Young, sekaligus melihat kemenangan tim basket SMA Serim. Kemudian, Dae Young pergi menemui Si A. Si A yang sangat rindu ayahnya tentu bahagia bisa bertemu dengan Dae Young.

Dae Young pun mengajak mereka mengobrol dan meminta izin kepada kedua anaknya untuk rujuk dengan Da Jung. Da Jung dan Dae Young pun menggelar acara pernikahan. Hidup mereka pun terus berlanjut. 

Spoiler Berakhir

Hikmah yang Bisa Dipelajari dari Drama Korea 18 Again

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari drama '18 Again'. Drama ini mengajarkan bagaimana kita untuk menghargai kehidupan walaupun tidak pernah mendapatkan apa yang kita impikan. Juga mengajarkan kita bagaimana belajar dari kehidupan supaya nggak hidup dalam penyesalan. Aku suka banget dengan salah satu ucapan karakternya, Hong Dae Young dan Jung Da Jung.

Hong Dae Young berkata:
Memperlakukan waktuku bersama kalian sebagai sebuah penyesalan adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Ada satu hal yang aku pelajari setelah kembali muda. Berapa pun usiamu, selalu ada hal baru untuk dipelajari. Jika kau menganggapnya penyesalan, tamatlah sudah. Tetapi jika kau menganggapnya sebagai pelajaran, ini menjadi awal yang baru. Aku akan mencoba belajar lebih banyak mulai sekarang, baik soal pekerjaan, kehidupan, atau cinta. Jadi, aku akan mencoba mencari hal yang aku sukai lagi. Aku akan menghabiskan waktuku tanpa penyesalan. 
-- Hong Dae Young, "18 Again" Eps. 16 (2020)

Jung Da Jung berkata:
Kita belum terlambat untuk mempelajari semua yang kita inginkan dan menghargainya. 
-- Jung Da Jung, "18 Again" Eps. 16 (2020)

Hidup mungkin nggak selalu bahagia seperti apa yang dikisahkan dalam dongeng-dongeng yang kisahnya berakhir dengan sempurna. Di dalam kehidupan, pasti kita akan menemukan kesulitan. Namun, dari kesulitan itulah, kita belajar untuk memahami kehidupan, lebih menghargai satu sama lain, dan mencintai satu sama lain. Ada banyak hari-hari lain yang membuat kita lebih bahagia. Kebahagiaan sekecil apa pun itu akan selalu ada dalam hidup kita dan semua orang berhak untuk mendapatkan kebahagiaan itu. 

Penyesalan untuk keputusan yang telah kita buat di masa lalu hanya akan berakhir sia-sia. Namun, apabila kita mempelajarinya, seburuk apa pun pengalaman itu, itu akan membawa kita kepada kehidupan yang lebih baik. Jangan pernah menyesali keputusan yang pernah diambil tetapi berusahalah untuk mencintai keputusan itu dan menerima segalanya dengan lapang dada. Hargai segala yang kita punya sebelum kehilangan semuanya. Dengan begitu, hidup penuh dengan rasa syukur akan membuat hati tenang dan bahagia. Selain itu, tetaplah untuk belajar dari kehidupan karena hidup akan terus berlanjut seperti itu adanya.

Yuk, untuk kita semua yang punya banyak penyesalan karena merasa mengambil keputusan yang salah di masa lalu, mulailah untuk memaafkan diri sendiri. Mungkin nggak mudah untuk melakukannya, tetapi lebih baik mempelajarinya daripada menyesalinya.

Aku sendiri juga pernah punya sebuah penyesalan dan berusaha untuk menerima semuanya. ( Baca juga sepotong kisah penyesalanku: Mimpi, Hanya Tinggal Kenangan dan Masih Iri )
Sebab, apa yang kita inginkan itu memang nggak selalu menjadi kenyataan. Boleh jadi, apa yang kita inginkan itu nggak baik untuk kehidupan kita. Boleh jadi juga, apa yang nggak kita inginkan adalah yang terbaik untuk kita.

Kalian punya suatu penyesalan juga? Kalian boleh lho sharing denganku lewat komentar atau kontak email. Setelah menuliskannya, kalian bisa membacanya dan mulailah untuk mencintai keputusan yang telah kalian buat dan menjadikannya pelajaran. Semangat, guys
( Baca ini jika butuh semangat: Ganbarimashou )

Oke, sekian pelajaran hidup untuk hari ini. Sampai jumpa di lain kesempatan.
Have a nice day


Michiko ♡

4 Desember 2020

Konsistensi, Kunci Ajaib Pengabul Mimpi

11:35 AM 4 Comments

Manusia pasti selalu punya banyak keinginan. Banyak banget mimpi yang selalu ingin diwujudkan. 

Aku ingin jadi orang kaya.

Aku ingin punya badan yang kurus.

Aku ingin punya badan yang berotot.

Aku ingin jadi orang pintar.

Aku ingin punya wajah yang mulus bebas dari jerawat. 

Aku ingin jadi orang yang terkenal. 

Aku punya keinginan sendiri dan tentu saja kalian juga punya keinginan yang ingin kalian wujudkan. Intinya, kita semua punya keinginan masing-masing, kan? Namun, kita kadang nggak tahu caranya untuk memulai dalam mewujudkan keinginan itu. Kadang ada juga yang berhasil mencapainya tetapi cuma bertahan sementara karena nggak bisa mempertahankannya. Kadang ada juga yang maunya langsung instan, kalau yang ini sih naif banget ya. 


Semuanya itu nggak ada yang instan, guys. Harus diusahakan terus-terusan. Wong ng3p3t dan p3sugihan [redacted biar nggak ada iklan perdoekoenan] yang katanya bisa kaya dengan instan saja, tetap harus konsisten buat kasih tumb4l. Kita itu nggak akan bisa kaya, kalau nggak konsisten untuk bekerja. Kita nggak akan jadi kurus atau berotot, kalau nggak konsisten olahraga. Kita nggak akan jadi orang pintar, cuma karena minum tolak angin. Kita nggak akan punya wajah yang mulus bebas dari jerawat, kalau nggak konsisten merawat kulit. Kita nggak akan jadi orang yang terkenal, kalau nggak konsisten berkarya.



Nah, ini dia! K O N S I S T E N S I

Segala keinginan itu harus dilandaskan dengan KONSISTENSI.

 

K O N S I S T E N S I

Tuh, sampai berapa kali aku menyebut kata konsistensi? Lah, nambah lagi kan. Serius deh, ini itu benar-benar kunci ajaib untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dan tentunya mempertahankannya. Manusia sering lupa banget sama kunci ini, setiap sudah mencapai keinginan, pasti ujungnya nggak tahu diri. Kenapa aku sebut nggak tahu diri? Karena manusia itu merasa kalau apa yang sudah dimiliki itu akan selalu dimiliki selamanya. 


Aku juga sama, pernah jadi manusia yang nggak tahu diri karena telah memiliki apa yang aku inginkan. 


Dulu, aku pernah mencapai keinginanku, yaitu memiliki berat badan ideal. Waktu itu mungkin berat badanku 43 kilogram karena ikut ekskul PASKIBRA. Tahu sendiri lah ya, ekskul yang nggak pernah jauh dari latihan fisik, keringat, dan panas-panasan. Wah, waktu lihat angka timbangan setelah satu tahun nggak menimbang berat badan (karena dari kelas 7 sampai 9 berat badanku stuck di angka yang sama jadi malas nimbang berat badan), aku senangnya bukan main. Merasa jadi orang paling seksi. Hahahaha oke ini lebay. Terlalu terlarut dalam euforia, akhirnya aku merasa bebas tuh. Aku sering banget berpikir, "Wah, berat badanku sekarang segini, bebas makan apa aja, nggak perlu olahraga juga nggak apa-apa." Gara-gara hal itu, aku jadi makan sembarangan, nggak memperhatikan asupan kalori yang masuk, malas olahraga, semua itu disebabkan karena aku yang nggak tahu diri karena merasa bahwa berat badanku yang sekarang akan aku miliki selamanya. Sampai suatu ketika, kaget banget tuh melihat timbangan mencapai angka 60 kilogram. Mau diet juga nggak turun berat badannya karena olahraga nggak sekonsisten waktu masih ikut PASKIBRA. Jaga pola makan doang juga nggak terlalu berpengaruh banyak. Ujungnya, justru menyesal. 


Kebodohan selanjutnya juga pernah aku lakukan karena nggak konsisten melakukan sesuatu. Dulu, aku punya wajah yang banyak banget jerawat bahkan sampai semuka. Tiap malam menangis karena merasa insecure dan nggak pede. Banyak banget ikut video tutorial di YouTube, ikutin semua tips beauty influencer untuk menyembuhkan jerawat. Dulu aku nggak mau ke dokter, soalnya aku berpikir biayanya pasti mahal. Suatu ketika, aku dikasih serangkaian skincare buat sembuhin jerawat dan jerawat pun sembuh lah lumayan, tinggal bekasnya saja. Setelah itu, aku merasa karena jerawat sudah sembuh, untuk apa ya aku pakai rangkaian skincare khusus untuk jerawat lagi toh sekarang aku sudah nggak berjerawat. Kemudian, kembalilah aku menjadi seorang manusia yang nggak tahu diri dan merasa kalau jerawat nggak akan balik lagi. Akhirnya, aku jadi sering begadang, makan sembarangan seperti minyak dan makanan manis, termakan strategi marketing beauty influencer di YouTube sehingga aku coba produk ini, produk itu, semuanya karena merasa bebas untuk coba skincare--yang mungkin nggak sesuai sama kebutuhan kulitku. Nah, lagi-lagi karena ketidakkonsistenan aku itu, break out lagi tuh mukaku, jerawat datang lagi sampai hampir meradang. Akhirnya, aku kapok dan mulai konsisten untuk belajar tentang kebutuhan kulitku sendiri, apa yang perlu aku lakukan dan apa yang perlu aku hindari supaya jerawat itu nggak balik lagi. Aku juga nggak cuma konsisten untuk menyembuhkan jerawat saja, tentunya aku juga konsisten untuk mengaplikasikan skincare sesuai kebutuhan kulitku untuk merawatnya supaya kulitku tetap dalam keadaan yang baik.

Baca juga Review Jujur: SAFI White Expert Purifying Cleanser 2 in 1


Dari pengalamanku itulah aku belajar, bahwa:

Apa yang kita inginkan itu selalu dimulai dengan konsistensi untuk mewujudkannya dan selalu diakhiri dengan konsistensi untuk mempertahankannya. 


Kita nggak akan menjadi orang kaya selamanya, jika diberi uang satu miliar saja langsung kalap dan tidak konsisten untuk mengolah uangnya sebagai modal bekerja.

Kita nggak akan punya badan yang kurus atau berotot, jika setelah mencapai tubuh impian kita langsung sembarangan dan tidak lagi rutin olahraga.

Kita nggak akan bebas dari jerawat, jika setelah jerawat sembuh masih saja menjalani pola hidup yang nggak sehat dan nggak merawat kulit.

Jadi, jangan pernah lupakan kunci itu, guys! K O N S I S T E N S I


Sekarang, aku sedang memiliki keinginan untuk bisa menjadi seorang penulis yang bisa dikenal banyak orang atau bekerja sebagai seorang editor dalam bidang penerbitan. Oleh karena itu, aku konsisten untuk menulis agar aku terbiasa dan terus berkarya. ( Baca juga perjuangan sang pemimpi: Pejuang Mimpi )

Kalau kalian, apa keinginan yang ingin kalian wujudkan? Kira-kira hal apa yang harus konsisten untuk dilakukan demi mencapainya? Sharing, yuk! Kalian bisa tinggalkan komen di bawah postingan ini atau kontak lewat email.


Semangat untuk mewujudkan keinginan kita semua, semoga kita selalu dapat mencapai apa yang kita inginkan jika disertai dengan konsistensi dalam berusaha dan berdoa. ( Baca tips agar doa terkabul: Zutto Oinorishimashou )


Sekian tulisan untuk hari ini. Sampai jumpa di lain kesempatan!


Have a nice day,



Michiko ♡


Picture by StockSnap from Pixabay

26 November 2020

5 Bahasa Cinta, Kunci Hubungan yang Harmonis

7:30 PM 0 Comments

"Kamu enggak pernah mengerti aku!"

"Kamu enggak sayang sama aku!"

"Kamu enggak pernah ada sedikit pun waktu buat aku!"

"Kamu enggak bisa ya, berkorban sedikit aja buat aku?"

"Dasar buaya, bisanya cuma gombal!"


Pernah enggak sih kalian dengar kata-kata seperti yang aku tulis barusan?

Atau kalian pernah mengatakannya kepada seseorang?

To be honest, aku sendiri pernah mengatakan hal yang seperti itu kepada kedua orang tuaku. Walaupun mereka selalu bilang kalau mereka sayang aku, tapi aku tetap menyangkal dan enggak mempercayainya. Ternyata, itu karena bahasa cinta yang kita gunakan berbeda, guys!


Hah, apa itu bahasa cinta? Kok kayak bahasa alay lebay gitu ya? Hahahahaha.


Bahasa cinta atau love language adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dari hati ke hati. Selayaknya dalam ilmu linguistik, kita mengenal dialek atau bahasa untuk berkomunikasi seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jepang, bahasa China, dan lain sebagainya, perasaan kita juga punya bahasanya sendiri lho, guys! Chapman (2010) dalam bukunya yang berjudul The 5 Love Languages: The Secret to Love That Lasts, membagi bahasa cinta menjadi lima jenis: Word of affirmation (pengakuan), Quality time (waktu yang berkualitas),  Receiving gift (hadiah), Acts of Service (pelayanan), dan Physical Touch (sentuhan fisik).


1. Words of Affirmation (Pengakuan)

Bahasa cinta yang satu ini mengandalkan ucapan verbal untuk mengomunikasikan rasa cinta. Ungkapan tersebut bisa berupa pujian, kata-kata penyemangat, pengakuan tentang perasaan, atau ungkapan rasa cinta. Misalnya:

"Kamu cantik banget hari ini."

"Aku beruntung banget punya kamu, kamu itu pengertian, cantik, blablabla..."

"Terima kasih ya, kamu sudah mengerti aku."

"Aku bangga banget sama kamu."


Mereka yang bahasa cintanya adalah word of affirmation (pengakuan), bagi mereka ucapan itu sangat penting! Jadi, buat kalian yang mungkin pacarnya, istri/suaminya, anaknya, temannya dan kerabat lain yang berkomunikasi dengan bahasa cinta ini, sebaiknya kalian sering-seringlah mengungkapkan apa yang kalian rasakan atau sekadar membuat mereka senang dengan ucapan-ucapan baik yang kalian ungkapkan untuk menyampaikan bahwa kalian itu mencintai mereka.


( Baca juga: 3 Miracle Words )


2. Quality Time (Waktu yang Berkualitas)

Bahasa cinta yang satu ini mengandalkan kebersamaan dengan orang tercinta untuk mengomunikasikan rasa cinta. Selama orang yang dicintai berada di sisinya, orang yang bahasa cintanya quality time akan merasa kalau mereka sangat dicintai walaupun ketika bersama orang tercintanya mereka enggak melakukan apa-apa, hanya sekadar mengobrol ringan, nonton TV bersama, melakukan kegiatan atau hobi bersama.


Mereka yang bahasa cintanya adalah quality time (waktu yang berkualitas), bagi mereka waktu itu sangat penting! Jadi, buat kalian yang mungkin pacarnya, istri/suaminya, anaknya, temannya dan kerabat lain yang berkomunikasi dengan bahasa cinta ini, sebaiknya kalian sering-seringlah menyisihkan sedikit waktu untuk bertemu, mendengarkan mereka ketika sedang berbicara dan jangan sibuk main HP, menghabiskan waktu untuk berlibur atau melakukan hobi bersama, ada di sisi mereka selama kalian bisa melakukannya, kalau sedang LDR alias long distance relationship pun sering-seringlah menghubungi mereka melalui chat, telepon, atau video call. Pokoknya, yang penting kalian ada di sisi mereka, mereka sudah merasa kalau kalian mencintai mereka tanpa harus mengungkapkannya!


( Baca kiat-kiat LDR di sini: Long Distance Relationship )


3. Receiving Gift (Hadiah)

Bahasa cinta yang satu ini mengandalkan hadiah dalam mengomunikasikan rasa cinta. Enggak perlu hadiah yang mewah atau mahal, hadiah kecil pun akan terasa sangat berharga. Bahkan, kehadiran kalian juga bisa jadi kado yang terindah kok buat mereka yang menggunakan bahasa cinta ini. Dengan menerima hadiah dari orang tercinta, mereka yang berkomunikasi dengan bahasa cinta receiving gift (menerima hadiah) akan berpikir kalau, "Oh, dia ingat sama aku" atau "Dia memikirkan aku". Hadiah yang diberikan kepadanya merupakan simbol rasa cinta dari orang tercintanya, tanda kalau kalian enggak pernah lupa atau berhenti memikirkan dia.


Mereka yang bahasa cintanya adalah receiving gift (menerima hadiah), bagi mereka hadiah itu sangat penting! Jadi, buat kalian yang mungkin pacarnya, istri/suaminya, anaknya, temannya dan kerabat lain yang berkomunikasi dengan bahasa cinta ini, sebaiknya kalian sering-seringlah memberi hal-hal atau benda seperti setangkai bunga mawar misalnya, sering traktir dia makanan atau jajan, memberinya cemilan atau masakan buatan kalian, atau sepulang liburan/keluar kota membawa oleh-oleh untuk orang yang kalian cinta. Dengan begitu, mereka akan sangat merasa bahwa kalian tidak pernah melupakannya, juga merasa sangat berharga dan dicintai.


4. Act of Service (Pelayanan)

Bahasa cinta yang satu ini mengandalkan uluran tangan atau pelayanan dalam mengomunikasikan rasa cinta. Pelayanan atau bantuan itu bisa berupa hal-hal yang bisa membantu meringankan pekerjaan yang sering dilakukan. Misalnya, membantu membereskan rumah, membantu mengerjakan PR atau tugas, berbagi tugas dalam rumah tangga, atau hal-hal yang berupa pelayanan bagi mereka yang menggunakan bahasa cinta act of service (pelayanan). Bahasa cinta ini secara tidak langsung membuat mereka yang berkomunikasi dengan bahasa cinta ini merasa bahwa orang tercintanya mencintai mereka karena memberikan aksi bukan hanya sekadar basa-basi. 


Mereka yang bahasa cintanya adalah act of service (pelayanan), bagi mereka aksi itu sangat penting! Jadi, buat kalian yang mungkin pacarnya, istri/suaminya, anaknya, temannya dan kerabat lain yang berkomunikasi dengan bahasa cinta ini, sebaiknya kalian sering-seringlah membantu mereka dalam mengerjakan hal-hal yang sering dilakukan, setidaknya untuk meringankan tugas atau beban mereka. Mereka akan merasa sangat dicintai karena kalian berbicara dengan aksi, tidak membiarkan mereka berada dalam kesulitan. 


5. Physical Touch (Sentuhan Fisik)

Bahasa cinta yang satu ini mengandalkan sentuhan fisik dalam mengomunikasikan rasa cinta. Sentuhan fisik itu tidak selalu tentang hal-hal yang berbau seksual, tetapi bisa berupa hal-hal kecil seperti pelukan hangat, kecupan mesra, genggaman tangan yang erat, atau belaian rambut yang lembut. Bahasa cinta ini seolah menyalurkan rasa cinta dengan aliran sentuhan fisik dan membuat mereka yang berkomunikasi dengan bahasa cinta physical touch (sentuhan fisik) merasa nyaman berada di dekat orang tercinta. 


Mereka yang bahasa cintanya adalah physical touch (sentuhan fisik), bagi mereka sentuhan itu sangat penting! Jadi, buat kalian yang mungkin pacarnya, istri/suaminya, anaknya, temannya dan kerabat lain yang berkomunikasi dengan bahasa cinta ini, sebaiknya kalian sering-seringlah memberikan pelukan hangat ketika mereka membuat kalian senang, mengusap kepalanya saat kalian merasa bangga terhadap mereka, memberikan kecupan manis sebagai tanda bahwa kalian sedang mengungkapkan rasa cinta. Tanpa harus mengungkapkan cinta secara verbal, sentuhan itu akan berbicara sebagai "juru bicara" tentang rasa cinta yang ada dalam hati kalian kepada orang yang kalian cinta.


Nah, setiap manusia memiliki bahasa cinta yang berbeda-beda, guys! Jangan sampai kalian salah ya dalam mengomunikasikannya. Seperti sebuah mobil yang memiliki tangki bahan bakar yang diisi sesuai dengan jenis mobilnya, manusia juga memiliki tangki cinta yang harus diisi sesuai dengan bahasa cintanya. Jika tangki mobil diisi dengan bahan bakar solar, premium, pertalite, pertamax, dan lain sebagainya, maka tangki cinta manusia juga diisi dengan kelima bahasa cinta yang sudah disebutkan sebelumnya. 


Kalau kalian ingin memahami pasangan atau orang-orang tercinta juga, kalian boleh tuh tanya mereka berkomunikasi dengan bahasa cinta yang mana atau bisa menggunakan web untuk melihat bahasa cinta yang dominan kalian gunakan, salah satunya di web 5lovelanguages (klik di sini) atau kalian bisa cari web lain di google.


Kalau kalian dominan pakai bahasa cinta yang mana, guys


Baiklah, segitu dulu tulisan untuk hari ini. Jangan lupa untuk tetap bahagia dan spread love kepada semua orang ya!

Have a nice day,


Michiko ♡


Sumber:

Photo by Hannah Wright on Unsplash

Chapman, G. D. (2010). "The 5 Love Languages: The Secrets To Love That Lasts". Chicago: Northfield Publishing. 

19 November 2020

Gadis Bak Mandi

9:02 PM 0 Comments
Setelah bergulat dengan tugas dan ujian, hari libur datang menghampiri jiwa seseorang yang kelewat stres dan nyaris depresi ini. Selain bermalas-malasan, tugas setiap liburan semester adalah menjenguk Nenek di desa. Rutinitas yang tidak boleh terlupakan, sebab Mama selalu bilang, "Mumpung Nenek masih ada, kalau Nenek sudah engga ada, nanti menyesal engga pernah jenguk Nenek." Begitulah kalimat andalan Mama, senjata yang paling ampuh untuk mengusir anaknya dari rumah.

Aku, si Bujang Lapuk, begitu panggilan yang disematkan orang-orang di sekitarku, pergi mengajak salah satu sepupuku, Iwan. Sebab, status jomblo yang terus melekat dan tak pernah mau pergi ini, tidak mengizinkan aku untuk pergi mengunjungi nenek bersama seorang wanita yang menjadi kekasihku. Iya, aku memang tak laku-laku. Puas?

Seperti biasa, aku mengendarai motor untuk menempuh perjalanan dari Bogor ke Sukabumi. Terkadang, aku bergantian posisi dengan Iwan yang sejak tadi menumpang dan duduk manis di jok belakang, kala kedua tangan tak sanggup lagi memegangi setang. Perjalanan kurang lebih tiga jam, akan terasa kurang afdol jika tidak disertai badan pegal sebagai hidangan penutup saat perjalan. 

Rumah Nenek terletak di pedalaman, jalur aspal yang berlubang sudah akrab menjadi kawan perjalanan, pemandangan pohon-pohon tinggi dan sawah di kanan kiri menjadi pajangan yang indah untuk sekadar cuci mata. Tidak lupa, silau cahaya matahari yang menyilaukan dan panas terik matahari juga setia menemani kami sepanjang perjalanan. 

Rumah Nenek letaknya di tengah desa yang dikelilingi oleh hutan bambu. Sebelum sampai ke sana, kami harus melewati jalan kecil yang diapit dengan bambu-bambu tinggi yang berjajar seperti pagar yang menuntun jalan ke arah sebuah desa kecil. Terik matahari yang semula menyengat kulit dan membakar ubun-ubun, mulai diredam dedaunan pohon bambu, semilir angin sejuk membelai kulit, panas matahari tidak lagi seterik sebelumnya. Suara batu kerikil yang tergilas ban, terdengar lebih nyaring sebab keadaan jalanan yang sepi tanpa orang yang lewat. 

"Punten," ucap Iwan yang tiba-tiba bergumam sendiri.

"Ngapain lo?" Pandanganku yang semula beredar menikmati pemandangan, teralihkan pada Iwan yang masih berhati-hati mengendarai motor di atas jalanan penuh kerikil.

"Numpang lewat sama penunggu sini."

"Ya elah, Nyet! Hari gini, masih percaya begituan?" aku menyergah. Ya iya lah, penunggu apaan? Peduli setan.

"Sompral banget lo kalau ngomong," protes Iwan.

"Heh, mereka itu cuma makhluk ghaib. Engga bisa ngapa-ngapain, paling cuma bisa menakut-nakuti doang!"

Iwan terdiam, entah karena dia tidak mau merespon ucapanku untuk menghindari perdebatan, atau dia diam karena takut "si penunggu" marah. 

Perjalanan tetap berlanjut, kami berdua saling terdiam tak berucap. Suara knalpot mesin mengisi lengang hutan bambu yang lebat. Cahaya matahari kembali terasa menyilaukan pandangan mata saat kami keluar dari hutan bambu. Perjalanan yang semula sepi, kini semakin ramai dengan sapaan, setiap kali kami berpapasan dengan warga desa yang tak pernah lupa dengan wujud kami. Sapaan mereka yang ramah seolah rindu, mengalihkan perhatian kami.

Roda motor terus berputar membawa kami ke sebuah halaman rumah yang luas. Pohon-pohon cengkih yang besar menjulang tinggi bagai payung yang melindungi kepala kala terik kemarau. Tanah yang kering dan debu yang berterbangan setiap kali angin berembus adalah suasana yang sering dirindukan. Liburan semester kali ini, bertepatan dengan musim kemarau. 

Nenek yang sedang duduk sambil mengunyah sepah di atas dipan yang terletak di teras, tersenyum melihat kedatangan kedua cucunya yang sudah semakin beranjak dewasa. Sambil mencangklong tas ransel, kami bersalaman secara bergantian.

"Aduh, cucu Nenek datang. Dari Bogor jam berapa?"

"Jam 12, Nek."

"Capek, ya? Sok atuh, gih pada mandi dulu."

"Nanti aja ah, Nek. Indra mah masih capek," ucapku sambil meletakkan tas ransel dan merebahkan tubuh di atas dipan, bersantai.

Nenek tak berkomentar, melihat aku yang rebah-rebahan beralas ransel gendut di punggung. "Oh ya sudah, sok atuh, Iwan dulu aja yang mandi."

"Iya, Nek," jawab Iwan, manut. 

Tangan Nenek yang kurus menyentuh betisku, memijat kaki dari ujung sampai ke paha. "Cucu Nenek sudah gede begini. Gimana kuliahnya?"

Refleks tanganku menepis tangan Nenek yang memijat kaki, terkejut, sekaligus risih. Secara etika, rasanya seperti tidak sopan membiarkan orang tua memijati anaknya, apalagi di bagian kaki. 

"Ih, jangan dipijitin gitu ah, Nek!" aku protes. "Iya, pokoknya kuliahnya gitu-gitu aja, Nek."

Nenek berhenti memijat kakiku. "Mana pacar kamu?"

Aku mendengus, dongkol. 

"Jangan tanya pacar ah, Indra mah enggak punya pacar!" Aku bangkit dari aktivitas rebah-rebahan, lalu mencangklong tas dan beranjak dari dipan. "Indra mau tidur aja lah, Nenek mah tanyanya pucar pacar pucar pacar melulu!"

"Iya maaf atuh, Kasep." Nenek menyengir sambil melontarkan kosa kata andalannya jika cucu-cucunya kesal, geram atau badung. "Tapi mandi dulu, hei! Itu bajunya kotor, habis itu baru tidur."

Aku sudah masuk ke dalam rumah sebelum Nenek menyelesaikan kalimatnya. Dengan satu lambaian tangan, sudah cukup mengisyaratkan bahwa aku menolak, tidak mau mendengarkan, akan tetap tidur saat itu juga. 

Aku meletakkan tas ransel di atas lantai setibanya di kamar, lalu tanpa keraguan melompat ke atas ranjang. Beberapa menit kemudian, aku terlelap.

***

Risih dan gatal, aku menggaruk lengan sambil memejamkan mata. Salahku juga, tadi sebelum tidur tidak membersihkan diri terlebih dahulu. Akan tetapi, saat ini pun aku belum mau bangun dari tidur yang menenangkan otot dan pikiran. Tubuhku berbalik, terlentang, masih terlarut dalam tidur yang nyenyak.

Beberapa saat, napas terasa lebih berat. Aku tersengal, dada dan perutku nyeri seperti ada benda berat yang menindih tubuhku. Lama kelamaan, napas makin menderu. Dengan mata yang masih terpejam, aku berusaha membalikkan tubuh untuk mengganti posisi tidur, siapa tahu sirkulasi udara menuju paru-paru akan lebih baik. Akan tetapi, aku tidak bisa melakukannya. Berat, tubuhku kaku dan lumpuh seketika. 

Iwan! 

Iwan! 

Iwan!

Aku berteriak memanggil nama Iwan dalam hati. Tenggorokanku tercekat, tak bisa menyebut namanya lebih keras lagi. 
Panik. Jangan-jangan ini saat-saat terakhirku. Apakah aku sedang meregang nyawa?

Aku membuka mata, ruangan remang. Lampu kamar belum dinyalakan, sepertinya hari sudah gelap—entah baru saja menyudahi petang atau sudah memasuki tengah malam. Hanya ada pendar cahaya lampu yang menyalip dari kisi-kisi pintu, membuat ruangan kamar tidak terlalu gelap gulita. Aku masih bisa melirik ke arah badan yang kaku, walaupun tubuhku tak bisa bergerak. Aku termangu saat sudut mata menangkap bayangan hitam dalam kegelapan. Seseorang duduk persis di sebelah tubuhku, seorang perempuan berambut panjang. 

Nenek, tolong bantuin Indra, ucapku dalam hati.

Aku berusaha menggerakkan tangan untuk menepuk bahu atau lengannya, sekadar meminta bantuan untuk membangunkan aku yang tidak bisa bergerak. Jika saja tanganku bisa bergerak, mulutku bisa berucap, mungkin Nenek sudah menbantuku sedari tadi, tetapi hingga aku menyadari kehadirannya, tanganku tak kunjung bergerak juga. Sampai akhirnya, sosok perempuan di sampingku itu menoleh dengan sendirinya.

Mataku membeliak. Perutku mencelos, jantungku seolah pindah ke lambung. Seperti ada ledakan granat yang dahsyat di dalam tubuhku.

Bukan. Itu bukan Nenek. 

Mataku terpaku menatap ke arah sosok itu. Bodohnya, mengapa aku harus menatap tepat ke arah kedua matanya yang hitam cekung di dalam balutan kegelapan. Tenggorokanku tercekat, tak bisa berteriak. Tubuhku kaku, tak bisa bergerak, apalagi lari. Jantungku berdegup kencang nyaris berhenti, pertama karena terkejut, selanjutnya karena rasa takut. Rasanya, seperti simulasi sakaratul maut.

Sosok itu hanya memandangiku, tidak mendekati atau menyakiti, tapi tubuhku rasanya dingin sekujur tubuh diguyur rasa takut setengah mati. 

Iwan! Nenek! 

Aku berteriak meminta tolong tetapi suara itu cuma bisa terdengar dalam benak sendiri. Tatapan mata sosok itu tajam, seperti pisau yang mampu menikam jantung hingga bisa membuatnya berhenti mendadak. Aku memejamkan mata dengan kuat, menghindari tatapannya sambil memendam rasa takut yang makin menjalar. 

Beberapa saat memejamkan mata, aku merasakan sentuhan lembut—mirip seperti dengus napas atau belaian rambut halus yang membelai wajahku. Suaranya menderu seperti angin yang berembus. Aku makin memejamkan mata, berdoa dalam hati, berharap sosok itu segera pergi. Aku yang tak taat beragama, seketika mengingat Tuhan saat itu juga, bahkan berulang kali menyebut namaNya sambil merangkai doa.

Suara deru napas—suaranya seperti orang yang napasnya tersengal jadi kuanggap itu adalah suara embusan napas—yang terdengar di telingaku, perlahan menjauh dan menghilang. Jantungku yang seolah beku selama beberapa detik, tiba-tiba bergerak lagi setelah (kuanggap) sosok itu pergi. 

Aku membuka mata perlahan, penasaran. Mata yang terbuka, disambut langit-langit yang kosong. Kepalaku terangkat, aku melirik ke tepi kasur yang barusan diduduki oleh sesosok perempuan yang mengerikan. Aku bangkit, duduk di atas kasur sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, pandanganku beredar memeriksa situasi dalam remang. Tanganku terulur jauh mencari stop kontak untuk menyalakan lampu. Cahaya terang benderang, menyilaukan mata, pupil mataku beradaptasi dengan cepat menerima cahayanya. Pandanganku beredar, kembali memastikan tak ada siapa pun di sana. Aku termenung sejenak, lalu menghela napas lega. Ternyata, cuma mimpi. 

Aku berjalan keluar dari kamar. Sambil menoleh ke kanan dan kiri, aku mencari Iwan dan Nenek, sebab rumah terlihat sepi. Seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, aku telusuri, tak ada tanda-tanda kehadiran manusia di sana. Aku memanggil orang-orang yang kucari sambil mengitari seisi rumah, terus memanggil berulang kali walaupun tak kunjung disahuti.

"Iwan? Nek?"

Di bawah pohon cengkih, Iwan berdiri sambil meletakkan handphone pada telinganya. Ia berdiri menghadap ke arah jalan, sehingga aku hanya bisa mengenali punggungnya dari baju yang masih ia kenakan sejak tadi siang. Dia sedang menelepon dengan seseorang di ujung telepon. Pasti sedang melepas rindu dengan kekasihnya yang manja.

Dasar bucin, batinku setengah iri sambil beranjak pergi ke kamar mandi.

Sandal lengkap berjajar di rak yang terletak dekat pintu dapur, kamar mandi rumah Nenek memang terletak agak jauh dari bangunan utama, dekat sumur yang sudah tidak terpakai lagi, jaraknya dengan bangunan utama disekat oleh kebun cabai dan tomat, alasannya agar aroma masakan tidak bercampur bau kamar mandi. Menurutku, itu alasan yang konyol. 

Aku bergegas menggantung handuk dan pakaian bersih, lalu mandi, tidak lupa sikat gigi, dan berdandan rapi. Kemudian, mengeringkan rambut yang basah kuyup karena guyuran air dengan handuk yang digantung tadi. Dingin. Aku tidak tahu, kalau mandi pada malam hari di desa akan sedingin ini. 

Pakaian satu per satu aku kenakan, lalu aku berhenti sejenak saat mengambil kaus yang tergantung di belakang pintu. Rasanya seperti ada seseorang yang menyelinap dalam kamar mandi, sebab aku merasa risih seolah ada yang memperhatikan gerak-gerik aku sedari tadi. Aku menoleh perlahan, kemudian pandanganku beredar ke setiap sudut kamar mandi yang luasnya hampir setara luas kamar. Tidak ada apa pun, aku langsung mengenakan kaus dan keluar dari kamar mandi. 

"Ya ampun, Indra!" 

Aku terperangah, terkejut karena dua hal. Satu, saat aku baru saja menyadari kehadiran Nenek yang tiba-tiba berada di belakangku saat menutup akses ke dapur. Dua, saat Nenek berseru cenderung membentak.

"Kamu mandi pas maghrib begini?" omel Nenek, belum menurunkan intonasi suaranya.

"Iya, emang kenapa? Biasanya juga, Indra mah mandi jam segini."

"Pamali, hei! Jangan mandi maghrib maghrib!" ucap Nenek sambil meletakkan sebuah keresek hitam di atas meja makan.

"Lebay ah, Nenek mah. Pamali, pamali, pamalinya teh kenapa coba? Sok jelasin, biasanya juga enggak apa-apa," jawabku santai, berjalan ke ruang tengah sambil mengeringkan rambut yang setengah kering. 

"Kamu ya, dikasih tahu teh malah gitu. Sok we, nanti kalau ada yang ganggu mah, kapok!" omel Nenek, terdengar sampai ke ruang tengah.

Aku melirik Iwan yang baru masuk ke dalam rumah dan menyambutnya, "Eh, si Bucin. Sudah kelar pacarannya?"

"Pacaran apaan?" tanya Iwan datar lalu meletakkan kunci motor di atas meja.

"Barusan, lo telponan sama pacar lo, kan?" Aku masih menggodanya.

"Apaan sih, orang gue habis antar Nenek ke rumah Uwak."

"Yang bener aja, terus tadi yang teleponan di bawah pohon itu siapa? Jurig?" Aku tak percaya dengan alibinya, menyikut pinggangnya pelan.

"Mana gue tahu," jawab Iwan datar lalu melewatiku. 

Aku menatap punggung Iwan saat ia berjalan ke dapur. Seperti ada yang aneh, aku berpikir sejenak. Beberapa saat memikirkannya, malah membuatku bingung. Aku mengangkat bahu tak peduli.

***

"Wan, lo masih bangun?" Iwan tak menjawab, dia tidur menghadap dinding. Aku tak tahu pasti dia sudah terlelap atau belum, aku kembali memanggilnya lebih tegas untuk memastikan. "Wan?"

"Hm?"

"Wan," aku masih memanggilnya tanpa menyampaikan maksudku setelah memanggil namanya. 

"Apaan sih, Ndra? Gue baru mau tidur, lo ganggu mulu," protes Iwan sambil menoleh, tubuhnya berbalik. 

Aku melihat wajahnya samar yang hanya tersorot pendar cahaya dari kisi-kisi pintu, tersirat kekesalan di wajahnya.

"Beneran, lo tadi enggak teleponan di bawah pohon?"

"Apaan dah, telepan telepon melulu pembahasan lo dari tadi," jawabnya ketus. Ia kembali menghadap dinding.

"Soalnya tadi pas maghrib gue lihat lo di bawah pohon cengkih, lagi teleponan."

Iwan mendengus. "Setan kali," celetuk Iwan sembarangan.

"Setan, setan! Setan, kepala lo pitak!" aku menyergah. 

Lagi-lagi pembahasan si Iwan tentang setan. Aku terus mengelak pembahasan itu. Padahal, aslinya, aku memang kepikiran.

"Berisik lo, gue mau tidur." 

Senyap. Sesekali aku melirik punggung Iwan, berharap ucapannya hanya main-main saja, tapi kenyataannya, Iwan benar-benar sudah terlelap. Aku memandang lurus ke atas langit-langit yang gelap.

Udara malam di desa pada musim kemarau terasa begitu dingin sampai menusuk tulang. Aku berjalan menelusuri kebun belakang, sekalian menatap cakrawala menyaksikan gemerlap konstelasi bintang. Daun-daun kering di tanah menggerisik dalam senyap setiap kali aku mengambil langkah. Sumur tua yang sudah tidak terpakai dan terbengkalai berada di ujung sana. Lubang sumur itu tidak tertutup, membuat penasaran apakah sumur itu masih berisi sumber air atau sudah benar-benar tak berguna. 

Beberapa langkah aku ambil, aku sudah berdiri di tepi sumur. Sebelum mengintip ke lubang sumur, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa situasi. Entah apa yang aku periksa, padahal aku tidak sedang merencanakan kejahatan. 

Aku mengintip ke dalam sumur itu, masih tergenang air di dalamnya. Timba diturunkan, aku mengulur tali timba karena terlalu penasaran, sebanyak apa air di dalam sana sehingga sumurnya tak lagi digunakan. Aku terus mengulur tali sampai timba menyentuh permukaan air. Air sudah terciduk, siap ditarik kembali. Dengan mengerahkan seluruh tenaga ke lengan, aku menarik timba yang penuh dengan air. 

Mengapa sumur ini harus ditutup kalau masih bisa digunakan? Aku membatin sambil menarik timba yang semakin lama, semakin berat—mungkin karena berlawanan dengan arah gravitasi bumi. Katrol yang berkarat pun berdecit menahan dua beban di kedua sisi, aku seolah sedang berpartisipasi lomba tarik tambang melawan gravitasi bumi. Tidak kuat menahannya lagi, aku berhenti menimba. Sambil menahan tali timba, aku mengintip ke lubang sumur. Seberapa besar beban yang aku angkat, sampai pemuda yang masih perkasa pun tak bisa menimba air dari sumur. Pantas saja Nenek menutup sumur itu. Sebab, Nenek sudah tua dan bisa saja mencederai punggungnya hanya karena menimba seember air yang begitu berat beban massanya.

Permukaan air meriak, gemercik air menggema sepanjang dalamnya sumur. Tidak terlalu jelas apa yang ada di dalam sana, tapi yang jelas ada sesuatu bergerak keluar dari dalam air. Bentuknya seperti laba-laba, ia merangkak dari dalam sana dengan cepat. Namun, ini bukan laba-laba biasa, ini beribu-ribu kali lebih besar daripada tarantula, besarnya setara manusia. 

Sosok itu merayap dengan sangat cepat, memanjat galian sumur. Kuku-kukunya tajam, mencengkeram erat dinding sumur yang berlumut. Aku berdiri kaku memperhatikan sosok itu merayap ke arahku. Tanganku melepas genggaman tali timba, membuat ember berisi penuh dengan air jatuh lagi ke permukaan. Suara gemerciknya nyaring menggema sampai ke bibir sumur. Napasku tersengal, takut dan ingin kabur. Akan tetapi, kaki terlalu kaku untuk bergerak.

Sosok itu makin mendekat, ia merayap makin cepat sampai tiba di bibir sumur. Kemudian, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahku, dengan sigap menerkam tubuhku. Dorongannya sangat kuat, membuatku terpelanting jauh dari bibir sumur dan tersungkur di tanah. Sosok itu menindih tubuhku sehingga aku tak bisa melarikan diri. Tangannya mengayun brutal, dengan kukunya yang tajam ia berusaha mencabik wajahku yang berusaha aku lindungi dengan lengan.

"Iwan! Nenek! Tolong!" Aku berteriak sekencang yang aku bisa sampai tenggorokanku kering dan sakit dibuatnya. Kalau sampai tetangga mendengar, itu jauh lebih bagus. 

Sosok itu terus mengayunkan cakarnya seperti seekor harimau yang sedang mencabik mangsa. Aku terus berteriak, meminta tolong sekeras mungkin pada siapa pun yang mungkin mendengarnya. 

Serangan itu seketika berhenti, tapi tetap saja, sama sekali tidak menenangkanku yang sudah basah kuyup bermandikan peluh rasa takut. Sebab, tangannya yang semula berayun sembarangan arah, kini mencengkeram pergelangan tanganku.  Napasku tersengal, tenggorokanku kering, jantungku seperti berhenti sesaat. Bola mataku bergerak perlahan, melirik ke arah tangan yang melingkar dengan kuat yang mencengkeram pergelangan tanganku. Wajah sosok itu bisa aku lihat dengan jelas, begitu dekat dan amat lekat terpampang di depan mata, ia menyeringai seram. Aku teriak sekencang-kencangnya.

Aku membuka mata. Mataku melotot dan pandangan mengedar ke seluruh sudut ruangan. Dadaku naik turun dengan cepat, napasku tersengal, dan keringat mengalir dari pelipisku. Pergelangan tanganku dicengkeram oleh Iwan, ia menatapku bingung.

"Heboh banget tidur lo," komentar Iwan seraya melepaskan pergelangan tanganku. 

Aku masih mengatur napas dengan posisi duduk. Mimpi buruk lagi. Aku meremas rambutku yang basah karena peluh. Kaus yang kupakai juga basah karena mengeluarkan keringat. 

"Kenapa sih lo? Ngigau sampai segitunya."

Aku menelan ludah, rongga mulutku terasa kering. Aku memandang Iwan lamat-lamat sambil menghela napas. Aku menceritakan mimpi yang aku alami di hari sebelumnya. Mimpi yang begitu terasa nyata, bahkan membuat diriku trauma. 

"Ini pasti gara-gara lo ngomong sompral di hutan, kan?" tuduh Iwan sebelum aku menyelesaikan kalimat penutup cerita.

Aku mengernyitkan alis, lalu mengangkat bahu. "Hidup lo mistis mulu, Wan."

Aku melewati Iwan, menubruknya bahunya dengan bahuku saat keluar kamar.

Aku meraup air, membasuh wajahku. Butiran air yang tersisa mengalir di wajahku. Tetesan air terjun bebas dari daguku, menghantam genangan air yang menciptakan suara gemercik. Aku memandang pantulan bayangan wajahku pada permukaan air yang beriak. Sekelebat bayangan mimpi yang kualami kemarin, kembali menari-nari di bayanganku. 

Dua kali aku bertemu dengan sosok wanita yang sama. Siapa dia? Mengapa bentuknya begitu menyeramkan?

Aku menggoyangkan tanganku, memercik sisa air yang masih membasahi telapak tanganku. Aku menggelengkan kepalaku dan melupakan mimpi itu, lalu keluar dari kamar mandi.

***

Seharian kami menghabiskan waktu di sawah, menemani Nenek untuk memantau pekerja tani yang menggiling padi dan gabah. Pukul 05.00 sore, kami baru menginjakkan kaki di rumah. Aku merebahkan tubuhku di atas dipan, memandang langit-langit teras. 

"Indra, Iwan, langsung mandi! Bersih-bersih, badan pada kotor semua." Seperti biasanya, omelan Nenek tentang kebersihan selalu menggema di telinga, terutama setelah menerjang lumpur atau tanah di sawah.

"Wan, lo duluan!" 

Iwan, anak yang penurut, yang bahkan bisa menuruti perintah sepupunya ini karena kelewat manut, langsung bergegas mengambil handuk dan membersihkan diri. Sambil menunggu, aku mengeluarkan handphone, memainkan permainan online yang beberapa hari ini belum aku mainkan. 

Iwan kembali, lalu menyabetkan handuk ke tubuhku. "Sana lo, mandi!"

Aku yang masih asik dengan permainanku, melambaikan tanganku menyuruhnya pergi. "Bentar, bentar!"

"Diomelin Nenek lo, Ndra, mandi maghrib lagi."

Aku tak menggubris ucapannya. Mataku masih fokus pada layar handphone dan kedua tanganku sibuk mengontrol permainan pada layar. Selain penurut, Iwan orang yang tidak suka berdebat dan mudah menyerah. Jadi, ia pergi meninggalkan aku yang masih asik bermain sendirian. 

Tak terasa, aku sudah main beberapa putaran hingga semburat jingga yang semula menyala di kaki langit pada ufuk barat sudah tergantikan dengan warna biru keunguan cakrawala. 

"Ya ampun, Indra, belum mandi juga?" Omelan Nenek kembali memekak telinga. Mukena putih yang masih Nenek kenakan saat Nenek menyalakan lampu teras, membuat aku agak terkejut. Nenek menyabetku dengan sajadah di tangannya. "Mandi malam lagi kamu, hah?"

Aku sudah menyulut emosi Nenek. Daripada aku terkena omelan yang bertubi-tubi, lebih baik aku mengalah saja untuk pergi mandi saat itu juga.

Handuk aku sampirkan pada bahu. Aku terperanjat melihat seseorang berdiri di kebun belakang saat membuka pintu dapur. Ia berdiri membelakangiku sambil meletakkan handphone pada telinganya. 

Iwan, bukan? Atau sosok yang menyerupai Iwan?

Aku tidak bergerak, masih termangu memperhatikan gerak-geriknya. Ia menoleh ke arahku yang masih mematung di ambang pintu. 

"Ngapain lo di situ?" tanyanya tanpa menurunkan handphone yang ia letakkan pada telinganya. Obrolannya dengan seseorang di ujung telepon belum berakhir.

Oh, Iwan sungguhan. Aku menghela napas lega lalu berlenggang ke arah kamar mandi melintasi kebun belakang sambil bersiul. 

Aku mandi seperti biasa, membersihkan badanku dari debu-debu yang melekat di tubuh. Aku membersihkan wajah, mengusapkan busa-busa berlimpah pada seluruh bagian wajah. Mataku terpejam sebab akan perih jika sabunnya masuk ke mata. Aku menggosok wajah sambil bersiul santai menikmati usapan busa lembut di wajah. 

Sekelebat bayangan melintas pada pikiranku, seolah ada sesosok wajah yang terpampang di depan wajahku. Entah mengapa aku tiba-tiba membayangkan hal itu. Aku berhenti menggosok wajah, tanganku dengan sigap meraba-raba gayung yang berisi air, membilas wajah yang berbusa. Aku membuka satu mata, sial, perih sekali saat sisa sabun mengalir bersama air melewati mataku. Dengan cepat, aku mengusap sisa busa dan membasuhnya. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, menyapu kamar mandi yang hanya diterangi oleh cahaya lampu bohlam kuning yang redup. 

Bayangan gila, menakut-nakuti saja, padahal tidak ada apa-apa. 

Setelah menuntaskan aktivitas, aku berbalik hendak mengambil pakaian dan handuk. Sial, aku lupa membawa pakaian ganti. Aku mengeringkan tubuhku dengan handuk dari ujung kaki ke ujung kepala.

Suara gemericik air, menghentikanku saat aku melilit handuk di pinggangku. Aku menahan napas membuat kamar mandi senyap agar tidak terganggu deru napasku sendiri, berusaha memastikan apa yang baru saja kudengar. Suara seperti air bak mandi yang beriak diaduk dengan ciduk terdengar mengisi senyap. Aku menoleh cepat, lalu mengernyitkan alis saat kudapati permukaan air yang tenang dan gayung masih dalam posisi semula. Lalu dari mana asal suara air yang aku dengar? Aku kembali berbalik, tak peduli, mengikat handuk di pinggangku agar melilit dengan kuat.

Geli, sesuatu membelai tengkuk, membuat aku bergidik. Aku mengusap tengkuk, menyambar sesuatu yang menggelitik, entah serangga atau apa pun itu. Mataku terbelalak saat melirik jariku yang menarik sesuatu dari tengkuk. Aku menelan ludah dengan gugup. Entah rambut milik siapa yang bertengger di bahuku, panjang menjuntai dari tengkuk sampai ke pinggang. Jelas, itu bukan rambutku. 

Belum tuntas rasa penasaran atas rambut misterius itu, tetesan air yang menetes dari atap mengalihkan perhatianku. Tetesannya jatuh membasahi hidungku. Aku mengusap hidungku dengan jari, jariku berwarna merah setelah mengusapnya. Aku mengangkat wajahku perlahan, takut tapi penasaran. Jantungku nyaris berhenti seketika saat mengetahui dari mana tetesan darah itu berasal. Kakiku gemetar, begitu juga tanganku yang tremor ketika berusaha membuka selot. Kali ini aku harus kabur, sebab aku yakin ini bukan lagi mimpi. 

Aku mendorong pintu tetapi pintu tak juga terbuka, seperti terkunci dari luar. Berulang kali aku mendobraknya dengan bahu, pintu tak kunjung terbuka. Aku menggebrak pintu dari dalam sambil memanggil Iwan yang beberapa saat lalu masih berada di kebun, menelepon seseorang di ujung telepon.

"Iwan! Iwan! Buka pintunya, Wan!"

Leherku tiba-tiba terlilit rambut panjang yang tersampir di bahuku hingga mencekikku. Aku gelagapan berusaha melepas lilitannya. Telapak kakiku terangkat, menyisakan tumit yang menapak pada tanah. Tubuhku miring hampir 45 derajat ke belakang, diseret rambut itu ke arah bak mandi di ujung ruangan dengan paksa. Aku hampir kehabisan napas. Punggungku membentur tepian bak mandi yang terbuat dari semen, pinggang bagian belakangku ngilu saat tergores permukaan semen pada ujung sisi bak mandi yang tajam karena tak rata. Kakiku terangkat, aku mengapung di udara karena lilitan rambut yang menarik leherku ke atas. 

"I... Wan!" Aku mengulurkan satu tangan, berusaha meraih gagang pintu dari kejauhan sambil terbata-bata menyebut nama Iwan. 

Lilitan rambut di leherku terlepas seketika, menjatuhkan tubuhku ke tanah hingga tersungkur. Aku mendarat dengan kedua lutut, terbatuk-batuk saat tenggorokanku tak lagi terlilit dengan kuat. Sadar bahwa aku harus melarikan diri, aku langsung bangkit dan mengabaikan rasa sakit yang menjalar pada seluruh tubuhku. Belum sempat meraih gagang pintu, suara gemericik air dan tawa menggema di langit-langit kamar mandi. Permukaan air pada bak mandi kini beriak hebat, membuat gayung yang bertengger di tepi bak mandi jatuh ke lantai. 

Jari-jari terbit dari permukaan air, membuat kakiku gemetar. Aku tersengal, napasku tak beraturan dilanda ketakutan. Jari-jari itu berkuku tajam, makin jelas terlihat saat mencengkeram dinding bak mandi, persis seperti ia mencengkeram dinding sumur dalam mimpiku tadi malam. Aku bangkit, berlari tunggang-langgang ke arah pintu. Aku mendorong pintu dengan satu kali dobrakan, membuatku terjerembab ke tanah dengan handuk yang masih melilit pinggangku. Dengan cepat aku bangkit dan lari terbirit-birit sambil berteriak ke dalam rumah.

***

"Ada apa, Ndra?" Iwan turut panik saat ia menyusul beberapa waktu setelah aku duduk sambil ngos-ngosan di atas kasur. 

"Kenapa lo enggak bukain pintunya?" bentakku dengan emosi yang masih tidak stabil.

"Eh?"

Aku mendorong bahu Iwan, membuat dia tersudut. "Gue teriak-teriak di dalam sana, hampir mati. Bajingan lo!"

"Maksud lo apa?" Iwan masih tak paham.

"Gue panggil-panggil lo ya, Bangsat. Masih banyak tanya!"

"Gue gak dengar apa-apa, Ndra! Gue berani sumpah!" 

Aku meliriknya, menilik wajahnya. Napasku masih tersengal seperti banteng yang mengamuk saat mengolah emosi yang membuncah.

"Gue juga bingung, kenapa lo lari sampai terbirit-birit gitu waktu keluar kamar mandi."

Aku mengusap wajahku, lalu meremas rambutku. Pasti cuma halusinasi. Aku tak ingin menceritakannya, bisa-bisa dianggap gila. "Enggak apa-apa, kayaknya gue halusinasi lagi."

Aku berusaha melupakannya. Aku merogoh tas ranselku, mengambil kaus yang terlipat di dalam sana.

"Ndra," panggil Iwan.

"Hm?" Aku menyahuti tanpa mengalihkan pandanganku saat sibuk mengeluarkan pakaian dari dalam ransel.

"Punggung lo memar," ucap Indra terdengar khawatir.

Aku menoleh ke arahnya, menatapnya bingung. Aku melirik ke arah punggungku tetapi tak terlihat begitu jelas. Aku berjalan ke depan lemari yang terdapat cermin besar pada pintunya, berdiri membelakangi cermin, dan memperhatikan pantulan bayangan pada cermin. Lebam kebiruan dan lecet berwarna kemerahan membekas pada punggungku. Aku merabanya, terasa amat perih dan ngilu. 

Sebenarnya, yang aku alami ini, hanya sekadar halusinasi atau teror gila dari gadis bak mandi?

***
Ditulis oleh:

Michiko

Baca juga kisah horor lainnya: Klik di sini

16 November 2020

Bangun dari Hibernasi

10:00 AM 0 Comments
Halo. 
Ada yang kangen aku? Hahahaha. 
Ada yang kangen lihat aku spam promosi postingan blog di media sosial? 
Ada yang heran engga sih, mengapa aku menghilang selama ini? 

Sebenarnya sama sih, aku juga heran kenapa aku bisa hibernasi lama banget.

Padahal, ketika tahun 2019, betapa produktifnya aku untuk menulis di blog ini. Bahkan, sampai nekat untuk menantang diri sendiri dengan 30 Days Productive Challenge. Eh, ternyata itu engga bisa aku pertahankan di tahun 2020. Selain produktivitas yang menurun, ada tanggung jawab yang harus aku emban selain menghidupkan blog ini.

( Baca kisahnya di sini: Failure of 30 Days Productive Challenge )

Ke mana saja aku selama ini?

Ya... aku menunaikan kewajibanku untuk memenuhi harapan kedua orang tua. Iya, tahun ini adalah tahun yang sangat penting bagiku, tapi jadi engga terlalu menyenangkan sih karena berbarengan dengan pandemi COVID-19. 

( Simak tulisan tentang pandemi: Corona Virus World Tour )

Jadi, tahun ini adalah tahun di mana aku bekerja keras untuk lulus dari perguruan tinggi. Ya ampun, terharu banget aku gaes, ternyata aku sudah lulus. Hiks srot. :")

Sebenarnya, banyak banget lika-liku yang aku jalani untuk mencapai titik itu. Aku banyak banget sambat alias mengeluh, tapi aku engga kepikiran sih buat membaginya di blog ini pada waktu itu. Padahal banyak banget yang ingin aku bagikan, supaya masalah engga aku pendam sendirian. Mungkin, karena aku terlalu stres dengan tekanan skripsi dan tuntutan ambisi kali ya, makanya energi untuk menulis pun sepertinya sudah habis terkuras duluan untuk skripsi.

Sebenarnya, aku sudah lulus dari bulan September lalu sih, tapi entah mengapa, aku engga kunjung balik untuk menulis lagi di blog. Aku merasa engga punya pengalaman yang berbeda, yang bisa aku ambil hikmahnya ataupun aku bagikan kisah inspiratifnya. Tahu sendiri lah ya, sudah hampir satu tahun penuh karantina di rumah, pasti pengalaman hidupnya setiap hari cuma makan dan tidur aja. Makanya, aku semacam mengalami writer block gitu deh, yang berujung jadi alasan untuk rebahan dan bermalas-malasan.

( Baca juga: Rebahan Adalah Passion )

Nah, setelah ini aku ingin berkomitmen lagi untuk menulis di blog. Mungkin aku akan membagi kisahku ketika menjalani kewajiban untuk menyelesaikan skripsi atau cuma sekadar cuap-cuap engga penting, yang penting blog terisi. 

Oh iya, dilatarbelakangi dengan aku yang suka berandai-andai, aku jadi ingin bikin konten baru. Khusus konten untuk halu gitu deh. Enaknya dikasih tag apa ya? Konten halu? Idealisme? Emm, belum kepikiran nama tagnya sih, tapi yang jelas nanti isinya penuh dengan khayalan random aja supaya blog engga sepi. Selain itu, supaya isi blog engga cuma realita tapi juga cita-cita—walaupun mungkin beberapa ada yang engga bisa diterima logika. Hahahaha. 

Sekian untuk hari ini, selamat beraktivitas!
Have a nice day,


Michiko ♡

Photo by Kelvin Yup on Unsplash