16 April 2021

4 Cara Berdamai dengan Diri Sendiri

10:10 PM 2 Comments
Siapa yang sering insecure atau overthinking setiap malam? Bisa jadi, itu adalah tanda-tanda kalau kamu belum bisa berdamai dengan diri sendiri.

Ketika kita nggak bisa berdamai dengan diri sendiri, dampaknya bisa menyebabkan kita jadi orang yang selalu membandingkan diri dengan orang lain. Kita bisa jadi orang yang nggak pernah bangga dan puas dengan kemampuan diri sendiri. Bahkan, bisa membuat kita kehilangan rasa percaya diri dan berujung membuat kita nggak bisa melangkah maju, lho.

Kenapa sih bisa begitu? Ada banyak alasan yang menyebabkan kita belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Penasaran nggak? 

Nah, pada tulisan kali ini aku akan membahas beberapa alasan yang menjadi penyebab kita belum bisa berdamai dengan diri sendiri, serta solusinya yang mungkin bisa membantu kamu untuk mulai berdamai dengan dirimu. Simak sampai akhir, ya!

Cara Berdamai dengan Diri Sendiri

Penyebab Belum Bisa Berdamai dengan Diri Sendiri

Ada empat alasan yang menyebabkan kita belum bisa berdamai dengan diri sendiri nih. Penyebab-penyebab inilah yang menghambat diri kita untuk maju dan menjadi sumber over-sinting setiap malam. Berikut penyebab yang membuat kita sulit berdamai dengan diri sendiri.

1. Trauma

Trauma atau luka masa lalu bisa jadi salah satu penyebab kita belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Trauma itu bagaikan bekas luka karena mental kita pernah terluka di masa lalu. Misalnya, mendapatkan tekanan dari orang tua, pernah di-bully, sering dapat hate comment, dan lain-lain.

Luka yang pernah tertinggal itu belum sembuh dan masih membekas dalam ingatan sehingga membuat kita penuh ketakutan untuk mengambil langkah ke depan. Kita jadi takut dengan risiko yang akan datang, merasa diburu oleh masa lalu yang kelam karena trauma ini masih melekat dalam ingatan dan kita belum memaafkannya.

2. Insecure

Insecure atau merasa khawatir juga bisa jadi penyebab kita nggak bisa berdamai dengan diri sendiri. Hal ini diakibatkan karena kita terbiasa membandingkan diri sendiri dengan orang lain, baik dari segi fisik, finansial, prestasi, dan sebagainya.

Hal ini menyebabkan kita selalu merasa nggak puas dengan apa yang kita hasilkan. Kita nggak pernah mengapresiasi apa yang telah kita capai. Kita nggak bisa mencintai diri sendiri dengan segala kekurangan yang kita miliki. Padahal mencintai kekurangan adalah sebuah bentuk kesempurnaan.

3. Overthinking

Overthinking alias over-sinting alias kebanyakan menduga-duga dan berpikir yang nggak-nggak, ini adalah salah satu penyebab kita belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Kita kebanyakan memikirkan hal yang belum terjadi, biasanya yang dipikirkan adalah kejadian-kejadian yang negatif. Perilaku ini bisa membuat kita jadi nggak berani melangkah atau mengambil keputusan karena terlalu banyak berpikir dan menduga-duga. Gara-gara over-sinting, kita stagnan di tempat yang sama, belum lagi ditambah insecure, ini bakal jadi double combo yang bikin mental kita lelah dan berujung nggak bisa berkembang alias di situ-situ aja.

4. Tidak Percaya Diri

Rasa tidak percaya diri ini sebenarnya bagian kompleks yang membuat kita belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Rasa percaya diri ini penyebabnya bermacam-macam, bisa karena tiga hal yang telah disebutkan sebelumnya atau gabungan dua atau lebih dari ketiga hal tersebut.

Inilah penyebab yang membuat kita selalu merasa kurang, merasa nggak mampu, nggak berani menghadapi masa depan, juga nggak berani melakukan hal apa pun karena takut salah sehingga membuat kita terus berada di titik yang sama bahkan mengalami penurunan.

Cara Mulai Berdamai dengan Diri Sendiri

Setelah mengetahui penyebab yang membuat kita belum bisa berdamai dengan diri sendiri, maka kita harus mencari solusinya nih. Minimal kita memulai dari hal kecil aja terlebih dahulu sehingga lama-lama kita terbiasa dan mulai memaafkan keadaan serta berdamai dengan diri sendiri.

1. Percaya pada Kemampuan Diri

Percayalah pada kemampuan dirimu sendiri. Semua orang terlahir dengan potensinya masing-masing. Sisanya, kita sendiri yang menentukan apakah akan mengembangkan potensi itu atau akan membiarkannya terkikis oleh rasa nggak percaya diri. 

Fokus dengan diri sendiri, apa yang kita bisa, apa yang kita sukai, dan apa yang ingin kita kerjakan. Jangan mendengarkan cemoohan orang lain. Jika kita mendapatkan kritik dan saran, dengarkan kritik dan saran yang membangun. Jangan pernah dengarkan orang-orang yang merendahkanmu atau mematahkan semangatmu. Sebab, mereka belum tentu bisa seperti kamu.

2. Jangan Memikirkan Hal yang Belum Pasti Terjadi

Untuk kamu yang sering overthinking dan berujung insecure, sebaiknya berhenti menduga-duga. Kita nggak pernah tahu masa depan, kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi besok atau lusa. Kita cuma bisa belajar dari masa lalu dan menghadapi hal yang terjadi saat ini. 

Jadi, sebaiknya jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal negatif yang belum pasti terjadi. Kalau kita terlalu fokus memikirkan hal-hal negatif, kapan kita akan melangkah maju? Semua yang terjadi ada dua kemungkinan, gagal atau berhasil. Jika berhasil, kita bisa lebih meningkatkan kualitas diri. Jika gagal, maka kita bisa belajar dari kegagalan. 

Jangan menyerah kalau kita gagal, inilah cara menerima sebuah kegagalan: Memaknai Kegagalan

Jangan hanya fokus pada kemungkinan gagalnya tapi lirik juga peluang suksesnya. Jangan takut gagal, kalau kita nggak berani melangkah karena takut gagal, berarti kita melewatkan peluang sukses juga dong? 

3. Menerima dan Memaafkan Diri Sendiri
Rasa syukur adalah salah satu cara yang membuat kita bisa menerima diri sendiri. Jangan pernah bandingkan diri kita dengan orang lain, sebab rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau. Akan tetapi, kita sendiri nggak pernah tahu apa yang dialami orang lain, bisa jadi mereka juga punya kesulitannya masing-masing.

Mulai maafkan diri sendiri, belajar dari masa lalu dan evaluasi diri. Tingkatkan kualitas dirimu dengan mempertahankan hal yang baik dalam dirimu dan mulai mengurangi hal yang kurang baik. Jangan benci dirimu sendiri, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Mulailah mencintai dirimu sendiri sepenuh hati sebelum mencintai orang lain. Kalau orang lain bisa mencintai kamu, kenapa kamu nggak bisa mencintai dirimu sendiri?

Evaluasi dirimu hanya dengan sebuah cermin: Mirror Hanging On The Wall

4. Tak Ada yang Sempurna

Kita perlu menyadari bahwa nggak ada hal yang sempurna di dunia ini. Nggak ada kehidupan yang sempurna di dunia ini, begitu pula manusia. Nggak ada manusia yang sempurna, sekali pun dia dianggap sempurna. 

Semua punya kekurangannya masing-masing. Semua ada kesulitannya masing-masing. Jika kita terus mencari kesempurnaan, maka kita nggak akan pernah bisa mendapatkannya. Kita mungkin saja bisa mendapatkan hal yang kita anggap "sempurna" tapi bisa jadi kita justru kehilangan apa yang telah kita miliki sebelumnya. 

Ganti kekurangan dalam hidupmu menjadi sebuah kelebihan, baca juga: Uluran Tangan Tak Berwujud

Maka, yang bisa kita lakukan adalah mencintai kekurangan itu. Sebab, mencintai kekurangan merupakan satu bentuk kelebihan yang dimiliki oleh manusia.

Itulah beberapa cara yang bisa membuat kita berdamai dengan diri sendiri, menurut versiku. 

Kalau menurut versi kamu, bagaimana cara berdamai dengan diri sendiri? Share tips di kolom komentar yuk!

Have a nice day,


Michiko♡

#JejakWarnaWritingChallenge #Day5

Hashtag:
#JejakWarnaWritingChallenge #GetCloserToMe #Day5

Challenge by Jejakwarna.id

15 April 2021

Kemampuan untuk Mengubah Dunia

8:17 PM 0 Comments
Kalau kamu bisa mengubah dunia, kamu mau dunia jadi kayak gimana?

Kemampuan untuk Mengubah Dunia

Hmm, buatku ini pertanyaan sulit sih walaupun cuma dihaluin doang—apalagi direalisasikan. Ditambah melihat faktanya, dunia itu dinamis dan selalu berubah, termasuk keinginan manusia. Awalnya mau kayak gini, besok mau kayak gitu. Banyak aspek yang nggak pernah bikin manusia puas, entah dari sisi ekonomi, politik, humaniora, sosial, budaya, dan sebagainya. 

Semuanya orang pengen dunia yang sempurna. Giliran apa yang diinginkannya terwujudkan... kadang, masih juga dikeluhkan dan ingin hal yang lain, dan begitu seterusnya. Kebanyakan mengeluh melulu, maka perlu dibanyakin rasa syukurnya. 

Pelajari tentang rasa syukur dari drama Korea: Belajar Bersyukur dari Drama Korea 18 Again

Aku pribadi, banyak banget keinginan untuk membuat dunia ini berubah, seperti peningkatan toleransi antar manusia, dunia bisnis dan politik yang bersih, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan budaya, kesetaraan ekonomi dan status sosial, kesejahteraan manusia, dan lain sebagainya. Akan tetapi, untuk mengubah hal itu dan tatanan dunia seperti kehendakku sih rasanya nggak semudah itu—bahkan cenderung nggak mungkin. 

Maka, satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah mengubah diriku sendiri yang termasuk ke dalam bagian kecil dari dunia ini. Kalau aku nggak bisa mengubah dunia secara keseluruhan, aku bisa mengubah duniaku terlebih dahulu. 

Apa yang ingin aku ubah dalam duniaku?

Tentunya, jalan hidup dan pola pikirku sendiri. Aku ingin mengubah jalan hidupku agar lebih baik. Belajar dari kesalahan yang pernah aku buat dan meniti jalan yang lebih baik untuk ke depannya. Selain itu, aku ingin mengubah pola pikirku agar lebih terbuka dan banyak bertoleransi pada perbedaan, baik perbedaan budaya ataupun perbedaan pendapat. 

Semua itu dimulai dari diri sendiri. Aku harus memulainya dengan melakukan hal-hal kecil seperti melakukan evaluasi diri, merencanakan masa depan, melangkah satu per satu dalam menata diri dan meniti karir, serta melakukan kegiatan yang menyenangkan serta bermanfaat. 

Baca juga caraku mengevaluasi diri: Memaknai Kegagalan

Kalau kamu bisa mengubah dunia, kamu ingin dunia jadi kayak gimana? Berbagi cerita yuk! Kamu bisa tinggalkan jawabanmu di komentar atau formulir kontak.

Sekian tulisan untuk hari ini.

Have a nice day,


Michiko♡

#JejakWarnaWritingChallenge #Day4

Hashtag:
#JejakWarnaWritingChallenge #GetCloserToMe #Day4

Challenge by Jejakwarna.id

14 April 2021

Sepucuk Surat untuk Si Kecil

8:49 PM 2 Comments
Sepucuk Surat untuk Si Kecil
Semakin hari, usiamu semakin bertambah. Kini, kamu bertumbuh sebagai orang dewasa. Walaupun berulang kali merengek tak ingin tumbuh dewasa dan selalu berangan untuk kembali ke masa kanak-kanak saat kamu berada di puncak euforia kenangan.

Tubuhmu membesar. Pola pikirmu berubah. Mentalmu semakin kuat. Seiring perkembanganmu bersama waktu yang kian menua, banyak hal indah yang kamu lalui disertai dengan bumbu-bumbu drama kehidupan yang membuatmu menjadi manusia kuat seperti sekarang.

Dan aku, hadir di sini untuk mengucapkan jutaan kata terima kasih kepada kamu yang kini sudah beranjak dewasa.

Aku ingin berterima kasih kepada kamu yang tetap bertahan dalam keadaan tersulit sekalipun. Yang tetap berdiri kuat di tengah terjangan ombak yang bergulung-gulung ganas dengan tubuh mungilmu itu. Yang tetap berdiri walaupun kegagalan menghantammu hingga terjatuh dan terjungkal sekali pun. Aku berterima kasih atas kegigihanmu, kini aku menjadi orang yang kuat berkat kehadiranmu. Aku belajar banyak dari kamu.

Aku ingin berterima kasih kepada kamu karena telah membawakan kenangan indah dan pelajaran menarik untuk masa depanku. Kenangan indah itu selalu melekat dalam ingatanku, membawa jejak kebahagiaan bagiku untuk selalu diingat di saat tersulit yang sedang aku alami. Hal-hal sulit yang pernah kamu lalui juga memberikan pelajaran menarik yang tidak pernah didapatkan di bangku sekolah atau perkuliahan. Terima kasih, kamu membawa kebahagiaan juga pelajaran yang amat berharga.

Aku ingin berterima kasih kepada kamu karena telah menetapkan mimpi yang tinggi dan sempurna. Mimpimu yang tinggi itu membawaku ke sini, membawaku pada situasi sulitnya menggapai mimpi dan perasaan bahagia saat mewujudkannya dengan susah payah. Mimpimu yang tinggi itu membuatku tetap bertahan hingga saat ini untuk menunaikan tugasku dalam mewujudkan mimpi-mimpimu. Terima kasih telah bermimpi menjadi orang yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, mimpi itu terdengar mudah tapi nyatanya tidak semudah itu untuk mewujudkannya dan menghentikannya. Namun, aku akan berusaha mewujudkan mimpimu itu.

Aku ingin berterima kasih kepada kamu karena telah menjadi bagian dari diriku dan masa laluku. Semua itu akan selalu tersimpan di dalam kotak memoriku sampai kapan pun. Sebab, kamu lah yang membawaku ke sini. Kamu lah yang membuatku menjadi manusia seperti ini. Kamu lah yang membuat aku kuat dan penuh tekad. Kamu lah yang membuat aku lebih bijak karena belajar dari pengalaman yang pernah kamu alami. 

Semua ini tentang kamu dan aku, yang berpadu satu dan saling membantu. Sepucuk surat ini aku persembahkan untukmu, aku di masa lalu.

Ditulis oleh Michiko

Baca juga surat-surat yang lainnya klik di sini

#JejakWarnaWritingChallenge #Day3

Hashtag:
#Jejakwarnawritingchallenge #getclosertome #Day3

Challenge by jejakwarna.id

13 April 2021

Memaknai Kegagalan

1:06 PM 0 Comments
Kegagalan. Siapa yang nggak pernah mengalami hal ini? 

Aku sendiri berulang kali mengalami kegagalan. Mulai dari ditolak penerbit, gagal masuk perguruan tinggi impian, gagal mencapai cita-cita masa kecil, gagal magang ke luar negeri, gagal mendapatkan hasil tes yang baik, gagal mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan, dan masih banyak kegagalan bermakna lainnya yang pernah aku alami.

Baca juga daftar kegagalan yang pernah aku alami: Daftar Kegagalan

Reaksiku? Sedih dan marah pada diriku sendiri. Kadang, aku mempertanyakan banyak hal seperti kenapa aku nggak mampu, kenapa aku nggak sanggup, kenapa aku gagal di titik ini. Kadang, pernah merasa ingin berhenti. Kadang, ingin menyalahkan hal lain atas kegagalan itu. Setiap kali berusaha dan gagal, aku merasa seperti dikhianati oleh hasil. Padahal bisa jadi usaha yang aku lalui belum sepadan dengan keberhasilannya. 

Namun, aku nggak bisa terus-terusan menyalahkan keadaan. Apalagi, dengan kemarahan atau kesedihan yang berlarut-larut itu nggak akan mengubah apa pun, kecuali mentalku sendiri. Sedangkan, keadaan lingkungan akan terus begitu adanya. Sebab, dunia nggak cuma berputar di aku aja, dunia nggak cuma tentang aku. Bukan dunia yang harus menyesuaikan diri dengan aku, justru aku yang harus bisa beradaptasi dengan dunia. 

Baca juga curahan hati tentang kekhawatiran pada masa depan: Insecure Melanda, Aku Ingin Berhenti Menulis

Sebagai pejuang mimpi, orang yang bermimpi untuk menjadi orang sukses, tentu banyak banget jalan yang harus aku tempuh, salah satunya kegagalan. Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Kegagalan juga bukan kehancuran.

Memaknai Kegagalan

Kegagalan adalah pelajaran. Kegagalan adalah bagian dari proses. Kegagalan adalah ujian menuju kesuksesan. Orang bilang, kegagalan adalah kunci kesuksesan. Itu benar, aku setuju. 

Ibaratnya, ada banyak pintu menuju kesuksesan. Satu pintu berisi kegagalan, maka kita harus mencari pintu yang lain. Sama seperti ketika kita melakukan kesalahan, kita sebisa mungkin tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kali kan? Begitu juga kegagalan, kita akan banyak belajar darinya. 

Banyak kegagalan yang menemani perjalanan menulisku, baca juga: Pejuang Mimpi

Aku banyak belajar dari menghadapi kegagalan. Aku belajar berlapang dada menerima kenyataan yang nggak sesuai dengan ekspektasi. Aku belajar menghibur diri agar mau bangkit lagi. Aku jauh lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Aku berdiri lebih kuat dengan kedua kakiku sendiri. Aku semakin menambah usahaku untuk mencapai mimpiku. 

Kegagalan akan membuat kita menjadi orang yang kuat, tekun, dan bijak.
— Nadhira Shafa G. (nadhishafa), 2021

Beberapa kegagalan pasti pernah datang kepada kita. Pernahkah kamu sedih karena mengalami kegagalan? Apa yang kamu lakukan ketika kamu menghadapi kegagalan? 

Apakah kamu mencoba jalan yang sama dengan cara berbeda?

Apakah kamu beralih mencari jalan yang lain?

Atau justru menyesalinya dan kapok menemui kegagalan lagi?

Sedih karena kegagalan itu wajar. Marah karena hasil yang tidak memuaskan itu wajar. Namun, jika kita terlalu berlarut-larut dalam kesedihan dan tak mau bangkit lagi, apakah kita akan selalu berbaring di tanah dan terinjak tak berdaya?

Hari ini, kita berbicara tentang kegagalan dan sama-sama memaknainya dalam sudut pandang masing-masing. Semoga, kita bisa saling menguatkan satu sama lain. Semangat! Ada banyak jalan menuju Roma.

Bagaimana cerita tentang kegagalanmu? Apa yang kamu lakukan setelah menghadapi kegagalan? Apa makna kegagalan bagimu? Saling berbagi cerita, yuk!

Kamu bisa tinggalkan kisahmu dan jejakmu di kolom komentar atau formulir kontak. See you!

Have a nice day,


Michiko♡

#JejakWarnaWritingChallenge Day 2

#JejakWarnaWritingChallenge #GetCloserToMe #Day2 

Challenge by @jejakwarna.id 

9 April 2021

Review Jujur: Safi Dermasafe Mild & Gentle Gel Cleanser

4:12 PM 0 Comments
Setelah menggunakan produk Safi varian yang warna biru, Safi White Expert Purifying Cleanser 2 in 1, aku beralih mencoba produk Safi varian terbaru. 

Ada yang bisa tebak?

Sebelumnya, aku mau menginformasikan kalau Safi mengeluarkan varian terbaru; warna oranye, warna hijau, warna hitam, dan warna putih.

Safi yang warna oranye adalah seri produk yang ditujukan untuk kulit berminyak dan berjerawat. 
Safi yang warna hijau adalah seri produk anti acne atau jerawat. 
Safi yang warna hitam adalah seri produk yang diformulasikan untuk menjaga elastisitas kulit dan menjaga kelembapan.
Safi yang warna putih adalah seri produk untuk kulit sensitif. 

Produk Safi yang kali ini akan aku ulas adalah produk Safi varian putih, Safi Dermasafe, yang diformulasikan khusus untuk tipe kulit sensitif. Berhubung di review sebelumnya aku punya love-hate relationship dengan produk Safi White Expert Purifying Cleanser 2 in 1, maka aku memutuskan untuk mencoba varian yang ini karena tipe kulitku cenderung sensitif.

Baca juga kisah love-hate relationship dengan produk Safi pada review sebelumnya: Review Jujur: Safi White Expert Purifying Cleanser 2 in 1

Varian ini cukup berbeda dari varian sebelumnya, Safi Dermasafe mengeluarkan rangkaian produk basic skincare yang lengkap berupa cleanser (mousse dan gel), booster, dan moisturizer untuk siang dan malam.

Pada kesempatan kali ini, aku akan membahas Safi Dermasafe Mild & Gentle Gel Cleanser.

Review Jujur: Safi Dermasafe Mild & Gentle Gel Cleanser
Sebelum aku review, seperti biasa kita lihat dulu identitas produk Safi Dermasafe Mild & Gentle Gel Cleanser.

Identitas Safi Dermasafe Mild & Gentle Gel Cleanser

1. Fungsi

Safi Dermasafe Mild & Gentle Gel Cleanser adalah produk pembersih wajah yang berguna untuk membersihkan kotoran dan sebum (minyak) di wajah.

2. Komposisi atau Ingredients

Penjelasan ini didapat dari tulisan yang ada di botolnya untuk menjelaskan produk ini. Produk ini mengandung kandungan bahan alami ekstrak licorice dan chamomile.

Ingredients Safi Dermasafe Mild & Gentle Gel Cleanser
Water, Glycerin, Sodium Lauryl Ether Sulphate, Cocamidopropyl Betaine, Cocamide Methyl Mea, Acrylates Copolymer, Sodium Chloride, Sodium Cocoamphoacetate, Citric Acid, Sodium Hydroxide, Tetrasodium EDTA, Butylene Glycol, Propylene Glycol, Glycyrrhiza Glabra(Licorice) Root Extract, Anthemis Nobilis (Chamomile) Flower Extract, Phenoxyethanol, Potassium Sorbate

3. Fungsi

a. Ekstrak Licorice

Ekstrak Licorice mengandung glabridin yang berperan untuk mencerahkan kulit wajah dengan efek samping minimum dan antioksidan. Selain itu, ekstrak Licorice juga mengandung glycyrrhizin yang berperan sebagai anti-inflammatory (mencegah iritasi). 

b. Ekstrak Chamomile

Ekstrak chamomile berperan untuk menenangkan kulit (shooting) dan mencegah iritasi (anti-inflammatory). 

4. Klaim produk

Ada beberapa keunggulan yang ditawarkan produk ini:
a. Formula yang lembut dan ringan membersihkan kotoran dan sebum secara optimal.
b. Merawat dan menyejukkan kulit kemerahan agar terasa nyaman.
c. Menjaga kelembapan kulit dan membuatnya tampak sehat dan cerah.
d. Tanpa alkohol, pewangi, pewarna, dan pH seimbang.

Informasi tambahan

1. Di mana belinya?

Aku beli produk ini pertama kali di drugstore Watsons. Sepertinya di Guardian juga ada tapi kebetulan pas waktu itu lagi kosong. Berhubung sekarang lagi pandemi, aku beli di official store Safi di Tokopedia. Pengirimannya sekitar seminggu dan packaging-nya aman kok, produk dikasih bubble wrap dan dimasukkan ke kardus kecil.

2. Berapa harganya?

Aku agak lupa sih harga di drugstore berapa, mungkin kisaran  60 ribu sampai 70 ribuan kalau nggak salah. Kalau di official store Safi yang ada di Tokopedia harganya 70 ribuan. 

3. Berapa banyak isinya?

Berat bersihnya 100 gram.

Review Jujur Oleh Nadhishafa

DISCLAIMER! Setiap orang punya kulit yang berbeda, maka efek pemakaian dari suatu produk pun akan berbeda.

Mohon diperhatikan sehingga tidak ada kesalahpahaman. Review ini berdasarkan pengalaman yang aku alami sendiri. Apabila sesuatu terjadi pada aku belum tentu terjadi kepada kamu juga.

1. Berapa lama pakai produk ini?

Aku pakai produk ini kurang lebih sudah empat bulan. Pertama beli kalau nggak salah bulan November 2020 dan aku sudah repurchase satu kali bulan Februari 2021.

Kelihatannya awet ya tapi menurutku ini normal sih untuk ukuran sabun muka. Soalnya, akunya aja yang nggak rajin cuci muka hehe.

2. Bagaimana teksturnya?

Produknya warnanya bening dan seperti gel. Nggak ada butiran scrub sama sekali, benar-benar gel kental. Konsistensinya nggak terlalu cair, malah cenderung kental. 

Sedikit lengket tapi nggak lengket banget kalau dibandingkan produk pembersih Safi yang pernah aku coba. Setelah kena air, jadi licin banget dan agak sulit untuk dibusain.

3. Bagaimana aromanya?

Aromanya nggak terlalu kuat, lebih mirip bau bunga asli kalau dicium secara langsung. Nggak ada wangi sitrus atau parfum sama sekali.

4. Bagaimana pengalaman menggunakan produk ini?

Kalau produk ini digosok ke tangan, busanya nggak terlalu banyak, malah lebih sedikit daripada Safi White Expert Purifying Cleanser 2 in 1. Atau mungkin cenderung nggak berbusa kali ya, soalnya agak sulit untuk dibusain di tangan kayak menggumpal gitu jadi agak lama kalau mau dibikin busa.

Waktu diaplikasikan ke wajah rasanya lembut banget karena nggak ada butiran scrub dan licin. Sesuai klaim produk, Safi Dermasafe Mild & Gentle Gel Cleanser membersihkan kotoran dan minyak di wajah. 

Setelah dicuci, nggak ada efek kering sama sekali malah kenyal. Nggak bikin kulit terasa ketarik sampai kaku juga setelah cuci muka. Sejauh ini, aku nggak mengalami reaksi negatif apa pun. 

5. Apa bagian yang aku suka dari produk ini?

Aku suka dengan teksturnya yang gel dan lembut banget saat diaplikasikan ke wajah. Efek setelah cuci muka juga nggak bikin ketarik sampai kaku gitu malah bikin lembap. 

Ada kandungan glycerin yang berfungsi buat melembapkan. Ada kandungan ekstrak licorice dan chamomile yang berfungsi buat menenangkan kulit dan mencegah iritasi. Formulanya cocok banget buat kulit aku yang oily sensitive dan sering rewel kalau ketemu produk pembersih wajah. Baru kali ini kulitku nggak rewel sama sekali ketemu produk baru.

Surfaktan yang digunakan juga SLES bukan SLS, salah satu surfaktan yang minim efek iritasi di kulit. Pokoknya ini gentle skincare approved!

Aku pribadi sih bucin banget sama produk ini. Almost perfect. 9/10!

6. Apa bagian yang aku nggak suka dari produk ini?

Aku agak kurang suka baunya, awal cium aromanya lebih mirip bau bahan kimia kayak besi atau logam gitu, aku nggak terlalu yakin. Cuma lama kelamaan, baunya lebih mirip aroma bunga asli. Tapi tetap, untuk aromanya aku lebih suka aroma varian White Expert. Mungkin karena produk ini nggak pakai pewangi ya jadi aromanya nggak terlalu menarik. 

Aku agak kurang suka packaging-nya untuk produk ini. Varian yang lain tuh packaging-nya pakai botol pump tapi entah kenapa yang Safi Dermasafe Mild & Gentle Gel Cleanser ini pakai tube biasa padahal produknya ini gel. Jadi, kalau aku lupa dan terburu-buru kadang produk yang keluar tuh kebanyakan. Solusinya sih biasanya aku pencetnya dimiringin dulu tube-nya. Mungkin buat bedain packaging dengan varian Safi Dermasafe Mousse Cleanser kali ya.

Harganya juga lebih mahal daripada produk Safi varian yang lainnya. Huhuhu dompetku menangis, tapi gak apa-apa... ada harga ada kualitas.

7. Siapa saja yang aku rekomendasikan untuk menggunakan produk ini?

Tipe kulit kering
Untuk kamu yang punya tipe kulit kering, kamu bisa coba produk ini karena produk ini nggak bikin kering sama sekali malah cenderung melembapkan kulit. 

Tipe kulit berminyak
Untuk kamu yang punya tipe kulit berminyak, agak sedikit ragu nih aku buat merekomendasikan terutama kalau minyaknya banyak banget. Soalnya, produk ini nggak terlalu banyak menyerap minyak. Aku kurang paham reaksinya di kulit yang super berminyak, tapi ini worth to try untuk kamu yang cari gentle skincare!

Tipe kulit sensitif
Untuk kamu yang punya tipe kulit sensitif, kamu bisa banget pakai produk ini! Menurutku, formulasi produk ini memang gentle skincare approved yang ditujukan untuk kita yang kulitnya rewel. Apalagi klaim produknya tanpa alkohol, tanpa pewangi, dan tanpa pewarna. Klaim produknya aman buat kulit sensitif.

Segitu aja review produk Safi Dermasafe Mild & Gentle Gel Cleanser dari aku. Semoga tulisan ini bermanfaat dan sedikitnya bisa membantu kamu yang sedang cari review Safi Dermasafe Mild & Gentle Gel Cleanser.

Baca juga tulisan ulasan produk yang lainnya di sini

Have a nice day,


Michiko ♡

Referensi:
Ingredients source on incidecoder
Photo by nadhishafa

3 April 2021

Cerita Bersambung: Reverse [Bagian 8: Dilema Tak Berujung]

11:04 PM 0 Comments
Ingatan masa lalunya itu membawanya pada ekor perjalanan hidupnya. Lambat laun seiring berjalannya waktu, Grace semakin didera penderitaan yang semakin mendalam. Ia mungkin bisa bebas dari kehidupan yang dipenuhi oleh hasrat yang sebenarnya tak ia inginkan, tapi ia tidak bisa terlepas dari jeratan kehidupan hitam yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Grace memejamkan mata saat itu pula ia tak sadar di ujung pelupuk matanya mengalir embun yang membentuk sungai kecil di wajahnya. Mungkin ini adalah tugas terakhirnya.

Baca kisah selengkapnya: Reverse Bagian 7 - Rekam Memori yang Terkenang

Bagian 8: Dilema Tak Berujung

Mentari kembali menyeruak di kaki langit. Kelemayar lembayung kemerahan mewarnai cakrawala berhias bingkaian awan tipis. Semakin tinggi sang surya di langit, sinarnya semakin menyala dan membawa kehangatan bagi jiwa-jiwa yang menjalani aktivitasnya di atas pijakan bumi. 

Namun, seri mentari tak cukup membawa kebahagiaan bagi seorang gadis yang baru saja tiba di depan kantornya. Senyumannya pudar tak lagi memperlihatkan keelokannya. Matanya sembab dengan kantung mata yang lebih besar seperti kantung semar. Matanya yang bening dan kerapkali memancarkan kebahagiaan pun kini kuyu dalam balutan warna merah. Penampilannya pun amat berbeda dari biasanya, riasan di wajah tidak cukup mampu menyembunyikan kegelisahan pada wajahnya.

Terlalu banyak hal yang ia pikirkan semalam, salah satu dari jutaan hal yang mengusiknya adalah seorang pria yang sejak Grace turun dari taksi sudah terlihat memandang sekitarnya sambil menyapa karyawan-karyawan yang melintas di hadapannya dengan ramah. Grace menunduk, sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya. Ia menghindari temu pandang dengan pria itu dan berharap pria itu meluputkan perhatiannya. 

Namun, justru gadis itulah yang pria itu tunggu dari sekian banyak karyawan yang sudah ia sapa. "Grace!" Jo berlari kecil menghampiri Grace seperti tidak mau tertinggal langkahnya dari Grace. 

Grace mengangkat wajahnya. Ia memandang Jo dengan tatapan matanya yang sejak awal sudah terlihat kuyu. Sebisa mungkin ia mengembangkan senyumnya saat menyambut kedatangan pria itu. 

Langkah Jo memelan begitu melihat keadaan Grace. Gadis itu berpenampilan tidak serapi biasanya seperti ia sedang berada dalam kekacauan yang meluputkannya dari rutinitas pagi hari. Rambut gadis itu tampak tidak tersisir dengan rapi, beberapa anak rambut berdiri. Gadis itu juga sepertinya lupa menyemprotkan minyak wangi sebab aroma tubuh Grace saat ini berbeda dari aroma yang biasanya tercium. Serta riasan wajahnya tak mampu menyembunyikan wajah bengkak akibat menangis semalaman.

"Kau baik-baik saja, Grace?" tanya Jo.

"Iya, aku baik-baik saja, Jo," jawab Grace sambil mengembangkan senyumannya begitu mendengar pertanyaan Jo, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia mengangguk sambil menyisir rambutnya yang terkucir dengan jari. 

Namun, gerakan itu tampak mencurigakan bagi Jo sehingga Jo kembali bertanya, "Kau yakin baik-baik saja?" 

"Aku seratus persen yakin, Jo." Grace menghela napasnya, jemu akan pertanyaan berulang itu. Selain diburu waktu, ia ingin segera meninggalkan pria itu. Rasa bersalah terasa berkabut melapisi seisi benaknya, terlebih setelah Jo terlibat dalam konflik hidupnya. 

"Yang benar?" Jo kurang puas dengan jawaban Grace.

Grace melirik pergelangan tangannya. Namun, ia terkejut saat jam tangan silver yang biasa dikenakannya tak ada di sana. Grace menyembunyikan tangan ke belakang punggungnya. "Sudahlah, Jo, aku pergi ya? Nona Kim bisa mengomel jika aku terlambat."

Jo tak ingin segera melepaskan gadis itu. Ia belum yakin bahwa Grace baik-baik saja. Maka, ia mencoba mengulur waktu sambil menyelidiki raut wajah Grace. Jo meraih pergelangan tangan Grace saat gadis itu beranjak pergi.

Jo memandang wajah Grace, menyelidiki perubahan ekspresi gadis itu. "Uhm... Grace, kau membaca pesanku?"

Grace menghentikan langkahnya. Ia teringat akan dua pesan Jo. Setelah bertanya, Jo kembali mengirimkan pesan untuk mengajaknya patroli malam bersama lagi. Ia mengangguk. "Iya, aku baru membacanya tadi pagi. Jadi, aku tak sempat membalasnya."

Jo ber-oh pelan. "Jadi, kau mau mulai kapan? Aku ada jadwal berjaga malam—"

"Maaf, Jo. Aku buru-buru sekarang," sela Grace. Raut wajah Grace yang semula menyembulkan sebuah senyuman berubah serius. Senyuman itu pudar berganti kegelisahan yang terbit pada guratan wajahnya. Grace melepaskan tangan Jo yang menggenggam pergelangan tangannya. "Bisa kita bicara nanti?"

Reaksi itu benar-benar di luar dugaan Jo. Grace berubah dalam semalam. Grace membalik badan dan buru-buru melangkah pergi. Ia seperti menghindari Jo pagi itu.

Jo terpaku menatap kepergiannya. Apa yang sebenarnya terjadi kemarin hingga membuatnya menjadi seperti itu?

***

Gertakan Jun kemarin membuat Grace terlalu banyak menghabiskan energi untuk memikirkan strategi selanjutnya. Ia sudah mantap mendekati target lewat jalur belakang. Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya ia sangat tidak menginginkan untuk kembali ke masa lalu yang amat dibencinya. 

Baru kali ini, ia merasa bodoh. Ia tidak seperti sebelum-sebelumnya, yang berhasil menjalankan tugasnya dengan rapi tanpa jejak apa pun. Ia tahu muara kegelisahan ini berasal dari dilema yang tak berujung. Pilihan antara hidup atau mati. Berhenti atau lanjut. Patuh atau bebas. Baik atau jahat. Jo atau Ray.

Grace mengetuk keningnya dengan ujung pulpen. Kepalanya berasap memikirkan hal yang sama sekali tak ada ujungnya sampai kertas-kertas pekerjaan di hadapannya terbengkalai. Hal itu menarik perhatian Nona Kim yang meja kerjanya terletak di seberang meja kerja Grace. Tidak tahan melihat Grace yang justru sibuk dengan pikirannya, Nona Kim menghampiri Grace.

Kehadiran Nona Kim yang diam-diam ada di depannya membuat Grace terperanjat. "Astaga! Kau membuatku terkejut."

"Grace, ini bukan waktunya melamun. Kau tahu ini pukul berapa?" Nona Kim menunjuk jam dinding yang terpampang di atas pintu ganda berwarna cokelat. Ia menekankan, "Dan kau, sama sekali belum menyentuh pekerjaanmu." 

Grace terbelalak melihat setumpuk kertas yang sama sekali belum terjamah. Waktu bergulir begitu cepat hingga membuat gadis itu tak menyadari tugasnya kian menumpuk. Ia berharap tugas itu selesai dengan sendirinya. "Oh, iya. Maafkan aku, Nona Kim."

"Jangan menghabiskan waktu bekerja dengan pikiran kosongmu itu. Kau mau performa kerjamu aku laporkan kepada Tuan Ray?" 

Mendengar nama itu membuat Grace teringat sesuatu. "Nona Kim, apa kau bisa menyambungkanku dengan Tuan Ray?"

Nona Kim menatap Grace. Cengkeraman tangannya pada ujung meja Grace melonggar. "Untuk apa?"

Grace menggigit bibirnya sambil memainkan pulpen pada jarinya. Ia sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan Nona Kim. "Tentu saja untuk berbicara dengannya."

Wajah Nona Kim tampak kecut. Lantas, ia kembali ke meja kerjanya sambil berkata dengan dingin, "Tuan Ray sedang tidak ada di kantor untuk dua hari ke depan." 

"Ke mana dia?"

Nona Kim duduk di kursi sambil menatap layar komputernya. Ia menjawab dengan ketus. "Kau tidak tahu pekerjaan presiden direktur ya? Dia sibuk, tidak sepertimu yang kerjaannya hanya melamun dan pacaran."

Grace menyergah, "Aku tidak pacaran melulu!"

Nona Kim sama sekali tak peduli apa pun kata-kata yang diucapkan oleh Grace. Sebaliknya, Grace justru kepikiran dengan ucapan terakhir Nona Kim. Sedikitnya, ia terusik dengan ucapan Nona Kim. Sibuk? Kalau sibuk, kenapa dia selalu membuntutiku?

***

Waktu yang Jo miliki untuk beristirahat ia gunakan untuk pergi ke pantri dekat dengan ruangan Grace bekerja. Ia sengaja pergi ke sana untuk menemui Grace. Sejak tadi pagi, Jo merasa resah. Entah apa yang mengganjal tapi perasaannya semakin tidak enak setelah melihat telepon masuk ke ponsel Grace dan perubahan sikap Grace yang berubah hanya dalam semalam. Jo tiba di sana untuk memastikan keadaan Grace.

Jo masuk ke ruang pantri. Namun, yang ia dapati hanya seorang office boy yang cekatan menggerakkan gagang pel sambil berjalan mundur. 

"Tom, kau melihat Nona Grace?" tanya Jo pada Tommy seorang office boy yang lihai menggerakkan gagang pelnya. 

"Nona Grace?" Tommy berhenti menggerakkan gagang pel. Ia mengerling ke arah atas berusaha mengingat rupa pemilik nama itu. Namun, ia tak dapat menemukan rupa wajahnya. "Nona Grace itu yang mana, Jo?" 

"Itu... yang sering pakai blazer dan celana panjang. Rambutnya dikucir satu dan tingginya kurang lebih segini." Jo mengukur tinggi badan Grace kira-kira dengan tangannya. Ia meletakkan ujung jarinya dekat tulang pipinya. 

"Oh, yang sering pakai sepatu sneakers putih ke kantor itu?" Tommy berusaha menebak.

"Nah iya, itu!" Jo mengangguk setuju dengan identifikasi yang disebutkan Tommy. Pertemuan pertamanya dengan Grace adalah kali terakhir Jo melihat gadis itu mengenakan sepatu hak tinggi. Setelahnya, penampilan Grace berubah total, Grace tak pernah lagi menggunakan sepatu hak tinggi.

"Wah, aku belum melihatnya sejak tadi pagi, Jo. Biasanya, setiap pagi dia membuat kopi dulu ke sini, tapi sepertinya tadi pagi aku tak melihatnya datang ke sini."

"Oh, ya sudah kalau begitu. Terima kasih, Tom."

Tommy mengangguk. Ia melanjutkan pekerjaannya sambil menyeret kotoran debu keluar dari ruang pantri. 

Kini, Jo berada di pantri sendirian. Pria itu mondar-mandir menanti kehadiran Grace di sana. Pantri adalah tempat satu-satunya yang paling aman untuk bertemu dengan Grace. Sebab, hanya di tempat itulah mereka bisa mengobrol sejenak tanpa terkena omelan atau bisikan karyawan-karyawan lain yang menduga-duga mereka berpacaran pada jam kerja. Maka dari itu, Jo menetap di sana sampai ada panggilan yang berbunyi dari portofon yang menggantung di pinggangnya. 

Pintu pantri yang terbuka membuat Jo berbalik badan. Dugaannya terjungkir, bukan Grace yang hadir melainkan seorang wanita dengan riasan wajah yang tebal dan tubuh yang kurus seperti tulang belulang hadir di sana.

"Kau menunggu Grace?" tanya Nona Kim seraya memasuki pantri. Derap langkah sepatu hak terdengar khidmat.

"Iya, di mana dia?" tanya Jo. Ia berharap Nona Kim tahu, sebab wanita itu bekerja satu divisi dengan gadis yang ia tunggu.

"Dia ada di meja kerjanya. Tidak bergerak sedikit pun dari sana." Nona Kim meraih gelas lalu menuangkan air ke dalamnya.

"Sejak tadi pagi?"

Nona Kim membalik badan sambil meneguk air di dalam gelasnya. "Iya, kerjaannya hanya melamun sampai pekerjaannya pun tidak disentuh."

"Dia baik-baik saja?"

"Kenapa kau bertanya tentang itu kepadaku? Apa aku terlihat tahu segalanya tentang dia?"

"Setidaknya, tadi kau bersamanya." Tatapan Jo mengawang. Ia terpagut ke dalam ruang memori di hari sebelumnya, saat telepon masuk ke ponsel Grace, raut muka Grace yang berubah saat melihat riwayat panggilan, ditambah lagi perubahan sikap Grace yang drastis. Semua membuat kekhawatiran Jo akan hal yang terjadi pada Grace mengusik pikirannya. 

Nona Kim mengedikkan bahu. "Aku tak tahu. Kau mengkhawatirkannya?"

"Iya, aku mengkhawatirkannya dan aku mulai gelisah sekarang."

Nona Kim terkekeh ringan, merasa menang. Ia menyeringai di saat bibirnya bersentuhan dengan bibir gelas. "Sekarang, kau percaya dengan ucapanku tentang dia, kan?"

Jo melirik Nona Kim dengan tatapannya yang tajam. Wajahnya berubah masam. "Percaya atau tidak, itu tak akan mengubah keadaan saat ini."

Nona Kim mendengus. Jelas ia merasa kesal, Jo tak mengakui kekalahannya. Ia meneguk air lagi di dalam gelas. "Informasi tambahan untukmu, sepertinya Grace akan meneken kontraknya."

"Apa?" tanya Jo. Ia bukan tidak mendengar ucapan Nona Kim, tapi ia berharap kalau ia tidak salah mendengar informasi itu. 

"Dia akan mengambil posisiku."

"Posisimu yang mana?" Jo bertanya ragu. Perasaannya waswas manakala pikirannya melayang bahwa Grace akan menjadi mainan presiden direktur.

"Sekretaris...." Nona Kim meneguk sisa air yang tersisa. Kemudian, ia menambahkan, "Sekretaris pribadi. Kau tahu sendiri apa yang akan menjadi tanggungjawabnya nanti."

Jo benar-benar ditampar kenyataan. Ia menggelengkan kepalanya. "Sinting. Tidak, itu tidak boleh terjadi."

"Kau pikir aku berharap kalau itu akan terjadi, Jo? Aku sudah nyaman dengan posisiku itu! Bisa-bisanya dia dengan mudah mendapatkan posisi itu."

"Katakan apa yang harus aku lakukan?" Jo menggigit bibirnya.

"Kau pahlawan kesiangan, Jo." Nona Kim meletakkan gelas kosong di atas permukaan meja. "Kau hanya punya dua hari untuk mencegah Grace sebelum Tuan Ray kembali."

***

Petang telah mengintip di balik awan yang memancarkan rona kemerahan. Jo berdiri di depan posnya menanti Grace keluar dari gedung kantor. Namun, sudah beberapa jam berlalu gadis itu tak kunjung keluar dari gedung tinggi itu. Jo mulai resah, kesabarannya mulai menipis dijejak kegelisahan. 

Tak lama berselang, akhirnya gadis yang ia tunggu keluar dari gedung. Tatapan matanya kosong. Ia mengawang entah ke mana, hanya saja tubuhnya bekerja seperti robot yang diarahkan oleh sebuah remote control. Grace melangkah tanpa tujuan yang jelas. Wajahnya benar-benar suram bak mentari telah kehilangan sinarnya.

"Grace!" Jo memanggilnya saat Grace melewati gerbang.

Namun, Grace tidak mendengarnya. Pikirannya entah tertinggal di mana. Raga Grace terlihat tak berisi semangat sama sekali. Ia terus melangkahkan kakinya semakin jauh dari area perkantoran. 

Jo memutuskan untuk menyusul Grace. Ia khawatir, sesuatu akan membisikkan hal-hal aneh di telinganya. Terlebih setelah melihat gelagat Grace layaknya mayat hidup yang dipaksa untuk tetap bekerja membuat kegelisahannya semakin berkecamuk.

Jo berjalan di belakang Grace. Ia mengawasi Grace dari belakang. Biasanya, sepulang dari kantor, Grace selalu pulang menggunakan taksi. Namun, malam ini, gadis itu tetap menekuri jalan seraya melangkah gontai. 

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Hanya tinggal enam hari, pikir Grace.

Jo menatap gadis itu iba. Tak pernah sekali pun ia melihat gadis pemarah itu murung hingga kehilangan sinarnya. Tak tahan melihatnya, Jo berlari menyusul langkah gadis itu. Ia merengkuh bahu gadis itu saat langkahnya sejajar dengan Grace.

Terkejut dengan rengkuhan yang ia kira orang asing, Grace menarik tangan yang menggantung di bahunya lantas memilin tangan seorang pria yang baru saja merengkuhnya. Tangan itu terlipat di belakang punggung pemiliknya hingga membuat Jo mengaduh. Tangkas, Grace mengentakkan lututnya pada kaki pria itu hingga membuatnya tersungkur.

Tak berdaya menahan ngilu pada bagian bahunya, Jo pun menyerah. "Ini aku, Grace! Ini aku!"

Grace melepaskan tangan Jo begitu menyadari pria yang baru saja dihantamnya. "Apa yang kau lakukan? Kau mengejutkanku, Jo! Maaf aku menyakitimu, aku kira kau orang mesum."

Jo meringis saat merasakan sisa-sisa ngilu di bahu dan lututnya yang bertumbuk pada permukaan paving. Lantas ia berdiri perlahan sambil menepuk debu pasir yang menempel pada celananya.

"Bisa-bisanya kau tak menyadari aku berjalan di belakangmu," gumam Jo.

"Iya, begitulah. Aku sedang memikirkan hal lain. Kenapa kau ada di sini?"

"Motorku kemarin mogok. Jadi, aku menitipkannya di bengkel."

"Kenapa kau tidak naik taksi saja?" Grace menyampirkan tas di bahunya dan kembali melangkah.

Jo ikut melangkah di samping Grace. "Ah, tempatnya dekat. Lagipula, aku melihatmu jalan sendirian. Jadi, kupikir akan lebih baik aku berjalan bersamamu. Berdua!" seru Jo sambil menyembulkan senyum.

"Kau tidak harus melakukannya, Jo." Grace memutar bola matanya.

"Omong-omong, kau tadi tidak pergi makan siang?"

Grace menggelengkan kepalanya. Ia menunduk, tak ingin bertemu pandang dengan Jo yang kini berada di samping kanannya.

"Padahal tadi aku menunggumu di pantri."

Grace melirik ke arah Jo ragu. Ia penasaran untuk apa pria itu menantinya di sana, tetapi ia urung bertanya. Alih-alih bertanya kenapa, Grace justru bergumam, "Aku tidak lapar, Jo."

"Kau mau makan bersamaku? Aku yang traktir!" Jo tersenyum. Matanya menatap gadis itu penuh harap agar Grace setuju.

Namun, harapan itu tidak menjadi kenyataan. Grace justru tertunduk dan menggelengkan kepalanya. Tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan Grace.

Senyum yang semula mengembang, perlahan memudar dari seri wajah Jo yang berbinar. Jo ikut diam. Sorot matanya tak mampu ia alihkan dari Grace yang tertunduk murung sejak awal. Ingin Jo memeluknya dan mendengarkan keluh kesah Grace. Ia ingin sekali mengusap punggung Grace dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Akan tetapi, Jo urung melakukannya. Sepanjang perjalanan, mereka terpisahkan sekat keheningan.

Mereka sudah dekat dengan bengkel yang ada perempatan jalan tempat motor Jo mogok pada hari sebelumnya. Jo mendapatkan ide lain untuk menghibur Grace tanpa harus memeluknya. "Grace, tunggu di sini!" Segera, Jo berlari ke arah bengkel tempat motornya menginap, mendahului langkah Grace.

Grace mengangkat wajahnya. Ia berhenti melangkah tepat di dekat tiang rambu lalu lintas. Entah apa yang ia pikirkan, ia mengikuti permintaan Jo. Padahal sejak awal, ia ingin menghindari pria itu bahkan memutuskan hubungan dengannya. Namun, rasa itu tak ingin melepaskannya dari Jo. Takdir seolah berkata sebaliknya, Jo tetap harus berada di sisi Grace.

Jo menggiring sepeda motornya keluar dari bangunan bengkel yang menguarkan aroma minyak, mesin berkarat, dan oli serta campuran karbon monoksida yang menggumpal menjadi satu di udara. Ia memosisikan sepeda motornya di bahu jalan dan mengeluarkan sebuah helm dari bawah jok motornya. 

Helm itu sengaja Jo bawa sejak pertama kali bertemu dengan Grace sebagai bentuk persiapan jika suatu hari ia akan berboncengan bersama Grace naik motor bututnya. Maka, inilah hari yang sudah dibayangkannya sejak lama. Jo memberikan helm yang ia simpan di bagasi motornya kepada Grace. "Pakailah."

Grace tidak segera mengambilnya. "Aku sudah bilang, aku tidak lapar, Jo."

"Siapa yang mau mengajakmu makan? Cepat pakai!" seru Jo. "Kau mau memakai helm ini sendiri atau aku yang memakaikannya padamu?"

Jo mengulurkan tangannya, berniat untuk memakaikan helm itu di kepala Grace. Namun, Grace segera menyambar helm itu agar tidak diambil alih oleh Jo. Grace mengenakan helm itu di kepalanya dengan terpaksa.

Jo telah bersiap menghidupkan mesinnya. Gumpalan asap berwarna abu-abu tersembur dari pipa knalpot. Mesin menderu menyabur suara Jo yang berucap, "Naiklah!"

Grace masih terpaku di tempatnya berdiri. Ia ragu, haruskah ia mengikuti permintaan Jo? Namun, belum sempat hatinya memutuskan, Jo sudah menarik lengan Grace dan membuat gadis itu menaiki motor itu.

"Kita mau ke mana, Jo?" tanya Grace setelah keheningan bertahan selama beberapa menit. Motor Jo sudah bergerak dan membawa mereka mengembara beberapa kilometer dari perempatan jalan. Suaranya tersabur deru angin yang menampar wajahnya. Kecepatan motor Jo yang tinggi membuat angin menerbangkan kegelisahan keduanya. 

"Jalan-jalan saja. Kau pasti butuh hiburan." Jo setengah berteriak sambil menekuri jalanan yang padat dengan mobil dan motor pada jam pulang kerja.

Waktu yang memburu Grace terasa lenyap dalam sekejap. Semua kegelisahan tentang sisa waktu yang dimilikinya terasa bukan apa-apa lagi. Ia hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang dimilikinya bersama Jo. Sebelum dirinya tak bisa bertemu lagi dengan pria itu. Untuk selamanya.

Gesit, Jo mengarahkan kemudi untuk menyalip celah-celah sempit di antara kedua mobil yang berimpitan. Tangan kiri Jo meraih pergelangan tangan Grace agar melingkar di pinggangnya, tanda Jo akan membawanya berlari sejauh mungkin dari masalah yang sedang berkecamuk di dalam benaknya. Jo menambah kecepatan laju motornya hingga wajah keduanya terasa tertampar angin dari arah berlawanan. Klakson kendaraan di sekitarnya juga berbunyi nyaring sebagai bentuk protes motor Jo yang mengebut tanpa melihat keadaan. Helm yang dipakai Grace nyaris terbang tertiup angin, membuat satu tangan Grace yang lain menahan helmnya agar tidak terbang dan hilang di tengah jalan.

Matahari senja mengikuti perjalanan mereka berdua hingga benda bercahaya itu berpamitan dengan waktu petang. Posisinya digantikan dengan bintang-bintang yang berkelip indah. Jalanan kian lengang setelah semakin jauh mereka berlari. Jalanan menanjak membawa keduanya berada di ketinggian yang cukup jauh dari perkotaan. 

Semakin jauh berlari, motor Jo batuk-batuk lagi. Kali ini, bukan karena mesinnya yang bermasalah tetapi jarum penunjuk bahan bakar menunjuk ke arah huruf E. Setelah membawa motornya mengebut kemarin, ia buru-buru membawa ke bengkel dan sekarang ia terbuai dalam momen yang ia nantikan selama ini sampai melupakan tugasnya untuk memberi minum kuda besinya.

***

Kedua pasang langkah kaki mengalun merdu menapaki jalan layang. Kerlip lampu-lampu rumah di kota bak bintang-bintang yang berserakan. Bulan purnama sempurna menampakkan wajahnya yang bercahaya dengan sedikit serabut awan tipis mengawal di sisinya. 

Kedua tangan Jo memegang kemudi, ia menggiring motornya untuk sampai ke puncak. Grace setia menemani di sampingnya. Tawa mereka pecah sepanjang jalan, mengingat detik-detik kejadian mogoknya Dodo, nama motor butut milik Jo. 

"Kau terlalu gila, Jo. Sekarang Dodo marah." Grace pecah dalam tawa.

Jo ikut tertawa. "Karena kau yang membuatku melakukan hal segila itu."

"Aku?" Grace menunjuk dirinya sendiri lalu tertawa. "Bagaimana mungkin? Lihatlah sekarang kita terdampar di mana? Bagaimana cara kita untuk pulang, Jo?"

"Mungkin, aku akan menggendongmu. Entahlah." Jo mengedikkan bahunya. 

Grace tertawa lepas sambil menepuk lengan Jo. "Sinting!"

Jo tidak keberatan dengan reaksi itu walaupun ia yakin lengannya akan memerah setelah itu. Ia jauh merasa lebih lega setelah melihat Grace tertawa. Kemudian, ia berhenti menggiring motornya dan membiarkannya bertengger di tepi jalan. Helm yang sejak tadi melekat di kepala, ia lepaskan.

"Kita istirahat sejenak, Grace." Jo mengawang jauh ke arah kota yang terlihat jauh lebih kecil. Jo menatap ke lampu yang berkumpul bagai konstelasi bintang. Ia memejamkan mata dan menghirup udara malam sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya. "Biarpun kita terdampar jauh dari kota, setidaknya kita tak merasakan beban lagi, Grace." 

Grace meletakkan helm di atas kaca spion, berjalan mendekati Jo yang berdiri di belakang pagar pembatas beton pada jembatan layang. Grace meletakkan tangannya di atas pagar pembatas, turut mengawang entah ke mana. "Sayangnya, kita tak pernah bisa lari dari kenyataan."

Jo manggut-manggut. "Iya, aku tahu. Ke mana pun kita berlari, kenyataan akan selalu mengikuti. Namun, setidaknya kita bisa melupakannya sejenak hingga kita siap menghadapinya."

Grace tersenyum kecut. Namun, aku tak akan bisa dan tak akan pernah siap.

"Grace," ucap Jo yang kemudian diikuti hening. Jo membalik badan, matanya memandang Grace. Ia menggamit tangan Grace. "Jika kau ingin bercerita, katakanlah padaku."

Grace menatap kedua mata Jo yang menatapnya begitu dalam. Jantungnya terasa berdebar kencang. Hatinya mendebat, ia tak boleh menatap pria itu lebih lama. Lantas, Grace membuang muka. Grace menarik tangannya yang berada pada genggaman tangan Jo. "Kau bicara apa sih, Jo?" 

Jo tidak ingin melepaskannya. Ia kembali menggamit tangan Grace dan menahannya dengan kedua tangannya. "Grace, lihat aku!"

"Jo—"

"Lihat aku!"

Kedua bola mata Grace bertemu dengan tatapan Jo. Tatapan keduanya bak dua kutub magnet yang tarik-menarik dengan kuat. Dunia terasa lebih luas dan lengang. Hanya ada mereka berdua di dalamnya.

"Jika kau ingin bercerita, katakanlah kepadaku. Jika kau ingin menangis, menangislah bersamaku. Jika kau ingin berlari, berlarilah bersamaku. Jangan pernah kau lakukan itu semua sendirian."

Pandangan Grace mengembun. Tatapannya redup. Ucapan Jo membangkitkan kecamuk huru-hara antara rasa dan logika. 

Logika meminta Grace untuk menjauhi pria itu atau semua rencana akan berantakan dan gadis itu akan kehilangan segalanya termasuk Jo. Namun, rasa meminta Grace untuk berada di bawah lindungan Jo. Kembang cinta yang semula kuncup kini mengembang sempurna setelah dipupuk. Sekalipun hayatnya terampas, setidaknya ia pernah tahu rasanya mencintai dan dicintai.

Jo menatap bola mata cokelat yang memantulkan cahaya itu. Perlahan tetesan embun menggenangi pelupuk mata kemudian terjun membentuk parit kecil di pipi gadis yang tengah ditatapnya. Jo pun mengusap air mata itu. Namun, tetesan air itu satu per satu mengalir membasahi pipinya tiada henti. Jo menarik tubuh Grace ke dalam pelukannya. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan dan katakan, selain menenangkan gadis itu dengan tepukan pelan di punggungnya.

Beberapa lama Grace puas meluapkan emosinya yang bercampur menjadi satu, Jo mulai mengajaknya kembali berbicara sembari mengusap sisa-sisa air mata yang meninggalkan bekas di pipinya. Bahu Jo basah dengan air mata tetapi Jo tak peduli dengan itu. 

"Grace, kau bisa berhenti kapan pun kau mau. Aku akan melindungimu dari siapa pun yang mau menyakitimu. Aku janji." 

Grace membuang muka. Ia tak bisa lagi menguras air matanya di hadapan pria itu. Grace melepaskan tangan Jo yang memegangi kedua pipinya. "Terima kasih atas ketersediaanmu, Jo. Aku mohon, jangan mengatakan hal ini lagi kepadaku. Kau membuatku berada dalam dilema yang tak berujung."

***

Baca keseluruhan kisah Reverse (Klik di sini)

Cerita bersambung: Reverse [Bagian 8 - Dilema Tak Berujung] 

Ditulis oleh: Michiko

25 Maret 2021

Insecure Melanda, Aku Ingin Berhenti Menulis

12:52 AM 1 Comments
Insecure Melanda, Aku Ingin Berhenti Menulis
Hari ini aku mau curhat aja deh. Berhubung aku sedang berusaha melewati kesulitan-kesulitan yang harus aku hadapi sendirian. 

Boleh dibilang, saat ini aku hampir menyerah dari dunia kepenulisan.

Kenapa ya?

Alasannya, sebenarnya sepele. UANG. 

Nggak sepele juga sih, soalnya kita selalu butuh uang untuk bertahan hidup. Akan tetapi, kalau sampai berhenti menulis karena uang, menurutmu itu terlalu berlebihan nggak sih? Hahahaha.

Aku yang baru lulus dari pendidikan akademik jenjang perkuliahan merasa insecure banget saat melihat teman-temanku gencar mencari lowongan pekerjaan. Beberapa bulan belakangan, aku juga sama, ikut cari lowongan pekerjaan seperti yang lainnya. Sempat juga dipanggil interview oleh salah satu perusahaan tapi alur hidupku berkata aku cuma bisa sampai tahap itu. Aku nggak lolos tahap wawancara.

Setelah menerima notifikasi penolakan, overthinking melanda. Kebiasaan buruk yang selalu muncul setiap aku sedang terpuruk ini membuat aku berpikir: "Aku hidup di dunia ini kayaknya cuma jadi beban keluarga ya?" Padahal baru satu perusahaan yang menolak, gimana kalau ditolak terus-terusan oleh banyak perusahaan ya? Jadi kopong kali ini otak.

Hampir semua orang pernah berpikir begitu nggak sih? Atau cuma aku dan beberapa orang yang punya pola pikir serupa aja yang pernah mikir begitu? Kamu pernah berpikir begitu nggak?

Selama menghabiskan waktu untuk memikirkan masa depan dan makna kehidupan, aku seringkali berpikir hal-hal yang membuat aku merenung berulang kali. Aku bisa apa sih sebenarnya? Aku terus mempertanyakan skill yang aku miliki.

Setelah mengetahui bagaimana dunia kerja bekerja, aku mulai membuka mata. Ternyata, sainganku bukan orang yang seumuran denganku aja tapi dari semua kalangan mulai dari yang lulusan SMA/SMK sampai yang ada di usia mau pensiun juga ada. Mereka yang melamar pekerjaan di perusahaan yang sama denganku, punya pengalaman yang jauh lebih banyak dari aku. Mereka yang sama-sama mengantri untuk wawancara kerja, jauh lebih jago skill-nya daripada aku. Kalau dibandingkan dari segi kemampuan dan pengalaman, kayaknya mereka ada di langit sedangkan aku ada di dasar laut.

"Masuklah di sekolah kedinasan, nanti lulus jadi PNS, pekerjaannya juga sudah terjamin."

Kamu sering dengar ucapan itu dari orang yang ada di sekitarmu nggak? Aku pernah mendengarnya, sering malah, soalnya orang tuaku penganut paham begituan. Kuliah di PTN, kerja PNS, hidup nyaman dan bahagia.

Akan tetapi, aku yang keras kepala dan sering disebut "idealis" ini memilih untuk tutup telinga. Jiwa bebasku meronta-ronta, aku nggak mau hidupku diatur orang lain termasuk orang tuaku sendiri. 

Salahku sendiri juga sih karena terlalu mementingkan egoku sehingga saat aku ada di dalam kesulitan, aku bingung harus membagi kisah kesulitan itu dengan siapa—ini salah satu alasan aku menulis ini. Aku memilih jalanku sendiri, dari mulai jurusan perkuliahan sampai pekerjaan. Semuanya nekat.

Dulu, aku ingin menjadi seorang dokter, orang tuaku juga mendukung. Apalagi, dalam pandangan mereka, kehidupan seorang dokter itu terjamin, bisa buka praktik di rumah dan jadi kaya. Iya, bisa jadi kaya soalnya modal ilmunya juga mahal. 

Aku sendiri punya alasan karena ingin membantu orang-orang yang sakit mengembalikan kesehatannya, apalagi melihat nenekku yang sering masuk rumah sakit membuat keinginanku semakin kuat untuk menjadi seorang dokter demi menyembuhkan nenekku. Aku bahkan nggak merasa keberatan jika harus "dimutasi" ke pedalaman. Sebab, yang aku cari adalah pengalaman untuk membuka mata dan tahu lebih jauh tentang dunia.

Namun, takdir berkata lain, langit menolak alasan dangkalku itu untuk melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran. Mempertaruhkan hasil SBMPTN untuk program studi kedokteran di tiga universitas yang berbeda, naif banget nggak sih? Ternyata, kemampuan dan persiapanku belum cukup. Tahun berikutnya, aku mencoba lagi belajar mandiri bersamaan dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah dan mengulang SBMPTN, ternyata belum cukup juga.

Kenapa nggak coba daftar kedokteran di universitas swasta? Boro-boro swasta, jalur mandiri PTN aja aku nggak mau, kecuali UGM dan UI (karena nggak ada tagihan uang gedung walaupun dapat UKT golongan tertinggi). Alasannya, aku punya adik yang masih sekolah. Kalau aku mengambil jalur itu, bisa jadi adikku putus pendidikan, nggak bisa lanjut kuliah karena uang pendidikan dipakai olehku buat biaya kuliah kedokteran dan uang gedung. Apalagi, selisih umur kami cuma 4 tahun, sudah pasti aku juga belum bisa mengembalikan modal belajar dalam durasi waktu sesingkat itu.

Sempat juga, aku terpikir untuk banting setir ke keperawatan tapi saat itu aku bimbang dan agak malas juga untuk belajar lagi. Apalagi saat aku mengetahui fakta bahwa sudah diterima di universitas swasta jalur PMDK, rasanya selalu ingin leha-leha. Padahal, jurusan di universitas swasta itu jauh banget dengan rencana karirku. Aku mendaftarkan diri di sastra Jepang, jauh banget kan? Salah satu dosenku aja heran saat mengetahui fakta bahwa aku beloknya kejauhan.

Setelah dipikir-pikir, kenapa aku masuk sastra Jepang ya? Aku sendiri pun nggak tahu alasannya, mungkin takdir aja. Aku jalani aja keseharianku saat menjadi mahasiswi kunang-kunang, kuliah-nangis kuliah-nangis. Iya, pulang-pulang dari perkuliahan aku langsung nangis, alasannya ada dua: tugas yang bejibun dan insecure tentang masa depan yang nggak tahu mau dibawa ke mana arahnya.

Sempat beberapa kali terlintas untuk berhenti menjalaninya tapi lagi-lagi ini adalah pilihanku sendiri. Aku yang memilih jalan ini, maka aku juga yang harus bertanggungjawab atas semua yang terjadi. Berani memulai, maka harus berani pula untuk mengakhiri. Toh dari awal juga aku nggak mau denger nasihat orang tuaku. 

Saat menjalani kesulitan di dunia perkuliahan itu lah, aku mencari cara lain untuk menenangkan diri. Menulis. Blog ini adalah saksinya, betapa seringnya aku berkeluh kesah dan membagikan drama perkuliahan.

Akhirnya, setelah menjalani perkuliahan dengan suka rela walaupun banyak air mata berjatuhan, aku berhasil menyelesaikan pendidikan jenjang strata satu dengan hasil yang memuaskan. Akan tetapi, lagi-lagi aku tetap insecure dengan masa depanku. 

Aku bingung harus bekerja di mana. Kalau hidupku didokumentasikan, mungkin isinya insecure melulu. Namanya juga manusia, selalu ingin memiliki apa yang dia nggak punya.

Beberapa lamaran aku masukkan ke berbagai perusahaan yang bergerak di bidang ketenagakerjaan sumber daya manusia. Aku berniat memulai karirku sebagai seorang guru bahasa Jepang. Ternyata, sulit banget untuk memiliki panggilan ibu guru atau sensei.

Bekerja sebagai seorang interpreter juga sempat terlintas dalam benakku tapi belum juga aku memasukkan lamaran ke perusahaan yang membuka lowongan, nyaliku langsung ciut melihat persyaratannya. Kemampuanku belum sehebat itu untuk menjadi seorang interpreter alias penerjemah lisan. Saat itu pula, aku menyadari skill bahasaku yang kukira sudah cukup untuk dunia kerja ternyata masih jauh dari kata cukup apalagi kata lebih.

Prospek kerja apalagi yang cocok untuk jurusan sastra Jepang? Aku pun banting setir ke dalam dunia kepenulisan, sedikitnya aku terbantu oleh mata kuliah linguistik dan sastra. Saat ini, aku sedang mengerjakan beberapa proyek mandiri ala ala biar kedengaran keren dan nggak dianggap pengangguran. Aku sedang menulis sebuah novel genre fantasi yang niatnya akan aku kirim ke penerbit, juga menulis cerita atau artikel untuk dipublikasikan di blog ini. 

Pilihan ini nggak aku ambil secara gegabah, aku mempertimbangkan minatku dan tujuan hidupku juga: meninggalkan jejak untuk memberikan ilmu yang bermanfaat (walaupun kadang aku masih suka menulis kisah picisan tak bermakna).

Imam Ghozali juga pernah memberi petuah, "Jika kamu bukan anak raja dan anak ulama besar, maka menulislah."

Maka, aku pun menulis. Namun, lagi-lagi, semua itu nggak semulus kelihatannya. Bayanganku tentang pekerjaan impianku, nggak seindah yang dibayangkan. Dengan melihat respon orang-orang di sosial media, orang-orang yang ada di lingkunganku bahkan keluargaku sendiri, aku tidak bisa mendapatkan dukungan penuh untuk menulis. 

Banyak masyarakat yang masih krisis literasi, paling artikel ini juga tidak dibaca sampai habis. Belum lagi, pecinta buku di Indonesia nggak banyak, pangsa pasarku kecil jika berkarir sebagai seorang penulis. Hal ini kembali membuatku ciut, terlebih traffic blog-ku juga masih segini aja. 

Iya, aku sepenuhnya menyadari tulisanku tidak terlalu menarik dan kadang membosankan—bahkan memang membosankan—karena aku juga belum sejago itu dalam menulis dan masih dalam tahap pengembangan kemampuan.

Adsense dari Google pun cuma bisa dipakai jajan bakso dua porsi, padahal aku sudah memasangnya sejak satu tahun yang lalu. Aku semakin insecure melihat pendapatan yang minim dan terus-menerus menumpang hidup dengan orang tua. Belum lagi saingan di luar sana yang lebih paham tentang SEO dan dunia kepenulisan profesional. Insecure-nya makin menggila deh.

Nggak tega sebenarnya membuat orang tua susah karena aku terus-terusan menumpang hidup, tapi aku juga butuh makan. Aku mencoba mencari portal yang bisa menghasilkan uang, ikut bekerja dengan dosen sebagai freelancer jasa transkripsi, tapi semua itu juga datangnya nggak diduga-duga. Kadang rame, kadang sepi, belum lagi penolakan dan revisi. Belajar sana-sini, ikut webinar ini itu, terutama kelas gratis, selalu aku ikuti untuk meningkatkan kualitas tulisanku. Ikut lomba sana sini dan mencoba mengirim tulisan ke berbagai portal berita demi membangun portofolio itu juga sangat melelahkan.

Aku ingin berhenti menulis. 

Namun, hati kecilku seringkali berbisik, tetap terlintas lagi di kepalaku bahwa rejeki sudah diatur dan ada porsinya masing-masing. Hanya saja rejeki itu nggak datang dengan sendirinya, aku tetap harus mengusahakannya. 

Kalau aku berhenti menulis, dari mana rejeki itu akan datang? Apalagi lamaran kerja yang kukirim juga belum ada yang lirik, daripada menganggur menanti kabar yang belum pasti datangnya, bukankah lebih baik kuhabiskan waktu sambil menulis, kan?

Apa salahnya terus-terusan menulis walaupun hanya sedikit saja orang yang membaca—atau bahkan hampir tak ada. 

Tujuanku hanya satu, menjadi orang yang bermanfaat. Setidaknya, dengan menulis aku merasa menjadi manusia yang lebih berguna, walaupun masih sedikit tidak ada gunanya karena penghasilan yang minim nyaris tak ada.

Walaupun ada beberapa faktor yang membuat aku selalu ingin mundur, apalagi setelah membaca keluh kesah para penulis novel yang hanya dapat royalti sedikit belum lagi dipotong pajak penghasilan, rasanya ingin menyudahi rencana karir ini dan bekerja sebagai karyawan biasa. Akan tetapi, aku sadar bahwa setiap pekerjaan atau jurusan atau jalan kehidupan, selalu ada kesulitannya masing-masing yang mungkin tak pernah bisa kita rasakan jika hanya melihatnya dari jauh.

Terkadang, apa yang kau lihat bukanlah apa yang kau rasakan. Di balik kesuksesan pengusaha, ada kesulitan dalam membangun bisnisnya. Di balik gaji karyawan yang tetap, ada kesulitan dalam mengerjakan tugasnya. Begitu pula di balik bebasnya jam kerja freelancer seperti penulis, ada kesulitan menyusun strategi dan menyesuaikan pangsa pasarnya. Semua ada kesulitannya masing-masing, hanya cara kita menghadapi kesulitan-kesulitan yang datang itu lah yang menunjukkan apakah kita pantas untuk menjalani jalan hidup yang kita pilih.

Walaupun keinginan untuk berhenti menulis terus datang di saat-saat terpuruk, aku berharap tulisan ini akan menjadi pemantik semangatku agar tak pernah berhenti menulis. 

Ingatkan aku, tegurlah aku, jika suatu saat aku ingin menyerah atas hidup ini. Aku harus membuktikan kepada kedua orang tuaku atas pembangkangan di masa lalu bahwa aku bisa dan aku bertanggung jawab atas pilihan hidupku walaupun sebagian tulangku sudah remuk karena terbentur goncangan sistem dunia. 

Sepertinya, sudah cukup keluh kesah untuk hari ini. Aku yakin beberapa di antara kamu juga pernah dilanda kekhawatiran terkait masa depan walaupun dengan kategori yang berbeda. 

Semangat lah, jika kau lelah maka istirahatlah sejenak. Jangan pernah berhenti walaupun kau harus merangkak. Semoga kita selalu mendapatkan hal yang terbaik dalam hidup kita.

Sekian tulisan untuk hari ini, selamat berjuang. Semangat perjuangan!

Have a nice day,


Michiko ♡